Rabu, 05 Maret 2014

Pengawasan Dana Kampanye (Suara Pembaruan, Rabu 5 Maret 2014)

Dua belas partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014 telah menyerahkan laporan dana awal kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada hari Minggu (02/03) kemarin. Nilai total dari keseluruhan dana yang akan digunakan parpol-parpol dalam kampanye pemilu mulai 16 Maret adalah 1,973 triliun rupiah. Pada laporan tahap kedua ini, KPU meminta semua parpol untuk menyerahkan tiga dokumen terkait dana kampanye. Ketiga dokumen tersebut adalah Laporan Penerimaan Sumbangan Periode II, Laporan Pembukaan Rekening Khusus Dana Kampanye dan Laporan Dana Awal Kampanye. Selanjutnya KPU bertanggung jawab untuk memverifikasi semua dokumen tersebut. Partisipasi Publik Nilai angka keseluruhan dana kampanye yang hampir menyentuh dua triliun rupiah dengan variasi antara 36,3 miliar hingga 306,5 miliar yang dilaporkan parpol jelas merupakan jumlah yang sangat besar bagi hajatan politik seperti kampanye. Jumlah tersebut tentu saja harus benar-benar diawasi dari mulai asal penerimaannya sampai pada penggunaannya nanti pada saat kampanye pemilu. Memang sudah ada lembaga formal yang bertugas untuk mengawasi kampanye pemilu termasuk penggunaan dana di dalamnya, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Akan tetapi pada praktiknya pengawasan tersebut tidak cukup hanya dilakukan oleh lembaga formal saja, melainkan juga oleh berbagai pihak yang berkepentingan agar kampanye pemilu berjalan sesuai aturan. Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa partisipasi publik dalam melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye merupakan hal yang sangat diperlukan. Semakin banyak publik melakukan pengawasan jelas akan mengurangi potensi-potensi pelanggaran kampanye, karena para pelaku kampanye tentu merasa banyak yang mengawasi. Ada beberapa aspek penting yang dapat diawasi secara ketat oleh publik terkait dana kampanye pemilu tersebut. Pertama, terkait aspek pembelanjaan dana kampanye. Aspek ini tentu dapat diukur, misalnya, apakah sesuai dana yang diterima sebuah parpol dengan yang dibelanjakan saat kampanye. Tentu akan mencurigakan jika sebuah parpol memeroleh dana sedikit tetapi pada saat kampanye pengeluaraanya ternyata sangat berlebihan. Apalagi jika kita melihat pada regulasi kampanye seperti Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2013 penekanannya lebih banyak pada aspek penerimaan dana kampanye, seperti pembatasan sumbangan baik dari perorangan maupun perusahaan, daripada aspek pembelanjaannya. Hal ini jelas membuat parpol-parpol lebih leluasa dalam membelanjakan dana kampanye tanpa terlalu mengkhawatirkan keharusan pelaporannya. Di sinilah pentingnya pengawasan terhadap pembelanjaan dana kampanye. Kedua, pengawasan oleh publik juga dapat diarahkan pada aspek profil pemberi dana kampanye. Dalam konteks ini, publik harus berani memeriksa secara lebih mendalam siapa sebenarnya orang yang memberikan dana tersebut. Apakah ia, misalnya, pantas menyumbangkan uang satu miliar sebagai batas maksimal pemberian dana untuk perorangan jika dikaitkan dengan pekerjaannya. Bukan tidak mungkin terjadi bahwa nama pemberi dana kampanye bukanlah nama yang sebenarnya, melainkan dipinjam oleh orang tertentu yang memiliki dana berlimpah. Misalnya, seseorang yang memiliki miliaran uang menyumbangkan dana lebih dari batas maksimal tetapi menyiasatinya dengan memecah sumbangannya tersebut dengan sejumlah nama yang berbeda dengan cara meminjam kartu pengenal yang bersangkutan. Tentu saja pelanggaran seperti ini tidak akan terungkap jika tidak diawasi secara ketat termasuk oleh publik. Jika kemudian publik banyak menemukan pelanggaran-pelanggaran kampanye, khususnya terkait pembelanjaan dana kampanye, sebaiknya publik tidak segan-segan untuk mendeklarasikannya melalui berbagai forum dan saluran komunikasi seperti media massa, baik cetak, elektronik maupun online. Pendeklarasian ini selain akan membuat pelaku kampanye merasa malu, juga dapat dijadikan pintu bagi penyelidikan oleh pihak berwenang. Kendala Partisipasi publik dalam pengawasan dana kampanye jelas merupakan sesuatu yang sangat penting. Namun tentu bukan hal yang mudah untuk membuat publik bersedia berpartisipasi dalam proses pengawasan tersebut. Setidaknya, ada dua kendala dalam konteks ini. Pertama, terkait dengan kesadaran publik agar proses-proses kampanye berjalan dengan baik dan sesuai atuaran. Jika kampanye termasuk hal-hal yang terkait dengan dananya sebagai pintu masuk menuju pemilu berjalan dengan baik, tentu hasil yang diperoleh juga baik. Untuk sampai pada hal tersebut, salah satu syaratnya adalah adanya pengawasan terhadap proses-proses kampanye tersebut. Masalahnya adalah tidak semua prang memiliki kesadaran untuk melakukan pengawasan. Mungkin saja sebagian dari mereka bersikap pesimis dan beranggapan bahwa apa yang dilakukannya tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Atau mungkin juga sebagian orang merasa tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan pengawasan dan berbagai alasan lainnya. Kedua, sangat mungkin publik yang akan melakukan pengawasan terhadap pembelanjaan dana kampanye berbenturan dengan keengganan parpol-parpol untuk bersikap terbuka. Dengan kata lain, parpol boleh jadi akan berusaha untuk mempersulit berbagai upaya yang dilakukan pihak lain untuk melakukan pengawasan misalnya dengan menutup akses informasi dan sebagainya. Namun sebenarnya sikap semacam itu dapat diatasi oleh publik dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Komisi Informasi Publik (KIP) yang mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk bersikap transparan. Persoalannya tidak semua orang mau bersusah payah untuk berhadapan dengan sikap parpol yang cenderung tidak bersahabat dalam hal tersebut. Namun, terlepas dari dua kendala di atas pengawasan publik terhadap penggunaan dana kampanye merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Artinya, apapun problem yang menghadang sudah saatnya publik turut terlibat dalam pengawasan dana kampanye sehingga potensi-potensi pelanggaran penggunaan dana kampanya dapat ditekan sedemikian rupa. Publik juga seyogianya menyadari bahwa semakin sering mereka terlibat dalam proses pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye, semakin besar peran mereka dalam menekan setiap upaya penyimpangan. Dengan kata lain, semakin besar pula peran mereka dalam perbaikan proses-proses politik di negeri ini.

Selasa, 04 Maret 2014

Soliditas (Semu) PDIP, Koran Sindo, 4 Maret 2014

Kasus Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma), yang telah menjadi pemberitaan nasional secara besar-besaran belakangan ini tampaknya mengusik Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, untuk segera turun tangan. Pasalnya pemberitaan yang cenderung memperlihatkan adanya riak-riak internal di lingkaran partai kepala banteng tersebut disinyalir banyak merugikan PDIP yang notabene partai pengusung Risma. Pemberitaan tersebut terutama berkaitan dengan rencana pengunduran Risma dari jabatannya. Hal ini antara lain dipicu oleh pengangkatan Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota untuk mendampingi Risma sebagai pengganti Bambang DH yang mundur karena mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jatim. Proses pengangkatan tersebut dipandang Risma sebagai tidak prosedural karena tidak melibatkan dirinya sama sekali. Sejak saat itulah kasus Risma kemudian bergulir bak bola liar sehingga menjadi pemberitaan besar-besaran. Risma yang dipandang sebagai wali kota yang banyak menorehkan prestasi gemilang di kota pahlawan itu menjelma menjadi sosok yang diharapkan publik Indonesia sebagai calon pemimpin di masa depan. Kini Risma, seperti halnya Jokowi dulu yang hanya berkutat di daerah, telah berhasil naik ke panggung politik nasional. Tidak heran kalau kemudian kasus Risma terus menggelinding tanpa dapat dihentikan. Risma pun berubah menjadi komoditas politik yang diperebutkan oleh partai-partai politik untuk dipasangkan dengan calon-calon mereka. Realitas ini jelas sangat merugikan PDIP karena kalau sampai Risma berhasil ditarik partai lain, PDIP lah yang paling dirugikan karena suaranya akan terbelah. Soliditas (Semu) Dalam situasi yang semakin tidak menguntungkan PDIP itulah Mega kemudian turun tangan. Bersama dengan sejumlah elite partai dan juga Gubernur DKI, Joko Widodo (Jokowi), Mega bertandang ke Surabaya. Dalam pertemuan dengan Risma Mega meminta sang wali kota untuk mengurungkan niatnya mengundurkan diri dan tetap tegar melanjutkan kepemimpinannya di Surabaya tanpa harus memikirkan yang lain-lain di luar itu. Sebagai sebuah langkah dalam mengelola konflik (conflict management) apa yang dilakukan Mega di atas memang untuk sementara dapat meredam riak-riak internal di PDIP. Setidaknya, para elite partai tersebut bersepakat untuk segera mengakhiri kekisurahan yang terjadi khususnya terkait pengangkatan Wisnu sebagai pendamping Risma. Pada saat yang sama mereka mengharapkan agar semua kalangan di internal partai untuk lebih memfokuskan diri pada upaya konsolidasi partai guna menghadapi Pemilu 2014. Namun, menurut hemat penulis, kalau dicermati secara lebih mendalam, langkah Mega tersebut tidak serta merta akan membuat soliditas PDIP terutama di Surabaya akan dengan mudah terbangun kembali. Secara permukaan mungkin saja tidak terlihat riak seperti yang terlihat, tetapi bukan tidak mungkin di balik itu masih tersimpan bibit konflik yang tidak mudah dipadamkan begitu saja atau dalam waktu yang singkat. Membaca kasus Risma tidak bisa hanya dimulai dari masalah pengangkatan Wisnu sebagai wakilnya, tetapi harus membacanya secara utuh dari proses-proses politik sebelumnya. Selama menjabat sebagai Wali Kota Surabaya Risma sudah sering mendapatkan tekanan-tekanan politik yang celakanya datang dari orang-orang partai pengusungnya termasuk Wisnu sendiri. Kasus yang paling terkenal adalah saat Risma menolak dengan tegas rencana pembangunan jalan tol di tengah Kota Surabaya dengan anggaran trilyunan rupiah. Risma yang tidak tergiur dengan iming-iming uang melimpah jika ia menyetujui rencana tersebut, lebih memilih untuk bersikukuh mempertahankan kota Surabaya seperti sekarang. Sikap tegas Risma inilah yang kemudian membuatnya kerap berseberangan dengan kalangan DPRD di mana Wisnu merupakan wakil ketuanya. Selain masalah pembangunan jalan tol, banyak pula kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan Risma dan kemudian ditentang oleh kalangan DPRD Surabaya sehingga Risma semakin merasa tertekan. Puncaknya saat Wisnu yang notabene orang sesama PDIP yang kerap menentangnya diangkat menjadi wakilnya. Tentu saja keengganan Risma untuk didampingi Wisnu bukan semata-mata masalah prosedural, tetapi jelas karena riwayat konflik antar keduanya. Oleh karena itu, menilik riwayat konflik antar Risma-Wisnu selama ini tidak akan mudah bagi keduanya, terutama bagi Risma untuk menghilangkan kesejangan psikologis dalam memimpin Kota Surabaya ke depan. Bukan tidak mungkin Risma masih merasa curiga bahwa pengangkatan Wisnu dilakukan dalam rangka membuat dirinya tidak leluasa lagi melakukan kebijakan-kebijakan seperti sebelumnya karena Wisnu mungkin saja akan berusaha merecokinya. Dalam hal ini, seharusnya Mega pada saat pertemuan kemarin tidak hanya meminta Risma untuk membatalkan rencana pengunduran diri dan terus melanjutkan pekerjaannya. Tetapi yang justeru lebih penting adalah meminta Wisnu untuk mendukung sepenuhnya program-program yang telah dan akan dilakukan Risma. Termasuk dalam hal hubungan Risma dengan DPRD, Wisnu seharusnya diminta untuk mampu “mengendalikan” DPRD Surabaya. Namun sayangnya Mega agaknya lebih melihat Risma sebagai fokus dari kekisruhan yang menimpa Kota Surabaya belakangan ini. Sehingga Mega kemudian lebih banyak memberikan perintah pada Risma, tetapi tidak pada Wisnu. Padahal jelas yang membuat Risma tertekan adalah ulah orang-orang PDIP yang notabene “anak-anak” Mega sendiri. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bahwa ke depan akan terjadi kembali gesekan-gesekan antara Risma-Wisnu dalam memimpin Kota Surabaya. Apalagi, seperti yang dikatakan Komisi II bahwa kemelut di Kota Surabaya sepenuhnya diserahkan pada kewenagan daerah untuk menanganinya. Ini berarti bahwa orang-orang daerah, dalam hal ini kalangan DPRD Surabaya akan lebih leluasa mengatasinya, termasuk dalam menghadapi Risma. Jika ini yang terjadi, maka soliditas yang diperlihatkan PDIP dengan kedatangan Mega di Surabaya boleh jadi hanyalah soliditas semu belaka