Kamis, 22 September 2011

Patung dan Komunikasi Simbolik

Kasus pengrusakan beberapa patung pewayangan di Kabupaten Purwakarta oleh sejumlah elemen santri selepas acara pengajian beberapa waktu lalu sungguh memprihatinkan. Patung-patung yang sesungguhnya memiliki nilai historis, kultural bahkan religius tersebut diluluhlantakkan tanpa dapat dicegah.
Tentu saja perilaku anarkis tersebut kian memperpanjang deretan tragedi anarkisme di republik ini. Lebih celaka ini perilaku brutal ini dibalut dengan motif keagamaan; seolah mereka tengah memerankan atau menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim yang menghancurkan patung-patung yang dijadikan sesembahan kaumnya.

Komunikasi Simbolik
Perilaku manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari dunia simbolik. Dalam ilmu komunikasi ada satu pendekatan yang menjelaskan masalah tersebut secara gamblang, yaitu teori interaksionisme simbolik dengan tokoh utamanya George Herbert Mead dalam karyanya Mind, Self and Society (1934). Teori ini menjelaskan bahwa manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia (Richard West & Lynn Turner, 2007).
Salah satu tema besar dalam teori interaksionisme simbolik adalah pentingnya bahwa bagi perilaku manusia. Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat instrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara manusia-manusia untuk menciptakan makna. Oleh karena itu, pemaknaan merupakan sebuah proses yang sangat penting. Dengan kata lain, sesemanusia atau sekelompok manusia bertindak atau berperilaku karena ada proses pemaknaan yang diberikannya melalui interaksinya dengan manusia lain.
Dari perspektif ini dapat dijelaskan bahwa perilaku anarkis sejumlah oknum santri di Purwakarta karena ada proses pemaknaan yang terjalin dalam interaksi mereka terutama dengan dai yang memberikan pengajian. Mereka tampaknya memaknai patung-patung tersebut sebagai berhala yang disembah-sembah atau dijadikan Tuhan. Ini agaknya mereka kaitkan dengan zaman paganisme masa para nabi terdahulu di mana umumnya berhala sesembahannya berbentuk patung.
Dengan pemaknaan seperti itu, tidaklah aneh kalau para pelaku tidak merasa bersalah dengan tindakan brutalnya tersebut. Alih-alih mereka seolah-olah sedang melakukan perjuangan suci (baca: jihad fi sabilillah) demi menyelamatkan umat dari bahaya akidah. Menurut ajaran Islam yang mereka pahami, patung-patung itu bisa menuntun manusia pada kemusyrikan, sebuah dosa yang tak terampuni dalam Islam. Itulah pula ungkapan yang kerap dilontarkan, untuk tidak mengatakan diprovokasi, oleh sang dai.
Dunia simbolik memang tidak akan bisa terlepas dari kehidupan manusia selama masih ada proses interaksi. Namun, yang mengkhawatirkan adalah ketika manusia terjebak dalam simbolisme yang rigid. Akibatnya, mereka akan cenderung melihat penampilan luar dari sesuatu dan pada saat yang sama mengabaikan esensinya. Tindakan brutal sejumlah oknum santri tersebut jelas dipengaruhi banyak oleh cara berpikir seperti itu. Mereka melihat patung dari sisi luarnya saja, yakni sebuah benda mati yang di masa lalu pernah dijadikan objek penyembahan atau dijadikan Tuhan. Dalam pikiran mereka bukan tidak mungkin dalam dunia sekarang akan diperlakukan sama.
Padahal kalau mau berpikir kritis, pada masa kini justeru “penuhanan” yang dilakukan manusia terjadi pada objek-objek impian gaya hidup hedonistik mereka: uang, jabatan dan sebagainya. Uanglah sekarang yang mampu mengatur manusia modern, bukan sebaliknya; segala macam hal dalam kehidupan manusia masa kini hampir semuanya bisa dibeli dengan uang. Pendek kata, uang adalah “tuhan” yang justeru jauh lebih berbahaya daripada patung-patung bisu dan jauh lebih kencang menyeret manusia ke dalam lembah kemusyrikan.

Religiusitas Terpasung
Ketika komunikasi manusia terjerembab dalam kerangkeng simbolisme, terutama dikaitkan dengan aspek religiusitas, maka esensi religiusitas menjadi hampa tanpa makna. Perilaku keagamaan hanya bergerak formal-seremonial tanpa menyentuh wilayah terdalam, yakni kehidupan batiniah manusia. Religiusitas hanya dilihat dari bagaimana hubungan formal manusia dengan Tuhan dalam rutinitas ritual yang kerap hanya dianggap sebagai kewajiban belaka ketimbang kebutuhan.
Padahal esensi dari religiusitas yang sesungguhnya adalah munculnya kesadaran kemanusiaan pada setiap manusia yang dapat menuntun mereka untuk lebih mendekatkan diri bukan hanya dengan Tuhan, melainkan juga dengan sesama manusia dan alam semesta. Manusia yang memiliki esensi religiusitas semacam ini sesungguhnya bisa menjadikan benda apapun sebagai sarana untuk semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhan.
Itulah kenapa manusia dengan tingkat religiusitas yang tinggi justeru menjadikan patung Semar sebagai sarana untuk semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhan. Pada diri Semar justeru banyak teladan yang sejatinya harus diikuti oleh manusia di dalam kehidupannya: tentang kebersahayaan hidup, kritik dengan selera humor tinggi, kerendahhatian dan sebagainya. Tidak aneh kalau Sunan Kalidjogo alih-alih melarang justeru menjadikan wayang sebagai sarana dakwah.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Dosen UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: