Jumat, 30 September 2011

Fragmentasi Drama Politik (Suara Pembaruan, Kamis 18/8/2011)

Drama politik kolosal dengan aktor utama, Muhammad Nazaruddin, tampaknya akan memulai babak baru setelah sang buronan tertangkap. Fragmentasi-fragmentasi dari sejumlah episode kisah yang telah disajikan secara acak oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu kini agaknya harus dirangkai secara runtut, sehingga bisa menampilkan cerita yang utuh dengan kemungkinan sejumlah aktor lain yang terlibat.
Publik yang hampir setiap hari disuguhi fragmentasi kisah yang tidak pernah utuh tersebut tentu ingin segera tahu keseluruhan cerita yang sebenarnya. Benarkah, misalnya, aktor utamanya Nazaruddin, ataukah dia hanyalah sebagai pemeran pembantu saja, sementara aktor utamanya masih misteri. Kalau begitu, adakah sutradara di balik kisah itu yang membuat Nazaruddin bak aktor film yang gagah berani melancarkan serangan pada musuh-musuhnya?
Terlepas dari apakah pada akhirnya kisah tersebut akan berakhir dengan happy ending atau sad ending, yang jelas publik agaknya sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui rangkaian kisah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pemerintah, dan pihak-pihak yang terkait, mau tidak mau harus menjadikan kasus ini sebagai prioritas utama untuk segera dituntaskan secara transparan.

Pertaruhan Politik
Bagaimanapun kasus Nazaruddin sudah menyita perhatian publik. Seluruh media di negeri ini tidak ada yang luput memberitakannya. Bahkan untuk menunggu kedatangan Nazaruddi saja, para awak media rela menunggu selama kurang lebih 39 jam. Tentu ini menjadi sebuah penanda betapa tingginya “nilai jual” kasus tersebut. Oleh karena itu, kalau penuntasan kasus ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, atau misalnya, dipenuhi rekayasa, akan menjadi pertaruhan politik yang besar.
Pihak pertama yang paling terkait dengan resiko pertaruhan politik tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masalahnya sekarang ini kasus Nazaruddin sudah berada di tangan KPK, karenanya penuntasannya sangat bergantung pada sejauhmana profesionalisme KPK. Dalam konteks ini, independensi KPK akan menjadi sorotan utama dari publik. Mampukah KPK terbebas dari berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik kekuasaan yang bukan tidak mungkin akan mencoba melakukan intervensi, selama menangani kasus Nazaruddin?
Pertanyaan ini sangat penting mengingat pada saat penjemputan Nazaruddin dari Bogota sampai ke Jakarta muncul kontroversi. Misalnya, sebagaimana yang dituturkan pengacaranya, Otto Cornelis (O.C.) Kaligis, selama pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di dalam perjalanan Nazaruddin tidak didampingi oleh pengacara. Bukankah ini akan memunculkan dugaan yang macam-macam?
Kemudian ketika Nazaruddin sudah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), ada kontroversi seputar larangan pada pengacara dan keluarga Nazaruddin untuk menemuinya. Pihak KPK mengklaim Nazaruddin sendiri yang tidak mau ditemui, sementara pihak pengacara dan keluarga menuduh KPK yang melarang. Inilah yang kemudian memicu protes keras Kaligis karena dianggapnya bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 70. Pasal tersebut menyebutkan bahwa penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara setiap waktu untuk kepentingan perkaranya.
Atas semua kontroversi di awal penanganan kasus Nazaruddin tersebut KPK dituntut untuk menjelaskan ke publik, apakah keputusan pelarangan tersebut benar-benar dikehendaki Nazaruddin ataukah sebaliknya. Kalau tidak dijelaskan secara transparan, ini akan menjadi bumerang bagi KPK. Apalagi sebelumnya lembaga ini sudah didera kasus yang sempat mencoreng sebagian mukanya. Hal ini terkait dengan terungkapnya petinggi KPK yang pernah menemui Nazaruddin.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain KPK harus berani mengungkapkan kasus ini secara terang benderang tanpa takut siapapun dan apapun. Bahkan seharusnya ini menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan keterlibatan aktor-aktor lain yang sangat mungkin lebih powerfull dari Nazaruddin. Hanya dengan cara seperti inilah kepercayaan publik terhadap KPK kembali naik setelah sempat terpuruk pada level kepercayaan di bawah 50 persen seperti yang pernah dilansir salah sebuah survei. Maka, mengutip perkataan Amien Rais, apakah KPK akan menjadi pemberani atau pengecut, akan terlihat dari penanganan kasus ini.
Pihak lain yang sangat terkait dengan pertaruhan politik adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI maupun Ketua Dewan Pembinan Partai Demokrat. Komitmen SBY untuk menjadi orang pertama yang hendak memberantas korupsi di negeri ini akan kembali tersandra jika kasus ini tidak diselesaikan secara tuntas. Apalagi SBY sebelumnya telah mengeluarkan perintah penangkapan atas Nazaruddin, sehingga kalau tidak disertai dengan penuntasan kasusnya, jelas akan menjadi bahan kritikan publik. Perintah penangkapan tersebut tidak lebih dari upaya pencitraan seperti yang kerap ia tampilkan.


Skeptisisme Publik?
Melihat penuntasan kasus Nazaruddin yang sedari awal sudah memperlihatkan kontroversi bukan tidak mungkin kian mengentalkan skeptisime publik. Apalagi sudah banyak kasus sebelumnya yang penanganannya tidak tuntas, atau bahkan menghilang begitu saja ketika bersinggungan dengan kekuasaan. Kasus Bank Century, misalnya, sampai hari ini masih menyisakan misteri. Hal ini diduga terkait dengan bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan. Demikian halnya dengan kasus Nazaruddin yang besar kemungkinan terkait erat dengan kepentingan politik yang lebih besar, yakni Partai Demokrat yang notabene partai yang berkuasa (the ruling party). Dan posisi Nazaruddin adalah bendahara umum PD yang tentu orang paling mengetahui lalu lintas keuangan partai.
Oleh karena itu, kalau penuntasan kasus Nazaruddin tersebut masih tersandra oleh kepentingan politik kekuasaan, maka kita sebagai publik masih akan disuguhi fragmentasi-fragmentasi kisah dari drama politik yang tiada jelas alur ceritanya.

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Polital Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Siip Ðέê♓.•*˚*•.:)..keep writing yee