Selasa, 10 Januari 2012

Polisi dan Kekerasan (Jurnal Nasional 7 Januari E0WE)

Kekerasan aparat negara, baik TNI maupun Polri, terhadap rakyatnya terus berulang-ulang dengan modus yang hampir serupa. Baru saja kita disuguhi tragedi memilukan Mesuji, baik yang di Lampung maupun Sumatera Selatan, kini peristiwa yang nyaris sama terjadi di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Korban jiwa kembali terenggut, kali ini bahkan anak-anak muda yang menjadi korban.
Pertanyaan yang lain dikemukakan di sini adalah mengapa kepolisian kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi rakyatnya sendiri, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban baik luka-luka ataupun meninggal? Tidak ada adakah cara lain yang bisa dikedepankan institusi penjaga keamanan negara tersebut yang lebih bersifat manusiawi?


Reformasi Belum Jalan
Banyak kalangan menilai bahwa terjadinya sejumlah tindakan kekerasan polisi terhadap rakyat diakibatkan oleh belum terinternalisasinya ruh reformasi ke dalam setiap anggota kepolisian di republik ini. Padahal sejak diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di mana polri dilepaskan dari TNI, upaya-upaya reformasi terhadap lembaga kepolisian tersebut terus dilakukan. Reformasi polri setidaknya meliputi tiga aspek, yakni instrumental, struktural dan kultural. Pada dua aspek pertama reformasi polri boleh dikatakan cukup baik. Namun dalam hal reformasi kultural, polisi agaknya masih gamang.
Hal ini, misalnya, terlihat dari tidak maksimalnya fungsi Tri Brata Polri, yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Moto tersebut agaknya masih menjadi pajangan belaka sementara implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Memang di setiap kantor kepolisian moto tersebut terpampang secara jelas namun bukan mustahil jika para polisi tidak menghiraukannya.
Pada sisi lain, polri juga memiliki paradigma baru sejak masa reformasi yang secara tegas mengatakan bahwa "polri bukanlah alat kekuasaan (politik), melainkan alat negara." Ini berarti bahwa tugas utama kepolisian adalah menjaga negara ini dengan segenap jiwa dan raganya, bukan membela mati-matian siapa yang memerintah negara ini.
Namun sayangnya justeru di sinilah kepolisian kerap menemui problemnya. Tarikan-tarikan eksternal baik dari kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi acap membuat kepolisian tergoda untuk menerimanya. Akibatnya, mereka akan selalu berpihak pada kekuatan-kekuatan tersebut alih-alih pada rakyat yang seharusnya mereka ayomi.
Baik tragedi Mesuji maupun Bima sama-sama memiliki dimensi tersebut. Kepolisian diminta perusahaan terkait untuk melindungi mereka dari protes warga setempat dengan imbalan tertentu. Akibatnya, polisi yang segoyianya berada di tengah-tengah karena sebagai alat negara lebih cenderung membela perusahaan daripada warga. Dalam sejumlah pernyataan yang dikeluarkan baik oleh Kadiv Humas maupun Kabag Penum Polri selalu warga yang dipersalahkan atas aksi mereka.

Pengalihan Status
Sebagian pihak juga mensinyalir bahwa berbagai tindakan kekerasan polisi terhadap rakyatnya juga diakibatkan oleh statusnya yang berada langsung di bawah presiden. Sebagaimana diketahui bahwa menurut UU No 2 Tahun 2002, Kepolisian Republik Indonesia bukan hanya dilepaskan dari TNI, melainkan juga ditempatkan di bawah Presiden RI.
Dengan posisinya tersebut kepolisian seolah-olah mendapatkan satu "kekuatan" untuk bisa melakukan apa saja termasuk tindakan kekerasan terhadap rakyat. Dengan dalih atas nama keamanan negara --yang sebenarnya boleh jadi keamanan kelompok tertentu-- polisi dengan tanpa belas kasihan meneror rakyatnya sendiri.
Oleh karena itu, tidak heran kalau kemudian ada usulan agar posisi kepolisian ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Tentu dengan harapan agar arogansi kepolisian yang selama ini dipertontonkan mereka di hadapan rakyat bisa dikurangi bahkan dihapus sama sekali. Terlepas dari urgensi pengalihan status kepolisian tersebut, menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang semestinya dikedepankan polisi dalam menangani persoalan-persoalan rawan yang terkait dengan kepentingan umum.
Pertama, polisi harus mengetahui dulu akar persoalannya baru kemudian melakukan tindakan yang semestinya. Konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan dan warga umumnya terjadi karena masalah penyerobotan lahan oleh perusahaan. Penyerobotan lahan juga terjadi karena perusahaan mengantongi izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kementerian Kehutanan. Dan kerapkali izin pembukaan lahan tersebut tidak disertai studi lapangan yang memadai. Ironisnya juga sering tidak dibarengi secara maksimal dengan pengawasan atas pelakaanaannya di lapangan. Akibatnya, tidak jarang terjadi penyelewengan yang dilakukan perusahaan baik dalam hal pemberian ganti rugi maupun penyerobotan lahan warga. Inilah yang kemudian bisa menjadi pemicu konflik. Dalam situasi seperti ini, seharusnya polisi bersikap jernih dalam memahami persoalan. Jangan hanya melihat reaksi di lapangan seperti aksi demonstrasi warga dan lain-lain, melainkan lebih meneliti sebab-sebabnya.
Kedua, polisi sebaiknya mendahulukan komunikasi persuasif, bukan represif. Satu hal yang harus disadari oleh para polisi adalah bahwa mereka yang melakukan aksi "melawan" perusahaan adalah rakyat sendiri, anak-anak bangsa yang notabene sudah mendiami lahan puluhan tahun yang lalu. Maka, tidaklah manusiawi kalau mereka yang sesungguhnya sedang menuntut haknya sendiri diperlakukan dengan kejam bagaikan musuh.
Ketiga, dengan munculnya berbagai persoalan konflik seperti tersebut di atas sudah saatnya bagi Polri untuk semakin memfokuskan perhatiannya pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menguasai masalah-masalah kemasyarakatan. Polri bisa menyekolahkan kader-kadernya di lembaga pendidikan kepolisian di luar insitusi kepolisian. Di salah satu perguruan tinggi negeri sekarang ini telah dibuka program magister kepolisian yang tentu saja dapat dimanfaatkan oleh kepolisian. Dengan demikian, setiap kali polisi akan menangani persoalan konflik yang terkait dengan sebuah masyarakat, terlebih dahulu mereka melakukan studi komprehensif terhadap masyarakat tersebut, baik secara sosiologis, antropologis dan sebagainya sehingga mampu memandang persoalannya dengan komprehensif pula.
Pendek kata, harus ada evaluasi internal yang dilakukan kepolisian. Namun, evaluasi tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan prosedur penanganan polisi di lapangan, melainkan evaluasi yang bersifat menyeluruh, termasuk upaya reformasi di tubuh polri yang hingga saat ini belum tuntas.

Diposkan oleh Rua