Kamis, 22 September 2011

Capres Independen dan Wajah Ganda Konstitusi (Pikiran Rakyat, 4 April 2011)

Edit
"Capres Independen dan Wajah Ganda Konstitusi" Harian Pikiran Rakyat Senin, 4 April 2011
by Iding R. Hasan on Monday, April 4, 2011 at 9:22am

Wacana tentang calon presiden dan wakil presiden independen atau bukan dari jalur partai politik (parpol) kembali mencuat dalam perpolitikan nasional. Hal ini mengemuka setelah diinisiasi oleh kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seiring dengan kehendak mereka untuk melakukan amandemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dewasa ini hampir semua kalangan membicarakan mengenai peluang diakomodasinya capres independen tersebut. Partai-partai politik yang merasa paling berkepentingan dengan masalah tersebut memberikan respons yang beragam. Ada yang menyambutnya dengan baik, namun ada pula yang menolaknya dengan dalih waktunya tidak tepat, mengesampingkan parpol dan sebagainya.



Wacana tentang capres independen tersebut sesungguhnya memiliki persoalan dengan konstitusi di republik ini yang memiliki wajah ganda. Di satu sisi konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih untuk suatu jabatan publik. Oleh karena itu, siapapun warga negara Indonesia berhak untuk menjadi calon presiden.

Namun pada sisi lain, konstitusi juga mengatakan bahwa seseorang yang hendak menjadi calon presiden Indonesia harus melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik. Ini ditegaskan dalam Pasal 6A Ayat 2, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Dengan adanya pasal ini dapat diartikan bahwa tidak semua warga negara berhak dan dapat menjadi calon presiden Indonesia kecuali ia mendapatkan persetujuan dari sebuah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Kalau tidak, seberkualitas apapun seorang warga negara itu, maka tidak ada peluang baginya untuk menjadi capres selama tidak dicalonkan partai politik atau gabungan partai politik.

Wajah ganda konstitusi ini pernah menjadi pil pahit bagi salah seorang warga negara Indonesia yang berusaha untuk mencalonkan diri sebagai presiden melalui jalur independen, yakni Fadjroel Rachman. Setelah peluangnya tertutup untuk menjadi capres, ia mengajukan uji materi (judicial review) tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2008. Tetapi kemudian MK menolak uji materi tersebut dengan berpatokan pada konstitusi khususnya Pasal 6A Ayat 2.

Penolakan MK tersebut dapat diartikan bahwa selama pasal tersebut belum diubah, maka tidak mungkin jalur independen dapat dikabulkan. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk memberi peluang bagi capres independen adalah melakukan amandemen konstitusi. Dari perspektif ini, rencana amandemen kelima UUD 1945 yang akan dilakukan kalangan DPD merupakan hal yang sangat tepat, terutama dalam kaitannya dengan capres independen.



Di antara kalangan yang paling risih dengan wacana capres independen adalah parpol. Penolakan itu, hemat penulis, tampaknya didasari oleh cara berpikir parpol yang negatif. Mereka memandang capres independen sebagai ancaman yang akan membuat parpol seolah tidak mampu menjalankan fungsi dan perannya.

Padahal, kalau parpol mau berpikir positif seharusnya kehadiran capres independen, kalau nanti betul-betul diakomodasi, justeru bisa menjadi pemicu agar parpol lebih meningkatkan kinerjanya secara lebih baik lagi.

Jika cara berpikir positif yang dikedepankan parpol dalam merespons wacana capres independen justeru parpol akan mendapat apresiasi dari publik. Ini tentu merupakan kredit tersendiri bagi parpol.



*Penulis, Deputi Direktur the Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Tidak ada komentar: