Kamis, 22 September 2011

Reshuffle Kabinet, Mutlak (Suara Karya 22 September 2011)

Isu perombakan kabinet (reshuffle) kini kembali muncul setelah sempat timbul dan tenggelam selama beberapa waktu. Desakan publik kali ini tampaknya sangat deras pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono untuk mengevaluasi jajaran kabinetnya. Namun setiap kali isu perombakan kabinet ini mengemuka pertanyaan senada hampir selalu mengiringi: akankah SBY mengganti menteri-menterinya yang sudah tidak layak lagi dipertahankan?



Tak Bisa Ditawar

Menurut hemat penulis, perombakan kabinet oleh SBY untuk saat ini sudah sangat urgen untuk dilakukan. Ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk melakukan perombakan tersebut. Pertama, dari segi momentum jelas hal tersebut sangat tepat. Waktu dua tahun perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu II sudah cukup untuk dijadikan dasar penilaian oleh SBY terhadap kinerja para pembantunya tersebut. Oleh karena itu, kalau momentum ini tidak digunakan dengan baik, tentu akan berdampak buruk bagi pemerintahan SBY.

Kedua, efektivitas Pemerintahan SBY-Boediono tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak kementerian yang ternyata tidak dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan yang ditentukan. Dalam konteks ini, penilaian UKP4 merupakan acuan yang sangat jelas. Sejumlah kementerian yang mendapatkan raport merah tentu tidak bisa ditolerensi terus menerus. Justeru kalau SBY tidak menggunakan laporan tersebut, publik akan menilai bahwa SBY tidak konsisten terhadap fungsi lembaga yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto tersebut.

Ketiga, tingkat kepuasan publik terhadap Pemerintahan SBY-Boediono terus menerus mengalami penurunan. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 5 – 10 September kemarin memperlihatkan dengan jelas angka penurunan tersebut. Publik hanya memberikan angka 37,7 persen, sebuah angka yang jelas sangat tidak aman bagi suatu pemerintahan. Pada Januari 2010 atau tepat 100 hari masa pemerintahan angka kepuasan yang diperoleh masih sebesar 52,3 persen. Lalu pada pada saat usia pemerintahan mencapai satu tahun, angka kepuasan turun menjadi 46, 5 persen. Maka, dengan perolehan angka kepuasan sekarang yang hanya 37,7 persen, berarti telah terjadi penurunan sebesar 15 persen selama kurun waktu dua tahun.

Keempat, beberapa kasus baik yang tersangkut dengan korupsi maupun masalah pribadi para menteri KIB II tentu telah “menggoyahkan” perjalanan pemerintahan ini. Kasus suap di Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang ikut menyeret Menpora Andi Mallarangeng dan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang menyeret Menakertrans Muhaimain Iskandar jelas sangat mencoreng pemerintahan sehingga publik makin kehilangan kepercayaan.

Sementara itu kasus yang bersifat pribadi seperti isu perselingkuhan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, Menteri ESDM Darwin Saleh dan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monarfa, sekalipun telah dibantah, tentu kian memperparah rendahnya kredibilitas pemerintahan ini. Cacat moral dalam dunia politik –meski di negeri ini masih belum dijadikan faktor yang bisa mendegradasikan seorang politisi—tentu tidak seharusnya didiamkan begitu saja.



Komprehensif

Beberapa indikator di atas jelas tidak dapat diabaikan oleh SBY jika ingin pemerintahan yang dipimpinnya mendapatkan respons positif dari publik. Hanya saja dalam melakukan perombakan kabinet sebaiknya SBY juga melakukannya secara komprehensif, tidak setengah-setengah. Dalam hal ini, penilaian berbasis kinerja harus diutamakan, setelah itu baru faktor yang menjadi penunjangnya.

Yang dimaksud komprehensif bisa dijabarkan setidaknya dalam dua hal. Pertama, ketika SBY ingin mengganti seorang menteri, misalnya, sebaiknya ia jangan hanya terfokus pada menterinya saja melainkan juga birokrasi yang dipimpinnya, mampukah pembantunya itu menjadi seorang leader untuk kementeriannya. Bisa jadi secara personalitas ia tidak terlihat memiliki “cacat”, namun ternyata birokrasi yang dipimpinnya bisa dimasukkan ke dalam kategori bobrok. Kasus Kemendiknas yang mendapatkan penilaian disclaimer oleh BPK bisa dijadikan contoh.

Kedua, SBY sebaiknya juga tidak hanya terfokus pada kedua kementerian yang mendapatkan sorotan publik yang sangat luas dan gencar terkait dengan kasus korupsi seperti Kemenpora dan Kemenakertrans. Namun, ia harus melihatnya secara keseluruhan karena bukan rahasia lagi kementerian negara di republik kerap dijadikan “sapi perahan” oleh menteri yang dipimpinnya terutama jika yang bersangkutan berasal dari kalangan parpol.

Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa SBY sudah tidak bisa menunda lagi untuk melakukan perombakan kabinet demi menjaga efektivitas pemerintahannya. Kalau masalah ini mengalami lagi penundaan seperti sebelumnya, maka bukan tidak mungkin tingkat kepuasan publik akan semakin terjun bebas. Jika itu terjadi, maka tentu bukan lagi merupakan “lampu kuning”, melainkan akan menjadi “lonceng kematian”.

Tidak ada komentar: