Rabu, 28 September 2011

Mengikis Terorisme (Suara Pembaruan, Senin 26 September 2011)

Aksi terorisme kembali mencuat di negeri ini. Bom bunuh diri meledak di depan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo pada Minggu 25 September kemarin. Meskipun korban jiwa kali ini tidak sebanyak sebelum-sebelumnya, namun tetap saja aksi tersebut telah menciptakan ketakutan dan keresahan bagi masyarakat Indonesia. Lokasinya yang terjadi di sebuah tempat peribadatan jelas merupakan teror yang luar biasa.
Mengapa aksi-aksi terorisme tidak pernah berhenti di republik ini meskipun para teroris terus menerus diburu oleh aparat keamanan. Mengapa setelah terbunuhnya gembong-gembong teroris seperti Dr. Azahari dan Nordin M. Top aksi-aksi mereka tidak ikut mati malah terkesan kian tumbuh subur. Seolah mengikuti peribahasa, mati satu tumbuh seribu.



Mengedepankan Dialog
Tumbuh-suburnya berbagai aksi kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam kian mengentalkan labelling terhadap adanya gerakan Islam radikal di Indonesia. Fenomena ini sebenarnya sudah tumbuh sejak lama, bahkan menurut Martin Van Bruinessen (2002), dapat dilacak sampai masa kelahiran Darul Islam di beberapa kota di Indonesia. Darul Islam membangun kekuatannya dengan basis militer yang kuat, seperti di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar) Jawa Barat (Kartosuwiryo) dan Aceh (Daud Beureuh).
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, fenomena Islam radikal kembali menyeruak seiring dengan apa yang disebut liberalisasi politik. Banyak organisasi Islam yang lahir dan melakukan sepak terjangnya dengan sejumlah tindak kekerasan meskipun dilakukan atas nama dakwah.
Salah satu ciri dari kelompok ini adalah model pemahaman keagamaan yang sangat skripturalis atau literalis (harfiah), seringkali hanya melihat pada teksnya, tetapi mengabaikan konteksnya. Slogan kembali ke masa Nabi Muhammad dan para sahabat, misalnya, betul-betul dimaknai secara harfiah sampai ke cara berpakaian dan penampilan fisik seperti memelihara janggut dan sebagainya.
Salah satu konsep sentral yang dipahami secara demikian harfiah oleh kelompok ini adalah jihad. Jihad –yang secara etimologis artinya berusaha sungguh-sungguh—dimaknai sebagai berjuang secara fisik dengan mengangkat senjata. Dalam konteks ini, aksi kekerasan seperti pembunuhan, perampokan dan sejenisnya didasari oleh sebuah keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut sebagai perjuangan suci (jihad) demi menegakkan syariat Islam.
Konsep lain yang dipegang teguh kalangan ini adalah hijrah sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Konsep ini bahkan dianggap sebagai pembeda (garis demarkasi) antara mereka dan orang-orang di luar mereka (minna dan minhum). Mereka menamakan diri sebagai masyarakat Madinah dan orang-orang di luar kelompok mereka sebagai masyarakat Mekah.
Menurut pandangan kelompok ini, orang-orang yang berada di luar mereka atau yang belum melakukan hijrah adalah orang-orang kafir yang harus diperangi, baik muslim apalagi non-muslim. Harta-harta mereka bisa diambil karena dianggap sebagai harta rampasan perang (fa’i). Dalam konteks inilah dapat kita pahami mengapa para teroris tersebut tidak segan-segan melakukan aksi perampokan, seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Medan. Bahkan perampokan ini dipandang sebagai salah satu cara penebusan dosa yang mereka lakukan sebelum masuk ke dalam kelompok ini.
Oleh karena masyarakat Indonesia, apalagi pemerintahannya, di mata mereka masih merupakan masyarakat Mekah, maka Indonesia perlu dibebaskan dengan meminjam istilah yang dulu digunakan Nabi untuk membebaskan Mekah (fathu Makah). Dalam melakukan pembebasan ini cara-cara kekerasan, seperti pembunuhan dan perampokan dapat dibenarkan.
Melihat cara pandang seperti ini, jelas ini merupakan pandangan keagamaan yang bersifat literalis. Maka, terhadap orang dengan cara pandang demikian, langkah-langkah dialogis sebagai bentuk pendekatan kultural agaknya perlu lebih dikedepankan. Mendekati mereka justeru jauh lebih mengena alih-alih menjauhi atau memusuhi mereka. Tindakan tegas atau represif mungkin diperlukan hanya sebagai shock therapy yang bersifat jangka pendek.

Peran Institusi
Dalam rangka meluruskan kembali pemahaman keagamaan kelompok ini, kerjasama dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua pihak yang seharusnya memainkan peran yang sangat penting.
Pertama, Institusi-institusi pendidikan Islam terutama pesantren harus terus didorong untuk mengajarkan Islam sebagai agama yang damai dan toleran dan senantiasa mengajarkan cara-cara dialogis (musyawarah) dalam menyelesaikan berbagai urusan. Dalam konteks ini, pembenahan kurikulum dan silabus harus senantiasa dilakukan demi merespons tantangan zaman.
Harus diakui bahwa memang ada pesantren tertentu di Indonesia yang dianggap sebagai penyebar ideologi kekerasan. Pesantren ini telah dianggap berhasil melahirkan generasi-generasi baru teroris. Dalam konteks ini, pesantren-pesantren lain yang notabene tidak menyetujui model pendidikan pesantren tersebut, tidak perlu memusuhinya, bahkan seharusnya mengajaknya dialog.
Kedua, ormas-ormas keagamaan Islam harus senantiasa lebih rajin melihat ke akar rumput. Selama ini, terutama setelah memasuki masa reformasi, ormas Islam tampaknya lebih sering berurusan dengan politik praktis (kekuasaan) sehingga kondisi masyarakat Islam yang diayominya justeru terabaikan. Boleh jadi kian menyebarnya ideologi kekerasan ini disebabkan karena lalainya para pimpinan ormas Islam dalam memperhatikan kehidupan mereka.
Bagaimanapun seluruh elemen masyarakat Islam harus berusaha sekuat tenaga mengikis habis benih-benih terorisme. Kita tidak cukup mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang damai dan toleran dan tidak pernah mengajarkan terorisme; dan bahwa aksi-aksi terorisme tersebut tidak terkait dengan agama Islam.
Faktanya adalah para pelaku terorisme itu adalah orang-orang Islam. Maka, mau tidak mau Islam akan selalu dikaitkan dengan aksi terorisme di Indonesia. Maka, istilah Islam radikal yang acap dikaitkan dengan aksi kekerasan sudah demikian populer. Oleh karena itulah, upaya-upaya pelurusan terhadap pemahaman keagamaan ala para pelaku terorisme tersebut mendesak dilakukan.

*Penulis, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: