Kamis, 22 September 2011

mengkritisi Konsistensi Presiden SBY (Suara Karya, 15 Juni 2011)

“Saya memperkenalkan diri. Nama saya Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan saya, Presiden hasil Pemilu 2004-2009. Saya bukan capres 2014. Istri dan anak-anak saya juga tidak akan mencalonkan diri. Biarkan rakyat dan demokrasi yang bicara 2014 mendatang. Setiap orang memiliki hak dan peluang untuk running ke RI 1...”

Inilah salah satu petikan dari pidato Presiden SBY yang disampaikan saat membuka Indonesia Young Leaders Forum di Hotel Ritz-Carlton Jakarta pada hari Kamis, 9/6 yang lalu. Ucapan SBY tersebut segera mendapatkan respons publik, khususnya yang terkait dengan penekanannya bahwa ia, anak dan istrinya tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014.

Pertanyaannya adalah benarkah SBY tidak sedang mempersiapkan keluarganya, terutama istrinya untuk maju pada pilpres 2014? Bahkan tidak hanya anak dan istri, SBY pun menegaskan tidak sedang mempersiakan siapapun di kalangan Partai Demokrat untuk menjadi capres?



Strategi Pencitraan

Bagi kalangan yang berpandangan optimis, apa yang disampaikan SBY tersebut dipandang sebagai langkah yang positif dari seorang tokoh politik (negarawan). Bahwa SBY sedang memainkan peran keteladanan politik sebagai seorang yang berkomitmen terhadap demokrasi. SBY agaknya tidak mau terperosok ke dalam anomali-anomali demokrasi yang justru kian menonjol di era reformasi ini, antara lain adalah politik dinasti.

Pada tataran internal Demokrat sendiri, ucapan SBY yang disampaikan secara lugas tersebut bisa dianggap sebagai komitmennya untuk memberikan peluang yang sama kepada setiap kader Demokrat. Bahwa siapapun kader partai yang berlambang bintang ini sepanjang memenuhi kualifikasi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia dapat menjadi capres pada 2014. Dari segi momentum, agaknya juga tepat karena sekarang ini Demokrat tengah dilanda kemelut internal akibat kasus yang melibatkan Nazaruddin yang boleh jadi memiliki muara pada pemilu mendatang.

Namun, bagi kalangan yang berpandangan pesimis, penegasan SBY di atas tidak serta merta dianggap sebagai sebuah janji yang akan ditepatinya. Setidaknya ada sejumlah alasan yang mendukung pendapat ini. Pertama, ucapan SBY tersebut sesungguhnya masih memiliki makna ganda karena kalimatnya bersayap. Memang ia menegaskan bahwa anak dan istrinya tidak akan mencalonkan diri, tetapi di kalimat berikutnya ada ungkapan, “biarkan rakyat dan demokrasi yang bicara...” Tentu kalimat ini sah saja kalau ditafsirkan bahwa seandainya rakyat menghendaki keluarga (istri)nya menjadi capres, maka kalimat sebelumnya bisa ternegasikan.

Kedua, dari perspektif waktu, kalimat “saat ini ia tidak sedang mempersiapkan...” dapat pula ditafsirkan secara berbeda dengan apa yang ditegakan SBY. Saat ini, artinya tahun 2011, boleh jadi SBY memang tidak sedang mempersiapkan capres, tapi bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya, sebab masih ada jarak sekitar dua tahun lebih ke waktu pemilu. Tidak ada jaminan bahwa di dalam interval waktu tersebut Ketua Dewan Pembina Demokrat tidak mempersiapkan kadernya untuk menjadi penerusnya. Logika politik tampaknya sulit menerimanya apalagi Demokrat merupakan partai penguasa.

Ketiga, bukan tidak mungkin bahwa ucapan SBY tersebut semata-mata sebagai testing the water untuk melihat reaksi publik khususnya terhadap pencalonan Ani Yudhoyono sebagai capres. Pada waktunya nanti, jika ternyata reaksi publik tidak begitu keras terhadap istrinya, tidak mustahil akan ada perubahan sikap dari SBY. Di dalam dunia politik tidak ada sesuatu yang konstans; selalu ada dinamika yang kerap menawarkan berbagai kemungkinan.

Keempat, SBY agaknya sudah terlanjur lekat dengan pencitraan. Karenanya apapun yang dilakukannya, kerap dianggap sebagai bentuk dari politik pencitraan, termasuk ucapannya di atas. Kenyataannya adalah bahwa sekarang ini Demokrat mengalami kemerosotan yang cukup signifikan seperti yang diperlihatkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini. Penyebab utamanya adalah terkuaknya kasus Nazaruddin.

Sebagai Ketua Dewan Pembina tentu SBY juga akan terkena imbas politik dari menurunnya kepercayaan publik terhadap partai yang didirikannya. Apalagi SBY juga dipandang ikut andil dalam penurunan citra partai tersebut, karena sikap kurang tegasnya kepada kader-kader Demokrat yang bermasalah, padahal ia selalu berjanji berada di garis depan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Oleh karena itu, janji SBY untuk tidak mencalonkan anak dan istrinya, boleh jadi sekadar strategi menaikkan kembali citra Demokrat.

Sebagai publik tentu kita patut menunggu bagaimanakah komitmen SBY terhadap janjinya tersebut. Apakah akan ada konsistensi ataukah ini cuma sekadar janji yang hanya manis pada tataran verbal.

Tidak ada komentar: