Kamis, 22 September 2011

Politik Minus Ideologi (Politika, Jurnal Nasional 27 April 2011)

Apakah sesungguhnya tujuan orang berpolitik: apakah sekadar mencari dan mempertahankan kekuasaan ataukah ada tujuan yang lebih luhur, misalnya memperjuangkan sebuah nilai (ideologi)? Pertanyaan ini begitu penting dan sentral di dalam kehidupan politik, khususnya jika dikaitkan dengan praktik kehidupan politik di Indonesia yang sekaligus dapat memperlihatkan bagaimana tujuan para politisi di negeri ini.
Dalam konteks ini, Amien Rais, pernah melontarkan pemikiran tentang high politics dan low politics. Yang pertama terkait dengan pengejwantahan nilai-nilai luhur politik seperti keadilan, kesejahteraan, kebaikan dan semacamnya. Sebaliknya, yang kedua terkait dengan pragmatisme politik yang dalam derajat tertentu lebih menonjolkan sisi kerakahan manusia berupa syahwat politik untuk berkuasa.
Apa yang dilontarkan Amien Rais di atas tampaknya masih sangat relevan dengan situasi perpolitikan di negeri ini. Kedua model politik tersebut tampaknya senantiasa saling berkontestasi dalam kehidupan politik Indonesia. Tetapi agaknya kecenderungan yang kedua selalu lebih dominan dari yang pertama. Sampai hari ini pun kita sulit mendapatkan politisi-politisi yang benar-benar memperjuangkan nilai-nilai adiluhung di dalam kehidupan politik mereka.
Dalam perspektif salah seorang teoretikus komunikasi politik, Dan Nimmo (1999) dalam bukunya Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media politisi, dalam hal ini sebagai komunikator politik, terbagi ke dalam dunia jenis, yaitu politisi wakil dan politisi ideolog.
Politisi wakil adalah politisi yang menjadi perwakilan artikulasi politik individu atau kelompok. Politisi semacam ini umumnya tidak memiliki militansi, loyalitas dan intensitas dalam artikulasi politiknya, namun mereka mendapatkan kemudahan akses ke dalam jabatan publik. Yang termasuk ke dalam kelompok ini di antaranya adalah para selebriti yang belakangan ini memasuki arena politik secara masif.
Sedangkan politisi ideolog adalah politisi-politisi yang merepresentasikan nilai-nilai normatif dan loyalitas individu atas perjuangan politik kolektif yang diusung partai politik. Politisi semacam inilah yang sesungguhnya telah mengalami ujian militansi, loyalitas dan intensitas artikulasi politik di dalam kehidupan politik mereka, sehingga ketika mendapatkan akses ke suatu jabatan publik, misalnya, betul-betul merupakan hasil perjuangan.
Namun sayangnya politisi-politisi ideolog di republik ini tampaknya makin hari makin berkurang. Sebaliknya, politisi-politisi wakil kian mewabah baik pada level eksekutif maupun legislatif.


Lompat Pagar
Salah satu kecenderungan politik yang memperlihatkan betapa kian minimnya politisi-politisi ideolog adalah fenomena loncat pagar di kalangan para politisi atau yang biasa juga disebut politisi bajing loncat. Mereka, misalnya, dengan enteng berpindah dari satu kendaraan politik ke kendaraan politik yang lain karena tidak lagi menemukan kesempatan untuk meningkatkan karir politik mereka kalau tetap di kendaraan yang lama. Bagi mereka, berpolitik bukanlah memperjuangkan nilai-nilai ideal, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan kekuasaan dengan mudah.
Kasus berpindahnya Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf, dari partai yang telah membesarkan namanya, PAN, ke Partai Demokrat sesungguhnya bukanlah kasus yang pertama. Banyak politisi-politisi lain yang juga menyeberang dari partai satu ke partai lain. Antara lain, Yuddy Chrisnandi berpindah dari Golkar ke Hanura, Permadi dari PDIP ke Gerindra, Muchdi Pr dari Gerindra ke PPP. Kasus serupa juga pernah terjadi di masa Orde Baru seperti yang pernah dilakukan oleh politisi Ridwan Saidi, yang bahkan mengalami perpindahan secara bolak-balik antara Golkar dan PPP.
Apa yang dilakukan oleh para politisi lompat pagar tersebut setidaknya dapat dianalisis dari dua hal. Pertama, dorongan pragmatisme politik. Kecenderungan ini tampaknya merupakan motif yang sangat dominan. Motivasi Dede Yusuf menyeberang ke Demokrat, misalnya, jelas, seperti yang pernah ditegaskannya, karena ingin menjadi orang nomor satu di Propinsi Jawa Barat sehingga memerlukan kendaraan politik yang besar. Bahkan boleh jadi ia sedang merintis karir politik yang lebih tinggi lagi. PAN di matanya tidak cukup punya kekuatan untuk menyokong ambisinya itu.
Kedua, adanya hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara politisi lompat pagar dan partai politik yang ditujunya. Bagi si politisi, dengan berpindah ke partai yang lebih besar tentu peluang untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi semakin terbuka lebar. Sedangkan bagi partai terkait, masuknya seorang tokoh yang sudah jadi tentu mempermudah kerja partai. Partai tidak harus bersusah payah mengkader seseorang dari bawah untuk suatu jabatan tertentu, sebaliknya ia tinggal menerima dan memolesnya saja.

Degradasi Pencitraan
Dari satu sisi, fenomena politisi lompat pagar memberikan keuntungan baik bagi politisi itu sendiri maupun bagi partai politik yang ditujunya. Namun sesungguhnya keuntungan yang ditimbulkannya hanya bersifat sesaat saja atau jangka pendek. Sebaliknya dari perspektif jangka panjang, hal semacam itu justeru bisa menyimpan investasi yang buruk terkait dengan pencitraan di mata publik.
Pertama, pada level individu, politisi yang dikenal sebagai politisi lompat pagar atau bajing loncat akan dipandang sebagai tokoh yang hanya mementingkan diri sendiri, haus kekuasaan dan lupa asal-usul. Dalam konteks ini, dapat dipahami mengapa salah seorang petinggi PAN menyindir Dede Yusuf untuk tidak menjadi seorang Malin Kundang. Citranya akan kian buruk manakala ia tidak berhasil mendapatkan kekuasaan yang diinginkannya saat berpindah ke partai lain.
Kedua, pada level institusi dalam hal ini partai politik. Sekalipun memperoleh keuntungan dengan adanya tokoh yang sudah jadi, namun sesungguhnya partai sedang mengalami kekeroposan ideologi secara sedikit demi sedikit. Partai tidak lagi dipandang sebagai kawah candradimuka untuk menggodok politisi-politisi ideolog yang memperjuangkan nilai-nilai bersama. Bahkan partai sendiripun sebagai institusi sudah ikut dalam buaian arus pragmatisme.
Ketiga, pada level kehidupan politik secara umum dikhawatirkan akan berimplikasi pada terkikisnya nilai-nilai idealitas politik. Politik pada tataran ini lebih dipandang sebagai area petualangan yang akan melahirkan avonturir-avonturir politik. Para avonturir politik ini biasanya sangat mengedepankan kepentingan pribadi.
Jika politik berlangsung seperti ini, maka pembusukan politik di republik ini sesungguhnya sedang berlangsung. Politik menjadi hampa, tanpa makna. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ketidakpercayaan politik (political distrust) di kalangan masyarakat terhadap politisi sekarang ini kian menguat. Sebagian masyarakat bahkan sudah muak dengan perilaku para politisi kita yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Seolah-olah politik berada di dunia tersendiri dan masyarakat berada di dunia yang lain.

Tidak ada komentar: