Rabu, 31 Desember 2008

Caleg Perempuan Pasca Putusan MK

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Dengan dikabulkannya uji materi tersebut, penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut, melainkan berdasarkan suara terbanyak.
Di antara pertimbangan atas keputusan tersebut adalah bahwa ketentuan pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No. 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945.
Kalangan partai politik (parpol) tampaknya menyambut baik keputusan tersebut, apalagi yang sejak awal sudah mengusulkan diterapkannya sistem suara terbanyak pada Pemilu 2009. Namun tidak semua kalangan bersikap demikian. Kalangan perempuan, misalnya, memperlihatkan hal yang sebaliknya. Mereka mandang bahwa keputusan MK tersebut justeru akan membuat perjuangan mereka untuk semakin banyak melibatkan kaum perempuan ke dalam ranah politik seolah sia-sia.

Affirmative Action
Gerakan perempuan Indonesia selama ini terus berupaya “mensejajarkan” kaum perempuan dengan kaum laki-laki di dalam ruang-ruang publik, terutama politik. Berbagai program pengarusutamaan gender (gender mainstraiming) mereka luncurkan demi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Pendek kata, “keringat” dan “darah” telah mereka kucurkan demi perjuangan tersebut.
Melalui gerakan yang dikenal dengan affirmative action akhirnya kalangan perempuan Indonesia dalam derajat tertentu telah dipandang berhasil. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah keharusan setiap parpol untuk mengakomodasi kuota 30 persen kepengurusan parpol dan komposisi caleg-calegnya. Meskipun tidak ada sanksi tegas terhadap parpol yang tidak menerapkan ketentuan tersebut, tetapi hampir semua parpol dapat memenuhinya, bahkan ada sebagian yang melampauinya.
Memang pada awalnya ada sebagian kalangan yang mempersoalkan ketentuan tersebut, karena dianggap tidak cukup elegan di mana kaum perempuan seolah hanya ingin diberi jatah tanpa suatu perjuangan. Namun dengan logika bahwa selama kesetaraan gender di Indonesia masih sangat timpang maka sulit bagi kaum perempuan untuk berkiprah di ruang publik, akhirnya ketentuan di atas dapat diterima oleh semua pihak. Dalam konteks ini affirmative action seolah telah mendapatkan legitimasi.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kalangan gerakan perempuan bereaksi keras terhadap keputusan MK di atas. Mereka seolah-olah dihempaskan kembali ke dasar setelah perlahan-lahan merangkak naik. Dengan kata lain, mereka seakan-akan disuruh berjuang kembali dari titik nol seperti ketika gerakan affirmative action belum mendapatkan lahan persemaiannya. Tak kurang, Rieke Diah Pitaloka, caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dikenal vokal terhadap masalah ini, tampak sangat emosional menanggapi keputusan tersebut ketika dimintai komentar oleh salah seorang wartawan televisi.

Ancaman atau Tantangan?
Apakah keputusan MK tersebut pertanda “kiamat” bagi para caleg perempuan? Alih-alih meratapi keputusan yang justeru oleh sebagian besar kalangan terutama mereka yang berada pada nomor urut bawah dipandang adil tersebut, menurut hemat penulis, sebaiknya para caleg perempuan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk pertempuran yang pasti akan sangat melelahkan seraya mempertimbangkan berbagai strategi komunikasi politik yang akan menunjang keberhasilan mereka saat kampanye nanti.
Setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh para caleg perempuan terkait dengan keputusan MK tersebut. Pertama, menyangkut dengan gaya komunikasi. Selama ini kaum perempuan kerap dipandang lebih mementingkan kulit daripada isi. Penampilan mereka secara fisik jauh lebih diperhatikan daripada penampilan mereka dari segi isi kepala bahkan oleh diri mereka sendiri. Vena Melinda, seorang artis dan pelatih senam yang kini jadi salah seorang caleg, misalnya, dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa ia harus mempersiapkan dua buah koper besar untuk baju-baju khusus jika terpilih menjadi anggota legislatif. Sangat disayangkan jika yang pertama terpikir dalam kepala seorang caleg perempuan hal-hal kulit seperti itu.
Oleh karena itu, para caleg perempuan semestinya bisa mengubah citra tersebut sehingga pandangan masyarakat terhadap mereka juga ikut berubah. Mereka paling tidak menguasai berbagai isu yang berkembang di masyarakat sehingga masyarakat dapat direbut hatinya bukan karena penampilan fisiknya, melainkan karena isu-isu yang ditawarkannya. Memang tidak mudah mengubah hal tersebut. Bahkan di Amerika Serikat yang para pemilihnya dikenal sebagai pemilih rasional (rational voters), pandangan serba lahiriah terhadap politisi perempuan masih juga terjadi. Sarah Palin yang menjadi wapres John McCain pada pemilu AS yang belum lama usai kerap diperlakukan seperti itu. Kaca mata yang dipakai Palin ketika kampanye, misalnya, sempat menjadi tren di kalangan perempuan AS, demikian pula model rambutnya. Sementara isu-isu yang dikampanyekannya mungkin menguap begitu saja.
Kedua, realitas ini seyogianya dipandang oleh para caleg perempuan sebagai sebuah tantangan alih-alih sebagai ancaman. Konsekwensinyanya hal itu akan menuntut mereka bekerja lebih giat dan keras lagi. Dalam konteks ini pendekatan-pendekatan yang lebih personal dengan masyarakat perlu terus dijaga. Oleh karena itu, mereka harus menguasai berbagi persoalan yang tidak hanya terkait dengan kepentingan kaum perempuan saja, tetapi juga yang bersifat umum, yang mencakup semua segmen masyarakat sehingga tingkat elektabilitasnya juga akan lebih luas.
Last but not least keputusan MK tersebut di atas tidak perlu dipandang sebagai palu godam oleh para caleg perempuan. Justeru saatnyalah mereka membuktikan diri kepada publik bahwa mereka pun bisa eksis tanpa ada “bantuan” dari pihak lain. Toh pada Pemilu 2004 lalu, Nurul Arifin, salah seorang caleg perempuan dari Partai Golkar, telah terbukti berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Ia memang gagal melenggang ke senayan, tetapi justeru gara-gara nomor urutnya kalah kecil oleh saingannya. So, kenapa mesti resah!

Mneyoal Fatwa Haram Golput

Wacana tentang golongan putih (golput) kembali menyeruak ke dalam perpolitikan di tanah air. Adalah ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, yang memicu menghangatnya isu golput ini. Ia meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput bagi masyarakat Indonesia.

Persoalannya adalah etiskah sebuah lembaga keagamaan semacam MUI mengeluarkan sebuah fatwa politik seperti itu? Bukankah hal itu justeru akan berbahaya bagi MUI sendiri karena akan “terjebak” pada ranah politik praktis? Di samping itu, apakah model fatwa semacam itu akan efektif, dalam arti, akan diikuti oleh masyarakat Indonesia? Inilah barangkali sejumlah pertanyaan yang ingin coba dijawab dalam tulisan sederhana ini.


Politisasi Agama

Permintaan terhadap MUI yang notabene lembaga keagamaan untuk mengeluarkan sebuah fatwa politik, hemat penulis, merupakan gejala politisasi agama. Dalam konteks ini, agama yang seharusnya berada pada wilayah sakral diseret masuk ke dalam wilayah profan untuk kepentingan politik sekelompok orang. Agama, dengan demikian, telah dijadikan alat kekuasaan.

Jika agama diperlakukan seperti ini akibatnya agama akan kehilangan misi sucinya sebagai pembebasan bagi umat karena agama telah “terperangkap” dalam jebakan kepentingan kelompok. Dan ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan agama itu sendiri.

Fenomena politisasi agama bukan merupakan hal baru dalam politik Indonesia. Umat Islam Indonesia pernah, untuk tidak mengatakan sering, mengambil istilah-istilah keagamaan yang kemudian diterapkan ke dalam politik praktis. Celakanya penerapannya itu dilakukan demi tujuan-tujuan politis kelompok yang mengusung istilah tersebut. Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, misalnya, para pendukungnya yang notabene kaum nahdliyin mengangkat istilah bughat (pemberontak) yang pernah digunakan pada masa kekhilafahan Islam ke dalam politik Indonesia. Sayangnya penerapannya itu lebih bernuansa kepentingan politis karena ditujukan kepada pihak-pihak yang menghendaki Gus Dur turun dari kepresidenan.

Istilah hibah juga pernah masuk ke dalam ranah politik Indonesia. Istilah yang bermakna pemberian dari seseorang atau kelompok untuk kepentingan orang banyak (kemaslahatan), seperti untuk masjid, sekolah dan sebagainya itu “dipelintir” maknanya oleh sejumlah politisi Indonesia. Ketika ada sebagian anggota DPR yang diduga korupsi karena penghasilannya jauh melebihi dari yang seharusnya mereka cukup mengatakan bahwa kelebihannya itu adalah hibah dari seseorang. Celakanya, penyidikan pun kemudian berhenti setelah mendengar kata hibah tersebut.


Kontra Produktif

Jika pada akhirnya MUI tergoda untuk mengeluarkan fatwa yang mengharamkan golput, hemat penulis, hal itu tidak akan berlaku efektif. Selain akan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia yang plural, juga fatwa itu sendiri sesungguhnya tidak memiliki kekuatan mengikat yang bisa memaksa masyarakat untuk mau tidak mau menjalankan fatwa tersebut.

Pada sisi lain, hal tersebut dapat dipandang sebagai tindakan kontra produktif terhadap demokrasi. Bagaimana pun golput merupakan hak warga yang tidak dapat dicegah. Setiap upaya negara atau suatu kelompok yang mencoba menghalangi kebebasan warga dalam mengartikulasikan hak politiknya jelas akan dipandang sebagai tidak demokratis. Meskipun tindakan tersebut bertujuan untuk melibatkan warga dalam politik tetapi kalau sifatnya paksaan tentu akan dianggap bertentangan dengan hakikat demokrasi.

Jika kita cermati golput pada saat ini tampaknya berbeda dengan golput pada masa Orde Baru. Pada masa itu golput pada umumnya lebih dimaknai sebagai sebuah “perlawanan” terhadap status quo. Para aktivis demokrasi di Indonesia memandang bahwa pemilu-pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tidak lebih sebagai kamuflase belaka, sebab pemenangnya sudah pasti partai yang berkuasa (Golkar). Sedangkan dua partai lainnya (PDI dan PPP) dipajang sebagai “aksesoris” belaka. Maka, memberikan suara pada pemilu semacam itu jelas percuma saja, sehingga golput menjadi pilihan yang cukup strategis.

Dalam konteks politik Indonesia masa kini golput agaknya memiliki banyak dimensi. Sebagian dari masyarakat Indonesia barangkali masih ada yang memilih golput berdasarkan cara pandang di atas. Apalagi sekarang ini tingkat ketidakpercayaan politik (political distrust) masyarakat terhadap partai politik (parpol) cukup tinggi. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa banyak pula masyarakat yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan bukan karena alasan di atas, tetapi karena alasan-alasan lainnya. Ada yang bersifat teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih atau lainnya, dan ada pula karena sudah jenuh karena banyaknya pilkada.

Implikasi Negatif

Selain itu, pengharaman golput melalui fatwa bukan tidak mungkin akan berimplikasi negatif baik terhadap pengusulnya, yakni Hidayat Nur Wahid maupun MUI itu sendiri. Pertama, Hidayat akan dipandang sebagian kalangan memiliki agenda politik dengan usulannya itu. Meski ia menegaskan alasan usulannya itu sebagai respons terhadap salah seorang tokoh yang menyerukan golput, tetapi karena ia merupakan salah seorang tokoh yang dinominasikan baik sebagai capres maupun cawapres, tentu orang akan menilainya secara berbeda. Sebab jika ika fatwa itu dikeluarkan ia akan mendapatkan keuntungan politik yan besar, terutama dari suara umat Islam.

Kedua, MUI sebagai lembaga agama akan dipandang melakukan tindakan yang tidak etis karena mau diseret-seret ke dalam politik praktis yang sarat kepentingan. Padahal sejak era Orde Baru berakhir lembaga ini telah menyatakan perubahan paradigma baru, terutama dalam hal keindependenan dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, baik pemerintah maupun kelompok lainnya. Tentu saja jika lembaga ini sampai mengeluarkan fatwa pengharaman golput ia akan dipertanyakan kembali keindependenannya, dan salah-salah ia akan kehilangan nya di mata umat.

Oleh karena itu, untuk menekan angka golput sebaiknya tidak perlu menggunakan instrumen keagamaan. Memberikan literasi politik yang cerdas kepada masyarakat justeru jauh lebih elegan. Sebab dengan pemahaman yang lebih baik terhadap politik partisipasi warga dalam pemilu akan meningkat. Dan hal itu dilakukan dengan kesadaran politik yang tinggi. Itulah sejatinya yang harus diupayakan oleh para elite politik di negeri ini.

Selasa, 16 Desember 2008

Pilkada Serentak dan Partisipasi Politik

Dimuat di harian Pikiran Rakyat 16 Desember 2008

Komisi II DPR RI sebagaimana diberitakan harian Pikiran Rakyat (26/11) akan mematangkan rencana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak dan dilakukan maksimal dua kali dalam lima tahun. Tujuannya, selain efisiensi waktu, juga untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat sehingga dapat menekan tingginya angka golongan putih (golput). Sebab, diduga masyarakat sangat jenuh dengan banyaknya pilkada yang pada gilirannya mereka enggan memberikan suaranya pada saat pemilihan.

Argumentasi di atas tampaknya cukup masuk akal. Masyarakat Indonesia dewasa ini memang sangat sering ikut serta dalam pemilihan kepala daerah bahkan lebih dari satu kali pada waktu yang berdekatan. Masyarakat Kota Bandung, misalnya, yang belum lama mengikuti Pemilihan Gubernur Jawa Barat, kemudian sudah harus mengikuti pula Pemilihan Wali Kota Bandung. Tentu situasi seperti ini dialami pula oleh masyarakat lainnya di Indonesia. Bahkan pada sebagian daerah ada yang sampai harus melakukan pilkada putaran kedua seperti Pemilihan Bupati Bogor, dan Garut.

Golput

Akhir-akhir ini ada semacam kekhawatiran dari para elite politik akan meningginya angka golput seperti yang terjadi dalam sejumlah pilkada. Namun, sebenarnya golput bukan merupakan hal yang baru dalam politik Indonesia. Pada masa Orde Baru, misalnya, ketika partisipasi politik lebih bersifat partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation) di bawah rezim yang represif, fenomena golput juga sempat mengemuka. Adalah Arif Budiman, seorang sosiolog yang kini bermukim di Australia, sebagai tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor golput.

Pada masa itu, golput pada umumnya lebih dimaknai sebagai sebuah "perlawanan" terhadap status quo. Para aktivis demokrasi di Indonesia memandang bahwa pemilu-pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tidak lebih sebagai kamuflase belaka, sebab pemenangnya sudah pasti partai yang berkuasa (Golkar). Maka, memberikan suara pada pemilu semacam itu jelas percuma saja, sehingga golput menjadi pilihan yang cukup strategis.

Dalam konteks politik Indonesia masa kini golput agaknya memiliki banyak dimensi. Sebagian dari masyarakat Indonesia barangkali masih ada yang memilih golput berdasarkan cara pandang di atas. Apalagi sekarang ini tingkat ketidakpercayaan politik (political distrust) masyarakat terhadap partai politik (parpol) cukup tinggi. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa banyak pula masyarakat yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan bukan karena alasan tadi, tetapi karena alasan-alasan lainnya. Ada yang bersifat teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, ada pula karena memang sudah jenuh sehingga malas datang ke tempat pemungutan suara.

Oleh karena itu, asumsi bahwa penyelenggaraan pilkada secara serentak akan menekan angka golput atau menaikkan angka partisipasi belum tentu benar. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat partisipasi politik warganya sangat rendah, sekalipun pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak, kecuali pada pemilu kemarin yang dimenangkan Barack Obama. Bahkan, disebutkan bahwa partisipasi politik kali ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pemilu di AS.

Pilkada serentak

Tampaknya perlu ada penyamaan persepsi terhadap pemaknaan pilkada serentak yang akan dimatangkan Komisi II DPR sehingga pelaksanaannya nanti --jika telah disepakati-- tidak akan menimbulkan persoalan. Apakah makna serentak yang dimaksud meliputi pilkada termasuk pileg dan pilpres, atau hanya pilkada saja, ataukah hanya pileg dan pilpres.

Jika AS dijadikan acuan, maka yang dilakukan secara serentak itu hanya pileg dan pilpres. Pada pemilu 4 November, misalnya, rakyat AS memilih wakil rakyat sekaligus juga presiden. Ini karena dalam sistem politik AS rakyat tidak memilih presiden secara langsung, tetapi mereka memilih wakil-wakil partai (delegates) dan mereka inilah yang kemudian memilih presiden. Tentu saja, jika suatu parpol memperoleh lebih banyak delegates, maka calon presiden yang diusungnya akan menang. Itulah yang terjadi pada Barack Obama.

Kalau Indonesia ingin menerapkan model seperti itu, yaitu melakukan pileg dan pilpres secara serentak, mungkin akan menemui kesulitan. Pertama, pilpres di sini dilakukan secara langsung, artinya rakyat langsung memilih presiden sehingga sulit untuk memilih wakil rakyat pada saat yang bersamaan. Kedua, jumlah parpol yang ikut pemilu ada 38 sehingga sulit menerapkan model seperti itu, kecuali Indonesia mengubah sistem pemilunya.

Maka, yang hendak dibidik Komisi II adalah pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati, atau wali kota untuk dilakukan secara serentak. Namun jika ini disepakati akan muncul persoalan, misalnya kapan pilkada serentak harus dimulai? Pertanyan ini sangat penting karena akan terkait dengan kepentingan seorang incumbent. Jika ia misalnya baru menjabat setahun, kemudian tiba-tiba ada keputusan politik bahwa semua daerah harus melakukan pilkada secara serentak, apakah yang bersangkutan akan berlapang dada setelah "pengorbanan" habis-habisan yang telah ia lakukan demi meraih jabatannya itu?

Dengan demikian, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam mematangkan rencana penyelenggaran pilkada secara serentak ini. Memang keinginan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. Namun, seyogianya elite politik di negeri ini tidak hanya terfokus pada masalah regulasi, melainkan ini yang terpenting harus sering berintrospeksi diri atas perilaku-perilaku politik mereka yang selama ini terkesan berada di "dunia tersendiri", sedangkan rakyat berada di dunia lainnya, sehingga rakyat enggan memberikan suaranya pada mereka. Sebaliknya, jika mereka bisa "menyatu" dengan rakyat maka partisipasi rakyat sangat mungkin untuk meningkat. []

Rabu, 03 Desember 2008

Politik Islam dalam Transisi Demokrasi

Abstract
The involvement of political Islam in Indonesia inevitably undeniable in spite of it’s up and down. It was seen since the pre-independence era, Japanese occupation, revolution era, post-independence, liberal democracy, guided democracy, New Order and of course in the current time, so called the reformation era or post-New Order.
The intensity of the involvement of political Islam begun in the Japanese occupation, but it was disappeared in the guided democracy phase because of Soekarno dictatorship. In the New Order era, the Islamic politics was discharged by stigmatization of Islam. Despite of this reality, the Islamist by it’s modernist wings took another way as a new strategy, that is, to be accommodative toward the state. It was called by cultural Islam. As a result, the relation between Islam and state was in intimate situation, and it’s peak happened when ICMI established and headed by BJ Habibie, an Islamic representative.
When the New Order regime thrown away, the political Islamist was in the bitter condition because of it’s close relationship to the that regime. This is in one hand, but in another hand, due to the liberalization of almost aspects of life after reformation, the political Islamist came back to the political stage by bringing a new zeal, the struggle of Islamic politics more clearly (formally). This period was called The revitalization of Islamic politics.
One important thing that must be paid attention carefully and critically is the conflicts between the Islamic umma them selves in their political struggle. The dichotomy between political Islam and cultural Islam or between fundamentalist Islam and modernist Islam often drives the Moslems to fighting each other. Actually this dichotomy today must not be held any more by them because each of this movement has it’s own strength and weakness. So, let them do their best and take their own way and strategy without blaming another. It is not impossible that one day they will meet in one point and make a common platform in Islamic struggle.
Key words
Islam politik, Islam kultural, Islam fundamentalis, Islam modernis, transisi, liberalisasi, demokratisasi, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin.

Pendahuluan
Berbicara tentang politik Indonesia tidak akan dapat dilepaskan dari Islam. Selain sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga mempunyai peran historis yang tidak mungkin bisa diabaikan dalam membentuk dan membangun negeri pancasila ini. Pada masa pra-kemerdekaan umat Islam telah ikut berjuang memanggul senjata dalam rangka mengusir para penjajah. Banyak di antara tokoh-tokoh agama ini tampil sebagai pemimpin, baik dalam peperangan maupun perjuangan diplomasi.
Tetapi intensitas keterlibatan Islam di dalam politik jauh lebih menonjol pada masa penjajahan Jepang. Jepang tampaknya lebih memilih kalangan Islam sebagai patronnya ketimbang kaum priyayi. Ini masuk akal, karena kalangan priyayi pada masa penjajahan Jepang adalah hamba-hamba kompeni Belanda, sedangkan Jepang pada saat yang sama mengusung semangat anti Eropa/kulit putih dengan slogannya Jepang Pemimpin Asia, Pelindung Asia dan Cahaya Asia. Tentu saja, ada maksud politis lain dari pemihakan Jepang tersebut kepada Islam, yaitu agar umat Islam bersedia membantu Jepang mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh asing. Maka, dilatihlah orang-orang Islam, salah satunya tentang kemiliteran demi tujuan tersebut.[1]
Ketika Indonesia telah memasuki masa kemerdekaan, tokoh-tokoh Islam aktif berperan di dalam mempersiapkan perangkat-perangkat dasar untuk negeri yang baru merdeka ini. Mereka terlibat di dalam pembentukan Piagam Jakarta, Undang-Undang Dasar dan sebagainya.[2] Demikian pula pada masa Demokrasi Parlementer tokoh politik Islam tetap tampil. Muhammad Natsir, untuk menyebut salah satu contoh, muncul sebagai Perdana Menteri meski sering tidak berusia lama seiring dengan jatuh bangunnya kabinet saat itu. Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin yang diawali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 politik Islam tidak lagi berperan, akibat ulah Soekarno yang sangat otoriter.[3]
Sampai beberapa waktu kemudian politik Islam sulit untuk tampil ke permukaan. Bahkan ketika memasuki awal-awal orde baru di bawah Presiden Soeharto politik Islam sempat mengalami masa yang sangat pahit. Islamphobia begitu merebak di kalangan elit penguasa orba. Kasus-kasus pemberontakan yang umumnya dilakukan oleh orang-orang Islam, DI/TII di Jawa Barat pimpinan Kartosoewiryo, pemberontakan Kahar Mudzakar di Sulawesi, Pemberontakan Daud Beureh di Aceh dan sebagainya, atau yang lebih belakangan seperti Komando Jihad, dijadikan legitamasi atas kekerasan Islam vis-a-vis negara sehingga para penganut agama ini patut dicurigai.
Namun, pada era 70-an dan 80-an situasi mulai berubah. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, banyak putera-puteri Islam yang mampu sekolah sampai jenjang yang paling tinggi. Maka, lahirlah para sarjana Islam yang mempunyai semangat zaman yang berbeda dengan sebelumnya. Muncul apa yang disebut dengan “kaum modernis” yang membawa pesan bahwa Islam juga sangat mendukung modernisasi dan pembangunan. Tokoh utama kelompok ini adalah Nurcholis Madjid yang giat melakukan pembaruan keagamaan di tanah air.[4]
Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai “Islam kultural” yang mencoba melakukan perjuangan Islam tidak lagi melalui sayap politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh kelompok pendahulunya “Islam politik”. Mereka beranggapan bahwa jika perjuangan Islam sulit dilakukan lewat jalur politik, maka harus ada cara lain untuk menyalurkan perjuangan itu. Dalam kerangka inilah Cak Nur kemudian memunculkan jargon yang sangat terkenal kala itu “Islam Yes, Partai Islam No?”. Selain Cak Nur, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga laik disebut sebagai tokoh Islam kultural yang terkenal dengan gagasannya “pribumisasi Islam”.[5]
Tampaknya gagasan kaum modernis tersebut sejalan dengan rezim orba yang juga tengah menggalakkan modernisasi dan pembangunan. Sejak itu dimulailah era kemesraan antara Islam dan negara. Momentum kemesraan itu puncaknya terjadi pada tahun 90-an, ketika terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Terpilihnya Habibie sebagai Ketua Umum ICMI --seorang yang sangat dekat Soeharto dan beliau juga seorang Muslim taat meski tidak banyak terlibat dalam politik Islam—memperlihatkan simbol kemesraan tersebut. Setelah ICMI terbentuk fenomena, meminjam istilah Syafi’i Anwar, santrinisasi birokrasi atau birokratisasi santri terus menggelinding seoalah-olah tak terbendung.[6]
Namun demikian, keterlibatan politik Islam yang sudah sedemikian intens itu runtuh seiring dengan tumbangnya rezim orde baru pasca kerusuhan Mei 1998. Arus demokratisasi yang sedemikian kencang ternyata tidak dapat dibendung oleh rezim otoriter Indonesia. Apalagi persoalan-persoalan di tanah air yang cenderung memperlihatkan anti-demokrasi sangat menumpuk, sehingga teriakan-teriakan yang menuntut demokrasi, terutama dari kalangan prodemokrasi di tanah air sangat nyaring. Maka, jatuhlah Soeharto, dan mulailah Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi atau disebut juga era reformasi.
Tulisan sederhana ini akan mencoba mengawali dengan kajian yang bersifat teoritis tentang transisi menuju demokrasi yang disponsori oleh negara-negara maju dan demokratis (baca: Amerika Serikat). Kemudian pada bagian selanjutnya akan dikedepankan kasus transisi demokrasi Indonesia, dan bagaimana corak politik Islam di dalamnya setelah ikut terpuruk bersama rezim orba.

Dari Transisi, Liberalisasi, ke Demokratisasi
Pembahasan tentang demokratisasi di negara-negara Dunia Ketiga akan selalu merujuk ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Amerika Serikat yang telah mengukuhkan diri sebagai negara demokrasi berupaya keras untuk melakukan “ekspor” demokrasi ke berbagai negara, yaitu negara-negara berkembang yang dalam pandangan AS tidak demokratis, otoriter, despotik dan sebagainya. Salah satu upaya AS dalan masalah itu terlihat dalam proyek Woodrow Wilson Centre mengenai “Transisi dari Pemerintahan Otoritarian: Prospek-prospek bagi Demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Selatan.”[7]
Yayasan yang nama lengkapnya adalah The Woodrow Wilson Internasional Centre for Scholars itu didirikan dalam rangka menghormati presiden AS yang ke-20, Woodrow Wilson. Ia diingat orang tidak saja karena idealisme dan komitmennya kepada demokrasi, keilmuannya, kepemimpinan politiknya, dan kualitas wawasan internasionalnya, tetapi juga karena sikap-sikap dan tindakan-tindakan intervensionisnya terhadap Amerika Latin dan Karibia.[8] Dari sinilah riset dan penelitian mengenai transisi demokrasi bermula dan arus demokratisasi pun kemudian bergema ke pelbagai penjuru dunia.
Menurut Huntington, di zaman modern ini sejak abad ke-19 telah terjadi tiga gelombang besar demokratisasi yang kemudian mengarah pada transisi menuju demokrasi.[9] Gelombang pertama berlangsung dari tahun 1820 sampai 1926, di mana telah lahir 29 negara demokrasi di dunia. Salah satu ciri gelombang demokrasi ini adalah meluasnya hak pilih perempuan di AS. Namun pada tahun 1922 mulai timbul gelombang balik dengan naiknya Mussolini ke singgasana kekuasaan di Itali. Sejak itu sampai tahun 1942, jumlah negara demokrasi berkurang menjadi 12.
Gelombang kedua demokratisasi puncaknya terjadi pada tahun 1962. Ini ditandai oleh kemenangan tentara sekutu dalam Perang Dunia kedua terutama melawan negara-negara fasis di Jerman, Itali dan Jepang. Ketika itulah 36 negara negara di dunia diperintah secara demokratis. Tetapi perkembangan ini ternyata diikuti oleh gelombang balik kedua yang berlangsung dari tahun 1960 sampai 1975 yang membawa jumlah negara demokrasi kembali ke angka 30. Adapun gelombang ketiga demokratisasi terjadi pada tahun 70-an dan 80-an. Gelombang ketiga inilah yang disebut Huntington sebagai transisi menuju demokrasi. Namun ia sendiri masih bertanya-tanya apakah gelombang ketiga ini akan mengakhiri seluruh rezim non-demokratis sehingga menjadi demokratis semua, ataukah keadaan dunia tetap terbagi antara negara demokratis dan non-demokratis.
Sebelum melangkah lebih jauh ke masalah transisi demokrasi, terlebih dahulu akan dikemukakan arti dari kata “transisi” itu sendiri. Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter mengemukakan bahwa transisi yang dimaksudkan adalah “interval (selang waktu) antara satu rezim politik dan rezim yang lain.”[10] Transisi dibatasi, di satu sisi, oleh dimulainya proses perpecahan sebuah rezim otoritarian, dan di sisin lain, oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi. Bisa pula kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif revolusioner.
Dengan demikian, transisi tidak hanya berlaku bagi suatu rezim otoriter yang ambruk kemudian berubah menjadi rezim yang demokratis. Akan tetapi transisi juga bisa berarti berubah dari suatu rezim otoriter ke bentuk otoriter yang lainnya. Hal ini bisa dimengerti, karena faktor-faktor di berbagai negara yang dijadikan obyek penelitian, yaitu negara-negara di Amerika Latin dan Eropa Selatan, sangat beragam dan tidak sama antar satu dengan yang lain.
Transisi akan berjalan dengan mulus jika berhasil melewati suatu tahapan yang disebut dengan liberalisasi. Yang dimaksud dengan liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak tertentu yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah, yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga.[11] Proses liberalisasi, meskipun terkadang dilakukan secara sporadis dan tidak merata, merupakan suatu permulaan penting dari ditinggalkannya praktek yang biasa dilakukan oleh rezim otoriter.
Jika tahapan liberalisasi telah terlewati dengan baik, maka jalan ke arah demokrasi makin terpampang lebar. Proses ini dinamakan demokratisasi. Hubungan liberalisasi dengan demokratisasi demikian kuat. Bisa digambarkan sebagai berikut: “Tanpa jaminan bagi kebebasan kelompok dan individu yang inheren dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin akan diturunkan derajatnya menjadi sekedar formalisme belaka. Di sisi lain, tanpa pertanggungjawaban terhadap rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga di bawah demokratisasi, liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan dibatalkan demi kepentingan mereka yang duduk di pemerintahan.”[12]

Sejumlah Dilema
Transisi menuju demokrasi yang berlangsung di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Selatan serta merta membawa sejumlah dilema. Di antara dilema yang dapat dikemukakan di sini secara garis besar dibagi ke dalam tiga hal yaitu sebagai berikut :

a. Ketidakpastian
Transisi adalah suatu proses perubahan yang belum bisa dipastikan atau dijamin arahnya kepada yang diinginkan. Dalam konteks transisi menuju demokrasi, sesungguhnya belum ada kepastian apakah perubahan yang terjadi adalah transisi dari pemerintahan otoriter ke denokratis ataukah tidak. Transisi bahkan bisa beralih menuju ke arah yang tidak diinginkan, misalnya kekisruhan dan ketidakteraturan yang justeru mengundang munculnya rezim yang lebih otoriter.

b. Kultur Versus Struktur
Demokrasi yang tumbuh di masa transisi, sebagaimana terlihat di negara-negara dunia ketiga, seringkali justeru menimbulkan instabilitas dan kekacauan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Menurut Charles A. Kupchan, hal itu disebabkan karena negara-negara tersebut tidak memiliki kultur politik, praktek-praktek politik dan lembaga-lembaga yang mendukung semangat liberalisme konstitusional.[13] Tentu saja yang dimaksud liberalisme konstitusional di sini adalah demokrasi. Dengan demikian, pengaruh kultur politik begitu penting untuk pemerintahan demokratis. Secara logika, sulit bagi demokrasi untuk dapat berkembang dengan baik jika kultur politik masyarakat penyangganya tidak ada.
Selain masalah kultur, juga persoalan struktur menjadi dilema tersendiri bagi transisi menuju demokrasi. Misalnya, pada masyarakat di negara-negara otoriter yang dijadikan obyek penelitian O’Donnell dkk, ada dua kelompok yang menjadi hambatan demokratisasi. O’Donnell menyebut kelompok pertama dengan “garis keras” (Duros) dan kelompok kedua “Garis Lunak” (Blandos). Pada prakteknya, kedua kelompok tersebut meskipun dengan cara yang berbeda, sama-sama mendukung rezim otoriter. Persoalan struktur juga dapat dilihat pada istitusi militer, seperti di Chili, untuk menyebut salah satu contoh. Kelompok ini tentu saja menjadi rintangan yang tidak mudah untuk dihadapi demi lajunya transisi ke arah demokrasi.

c. Konflik
Setiap perubahan secara alamiah memunculkan pergeseran yang kadang membawa konlik atau pertentangan antar berbagai komponen, struktur dan gagasan yang ada di masyarakat. Demikianlah yang terjadi pada masyarakat transisi menuju demokrasi di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Selatan. Konflik yang menonjol di antaranya adalah antara ide ekonomi bebas dan ekonomi terkendali.
Negara-negara Barat dan Amerika Serikat dikenal sebagai negara kapitalis yang sangat menekankan ekonomi bebas (demokrasi ekonomi). Maka ketika mereka melakukan ekspor demokrasi dengan sendirinya ide ekonomi bebas pun dibawa serta. Bagi mereka, ada hubungan yang sangat erat antara demokrasi di satu pihak dengan ekonomi bebas di pihak yang lain. Tentu saja hal ini menyebabkan konflik yang tak terelakkan dengan ekonomi terkendali yang umumnya berlaku di negara-negara obyek tersebut.

Kasus Indonesia
Arus demokratisasi yang sedemikian besar itu tampaknya tidak bisa dibendung lagi oleh negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang mengawali kejatuhan suatu rezim otoriter, seperti People Power di Filipina tahun 1986 yang menjatuhkan rezim Marcos, demontrasi mahasiswa dan pembantaian di Cina tahun 1989, runtuhnya komunisme di Uni Sovyet (sekarang Rusia) dan di Eropa Timur tahun 1989 yang memperlihatkan bahwa sesuatu yang hampir mustahil terjadi ternyata terjadi, dan demostrasi prodemokrasi dan pembunuhan di Thailand tahun 1992 adalah sejumlah faktor eksternal yang memberikan andil atau inspirasi bagi kalangan prodemokrasi di Indonesia dalam melakukan aksi-aksi untuk menumbangkan rezim totaliter-otoritarian Orde Baru.[14]
Ini bukan berarti mengabaikan faktor-faktor internal yang menyebabkan keinginan untuk hidup berdemokrasi terus bergelora di negeri ini. Setidaknya ada berbagai faktor di dalam negeri yang dapat diindikasikan sebagai bibit-bibit keretakan sebelum revolusi 12 Mei, bahkan mungkin beberapa tahun sebelum itu. Semakin eksisnya kelompok pengusaha Cina yang sangat lengket dengan keluarga Soeharto, anak-anak Soeharto sendiri yang semakin bernafsu untuk berbisnis, kasus Timor Timur, Hak Azasi Manusia, seperti penculikan sejumlah aktivis, pembungkaman hak berpendapat seperti kasus pembredelan tiga media massa, Tempo, Editor dan Detik, dan kelompok Islam yang semakin naik ke dalam struktur birokrasi orde baru melalui ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) yang berdiri pada Desember 1990, tak diragukan lagi merupakan momen-momen dalam negeri yang memancing kalangan prodemokrasi untuk turun menyuarakan aspirasi rakyat agar pemerintah mau membuka kran demokratisasi, dan kalau tidak, mesti ditumbangkan.
Di antara faktor-faktor tersebut ada satu hal yang sangat menarik untuk dianalisis, yaitu bagaimana keterlibatan ICMI di dalam birokrasi negara yang kemudian menimbulkan pertentangan, baik di kalangan umat sendiri maupun dengan kalangan lain. Ada sementara pihak yang menganggap bahwa berdirinya ICMI adalah sebagai bentuk kompensasi Soeharto dari konfliknya dengan kalangan militer. Konflik Soeharto dengan kalangan militer yang paling menonjol ke permukaan adalah ketika pemilihan Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden RI. Soeharto tampaknya merasa difait accompli oleh kaum bersenjata itu, karena pencalonan Sutrisno tanpa melalui konsultasi terlebih dahulu dengan dirinya sebagai Panglima Tertinggi ABRI (saat ini TNI). Peristiwa ini disinyalir bahwa terdapat sejumlah kalangan militer yang mulai tidak loyal kepada Soeharto. Dalam konteks inilah Soeharto memerlukan kalangan lain untuk semakin memperkuat basis legitimasinya, dan itu diperolehnya dari umat Islam melalui ICMI. Tidak heran kalau kemudian yang menjadi Ketua Umum ICMI adalah BJ Habibie, pembantu presiden yang paling dekat dan merupakan anak didik politiknya.[15]
Terlepas dari benar atau tidaknya analisis di atas, ICMI pada masa-masa selanjutnya tampaknya cenderung mengarah kepada politik praktis. Beberapa posisi menteri banyak yang diisi oleh orang-orang ICMI (baca: orang-orang lingkaran dekat Habibie) sehingga ada istilah “ijo royo-royo”, Faisal Tandjung naik menjadi Panglima ABRI, padahal sebenarnya bukan jatah dia, jabatan eselon I dan II di banyak Departemen dan BUMN juga banyak diisi oleh orang-orang ICMI. Tentu saja fenomena tersebut semakin memperkuat kecenderungan politik praktis tersebut, meski ada pembelaan dari kalangan dalam ICMI bahwa orang yang terjun ke dalam politik praktis bersifat pribadi, tidak membawa bendera organisasi. Orang semacam Gus Dur yang sejak awal tidak setuju dengan berdirinya ICMI, karena dianggapnya sebagai kecenderungan politik aliran dan ekslusifisme, dipastikan menolak tegas pembelaan itu.
Saya kira, kecenderungan politik praktis yang semakin kental dilakukan ICMI apalagi setelah Habibie menjadi Wapres pada gilirannya menimbulkan kecemburuan dan bahkan ancaman yang sangat menakutkan bagi kelompok-kelompok lain, baik di kalangan dalam pemerintahan, militer, legislatif dan organisasi-organisasi non-Islam di Indonesia. Maka, bukan tidak mungkin jatuhnya rezim orba yang diawali dengan krisis ekonomi adalah karena “kecemburuan” kelompok-kelompok tersebut terhadap kedekatan ICMI dengan Soeharto yang seakan tak terbendung. Dengan logika seperti ini, krisis ekonomi sesungguhnya adalah ciptaan atau rekayasa sebagai alat untuk menggulingkan Soeharto, sehingga kalangan dekatnya pun ikut ambruk. Itulah sekarang yang dialami ICMI pasca tumbangnya Soeharto, hilang dari peredaran seolah tak berbekas.

Revitalisasi Politik Islam
Telah disinggung di atas bahwa jatuhnya rezim orba serta merta menjadikan kalangan ICMI terpuruk dari panggung politik nasional. Namun mesti diingat bahwa keterpurukan ICMI tidak menyebabkan politik Islam atau kalangan Islam politik surut, justeru sebaliknya semangat mereka untuk tampil kembali di pentas semakin kuat. Pasalnya, kalangan ICMI yang sudah sedemikian rapat dengan birokrasi orba itu sebenarnya adalah mereka yang berasal dari kelompok Islam kultural minus Gus Dur.
Jadi, tumbangnya rezim otoriter memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kalangan Islam politik untuk kembali memperjuangkan Islam melalui jalur politik. Tidak heran kalau kemudian banyak partai didirikan dengan berasaskan kepada Islam –sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada zaman orba karena kebijakan asas tunggal pancasila- seperti Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Daulat Ummah, bahkan Partai Persatuan Pembangunan selain kembali kepada asas Islam juga mengganti kembali lambang partai mereka, Ka’bah, yang pada masa orba harus diganti dengan bintang.
Kecenderungan seperti di atas tak pelak lagi dianggap banyak kalangan sebagai bentuk revitalisasi politik Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa kenyataan ini menunjukkan mengentalnya kembali kembali politik aliran.[16] Buktinya, tuntutan untuk dicantumkannya kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta muncul kembali ke permukaan. Kenyataan ini sebenarnya wajar-wajar saja, sebab setelah kurang lebih 30 tahun politik Islam tidak mendapat tempat di hati para elit politik orba, akhirnya mereka menemukan momentumnya pada era reformasi. Sebaliknya, Islam kultural untuk sementara atau seterusnya? mendapat giliran untuk hilang dari permukaan. Itulah uniknya Islam sejak masa orba, selalu ada pertentangan atau mungkin dibuat bertentangan antara kalangan Islam politik dan Islam kultural. Tetapi, tepatkah sebenarnya momen ini untuk revitalisasi politik Islam.
Bagi saya, revitalisasi politik Islam itu harus disikapi secara kritis, bukan hanya sekadar eforia semata. Sebab, ia muncul dari sebuah lompatan demokrasi atau dari demokrasi yang terjadi secara tiba-tiba. Karenanya, tidak ada persiapan untuk menuju tahapan demokrasi. Ini terjadi pada keseluruhan proses transisi menuju demokrasi di Indonesia. Salah satu kelemahan demokrasi seperti ini adalah tidak tertatanya budaya demokrasi secara baik. Begitu tuntutan untuk segera memasuki periode demokrasi tercapai, tetapi budaya demokrasi belum tumbuh, sulit dibayangkan demokratisasi berlangsung normal. Budaya kalah menang, misalnya, sangatlah sulit dipegang oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu terjadi pada politik Islam. Ketika Gus Dur dikritik bertubi-tubi oleh DPR sampai kemudian jatuh, para pendukung fanatiknya mangancam akan membuat keributan. Demikian halnya para pendukung Golkar dengan mudah mengancam akan menggoyang pemerintahan Megawati kalau PDIP menyetujui pembentukan Pansus Buloggate II.

Agenda Politik Islam
Pada masa mendatang, dalam konteks hubungan Islam dan negara kalangan politik Islam hendaknya berhati-hati dan kritis. Kasus ICMI harus menjadi pelajaran yang cukup berharga bagi masa depan politik Islam. Ketergantungan yang luar biasa terhadap elit kekuasaan jangan sampai terjadi lagi. Bagaimanapun, hubungan yang sangat mesra antara Islam di satu pihak dan negara di pihak lain berlangsung dalam situasi negara yang sangat korup, anti demokrasi dan sebagainya. Karenanya begitu Islam masuk, ia sesungguhnya telah terperangkap dalam labirin kekuasaan. Dalam keadaan seperti ini, mana mungkin mereka bisa bersikap kritis terhadap berbagai anomali kekuasaan, alih-alih mereka termasuk ke dalam anomali tersebut.
Selanjutnya menurut saya, kalangan Islam tidak perlu lagi mempersoalkan atau mempertentangkan Islam politik dan Islam kultural. Pertentangan yang cukup sengit antara kedua kelompok ini pada masa orba sungguh kontra produktif terhadap perjuangan Islam itu sendiri, dan membuat energi mereka terbuang secara sia-sia. Biarkanlah masing-masing kelompok berjuang menurut strateginya sendiri-sendiri, bahkan seharusnya saling menopang satu dengan yang lain. Ini juga berlaku bagi kalangan Islam fundamentalis yang selalu didikotomisasikan dengan Islam modernis.[17] Kelompok pertama sering diidentikkan dengan berwatak rigid, cenderung menggunakan kekerasan, sedangkan kelompok kedua sebaliknya, bersikap moderat dan akomodatif. Sesungguhnya dikotomisasi semacam itu tidak perlu lagi dipegang, sebab justeru akan terjebak pada pengkotak-kotakan umat. Masing-masing kelompok sebenarnya mempunyai kelebihan dan kekurangan yang seyogiayanya bisa saling mengisi satu dengan yang lain, bukan saling membenci dan mencurigai seperti selama ini.

Penutup
Keterlibatan politik Islam di Indonesia tidak dapat diragukan lagi kebenarannya meski mengalami pasang surut. Itu terlihat sejak zaman pra-kemerdekaan, pendudukan Jepang, masa revolusi, pasca-kemerdekaan, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru dan sekarang orde reformasi.
Intensitas keterlibatan politik Islam mulai terjadi pada masa pendudukan Jepang, tetapi kemudian hilang pada zaman demokrasi terpimpin seiring dengan kediktatoran Soekarno. Pada masa orde baru kalangan politik Islam tersingkir atau disingkirkan melalui stigmaisasi Islam. Tetapi kaum Islam, melalui kelompok modernis melakukan strategi lain untuk mencoba bersifat akomodatif terhadap negara. Inilah yang disebut Islam kultural. Sejak saat itu hubungan Islam dan negara sangat mesra, dan puncaknya terjadi ketika ICMI dibentuk dengan Habibie sebagai Ketua Umumnya.
Ketika rezim Soeharto tumbang kelompok Islam ini ikut terpuruk. Tetapi, di sisi lain karena situasi sosial politik yang sudah sangat bebas, kalangan Islam politik muncul kembali ke permukaan dengan semangat perjuangan politik Islam. Masa inilah yang sering disebut revitalisasi politik Islam atau politik aliran. Hal ini sebenarnya wajar saja karena sekian lama mereka tertekan oleh kebijakan pemerintah yang represif.
Yang perlu disikapi secara kritis adalah konflik-konflik yang acap terjadi di kalangan umat Islam sendiri di dalam perjuangan politiknya. Dikotomi yang hitam putih antara Islam politik dan Islam kultural atau antara Islam fundamentalis dan Islam modernis tidak perlu lagi dipegang, sebab masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Biarlah mereka berjalan sesuai strateginya sendiri-sendiri tanpa harus saling menjelekkan. Bukan tidak mungkin di antara mereka akan ketemu sebuah platform perjuangan bersama walaupun jalannya berbeda.






DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986
Ali, Fachry, “Revitalisasi Politik Aliran” dalam Transisi Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: LSAF, 1999
Anwar, M. Syafi’i, Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru: Studi Tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim Orde Baru 1988-1999, Tesis Master, Universitas Indonesia, 1994.
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1982, Cet. Kedua.
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesiam, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Effendy, Bahtiar, Repolitisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan, 2000
Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, Cet. Kedua.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dan Politik Islam Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina, 1999.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Pers, 1987
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Jakarta: LP3ES, 1993.
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Amerika latin, Jakarta: LP3ES, 1993
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: LP3ES, 1993
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, Cet. Kedua.
[1] Tentang pembahasan politik Islam di bawah penjajahan Jepang secara panjang lebar lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985, Cet. Kedua.
[2] Keterlibatan para tokoh politik Islam dalam perdebatan mengenai dasar negara, misalnya, diulas secara mendetail oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985
[3] Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Lihat juga Deliar Noer, “Demokrasi Terpimpin 1957-1965”, dalam Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Pers, 1987
[4] Ulasan lengkap tentang masalah ini dapat dibaca dalam buku Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Pemikiran Islam:Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1982. Sebagai perbandingan lihat B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985.
[5] Mengenai pembagian Islam menjadi politik dan kultural tampaknya ada juga dari kalangan Islam yang tidak menyetujuinya secara tegas. Bahtiar Effendy, misalnya, mengatakan bahwa Islam kultural sesungguhnya adalah kegiatan politik dalam langgam dan irama yang lain. Lihat, Bahtiar Effendy, Islam Kultural, Islam Politik, dalam Repolitisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik, Bandung: Mizan, 2000, hal. 191
[6] Lihat M. Syafi’i Anwar, Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru: Studi Tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim Orde Baru 1988-1999, Tesis Master Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1994.
[7] Lihat Kata Pengantar Abraham F. lowenthal, dalam Transisi Menuju Demokrsi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Guillermo O’Donnell dan Philip C. Schmitter, Jakarta: LP3ES, 1993.
[8] Ibid.
[9] Lihat Samuel P. Huutington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, Cet. Kedua, hal. 16-27
[10] Lihat Kata Pengantar Abraham F. Lowental, op. cit., hal. 6
[11] Ibid. hal 7
[12] Ibid. hal.10
[13] Charles A. Kupchan, Democracy First, makalah
[14] Tentang pengaruh-pengaruh eksternal arus demokratisasi di Indonesia, lihat Anders Uhlim, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, Cet. Kedua, hal. 188-190
[15] Analisis semacam ini dibantah tegas oleh Bahtiar Effendy dalam disertasi doktornya, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. Bagi Bahtiar alasan tersebut terlalu sederhana atau mungkin malah naif, sebab Soeharto sebenarnya tidak perlu mencari legitimasi lagi, kalau sekedar untuk mempertahankan kekuasaan. Ia lebih setuju untuk menilai bahwa fenomena ICMI sesungguhnya merupakan konsekwensi logis dari arus hubungan Islam dan negara yang semakin mesra dan saling akomodatif. Pernyataan-pernyataan senada bisa juga dibaca dalam tesis Syafi’i Anwar, salah seorang juru bicara dan aktivis ICMI, berjudul Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru: Studi Pemikiran dan Perilaku Cendekiawan Muslim Orde Baru 1988-1999, Universitas Indonesia, 1994. Adapun mengenai analisis yang menampilkan ICMI sebagai suatu organisasi yang cukup menyimpan potensi konflik, lihat Adam Schwarz, Bangsa Yang Sedang Menungguh (Nation in Waiting). Dalam analisis yang merupakan hasil wawancaranya dengan sejumlah tokoh baik yang pro maupun kontra ICMI, Schwarz menyimpulkan bahwa ICMI terdiri dari tiga kelompok. Pertama, birokrat dan teknolog, yaitu orang-orang yang berada di lingkaran dekat Habibie. Kedua, pemikir Islam moderat seperti Nurcholis Madjid, Emil Salim,dan Sutjipto Rahardjo. Ketiga, kelompok Islam modern yang sedang mencari penyaluran politik, seperti Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas dan Dawam Rahardjo. Masing-masing kelompok tersebut mempunyai agenda yang berlainan, bahkan bertentangan satu dengan yang lain, sehingga rentan terhadap konflik.
[16] Lihat tulisan Fachry Ali, Revitalisasi Politik Aliran, dalam Indonesia Dalam Ttansisi Menuju Demokrasi, Jakarta: LSAF, 1999, hal. 121.
[17] Pembahasan lengkap tentang fundamentalisme dan modernisme di dalam politik Islam bisa dibaca dalam buku yang berasal dari disertasi doktor, Yusril Ihja Mahendra, Modernisme dan Fundametalisme dalam Politik Islam Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina, 1999