Rabu, 29 Desember 2010

Menyoal RUU Pemilukada

Dimuat di Suara Karya Rabu 15 Desember 2010

Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pemilukada) yang telah dibuat pemerintah dan akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar gubernur dipilih oleh DPRD. Dengan kata lain, gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat seperti yang selama ini berlangsung sejak zaman reformasi.
Usulan agar pemilihan gubernur dikembalikan lagi ke tangan legislatif sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa waktu yang lalu mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, juga pernah menyuarakan hal yang sama. Ia menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung dalam derajat tertentu sering menimbulkan polarisasi di tubuh nahdliyin, sesuatu yang sangat mengkhawatirkan bagi masa depan ormas Islam terbesar di republik ini.
Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah begitu bergeming untuk terus menggolkan usulannya tersebut meskipun banyak suara dari sejumlah kalangan yang menolaknya? Tidakkah ini akan dianggap sebagai langkah mundur (setback) dalam perjalanan demokrasi di negeri ini?
Ada beberapa alasan yang diajukan pemerintah mengenai usulan pemilihan gubernur oleh DPRD. Pertama, menghemat biaya politik dan sosial yang tinggi. Memang suatu kenyataan yang sulit dimungkiri bahwa biaya politik dalam sebuah pemilukada sangat besar. Biaya sosialisasi, kampanye dan sebagainya yang harus dikeluarkan para kandidat tidaklah sedikit. Tidak jarang ditemukan bahwa seorang kandidat harus berutang sana-sini demi menutup biaya tersebut.
Belum lagi kalau harus menghadapi sengketa hasil pemilukada di Mahkamah Kontitusi (MK). Bagi yang berada jauh dari Jakarta, tentu para kandidat yang harus bertanggungjawab untuk membiayai segala macam kebutuhan termasuk akomodasi bagi tim suksesnya. Tidak heran kalau kemudian para kandidat harus merogoh kocek milyaran rupiah demi keperluan tersebut.
Dalam konteks ini, peluang untuk terjadinya politik uang (money politic) sangat besar. Berbagai kasus money politic yang melibatkan sejumlah kandidat kepala daerah ternyata seringkali ditemukan. Bahkan ada di antara mereka yang pada akhirnya harus berurusan dengan pengadilan.
Kedua, secara peraturan ketatanegaraan khususnya tentang otonomi daerah, kedudukan gubernur sebetulnya adalah wakil dari pemerintah pusat, sehingga kewenangannya sebenarnya terbatas. Ini berbeda dengan status bupati dan walikota yang memang memiliki kewenangan dan kekuasaan riil, sebab merekalah sebenarnya yang berhubungan langsung dengan rakyat. Maka, dilihat dari perspektif ini, jika pemilihan gubernur dilakukan kembali oleh DPRD tidak akan memunculkan persoalan substansial.

Pemilukada Serentak
Alasan yang diajukan pemerintah terkait RUU Pemilukada di atas memang cukup logis. Masalahnya adalah apakah rancangan itu merupakan satu-satunya alternatif atau alternatif yang paling menguntungkan di tengah berbagai problem yang diwariskan oleh sejumlah pemilihan kepala daerah langsung.
Menurut hemat penulis, sebenarnya ada satu alternatif yang lebih tepat untuk mengatasi persoalan ini, seperti yang pernah dikemukan Priyo Budi Santoso, salah seorang elite Golkar, yakni mengadakan pemilukada serentak. Kalau pemilukada diselenggarakan secara serentak, maka biaya politik dan sosialnya tentu akan jauh lebih berkurang. Rakyat juga tidak akan dihinggapi oleh rasa kejenuhan perhelatan politik yang bisa berakibat pada menjamurnya angka golongan putih (golput).
Dan yang paling terpenting, pemerintah tidak akan dicap sebagai pihak yang begitu mudah membuat aturan, mengubahnya atau menggantinya dengan sesuka hati. Dengan kata lain, pemerintah akan terhindar dari cap tidak konsisten atas apa yang telah dilakukannya.
Tentu pemilukada serentak memiliki problem juga, namun tidak sebanyak kalau pemilukada dilakukan sendiri-sendiri. Pertama, penentuan kapan dimulainya pemilukada serentak. Ini bisa menjadi masalah karena penyelenggaraan pemilukada selama ini dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda. Maka, ketika pemerintah misalnya menetapkan waktu pemilukada, boleh jadi ada kepala daerah yang baru saja terpilih, atau baru satu tahun, atau sudah hampir selesai. Bagi yang baru terpilih, bersediakah ia ikut lagi dalam pemilukada serentak padahal ia telah menghabiskan biaya yang begitu banyak.
Dalam situasi seperti ini kebesaran hati dan kelapangan dada yang bersangkutan sangat diperlukan. Kalau berpikir demi kepentingan negara dan bangsa, dan seharusnya seorang politisi berpikir begitu, tentu ia akan menerima keputusan tersebut dengan ikhlas.
Kedua, terkait banyaknya partai politik. Pemilukada serentak akan lebih efektif kalau tidak melibatkan begitu banyak partai politik. Namun dengan kecenderungan penyederhanaan jumlah partai politik yang sedang terjadi sekarang, antara lain dengan pengetatan pendirian parpol dan rencana menaikkan PT di tingkat parlemen, maka ini menjadi pertanda yang positif untuk pemilukada serentak.
Berdasarkan pemikiran di atas, akan lebih baik kalau pemerintah lebih memprioritaskan penyelenggaraan pemilukada serentak daripada mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD.

Rabu, 01 Desember 2010

Penyatuan Paket UU Politik

Dimuat di Harian Jurnal Nasional (Kamis 02 Desember 2010)

Belakangan ini ada usulan agar dilakukan penyatuan (kodifikasi) paket undang-undang (UU) politik yang tengah dalam masa pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penyatuan itu meliputi UU Pemilihan Legislatif, UU Pemilihan Presiden dan UU Pemilihan Kepala Daerah. Usulan tersebut tampaknya didasari oleh keinginan supaya proses pembahasan UU tersebut bersifat sistemik dan menyatu.
Usulan tersebut menarik untuk dicermati dengan mempertimbangkan pada beberapa hal. Pertama, penyatuan paket undang-undang politik memberikan peluang yang sangat besar untuk melakukan sinkronisasi terhadap beberapa poin penting dari paket tersebut. Sebagaimana sering terungkap ke publik ada sejumlah materi yang bertumpang tindih antara satu UU dengan UU lainnya.
Salah satu contoh materi yang tumpang tindih tersebut antara lain masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 soal DPT untuk untuk pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), misalnya, disebutkan datanya menggunakan DPT pemilu terakhir. Namun dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 disebutkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menggunakan data dari pemerintah. Hal seperti ini pada gilirannya akan menimbulkan masalah misalnya dalam kaitannya dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4).
Demikian pula dengan masalah kewenangan regulator. Menurut UU Nomr 32 Tahun 2004, pelaksana pemilukada adalah daerah itu sendiri. Sementara menurut UU Nomor 22 Tahun 2007, pelaksana pemilihan adalah KPU. Maka, dengan penyatuan pembahasan paket UU politik, potensi ketumpangtindihan terminimalisasi dan sebaliknya akan memberikan gambaran atau design yang utuh tentang arah dari perundang-undangan tersebut.
Kedua, penyatuan paket UU politik dalam derajat tertentu mampu meminimalisasi potensi konflik yang timbul karena adanya persoalan-persoalan dari UU. Misalnya, banyak sekali konflik yang terjadi sebagai buntut dari pemilukada yang diakibatkan oleh ketidakjelasan atau ketiadaan sinkronisasi antara satu UU dengan UU lainnya. Perseteruan yang melibatkan KPU dan Kemendagri dalam sejumlah pemilukada beberapa waktu yang lalu merupakan contoh yang jelas.

Kendala
Namun demikian, meskipun usulan penyatuan paket UU politik di atas merupakan konsep yang cukup bagus dan dapat memberikan pengaruh yang positif, kendala untuk penerapannya bukan berarti tidak ada. Setidaknya ada dua kendala yang berpotensi menghalangi proses tersebut.
Pertama, dari segi waktu, pengguliran ide tersebut agaknya terlalu sempit sehingga pada Pemilu 2014 gagasan untuk menyatukan paket UU politik tersebut kecil kemungkinan bisa diterapkan. Masalahnya adalah sejumlah RUU sekarang ini sedang dibahas di lembaga legislatif atau dengan kata lain, sudah setengah jalan bahkan ada yang sudah hampir rampung seperti RUU perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Kecuali kalau para anggota legislatif dan pemerintah bersedia melakukan pembahasan paket UU itu secara maraton dan tanpa jeda. Namun agaknya hal itu merupakan sesuatu yang sulit diharapkan melihat kinerja mereka selama ini.
Kedua, kecenderungan politik transaksional di dalam praktik politik Indonesia dewasa ini memiliki potensi untuk menghambat proses penyatuan tersebut. Artinya, dalam melakukan pembahasan paket UU politik, para elit politik khususnya yang berada di lembaga legislatif lebih banyak menggunakan faktor untung-rugi bagi kepentingan politiknya. Mereka akan mendukung dengan berbagai cara dan mati-matian suatu program (UU) apabila menguntungkan partainya dan begitu pula sebaliknya akan menolak habis-habisan bila merugikannya.

Komitmen Bersama
Tercapainya terobosan gagasan itu tentu memerlukan komitmen bersama yang kuat baik dari pihak legislatif maupun eksekutif. Komitmen yang dimaksud dalam hal ini tentu saja adalah kehendak untuk bersama-sama mendahulukan kepentingan nasional dan negara daripada kepentingan kelompok (partai politik). Penyatuan paket UU politik jelas merupakan kepentingan nasional, karenanya semua pihak harus berkomitmen untuk mendukungnya.
Sayangnya justeru di sinilah kita kerap menemukan kecenderungan yang sebaliknya. Dalam berbagai kasus kita hampir selalu disuguhi oleh demikian telanjangnya keinginan para anggota legislatif yang hanya mengedepankan kepentingan partainya. Contoh yang paling jelas adalah sikap ngotot sejumlah fraksi di DPR, kecuali Fraksi Partai Demokrat (PD) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) untuk tetap memasukkan kader partai dalam lembaga penyelenggara pemilu.
Berbagai argumentasi yang dimunculkan oleh fraksi-fraksi tersebut kian memperlihatkan dengan terang betapa cara berpikir mereka masih sangat sempit. Kesuksesan Pemilu 1999 di mana anggota KPU berasal dari kader partai politik didengung-dengungkan sedemikian rupa sebagai justifikasi atas argumentasi mereka seraya menutup mata terhadap persoalan pelik ketika itu di mana tidak ada satu pun parpol yang mau menandatangani hasil pemilu sampai Presiden BJ Habibie kemudian turun tangan untuk menyelesaikan masalah.
Maka, tidak ada cara lain bagi para elit politik baik di legisaltif maupun eksekutif untuk mengenyahkan semua kepentingan sempit kelompoknya dan mengutamakan kepentingan negara dan bangsa yang jauh lebih besar jika ingin proses politik ini berjalan lancar.

Selasa, 30 November 2010

Urgensi Perombakan Kabinet

Dimuat di Harian Sinar Harapan, Selasa 30 Nopember 2010

Pada bulan Oktober lalu ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono genap berusia setahun tuntutan dari berbagai kalangan agar SBY melakukan perombakan kabinet (reshuffle) demikian kencang. Belakangan ketika berbagai persoalan muncul mendera republik ini dari mulai masalah bencana seperti banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai dan letusan Merapi Yogyakarta sampai gonjang-ganjing kasus hukum yang melibatkan Gayus Tambunan isu reshuffle tersebut perlahan-lahan menghilang.
Namun sebagai publik seyogiayanya kita tidak terlena oleh kecenderungan tersebut. Sebaliknya, berbagai persoalan yang sangat memprihatinkan itu seharusnya dijadikan batu pijakan untuk kian keras menyuarakan perlunya perombakan kabinet. Hal ini karena bencana yang menimpa negeri ini dalam derajat tertentu tidak terlepas dari ketidakmampuan para pemimpin, dalam hal ini menteri-menteri terkait dalam mengelola negeri ini melalui kementeriannya masing-masing.

Ketegasan
Apa yang diperlukan SBY sekarang ini adalah ketegasan dalam mengambil sikap untuk melakukan perombakan kabinet. Apalagi dasar pijakannya sudah jelas, selain kontrak politik berbasis kinerja yang telah disepakati antara SBY dan para menterinya, juga laporan dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalia Pembangunan (UKP4) yang beberapa waktu lalu memberikan rapor merah terhadap sejumlah kementerian.
Oleh karena itu, SBY tidak perlu lagi merasa takut dan ragu-ragu untuk mengambil tindakan tegas sekalipun harus “mengorbankan” koalisi politik pendukungnya yang di DPR tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Jika memang ada menteri yang berasal dari koalisi tersebut tetapi dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka sudah seharusnya SBY menggantinya dengan orang lain.
Dalam hal ini, SBY tidak perlu memaksakan menteri-menterinya yang memang tidak layak naik kelas untuk dinaikkan kelasnya. Kalaupun dipaksakan, maka justeru akan membebani SBY sendiri. Di pihak lain, para elite partai koalisi juga suda menegaskan bahwa masalah pergantian menteri merupakan hak prerogratif presiden sehingga mereka tidak akan mencampurinya, sehingga SBY seolah telah mendapatkan garansi politik.

Zaken kabinet
Perombakan kabinet yang mesti dilakukan SBY untuk memasuki tahun kedua pemerintahannya hendaknya diarahkan pada terbentuknya zaken kabinet. Zaken kabinet merupakan kabinet yang diisi oleh kalangan profesional atau yang ahli di bidangnya. Dengan demikian, penempatan seseorang dalam suatu jabatan kementerian didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tersebut tanpa dilihat latar belakang politiknya.
Model pemerintahan dengan zaken kabinet ini sangat penting bagi pemerintahan SBY mengingat sejumlah hal. Pertama, tantangan riil pemerintahan dalam berbagai bidang di masa-masa yang akan datang akan semakin pelik. Dalam persoalan penegakan hukum, misalnya, SBY harus menempatkan orang yang betul-betul ahli di bidangnya. Menkumham sekarang, yang dipilih SBY lebih sebagai politik balas budi, tampak gamang dalam menghadapi berbagai kasus hukum sehingga acap menimbulkan kontroversi. Kebijakannya untuk memberikan remisi terhadap Syaukani sebagai nara pidana koruptor dengan alasan kemanusian karena sakit jelas sangat diskriminatif. Hal seperti ini tentu menjadi kontraproduktif terhadap citra pemerintahan SBY yang sedari awal sudah mencanangkan perang terhadap korupsi. Demikian pula di bidang lainnya seperti masalah TKI yang sesungguhnya merupakan isu klasik, pelepasan saham perdana PT Krakatau Steel Tbk yang kisruh dan lain sebagainya tentu memerlukan penanganan seorang yang ahli.
Kedua, loyalitas para menteri yang berasal dari kalangan profesional tentu akan lebih kuat daripada para menteri yang berasal dari kalangan parpol. Bagaimanapun, menteri yang berasal dari sebuah parpol tidak akan terlepas dari dualisme loyalitas, antara ke partainya dan negara sehingga kinerjanya tidak maksimal. Kabinet pelangi yang dibentuk SBY di masa pemerintahan pertamanya memperlihatkan betapa menteri-menteri yang berasal dari parpol seringkali mengutamakan kepentingan partainya Ini akan terlihat lebih jelas di masa-masa akhir pemerintahan atau ketika pemilu sudah dekat waktunya. Mereka biasanya sibuk dengan berbagai program kampanye demi membesarkan partainya sehingga tugas-tugasnya sebagai menteri kerap terabaikan.
Model zaken kabinet bukan berarti tidak ada kelemahan apalagi dalam pemerintahan seperti Indonesia yang sekalipun menganut presidensialisme akan tetapi nuansanya adalah parlementarisme antara lain dengan adanya sistem multipartai. Dalam konteks ini menteri-menteri yang murni berasal dari jalur profesional jarang mendapatkan dukungan kuat dari partai politik. Sehingga dalam kasus tertentu mereka tidak berdaya ketika misalnya harus mengeluarkan sebuah kebijakan yang memerlukan dukungan politik.
Dalam konteks ini, SBY sebenarnya boleh saja mengakomodasi kader-kader parpol sepanjang dilakukan dalam koredor profesionalisme. Apalagi di kalangan partai-partai politik banyak juga terdapat kader-kader yang profesional di bidangnya masing-masing. Namun SBY harus berani meminta kepada mereka untuk melepaskan baju partainya manakala ditunjuk sebagai menteri.
Berbagai masalah kini sudah menumpuk di depan mata yang memerlukan penanganan segera. Maka, perombakan kabinet betul-betul sudah urgen untuk segera dilakukan SBY.

Ketika Perahu Mulai Retak

Dimuat di Harian Tribun Jabar, Senin 29 Nopember 2010

Konstelasi politik nasional yang terpampang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini mempertontonkan kegaduhan politik yang cukup ramai. Koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY-Boediono) yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) agaknya mencari jalan sendiri-sendiri, terutama antara Partai Demokrat dan Partai Golkar. Realitas ini kemudian mencuatkan pertanyaan di benak publik apakah perahu koalisi itu sudah mulai retak sehingga tidak mampu lagi berlayar dengan baik.
Tanda-tanda keretakan tersebut mulai terlihat ketika Demokrat dan Golkar saling melemparkan pernyataan panas yang bernada saling mengancam. Juru Bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, misalnya, mengatakan bahwa bahwa SBY dalam melakukan perombakan (reshuffle) kabinet bisa saja menggantikan menteri-menteri dari Golkar dengan kader PDIP. Pernyataan itu kemudian dibalas oleh salah seorang petinggi Golkar, Priyo Budi Santoso, bahwa Golkar tidak akan peduli dengan langkah tersebut asalkan Demokrat siap menanggung resikonya.
Dua pernyataan yang saling mengancam tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sebaliknya terus berlanjut sampai pada masalah pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua partai besar berseberangan dalam penentuan antara Busyro Muqaddas dan Bambang Widjoyanto dan akhirnya pilihan Demokratlah yang menang. Puncaknya terjadi dalam penentuan ketua KPK di mana Golkar begitu ngotot untuk menggunakan voting.
Pertentangan keras antara dua partai besar di dalam koalisi pendukung pemerintahan SBY dengan sangat gamblang memperlihatkan betapa Setgab sebagai corong koalisi tidak mampu menyatukan suara. Ini pulalah yang kemudian mempertegas kenyataan bahwa memang koalisi sedang menapaki jalan keretakan.

Barter Politik
Pertentangan keras Demokrat dan Golkar sebenarnya sudah mulai terasa dari dua kasus besar yang menghebohkan negeri ini, yaitu kasus penawaran perdana saham PT Krakatau Steel Tbk dan kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, mantan pegawai dinas perpajakan. Yang pertama menghebohkan karena ada dugaan bahwa rendahnya harga saham perusahaan plat merah itu karena adanya permintaan sebagian politisi dari partai-partai tertentu. Sedangkan yang kedua karena ada dugaan pengemplangan pajak oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki salah seorang ketua partai politik.
Pada kasus pertama Golkar begitu bersemangat untuk mendorong pengungkapan masalah keterlibatan politisi dalam pembelian saham Krakatau Steel yang disinyalir berasal dari partai pendukung pemerintah. Demokrat kemudian membalasnya dengan meminta kejaksaan untuk mengungkap keterlibatan perusahaan-perusahaan yang diduga mengemplang pajak yang notabene milik grup Bakrie. Inilah agaknya yang terus memicu pertentangan kedua partai besar di koalisi pemerintahan SBY.
Dari sini terlihat bahwa masing-masing pihak memiliki kartu truf yang bisa dijadikan senjata politik yang kuat. Dalam situasi seperti ini kecenderungan untuk dilakukan barter politik sangat tinggi. Dalam hal perombakan kabinet, misalnya, Golkar tentu akan menjadikan kartu tersebut sebagai tameng untuk tetap mendapatkan jatah menteri bagi kader-kadernya. Sebaliknya Demokrat juga akan menggunakan kartunya untuk menekan Golkar agar tidak lagi bersuara kritis terhadap pemerintahan SBY seperti yang belakangan ini diperlihatkan mereka.

Dramaturgi
Boleh jadi perang pernyataan yang diperlihatkan para elite Demokrat dan Golkar sesungguhnya hanya merupakan dramaturgi belaka. Menurut Erving Goffman (1959) yang mengintroduksi teori dramaturgi, kehidupan layaknya sebuah teater yang memiliki panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah ruang publik atau tempat perjumpaan yang digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk mempresentasikan diri mereka. Sedangkan panggung belakang merupakan ruang privat yang tidak diketahui orang lain, tempat di mana seseorang atau sekelompok orang leluasa menampilkan wajah asli mereka.
Dalam konteks ini pernyataan-pernyataan keras yang dikeluarkan Ruhut Sitompul dan kemudian dibalas Priyo Budi Santoso sangat mungkin sekadar presentasi diri mereka di panggung depan. Mereka seolah-olah bertikai di depan publik untuk memperlihatkan bagaimana mereka memperjuangkan nilai-nilai politiknya padahal apa yang terjadi di panggung belakang menunjukkan hal yang sebaliknya.
Realitas ini diperkuat oleh pertemuan antara Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Deokrat dan Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar belakangan ini. Meskipun keduanya menyangkal membicarakan masalah-masalah politik yang kini sedang ramai diperbincangkan, namun sulit dimungkiri bahwa hal tersebut tidak dijadikan agenda, bahkan boleh jadi itulah topik utamanya.
Dengan demikian, betapapun di depan publik Demokrat dan Golkar bertikai tetapi di panggung belakang diam-diam mereka membuat deal-deal politik. Dalam situasi seperti ini, perahu koalisi barangkali tidak akan cepat retak, betapun rapuhnya ikatan yang mempersatukan mereka.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Rabu, 24 November 2010

Penuntasan Paket UU Politik

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat Kamis 25 Oktober 2010

Pembahasan paket undang-undang politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai saat ini masih berjalan tertatih-tatih sementara batas akhir penyelesaian tinggal sebentar lagi. Ada enam RUU yang dikategorikan sebagai paket undang-undang politik, yaitu RUU perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, RUU perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, RUU perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, RUU perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPRD, RUU perubahan atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres, dan RUU tentang Pemilu Kepala Daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) telah bersepakat bahwa masa persiapan pemilu yang ideal adalah 2,5 tahun. Dengan demikian, kalau Pemilu 2014 akan diselenggarakan pada April 2014, maka akan jatuh pada bulan September 2011. Oleh karena itu, pembahasan paket undang-undang politik tersebut seharusnya sudah selesai selambat-lambatanya pada bulan Oktober 2011.
Dengan waktu yang kurang dari setahun apakah lembaga legislatif kita mampu menuntaskan tugas tersebut? Ada banyak suara dari sejumlah kalangan yang menyiratkan kepesimisan akan pencapaian target itu. Penilaian ini sulit ditolak jika melihat kinerja DPR yang memang lamban terutama dalam hal legislasi. Dari keenam paket undang-undang politik tersebut yang relatif lancar hanyalah RUU tentang partai politik.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ada beberapa langkah yang harus dilakukan DPR jika ingin pembahasan paket undang-undang politik tersebut sesuai dengan target. Pertama, DPR hendaknya mengurangi masa reses. Salah satu caranya adalah mengkaji ulang bahkan bila perlu melakukan moratorium kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri yang biasa dilakukan di masa reses. Sebagaimana diketahui masa reses anggota DPR biasanya berlangsung satu bulan dan sampai saat ini mereka telah melakukan lima kali reses. Jadi, kalau dihitung dari sejak pelantikan pada Oktober 2009, diperkirakan masa reses yang telah digunakan berkisar antara 3,5 sampai 4 bulan. Selain itu, masa reses juga bisa digunakan untuk menambah hari legislasi. Dua hari legislasi yang telah ditetapkan, yakni Rabu dan Kamis agaknya masih belum berjalan efektif.
Kedua, DPR tidak perlu merasa sungkan untuk bekerjasama dan berbagi dengan pemerintah. Apalagi dari keenam RUU tersebut ada dua yang merupakan inisiasi pemerintah, yaitu tentang pemilihan presiden dan wapres dan pemilihan kepala daerah. Berbeda dengan DPR, pemerintah dalam hal ini lebih diuntungkan karena relatif bebas dari beragam kepentingan partai politik, sehingga bisa lebih fokus dalam membuat undang-undang.
Ketiga, yang terpenting adalah bahwa para anggota legsialatif hendaknya mengedepankan komitmen bersama untuk menyukseskan pemilu yang merupakan hajatan nasional. Kepentingan negara mesti didahulukan daripada kepentingan partai. Berlarut-larutnya pembahasan misalnya tentang undang-undang penyelenggara pemilu memperlihatkan betapa mereka masih “tersandera” oleh kepentingan partai. Usulan agar penyelenggara pemilu boleh dimasuki orang partai jelas mengindikasikan hal tersebut.
Para anggota legislatif membangun argumentasi kengototannya itu dengan melihat Pemilu 1999 sebagai justifikasi mereka ketika orang-orang partai menjadi penyelenggara pemilu dan cukup sukses. Padahal situasi dan konteks sosial-politik ketika itu jauh berbeda dengan sekarang. Seharusnya mereka berkaca pada Pemilu 2009 di mana waktu persiapan sangat singkat, yakni hanya satu tahun sehingga kurang maksimal dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi para anggota DPR untuk tidak menuntaskan paket undang-undang politik jika ingin hajatan nasional pada 2014 berjalan dengan sukses.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.\

Membaca Langkah Politik Golkar

Dimuat di Harian Jurnal Nasional Kamis 21 Oktober 2010

Baru-baru ini Partai Golkar mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan di depan publik. Salah seorang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Firman Subagyo, misalnya, mengatakan bahwa di kalangan internal Partai Golkar ada suara-suara yang mempertanyakan mengapa pemikiran-pemikiran Golkar tidak terakomodasi di Sekretariat Gabungan (Setgab).
Pemikiran-pemikiran Golkar yang tidak terakomodasi tersebut adalah usulan untuk menaikkan defisit anggaran dari 1,7 persen menjadi 2,1 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 agar ada peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastrukutr dan dana satu milyar untuk setiap desa. Kedua usulan tersebut ternyata tidak disetujui pemerintah. Usulan yang pertama dianggap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai tidak urgen, sedang usulan yang kedua ditolak.

Problem Komunikasi
Pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan di sini adalah apakah ketidakpuasan Golkar di Setgab itu betul-betul hanya karena pemikirannya tidak terakomodasi ataukah ini sekadar sebuah strategi untuk menaikkan daya tawar politik (political bargaining) bilamana SBY ingin melakukan reshuffle seperti yang diisukan belakangan ini sekaligus menaikkan citrnya di depan publik? Dan bagaimana respons dari partai-partai lain di Setgab?
Persoalan ini menarik untuk dikemukakan. Sebagaimana diketahui bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Oleh karena itu, apa yang diungkap Golkar jelas memperlihatkan ada masalah di tubuh Setgab.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua cara pandang yang bisa diberikan dalam hal ini. Pertama, bila ketidakpuasan Golkat betul-betul dilandasi oleh karena tidak terakomodasinya usulan-usulan yang pernah diajukannya, maka jelas ini menunjukkan adanya problem komunikasi di internal Setgab.
Dan ini sebenarnya justeru memberikan citra yang buruk kepada Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie (Ical), yang notabene merupakan ketua harian Setgab. Sebab, seharusnya Ical mampu menjadi mediator yang berusaha menjembatani berbagai masalah yang muncul di internal Setgab. Mengangkat satu masalah ke publik tanpa membahasnya dulu di dalam Setgab tentu memperlihatkan bahwa komunikasi yang seharusnya terjalin ternyata tidak jalan.
Meskipun Setgab bukan sebagai organisasi murni tetapi tidak dapat dimungkiri bahwa ini merupakan sebuah persekutuan atau perhimpunan yang diberlakukan di dalamnya prinsip-prinsip keorganisasian. Salah satunya adalah komunikasi organisasi antara para anggota yang pada derajat tertentu bisa menujukkan kohesivitas di antara para anggota. Dengan realitas ini, kohesivitas di antara anggota Setgab menjadi luntur.
Pada sisi lain, hal ini juga kian mempertegas bahwa koalisi yang tergabung dalam Setgab tersebut jelas-jelas lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis semata, yakni kepentingan bagi-bagi kue kekuasaan, bukan pada kesamaan ideologis dan platform kepartaian. Masing-masing anggota Setgab tampaknya ingin meraih dan mengamankan kepentingannya sendiri-sendiri.
Dalam konteks ini, Golkar dapat dianggap sebagai pihak yang tengah memainkan kepentingannya sendiri. Apalagi Golkar juga menyebut-nyebut usia partai yang tentu saja lebih tua dari partai-partai anggota Setgab lainnya. Seolah-olah Golkar ingin mengatakan bahwa partai ini jauh lebih berpengalaman dari partai-partai lainnya.
Kedua, ini agaknya yang lebih kuat, bahwa ketidakpuasan Golkar yang telah diungkapkan ke publik menjelang acara Rapat Pimpinan Nasional I Partai Golkar tersebut agaknya lebih didasari oleh semacam strategi untuk menaikkan daya tawar Golkar terhadap SBY dan menaikkan citra di depan publik.
Terkait dengan daya tawar terhadap SBY, bagaimanpun juga Golkar tetap ingin berada di pemerintahan. Secara historis, partai ini tidak pernah bisa melepaskan diri dari ketiak pemerintah. Maka, Jika SBY benar-benar akan melakukan penggantian kabinet, setidaknya tiga orang kader Golkar akan tetap dipertahankan dan bahkan bila perlu ditambah.
Sementara itu, dengan mengangkat isu ketidakpuasan Golkar terhadap keberadaannya di Setgab ke publik, partai ini pada saat yang sama juga ingin menaikkan citranya di mata publik. Ini terlihat dari isu yang diangkatnya, yakni kenaikan defisit anggaran dan pembangunan ekonomi di desa. Golkar tentu berharap akan dianggap publik sebagai partai yang sangat mendukung kesejahteraan rakyat.
Golkar sebenarnya sudah menyadari kemungkinan ditolaknya usulan yang ditawarkan, seperti pemberian dana satu milyar untuk setiap desa. Bagaimanapun usulan itu, meskipun berbungkus untuk kepentingan rakyat, tetapi tetap kental dengan kepentingan politik partai. Misalnya, Golkar mengusulkan agar uang itu ditransfer langsung ke daerah, tentu ini menguntungkan Golkar karena partai ini banyak memiliki kepala daerah. Partai-partai anggota Setgab lainnya tentu keberatan dengan usulan tersebut karena umumnya tidak mempunyai kepala daerah.
Dari sudut pandang ini, jelas bahwa Golkar memiliki target politik tertentu dengan mengungkapkan ketidakpuasannya ke publik. Maka, tidak aneh kalau partai-partai anggota Setgab lainnya menuding bahwa Golkar sebenarnya sedang berupaya menaikkan citra politik saja.
Di lain pihak, SBY tentu masih berkepentingan terhadap keberadaan Golkar di Setgab. Oleh karena itu, kalaupun nanti penggantian kabinet dilakukan, ia tidak akan berani meninggalkan Golkar, apalagi ketika isu penggulingan terhadap dirinya muncul ke permukaan baru-baru ini. Dan dengan cerdas Golkar menyatakan akan tetap mengawal SBY sampai masa akhir jabatannya.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad Bandung.

Senin, 25 Oktober 2010

Wacana Pencapresan Aburizal Bakrie

Dimuat di Harian Suara Karya Selasa 26 Oktober 2010

Rapat Pimpinan Nasionak (Rapimnas) I Partai Golkar yang diselenggarakan dari 17 – 20 Oktober di Hotel Borobudur Jakarta akhirnya secara resmi tidak mendeklarasikan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Calon Presiden Republik Indonesia 2014. Padahal sebelum dan saat persidangan berlangsung suara-suara dari daerah yang menghendaki agar partai beringin menjadikan ketua umumnya sebagai capres demikian kuat.
Mengapa Ical sebagai ketua umum partai terbesar kedua pada Pemilu 2009 lalu belum bersedia dijadikan capres untuk Pemilu 2014 seperti yang ia sampaikan pada penutupan rapimnas kemarin? Bagaimanakah sebenarnya kelebihan dan kekurangan seandainya Ical bersedian dijadikan capres? Dan apasaja yang harus dilakukan Ical untuk mempersiapkan dirinya sebagai capres?

Plus Minus
Setiap peristiwa, lebih-lebih peristiwa politik selalu memunyai dua wajah: positif dan negatif; kelebihan dan kekurangan dan seterusnya. Demikian pula dengan momentum pencapresan Ical. Dari sisi kelebihan atau hal yang bersifat positif seandainya Ical bersedia dicalonkan sebagai capres 2014 dari sekarang adalah sebagai berikut.
Pertama, Ical dan Golkar memiliki periode waktu yang sangat panjang untuk mempersiapkan diri semaksimal mungkin, baik sosialisasi, kampanye dan sebagainya. Kekalahan Jusuf Kalla (JK) sebagai capres Golkar pada Pemilu 2009 antara lain karena faktor sempitnya waktu persiapan. Kurun waktu yang hanya empat bulan untuk mempersiapkan seseorang sebaga capres jelas sangat kurang.
Kedua, dari segi fatsoen politik dan demokrasi penegasan seseorang sebagai capres jauh-jauh hari sebenarnya tidak perlu dianggap salah. Sebaliknya, mesti dipandang sebagai bentuk kesiapan seseorang untuk siap berkontestasi dan memperjuangkan nilai-nilai dan tujuan politiknya.
Ketiga, personalitas Ical sebenarnya masih bisa dipoles dengan baik seperti halnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Memang sementara ini dalam berbagai survei suara Ical berkisar di pertengahan, namun bukan tidak mungkin akan terus menaik jika mendapatkan polesan yang tepat.
Adapun sisi kelemahan atau aspek yang bersifat negatif jika Ical benar-benar bersedia dideklarasikan sebagai capres 2014 pada rapimnas kemarin setidaknya ada dua hal. Pertama, Ical tentu akan dijadikan target serangan dari lawan-lawan politiknya, terutama terkait dengan kasus-kasus yang selama ini dikaitkan dengan perusahaannya, yaitu kasus lumpur lapindo dan pajak.
Memang para elite Golkar dapat berkilah bahwa secara hukum Ical tidak terkait dengan kedua kasus tersebut, bahkan untuk kasus lumpur lapindo telah dinyatakan selesai secara hukum. Namun, tentu dalam ranah politik hal-hal sensitif seperti itu bisa dijadikan komoditas politik yang sangat menarik bagi lawan-lawan politiknya.
Kedua, realitas politik Golkar yang saat ini berada dalam tubuh koalisi pendukung pemerintahan SBY juga sesungguhnya menimbulkan ketidaknyamanan dari sudut psikologi politik. Apalagi Ical merupakan ketua harian Sekretariat Gabungan (Setgab) yang notabene representasi dari partai-partai koalisi tersebut. Realitas ini sedikit banyak bisa mengakibatkan kecanggungan bila Ical dari sekarang sudah ditahbiskan sebagai capres.
Dalam konteks ini, tuntutan banyak pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPP), bahkan juga sebagian pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) agar Golkar keluar dari Setgab dapat dipahami. Dengan kata lain, seandainya Golkar henkang dari Setgab, maka partai ini sebenarnya jauh lebih leluasa bergerak dan bermanuver termasuk mencapreskan Ical untuk Pemilu 2014.

Menunggu Momentum
Yang menarik adalah komentar Ical saat diwawancarai sejumlah media mengenai penegasan dirinya sebagai capres 2014. Ical menegaskan bahwa yang terpenting saat ini adalah membesarkan partai, sebab kalau partai besar, maka orangnya juga besar. Ini artinya adalah bahwa Ical sebenarnya tengah menunggu momentum yang tepat untuk pendeklarasian dirinya sebagai capres.
Seraya menunggu momentum tersebut tentu Ical sebagai ketua umum Golkar harus terus berusaha menjadikan partainya sebagai yang terbesar sehingga akan memudahkan langkahnya menuju kursi nomor satu di republik ini. Maka, dari perspektif ini, belum bersedianya Ical untuk segera diusung sebagai capres 2014 sebagaimana dituntut banyak kader Golkar cukup beralasan.
Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang harus dilakukan Ical sebelum menemukan momentum pendeklarasian dirinya sebagai capres 2014. Pertama, Ical harus lebih berkonsentrasi untuk terus membesarkan partai. Memang ada tren menguatnya dukungan rakyat terhadap Golkar sekarang ini seperti dilansir oleh salah sebuah lembaga survei. Namun jangan lupa, tren yang sama juga terjadi pada Partai Demokrat. Oleh karena itu, Golkar jangan leha-leha dengan kenaikan tersebut, apalagi suara dukungan rakyat bersifat fluktuatif.
Kedua, Ical harus segera menyelesaikan kasus-kasus internal partai yang berpotensi melemahkan Golkar di masa yang akan datang. Kasus yang menimpa DPD Golkar Jawa Barat yang berbuntut pemecatan ketua umum dan wakilnya mendesak untuk segera diselesaikan. Propinsi Jawa Barat selama ini merupakan lumbung suara Golkar dan ketua umumnya memiliki banyak pendukung di kalangan pengurus-pengurus Golkar sedaerah Jawa Barat. Maka, apabila tidak segera diselesaikan secara win-win solution, bukan tidak mungkin akan mengakibatkan perpecahan internal.
Ketiga, Ical harus lebih sering melakukan komunikasi politik dengan rakyat. Bagaimanapun salah satu kekurangan Ical adalah kemampuan komunikasinya terutama dengan arus bawah, padahal ini merupakan hal yang sangat penting bagi seorang calon presiden.
Dengan melakukan beberapa langkah di atas, maka Ical sebenarnya tinggal menunggu momentum yang tepat saja untuk mendeklariskan dirinya sebagai capres 2014 yang akan bersaing dengan capres-capres lainnya.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Kamis, 21 Oktober 2010

Perubahan Peta Kekuatan Politik

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat (Kamis 21 Oktober 2010)

Baru-baru ini terdapat setidaknya dua peristiwa politik yang kiranya dapat memberikan perubahan peta kekuatan politik yang cukup signifikan. Pertama, menyeruaknya suara-suara dari internal Partai Golkar (PG) yang menyiratkan ketidakpuasan atas keterlibatannya di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) di lembaga parlemen. Ketidakpuasan ini terkait dengan tidak diakomodasikannya beberapa pemikiran yang ditawarkan partai beringin. Bahkan ketidakpuasan tersebut oleh sebagian kalangan internal partai ingin ditindaklanjuti dengan keluar dari Setgab.
Kedua, terdapat kecenderungan kian merapatnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Partai Demokrat (PD). PDIP yang selama ini dipandang sebagai partai oposisi yang berada di luar Setgab belakangan ini memberikan sinyal cukup kuat untuk bergandengan tangan dengan Demokrat. Bukti paling anyar adalah hadirnya beberapa elite Demokrar, seperti Marzuki Alie, Andi Malarangeng dan Syarif Hasan dalam acara tasyakuran khitanan putra Puan Maharani di sebuah hotel di Jakarta.
Yang menarik dianalisis adalah bahwa kedua peristiwa tersebut bertepatan dengan momentum satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Seperti banyak diungkapkan oleh berbagai kalangan bahwa capaian kerja pemerintahan SBY selama satu tahun ini belum maksimal. Sebagian kementerian bahkan mendapatkan rapor merah. Oleh karena itu, tuntutan agar SBY melakukan penggantian kabinet (reshuffle) cukup kuat. Dalam konteks inilah, signifikansi politik dari kedua peristiwa di atas sulit diabaikan.

Perubahan Peta Kekuatan?
Memang terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa akan ada perubahan peta kekuatan politik di lembaga legislatif dengan mencuatnya kedua peristiwa tersebut. Dalam konteks Golkar, misalnya, betatapun suara ketidakpuasan dan tuntutan agar keluar dari Setgab cukup keras bahkan disuarakan beberapa tokoh teras seperti Firman Subagyo dan Yorrys Raweyai, namun Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua umum segera meredamnya seperti yang ia sampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) kesatu Partai Golkar.
Bagi Golkar, agaknya masih sulit untuk lepas dari tradisinya sebagai partai berkuasa sehingga pilihan untuk keluar dari Setgab sulit dilakukan. Hal ini ditambah dengan adanya jalinan kedekatan personal Ical-SBY yang telah terbangun sekian lama sehingga tidak akan mudah pecah. Dari perspektif ini dapat dibaca bahwa apa yang dilakukan Golkar sesungguhnya lebih merupakan strategi untuk menaikkan daya tawar politik (bargaining position) di hadapan SBY jika penggantian kabinet benar-benar dilakukan.
Di pihak lain, SBY sendiri juga tampaknya lebih suka kalau Golkar tetap berada dalam barisan koalisi pendukungnya. Pengalaman dan sumber daya manusia di Golkar tentu akan banyak membantu Demokrat seperti yang diperolehnya selama ini di Setgab. Apalagi dengan munculnya isu penggulingan pemerintahan, SBY merasa perlu mendapatkan sokongan dari partai-partai koalisi. Dan Golkar dengan tegas telah mengatakan siap mengawal pemerintahan SBY sampai akhir masa jabatannya.
Adapun kecenderungan PDIP untuk merapat kepada Demokrat juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ada beberapa alasan bagi partai moncong putih ini untuk bermesraan dengan Demokrat. Pertama, statusnya sebagai partai oposisi, meski tidak tegas disebutkan seperti itu, ternyata tidak cukup memberikan citra yang baik di mata publik. Meski pernah menang dalam Pemilu 1999, tetapi dalam dua pemilu setelahnya, 2004 dan 2009 mengalami kekalahan. PDIP juga agaknya kesulitan untuk mendapatkan sumber daya keuangan dengan posisinya tersebut.
Kedua, di dalam tubuh PDIP terdapat masalah-masalah yang cukup pelik, antara lain jeratan kasus hukum yang tengah menimpa para tokohnya. Kasus paling jelas adalah isu penerimaan suap saat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda S. Goeltom. Sampai saat ini kasus tersebut masih terus diselidiki dan tentu akan menjadi ganjalan besar bagi PDIP.
Sebaliknya, bagi pihak Demokrat, keinginan PDIP untuk merapat jelas merupakan keuntungan politik yang besar. Demokrat tentu akan merasa senang dan tenang menghadapi berbagai isu termasu wacana penggulingan pemerintahan SBY. Selain itu, di masa-masa yang akan datang berbagai kebijakan pemerintah pun dapat dengan mudah diamankan di DPR.
Berdasarkan pemaparan di atas bukan tidak mungkin kita akan melihat ada perubahan peta kekuatan politik di lembaga legislatif. Jika itu terjadi, maka sebenarnya yang menang adalah Demokrat, tetapi demokrasi di sisi lain menjadi kehilangan rohnya karena tidak akan ada lagi kekuatan penyeimbang.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Wacana Penggantian Kapolri

Dimuat di Harian Suara Karya (Kamis 30 September 2010)

Belakangan ini wacana tentang penggantian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) baru terus menghangat di berbagai forum. Namun sayangnya wacana tersebut lebih banyak terfokus pada aspek-aspek teknis-prosedural alih-alih menukik pada persoalan yang lebih substantif.
Paling tidak ada dua aspek teknis-prosedural yang mengemuka. Pertama, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus mengajukan dua nama calon ataukah cukup satu nama saja ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua, apakah SBY harus lebih mengutamakan senioritas (angkatan) ataukah lebih mengedepankan rekam jejak dan prestasi yang bersangkutan.
Padahal kalau ditelisik lebih dalam, kedua masalah tersebut tidak perlu menjadi perdebatan panjang sehingga bisa menghabiskan energi yang tidak perlu. Misalnya pada aspek yang pertama, baik dua atau satu nama yang diajukan presiden, tidaklah berpotensi melanggar undang-undang. Barangkali yang akan muncul adalah konsekwensi bahwa kalau diajukan dua nama, DPR memiliki kesempatan untuk memilih yang terbaik dari yang ada. Pada sisi lain ada pula tafsir yang menyatakan bahwa undang-undang menghendaki DPR bukan memilih, melainkan menyetujui atau menolak. Dalam hal ini, pengajuan satu nama dianggap lebih tepat.
Mengenai senioritas, karena adanya perbedaan angkatan antara dua calon yang beredar, yaitu Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna (1978) dan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Inspektur Jenderal (baru saja dinaikkan menjadi Komisaris Jenderal) Imam Sudjarwo (1980), sebenarnya juga bukan persoalan serius. Dalam manajemen modern prinsip kepemimpinan tidak didasarkan pada usia atau angkatan melainkan pada prestasi kerja (meritokrasi). Maka, siapapun dapat meraih posisi tinggi meski usianya muda kalau memiliki prestasi yang baik. Bahwa masalah psikologis yang akan muncul jika sebuah institusi dipimpin oleh yang lebih muda, sesungguhnya bisa ditangani secara profesional dan modern.

Komitmen Reformasi
Yang agak terabaikan dari wacana penggatian Kapolri ini justeru masalah yang lebih subtantif, yakni komitmen reformasi dari calon. Padahal inilah sesungguhnya yang harus banyak disoroti publik ketimbang dua hal di atas dalam kerangka menjadikan polri sebagai institusi negara yang reformis sehingga mampu menjalankan fungsinya dengan benar.
Sejak diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di mana polri dilepaskan dari TNI, maka upaya-upaya reformasi terhadap lembaga kepolisian tersebut terus dilakukan. Setidaknya reformasi polri meliputi tiga aspek, yakni instrumental, struktural dan kultural. Pada dua aspek pertama reformasi polri boleh dikatakan cukup baik. Namun dalam hal reformasi kultural, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh polri.
Reformasi kultural, misalnya, berupaya untuk mengubah kultur pribadi (karakter) anggota polisi dengan mengacu pada fungsi Tri Brata Polri, yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Namun faktanya, pada tataran elite, misalnya, seringkali kita mendapatkan kenyataan bahwa lembaga ini acap terseret pusaran arus kekuasaan sehingga melupakan fungsinya tersebut. Dan pada tataran bawah kita juga kerap menemukan “polisi-polisi nakal” baik di tingkat daerah maupun pusat yang tentu saja menyimpang dari garis reformasi polri. Realitas ini tentu akan menjadi tanggung jawab Kapolri baru nanti.
Selain itu, Kapolri baru harus berkomitmen dengan paradigma baru polri yang sering digaungkan para anggota kepolisian itu sendiri dan bahkan banyak dipampangkan di kantor-kantor kepolisian. Salah satu butir penting dari paradigma baru tersebut adalah bahwa polri bukanlah alat kekuasaan (politik), melainkan alat negara.
Poin bahwa polri bukan merupakan alat kekuasaan agaknya harus ditekankan kuat-kuat karena akhir-akhir ini kesan bahwa polri lebih banyak bekerja demi penguasa cukut kuat. Kasus kriminalisasi KPK beberapa waktu bisa dijadikan salah contoh. Bahkan masalah penangkapan terorisme yang sempat menaikkan citra polisi kembali membuat publik bertanya-tanya ketika penyergapan yang dilakukan acap berkaitan --seolah-olah disengaja-- dengan momentum besar yang “menyulitkan” pemerintah, seperti ketika menguaknya kasus Century yang berbuntut dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) di DPR.
Ala kulli hal, siapapun yang akan terpilih menjadi Kapolri menggantikan Bambang Hendarso Danuri diharapkan akan terus menancapkan jejak-jejak reformasi yang telah ditorehkan di polri seraya terus memperbaiki hal-hal yang belum tersentuh reformasi.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Arah Penyelesaian Revisi UU Pemilu

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Kamis 23 September 2010

Semua pihak tentu mengharapkan agar pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar pada 2014 nanti berjalan secara lancar. Oleh karena itu, untuk terselenggaranya perhelatan demokrasi tersebut seperti yang diharapkan perlu dibentuk penyelenggara pemilu yang benar-benar profesional, bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa pretensi dan intervensi kepentingan politik apapun kecuali kepentingan pemilu itu sendiri.
Dalam konteks inilah revisi Undang Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu memiliki signifikansi yang sangat besar. Sayangnya, pembahasan revisi tersebut berjalan sangat alot yang disertai dengan tarik-menarik kepentingan partai politik (parpol). Kepentinan parpol itu terlihat dari keinginan parpol untuk memasukkan kader-kadernya baik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Kehormatan (DK KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Belakangan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD) mengubah keputusannya dan mengusulkan agar ketiga lembaga tersebut diisi oleh orang-orang non-parpol atau orang parpol yang telah mengundurkan diri.
Dalam konteks ini ada perbedaan pandangan di kalangan parpol besar. Menurut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), orang parpol yang masuk KPU baru mengundurkan diri kalau terpilih, sementara Partai Golkar (PG) mengharuskan pengunduran diri pada saat pendaftaraan baik nanti terpilih atau tidak. Sedangkan Partai Demokrat (PD) menghendaki agar calon anggota KPU sudah mundur lima tahun sebelum pendaftara.
Namun belakangan muncul wacana yang memperlihatkan kecenderungan kompromistis di kalangan parpol. Jika sebelumnya mereka ngotot untuk memasukkan kadernya di semua lembaga penyelenggara pemilu, maka sekarang mereka melunak dan hanya menghendaki anggota parpol untuk dimasukkan dalam Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU).

Kedewasaan politik
Sebenarnya pelibatan anggota parpol ke dalam lembaga penyelenggara pemilu tidak bermasalah. Kehadiran mereka baik di KPU, DK KPU maupun Bawaslu sesungguhnya bisa menjadi semacam mekanisme efektif untuk saling mengontrol sesama peserta pemilu. Sebagian pihak menyebutnya dengan kesekretariatan bersama partai politik dalam penyelenggaraan pemilu. Tujuannya antara lain untuk mencegah terjadinya praktik kecurangan dalam pemilu. Berbagai penemuan kecurangan di lapangan dapat ditindaklanjuti secara bersama-sama di forum tersebut.
Namun demikian, kondisi seperti ini menuntut adanya kedewasaan politik yang luar biasa dari para politisi kita. Bahwa kehadiran mereka di lembaga penyelenggaraan pemilu dimaksudkan untuk memanggul kepentingan bangsa dan negara, yakni suksesknya hajatan demokrasi lima tahunan di negeri ini. Dalam konteks ini kepentingan sendiri mesti rela dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar. Namun, tanpa adanya kedewasaan politik keberadaan mereka justeru hanya akan dimanfaatkan untuk mengusung kepentingan sempit partainya.
Sayangnya, realitas politik memperlihatkan betapa para politisi di negeri ini masih jauh dari sifat dewasa dalam berbagai sikap dan tindakan politik mereka. Banyak bukti yang memperlihatkan bagaimana mereka seringkali lebih mengutamakan kepentingan sempit partainya alih-alih kepentingan yang lebih besar. Dalam pemilukada, misalnya, parpol acap melakukan pembelaan yang membabi buta terhadap calon yang diusungnya meski sudah kalah. Parpol juga tak segan-segan membela kader-kadernya yang sudah jelas tersangkut kasus hukum.
Kedewasaan politik sesungguhnya berlaku bukan hanya bagi calon anggota lembaga penyelenggara dari parpol saja, melainkan semua calon dari berbagai elemen. Mereka harus bertekad menyukseskan penyelenggaraan pemilu tanpa pretensi kepentingan-kepentingan pragmatis yang bisa memalingkan tugas suci yang diembannya. Kasus Andi Nurpati, yang lebih memilih masuk menjadi anggota Demokrat padahal masih aktif sebagai anggota KPU, misalnya, menjadi preseden buruk bagi lembaga ini.
Berdasarkan hal tersebut, tampaknya belum saatnya bagi para anggota parpol untuk dilibatkan dalam lembaga penyelenggaraan pemilu. Usulan untuk melibatkan mereka hanya di DK KPU agaknya sudah merupakan penyelesaian yang maksimal. Setidaknya kepentingan mereka telah terakomodasi.


*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Rabu, 25 Agustus 2010

Menakar Urgensi Amandemen Kelima UUD 1945

Harian PIkiran Rakyat, Kamis, 26 Agustus 2010

Sejak dimulainya era reformasi, sampai saat ini, pemerintah Indonesia telah melakukan perubahan atau amendemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebanyak empat kali. Namun, saking seringnya amendemen dilakukan, banyak kalangan menilai konstitusi Indonesia masih jauh dari sempurna sehingga perlu segera dilakukan amendemen.

Memang, ada pula kalangan yang mengatakan, amendemen tidak perlu terburu-buru dilakukan, antara lain, karena dari segi waktu konstitusi yang kini sedang berjalan belum cukup lama berlangsung.

Akan tetapi, amendemen tetap penting dilakukan sejauh dimaksudkan untuk membuat konstitusi kita semakin baik. Di antara kriteria dari konstitusi yang baik (good constitution) adalah bahwa ketentuan dalam konstitusi harus jelas dan tegas sehingga menghindari ambiguitas dan keraguan.

Kriteria ini sangat penting mengingat banyak ketentuan dalam amendemen UUD 1945 yang masih belum tegas dan jelas, khususnya yang menyangkut sistem presidensial pada pemerintahan kita. Sebagaimana ditegaskan D.V. Verner dalam The Analysis of Political System, sistem presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif inilah yang justru menjadi masalah besar dalam praktik ketatanegaraan kita, khususnya menyangkut masalah fungsi legislasi dari DPR. Rendahnya tingkat produktivitas badan legislatif dalam menjalankan fungsi legislasi, antara lain, disebabkan tidak tegas atau kaburnya aturan dalam undang-undang.

Menurut sistem presidensial, pembuatan undang-undang atau legislasi cukup dilakukan oleh lembaga legislatif. Eksekutif, pada sisi lain, hanya menjalankan undang-undang tersebut. Namun, eksekutif dalam hal ini presiden, tidak berarti pasif sama sekali, tetapi diberikan peluang untuk tidak menyetujui atau menolak undang-undang tersebut dengan mekanisme hak veto.

Sementara ketentuan yang terdapat dalam undang-undang kita sampai amendemen keempat masih memperlihatkan penggabungan kekuasaan antara kedua lembaga tersebut. Ini, misalnya, tampak pada Pasal 20 ayat (2) setelah amendemen yang berbunyi, "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama". Oleh karena itu, setiap pembuatan undang-undang di DPR mesti melibatkan presiden yang dalam hal ini biasanya diwakili oleh para menterinya.

Implikasi dari sistem seperti ini selain akan melemahkan produktivitas lembaga legislatif karena prosesnya yang cukup berbelit, juga rawan menimbulkan praktik-praktik pemborosan uang negara. Bukan tidak mungkin, hal ini akan berimplikasi pula pada praktik kolusi antara kedua pihak sehingga terjadilan korupsi.

Di sisi lain, DPR juga harus konsisten dengan wewenangnya tanpa perlu mengambil alih wewenang yang memang sejatinya dimiliki eksekutif. Apa yang terjadi pada DPR kita sekarang memperlihatkan hal yang sebaliknya. Dalam kasus-kasus tertentu, DPR terlalu "bernafsu" sehingga sering melampaui kewenangan eksekutif.

Oleh karena itu, amendemen terhadap masalah di atas mendesak untuk dilakukan supaya pemerintahan kita yang menganut sistem presidensial, semakin kuat. Dengan demikian, berbagai kerancuan dan kerumitan yang ditimbulkan oleh ketidakjelasan sistem presidensial yang berlangsung sekarang ini, sedikit demi sedikit akan terkikis.***

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Kamis, 29 Juli 2010

Kesadaran Legislatif Anggota DPR

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat Kamis, 29 Juli 2010

Sorotan publik terhadap perilaku para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga terhormat ternyata tidak pernah sepi. Setelah dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat karena berbagai kebijakan yang terkesan mementingkan diri mereka sendiri, seperti menaikkan gaji, mengusulkan dana aspirasi dan sebagainya, kini mereka dipandang tidak serius melakukan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Indikasi dari ketidakseriusan tersebut adalah jarangnya sebagian dari para anggota legislatif tersebut hadir dalam berbagai persidangan, baik pada rapat paripurna, komisi dan sebagainya. Hampir setiap persidangan di DPR diundur pelaksanaannya sampai kurang lebih satu jam hanya karena menunggu kehadiran para anggotanya untuk mencapai kuorum.
Pertanyaan yang menarik untuk dilontarkan dalam konteks ini adalah haruskah kehadiran secara fisik para wakil rakyat dalam berbagai persidangan tersebut? Ataukah yang lebih diutamakan adalah peran dan kontribusi mereka dalam tugas-tugas keparlemenan sekalipun tidak hadir secara fisik?
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa tugas utama DPR sebagai lembaga legislatif adalah menjalankan fungsi legislasi di samping fungsi pengawasan dan anggaran. Sayangnya, justeru fungsi legislasi inilah yang kurang dilaksanakan secara signifikan.
Yang sering mengemuka selama ini adalah fungsi pengawasan. Sebagai lembaga yang mesti menjalankan fungsi check and balances, tentu hal tersebut tidaklah salah, malahan patut diberikan apresiasi. Sayangnya fungsi pengawasan yang diperlihatkan tersebut acap dilakukan bukan semata-mata untuk menuntaskan persoalan, tetapi lebih sebagai politik citra di mata publik. Kasus Pansus Century barangkali dapat dijadikan bukti.
Menjalankan fungsi legislasi jelas memerlukan keterlibatan yang penuh dan keseriusan yang tinggi dari para anggota legislatif. Oleh karena itu, kehadiran mereka secara fisik dalam persidangan menjadi hal yang mutlak. Bukankah dalam persidangan itu semua hal dapat dibicarakan, didiskusikan untuk kemudian diambil keputusan? Kehadiran mereka paling tidak merupakan satu pembuktian akan keseriusan mereka sebagai wakil rakyat.
Dalam konteks ini, kiranya ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, para anggota legislatif harus benar-benar menjadikan jabatan mereka sebagai tugas utama, bukan sebagai sampingan. Disinyalir banyak anggota yang bolos karena mereka lebih mengutamakan pekerjaan lain, misalnya, bisnis bagi anggota yang merupakan pengusaha. Atau ada pula anggota lain seperti yang berasal dari kalangan selebritis yang tetap tampil dalam acara-acara entertainment meskipun sudah menjadi wakil rakyat.
Jika sebagian anggota legislatif masih tetap menyambi pekerjaan lain, tentu tugas utamanya sebagai wakil rakyat tidak maksimal. Fungsi legislasi bukanlah tugas main-main, karena menyangkut kehidupan negara, bangsa dan segenap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan fokus dan serius.
Kedua, mekanisme reward and punishment layak diberikan. Hanya saja usulan sementara ini seperti hukuman pemotongan gaji, pemindaian sidik jari agaknya tidak akan banyak berpengaruh. Kecuali kalau partai dan ketua-ketua fraksi berani memberlakukan hukuman seperti Pergantian Antar Waktu (PAW), mungkin akan lebih signifikan. Masalahnya, ketua-ketua fraksi sendiri jarang menegur anggotanya yang suka bolos.
Ketiga, Badan Kehormatan (BK) DPR harus berani bertindak tegas, misalnya memublikasikan anggota-anggota legislatif yang bolos ke publik. Dengan catatan bahwa mereka benar-benar bolos tanpa alasan, bukan karena sedang melaksanakan tugas keparlemenan atau tugas partai yang waktunya bertabrakan dengan acara persidangan.
Namun demikan, yang lebih penting dari itu semua adalah kesadaran legislatif dari segenap wakil rakyat itu sendiri. Bahwa keberadaan mereka di lembaga legislatif tersebut adalah untuk menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi legislasi, selain pengawasan dan anggaran. Tanpa adanya kesadaran itu betapapun berat sanksi yang diberikan akan terasa sia-sia saja.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Rabu, 28 Juli 2010

Antara Konfederasi, Fusi dan Asimilasi

Harian Tribun Jabar, 26 Juli 2010

Gagasan tentang penyederhanaan partai politik tampaknya kian ditanggapi secara serius oleh partai-partai politik di Indonesia. Mula-mula Partai Amanat Nasional (PAN) menggulirkan ide tentang konfederasi, disusul kemudian oleh Partai Golkar (PG) dengan melontarkan ide tentang fusi. Seperti tidak mau ketinggalan Partai Demokrat (PD) sebagai partai berkuasa juga melontarkan ide serupa dengan istilah asimilasi.
Di manakah letak perbedaan antara konfederasi, fusi dan asimilasi sehingga ketiga partai tersebut merasa harus menghadirkannya ke ruang publik? Ataukah pelontaran ketiga istilah itu hanya sekadar memperlihatkan bahwa mereka sesungguhnya tidak mau kalah dalam berwacana, sehingga masing-masing ingin dianggap sebagai pionir dalam mengusung gagasan tersebut?
Istilah konfederasi dalam bidang politik biasanya digunakan untuk membedakan bentuk-bentuk negara, yaitu negara kesatuan (eenheidsstaat) seperti negara kita Indonesia, negara serikat atau federal (bondstaat) seperti negara Amerika Serikat dan negara konfederasi (statenbond) seperti Swiss, satu-satunya negara yang hingga saat ini masih menerapkan model negara semacam ini.
Secara sederhana negara konfederasi dapat diartikan sebagai gabungan beberapa negara yang memiliki konstitusi sendiri-sendiri tetapi bersepakat untuk melakukan perhimpunan yang longgar. Kata kuncinya adalah bahwa kedaulatan tetap dimiliki oleh setiap negara yang bergabung tersebut, tetapi pemerintahannya yang berdaulat itu bersepakat untuk duduk satu meja membicarakan berbagai kemungkinan kerjasama dan sebagainya.
Ketika gagasan konfederasi ini diterapkan dalam konteks partai politik sebagaimana digulirkan PAN jelas memperlihatkan bahwa partai ini menghendaki agar partai-partai yang setuju melakukan konfederasi bisa bergabung menjelang Pemilu 2014 tanpa kehilangan identitas dan jati diri kepartaiannya. Ketika mereka berhasil memasuki parlemen, maka ini akan menciptakan blok kekuatan baru di lembaga tersebut.
Sementara fusi yang dilontarkan Golkar lebih bermakna sebagai peleburan partai-partai politik sehingga menjadi partai baru yang lebih kuat. Secara historis fusi pernah diterapkan di Indonesia melalui undang-undang yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Maka, lahirlah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai-partai yang berbasis Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partai-partai yang berbasis nasionalis.
Adapun gagasan tentang asimiliasi yang diusung Demokrat sesungguhnya lebih umum diterapkan dalam ranah kebudayaan. Dalam salah satu definisi asimilasi yang paling umum, misalnya, disebutkan sebagai pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Contoh paling mudah untuk konteks budaya Indonesia adalah kasus transmigrasi yang dilakukan orang-orang Jawa ke wilayah Sumatera atau Kalimantan.
Ketika konsep asimiliasi ini diterapkan dalam ranah politik terutama dalam kaitannya dengan sistem kepartaian, agaknya akan terasa sulit. Bagaimanapun masalah penyederhanaan partai politik merupakan masalah struktural, sedangkan asimilasi bersifat kultual. Oleh karena itu, sulit dipadukan. Seandainya pun dilakukan tentu akan memakan waktu yang sangat lama.
Dari tinjauan di atas ketiga gagasan tersebut tampaknya memiliki kelemahan yang patut dipertimbangkan bersama. Konfederasi, misalnya, lebih bersifat jangka pendek. Artinya, gagasan ini lebih didasarkan kepada kepentingan sesaat, bukan jangka panjang. Dalam hal ini, gagasan PAN ini lebih diorientasikan sebagai reaksi terhadap akan dinaikkannya angka Parliamentary Treshold menjadi 5% pada Pemilu 2014.
Sedangkan fusi meskipun memiliki aspek historis tetapi akan sulit dilakukan. Selain membutuhkan waktu yang cukup lama, juga akan berlawanan dengan watak para politisi kita yang cenderung mempelihatkan egoisme yang demikian menonjol. Fusi pada tahun 1975 berhasil karena dilakukan secara paksa oleh pemerintahan Orde Baru yang otoriter sehingga akibatnya seperti menyimpan api dalam sekam.
Apalagi gagasan tentang asimilasi tampaknya terkesan memaksakan diri. Partai politik adalah kumpulan orang dari beragam budaya, suku, agama dan sebagainya yang diikat oleh kepentingan politik bersama. Dalam konteks ini tidak terjadi proses asimilasi. Yang ada adalah berbagai proses negosiasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Oleh karena itu, menjadi ganjil kalau gagasan ini dikaitkan dengan upaya penyederhanaan partai politik.
Namun hemat penulis, dari ketiga konsep tersebut yang lebih memungkinkan adalah konfederasi. Sekalipun berorientasi jangka pendek, tetapi mempunyai pijakan politik yang jelas. Usulan agar masalah ini dimasukkan ke dalam undang-undang sebelum pemilu digelar cukup tepat untuk meminimalisasi kepentingan jangka pendek atau sesaat.
Adapun dua konsep lainnya agaknya lebih merupakan bentuk dari egosime partai besar, yaitu Golkar dan Demokrat yang tidak mau terkesan mengikuti gagasan yang lebih dulu telah dilontarkan partai lain yang notabene partai yang lebih kecil.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Piala Dunia dan Kegelisahan Parpol Besar

Harian Pikiran Rakyat, 28 Juni 2010

Perhelatan Piala Dunia di Afrika Selatan 2010 memperlihatkan banyak kejutan, antara lain rontoknya sejumlah raksasa sepakbola khususnya dari Benua Eropa. Perancis merupakan contoh yang paling tragis. Sebagai peraih juara dunia pada 1998 dan juara Eropa pada 2000, kemudian tampil sebagai finalis pada Piala Dunia 2006, Tim Ayan Jantan harus angkat koper pagi-pagi. Selama di babak pertama, tidak sekalipun kemenangan diperolehnya.
Peristiwa yang juga dramatis dialami Italia setelah mengalami kekalahan yang sangat menyakitkan di laga penentuan melawan Slovakia. Italia yang merupakan peraih terbanyak tahta supremasi sepak bola untuk tingkat Eropa dan kedua di dunia setelah Brasil dan datang ke Afrika Selatan sebagai juara bertahan harus pulang lebih awal dengan menundukkan muka. Inggris hampir mengalami nasib yang serupa, beruntung dewi fortuna masih berpihak kepadanya. Pada laga penentuan Inggris akhirnya berhasil mencatat kemenangan dan lolos ke babak 16 besar meski dengan terseok-seok, sesuatu yang kontras dengan penampilannya pada penyisihan Piala Dunia yang cukup mengkilap.
Tim Eropa lainnya yang mengalami nasib yang tidak menguntungkan adalah Denmark. Meskipun bukan termasuk tim raksasa Eropa, namun tim yang dijuluki Dinamit ini pernah mengecap juara Eropa sehingga kehadirannya di Piala Dunia kali ini layak diperhitungkan. Sayangnya di laga penentuan, tim ini tidak berkutik di hadapan Tim Samurai Jepang dan dibantai dengan skor cukup telak 1-3.
Sementara itu tim-tim yang dianggap underdog dan kehadirannya kerap dianggap penggembira ternyata mampu menjungkirbalikkan perkiraan banyak kalangan. Sebagian dari mereka bahkan telah mempermalukan tim-tim raksasa Eropa. Dari Benua Asia Korea Selatan dan Jepang telah berhasil mencuri perhatian dunia. Korsel berhasil menggebuk Yunani 2-0 di babak awal, meskipun kemudian kalah telak oleh Argentina namun di babak berikutnya berhasil menahan seri Nigeria. Jepang tampil lebih menjanjikan. Di laga penentuan tim ini berhasil menyingkirkan salah satu tim besar Eropa Denmark secara meyakinkan. Tim underdog dari Eropa, Slovakia, juga berhasil memberikan kejutan. Negara yang sebelumnya tergabung dengan Ceko tersebut menyingkirkan sang juara bertahan, Italia.
Dari perhelatan Piala Dunia 2010 yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Benua Afrika Selatan tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa kekuatan besar tidak selamanya memenangkan pertempuran dengan kekuatan kecil seperti yang terlihat dari rontoknya tim-tim besar. Ketika kekuatan-kekuatan besar itu tidak dikelola dengan baik atau banyak terjadi kekisruhan internal yang mengakibatkan kekurangharmonisan di dalam seperti yang terjadi pada skuad Perancis, maka kekalahan sebenarnya tinggal menunggu waktu saja.

Parpol Besar
Apa yang terjadi pada Piala Dunia bukan tidak mungkin terjadi pula dalam dunia politik. Kekuatan-kekuatan besar dalam dunia politik seperti yang terdapat dalam partai-partai politik besar seperti Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat mungkin saja akan tergerus oleh kekuatan-kekuatan kecil di masa mendatang jika saja pengelolaan terhadap parpol-parpol besar tersebut tidak tepat sehingga tidak mampu menghadapi berbagai tantangan.
Golkar, misalnya, kini dihadapkan tantangan nyata dengan kehadiran organisasi kemasyarakatan (ormas) Nasional Demokrat (Nasdem) yang kian populer di mata publik. Partai beringin ini tampak gelisah sampai-sampai sekjen Idrus Marham mengeluarkan pernyataan bahwa kader-kader Golkar yang ada di Nasdem telah membuka friksi dengan Golkar. Pernyataan ini tampaknya menyiratkan kekhawatiran bahwa ormas ini akan mampu menggerogoti kekuatan Golkar terutama pada Pemilu 2014.
Kekhawatiran ini tentu sangat beralasan mengingat Nasdem didirikan oleh Surya Paloh, mantan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar dan pesaing terberat Aburizal Bakrie (Ical), Ketua Umum Golkar sekarang. Surya Paloh memiliki gerbong yang cukup besar di tubuh beringin sehingga tidak akan kesulitan jika sewaktu-waktu menarik mereka. Apalagi secara kepemimpinan, Surya Paloh sebenarnya lebih mengakar ketimbang Ical di Golkar.
Dihadapkan dengan kenyataan ini dan ditambah dengan sejumlah problem yang siap menghadang, tentu Golkar tidak dapat tidur dengan nyenyak. PDIP dan Demokrat juga sebenarnya menghadapi masalah yang tidak kurang peliknya. Kekuatan status quo pada tubuh PDIP bukan tidak mungkin meninggalkan api dalam sekam di masa mendatang, Demokrat meski berhasil menampilkan pemimpin muda tetapi juga tidak terlepas dari “kerangkeng” kekuatan besar di atasnya.
Sementara itu partai-partai menengah atau kecil telah berancang-ancang dan siap memberikan kejutan pada Pemilu 2014. PKS, misalnya. yang telah memproklamsikan diri sebagai partai terbuka dengan membuka keanggotaan bagi non-muslim telah bertekad untuk meraih posisi ketiga. Dan demikian pula partai-partai lainnya.
Sebagaimana adagium yang mengatakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, maka bukan mustahil partai-partai besar akan rontok pada 2014 jika tidak berhasil menaklukkan tantangan yang menghadangnya. Piala Dunia 2010 di Afsel telah memberikan pelajaran bahwa tim-tim besar yang bertabur bintang ternyata tidak menjadi jaminan kemenangan.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Kamis, 27 Mei 2010

Anas dan Momentum Alih Generasi

Dimuat di Harian Tribunjabar, Kamis 27 Mei 2010

ALIH generasi di tubuh Partai Demokrat dengan tampilnya Anas Urbaningrum (AU) sebagai ketua umum menggantikan Hadi Utomo telah memberikan pembelajaran politik yang sangat berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja peristiwa politik yang demikian penting tersebut sudah sepatutnya dijadikan momentum bagi perkembangan kualitas kehidupan demokrasi di negeri ini.
Ada sejumlah momentum yang kiranya dapat diambil dari proses alih generasi tersebut. Pertama, momentum tampilnya generasi muda. Kemenangan AU (41 tahun) dalam persaingan memperebutkan kursi tertinggi di Demokrat tak diragukan lagi merupakan kemenangan generasi muda. Dibandingkan dua pesaingnya, yakni Andi Malarangeng (AM) dan Marzuki Alie (MA), AU adalah kandidat termuda.
Sulit dimungkiri bahwa tampilnya AU sebagai representasi kaum muda akan berpengaruh pada kebangkitan kaum muda dalam kehidupan politik secara umum di republik ini. Bahkan bukan tidak mungkin akan memiliki efek bola salju (snowballing effect) terhadap partai- partai politik lain yang belum menyelenggarakan kongres. Kaum muda seolah telah diberi jalan untuk tampil merebut peran yang selama ini "dipertahankan" kaum tua dengan berbagai dalih.
Kedua, momentum demokrasi partai. Dinamika politik yang terjadi selama Kongres II Demokrat di Bandung jelas memperlihatkan proses demokrasi yang tak terbantahkan. Suara- suara arus bawah yang berasal dari DPC dan DPD dibiarkan bebas tanpa dikekang oleh kekuatan-kekuatan di atasnya. Elite paling berpengaruh di Demokrat, dalam hal ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak berusaha melakukan intervensi politik kecuali sekadar membiarkan anaknya, Edhie Baskoro (Ibas), berada dalam barisan AM.
Sikap SBY tersebut, selain dapat menyelamatkan mukanya dari rasa malu seandainya memberikan dukungan secara eksplisit kepada AM yang ternyata kalah, juga menjadi semacam "tamparan" bagi partai-partai lain. Dalam konteks PAN, misalnya, intervensi Amien Rais sebagai tokoh yang paling berpengaruh menjadikan Kongres PAN tidak lebih sebagai ajang reuni keluarga. Lebih parah lagi yang terjadi di tubuh PDIP di mana kongresnya hanya sekadar ajang penahbisan ketua umumnya, bahkan kemunculan "riak" kecil pun segera dipadamkan. Karena itu, apa yang terjadi dalam Kongres II Demokrat jelas merupakan kemajuan demokrasi dalam kehidupan partai politik.
Ketiga, momentum politik substansi. Kemenangan AU sesungguhnya merupakan kemenangan politik substansi di mana gagasan politik merupakan faktor kunci. AU maju sebagai kandidat dengan berbekal seabrek gagasan dan visi politik yang jelas dalam kerangka menjadikan Partai Demokrat sebagai partai modern. Tidak berhenti sampai di situ, AU juga mengomunikasikan gagasan-gagasan politiknya tersebut kepada kader-kader Demokrat di DPD dan DPC seraya menawarkan keterlibatan mereka dalam pembuatan kebijakan-kebijakan partai. Tidak mengherankan kalau mayoritas DPD dan DPC kemudian memberikan dukungannya kepada AU.
Sementara itu, AM, kandidat dengan suara paling buncit sehingga terlempar di putaran pertama, merepresentasikan politik kemasan di mana pencitraan merupakan faktor kuncinya. Tim sukses AM dengan dimotori lembaga survei Fox Indonesia sejak jauh-jauh hari telah melakukan kampanye besar-besaran, baik melalui media-media massa maupun selebaran, pamflet, baliho, dan sebagainya. Sampai kongres dilaksanakan, baliho yang memajang foto AM merupakan yang terbanyak. AM dicitrakan sebagai orang yang paling bisa memahami SBY karena selama lima tahun telah menjadi juru bicaranya. Namun ternyata pencitraan semacam itu tidak membawa pengaruh yang signifikan.
Keempat, momentum demokrasi berbiaya rendah. Dari peristiwa terpilihnya AU sebagai nakhoda baru Demokrat dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata demokrasi tidak berbanding lurus dengan biaya mahal. Selama ini demokrasi kerap diidentikkan dengan pengeluaran biaya yang sangat besar. Hanya untuk menjadi seorang caleg, misalnya, seseorang harus mengeluarkan uang ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Namun ternyata realitas tersebut dipatahkan oleh kemenangan AU. Dibandingkan dua pesaingnya, gizi politik AU disinyalir paling minim. Karenanya, tim suksesnya tidak banyak melakukan kampanye secara besar-besaran. Tetapi diam-diam AU sangat intensif melakukan dialog dan komunikasi politik terutama dengan para pengurus DPC dengan bermodalkan gagasan politik. Dan pada kenyataannya AU mampu "menaklukkan" mereka untuk berada di belakangnya.
Ini tentu saja harus dijadikan pembelajaran politik bagi siapa pun yang ingin terjun ke dalam kehidupan politik. Bahwa siapa saja tanpa harus memiliki modal yang besar bisa berhasil menapaki karier politik asal ia tekun dan terus menerus belajar politik tiada henti.
Dari catatan di atas kiranya patut kita berharap bahwa apa yang telah disuguhkan Partai Demokrat melalui kongres keduanya tersebut akan menjadi investasi politik yang besar di masa- masa yang akan datang, bukan hanya bagi partai ini, melainkan juga bagi bangsa Indonesia. (*)

Selasa, 25 Mei 2010

Nakhoda Baru Demokrat

Koran Jakarta, Selasa, 25 Mei 2010

Dinamika politik yang terjadi dalam Kongres ke-2 Partai Demokrat di Bandung sungguh menarik.

Sampai menjelang pemilihan, ketiga kandidat, yakni Anas Urbaningrum (AU), Andi Malarangeng (AM), dan Marzuki Ali (MA), tetap maju.

Isu dipanggilnya mereka oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar terjadi koalisi sehingga ada kandidat yang bersedia mengundurkan diri ternyata tidak terbukti di lapangan.

Ketiganya bergeming dengan keputusannya untuk menjadi orang nomor satu di partai bentukan SBY tersebut.

Realitas politik tersebut justru merupakan hal yang positif bagi demokrasi Indonesia.

Artinya, Demokrat telah menyuguhkan praktik demokrasi yang benar melalui kongresnya yaitu suara masing-masing peserta tidak (mau) “dibungkam” oleh elite, bahkan ketua dewan pembina sekalipun.

Kalau dibandingkan dengan kongres yang telah diselenggarakan PAN dan PDIP, kongres Demokrat jauh lebih maju.

Pada konteks PAN, misalnya, kehadiran Amien Rais menjadikan persaingan sirna dengan mundurnya Dradjad Wibowo.

Lebih-lebih pada kasus PDIP, baru ada suara yang mencalonkan tokoh selain Megawati saja sudah terberangus sedemikian rupa.

Oleh karena itu, kongres Demokrat kemarin dapat dipandang sebagai pembelajaran politik yang penting.

Dalam konteks tersebut, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina cukup berhasil untuk memainkan kenetralannya selama kongres.

Meskipun kehadiran anaknya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), di barisan pendukung AM yang dianggap sebagai representasi dukungan Cikeas sedikit banyak menodai kenetralannya, SBY mampu menahan diri untuk tidak menyatakannya secara eksplisit.

Hal ini, selain sikap hati-hati juga bisa dianggap sebagai sebagai strategi SBY untuk mencari aman, sehingga apabila kandidat yang didukungnya tersebut tidak menang, ia tidak akan kehilangan muka. Dan itulah yang terjadi.

AM yang oleh berbagai pihak disebut- sebut kandidat yang mendapatkan “restu” paling awal dari SBY ternyata gagal total.

Kemenangan AU

Dalam persaingan tersebut akhirnya AU tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara yang meyakinkan, yakni 280 pada putaran kedua, mengalahkan MA yang hanya memperoleh 246 suara. Sedangkan AM sudah tersingkir pada putaran pertama.

AU tampil sebagai kandidat yang penuh dengan gagasan politik yang cerdas.

Sebagai seorang politisi, AU tidak terjebak pada aktifi sme belaka.

Ia tetap dapat meluangkan waktunya untuk berkarya.

Sampai saat ini AU sudah menelurkan kurang lebih sepuluh buah karya dalam bentuk buku.

Menjela kongres pun masih sempat menerbitkan dua terbarunya. kalau kemudian sebagai politisi atau intelektual.

Kemenangan kongres ini dari politik diusungnya.

tidak gencar melakukan kampanye politik di media massa seperti halnya AM.

Sebaliknya ia banyak melakukan kunjungan dan berdialog langsung dengan para pengurus DPD dan DPC seraya menawarkan gagasan-gagasan politik hidup mereka.

faktor kunci kemenangan adalah gagasannya memberdayakan DPD dan DPC antara lain dalam berbagai sehingga mereka bertanggung jawab atas berjalantidaknya keputusan tersebut.

ini agaknya dipandang sebagai terobosan yang menarik oleh kalangan DPD dan DPC, apalagi selama mereka hanya dianggap penting kalau memasuki masa baik presiden, legislatif, ataupun pemilukada.

keberadaan mereka kali hanya sebagai saja.

politik gagasan, ada yang daya tarik para peserta kongres.

Pertama adalah gaya politiknya. Dalam banyak hal, gaya politik AU identik dengan gaya politik SBY: santun, tidak emosional, akomodatif sehingga mudah diterima semua pihak.

Hal ini berbeda dengan gaya politik AM yang kadang-kadang terlalu “flamboyan” atau dengan MA yang masih kaku dan acap demam panggung.

Kedua, relasi politik AU terutama dengan sesama partai tampaknya lebih luas dari dua pesaingnya.

Hal ini karena AU, meskipun termuda, tetapi pengalaman organisasi politiknya justru lebih lama.

Ketiga, faktor Jawa.

Dalam konteks politik Indonesia dimensi kejawaan masih cukup kuat.

AU dalam hal ini sangat diuntungkan apalagi ia berasal dari Blitar yang merupakan asal-usul keturunan SBY juga.

AU telah resmi sebagai pengganti Hadi Utomo untuk menakhodai partai berlambang mercy tersebut selama lima tahun ke depan.

Oleh karena itu, beberapa hal sudah harus dipersiapkan.

Pertama, dalam setiap kali pemilihan yang melibatkan banyak kandidat, tentu ada banyak pihak yang saling berseberangan.

Maka, tugas pertama pemenang adalah merangkul semua kekuatan termasuk mereka yang dikalahkannya.

Dalam konteks ini, AU tidak akan kesulitan melakukan hal tersebut apalagi tidak terjadi friksi yang tajam selama kongres.

Kedua, ini yang sangat penting, yakni konsistensi atas janji politik untuk memberdayakan DPD dan DPC selama kepengurusannya.

Jika AU benar-benar merealisasikan apa yang telah ditawarkannya, tentu dukungan mereka akan terus menguat.

Bagaimanapun, kemenangan AU adalah kemenangan gagasan.

Karenanya, hal tersebut harus dijaga.

Ketiga, membentuk kepengurusan yang akomodatif.

Salah satu hal yang sangat penting adalah rencana menjadikan Ibas sebagai Sekretaris Jenderal.

Kehadiran Ibas tentu bukan hanya dipandang representasi kubu AM, melainkan yang lebih penting representasi keluarga Cikeas.

Bagaimanapun SBY yang terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Pembina tetap merupakan figur kunci di Demokrat.

Penulis adalah Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Literasi Politik Citra

Seputar Indonesia, Minggu, 16 Mei 2010

Hal menarik dari praktik politik kontemporer di Indonesia maupun di dunia adalah tren menguatnya kebutuhan komunikasi politik.Nyaris tak ada tindakan politik yang tak menempatkan komunikasi politik.


Sebagai salah satu bidang dalam kajian komunikasi, komunikasi politik telah memiliki sejarah keilmuan yang matang. Khazanah keilmuan komunikasi politik tersebar mulai dari kajian opini publik, propaganda, kampanye, negosiasi hingga kajian terbaru seperti marketingpolitik dan cyberdemocracy. Sejumlah kemampuan praktis komunikasi politik pun telah memiliki tradisi yang mapan serta potensi penerimaan pasar yang sangat maju. Misalnya kemampuan praktis dalam bidang kampanye politik, riset opini publik, iklan politik, promotor politik dan lain-lain. Dengan demikian, kajian komunikasi politik tak semata-mata kajian teoritik melainkan juga praktis dan aplikatif.

Judul menarik dan menjadi bingkai keseluruhan isi buku yang ditulis oleh Gun Gun Heryanto ini, seolah ingin meletakkan analisis teoritik dan praktis atas sejumlah peristiwa yang nyata,terjadi dalam konteks tumbuh pesatnya industri citra. Industri citra yang dimaksud penulis adalah industri di bidang komunikasi yang fokus urusannya terkait dengan citra.Sebut saja industri media massa, konsultan komunikasi,agen publisis,industri advertising dan lain-lain.Komunikasi politik di era industri citra memang sangat dinamis dalam hal pengemasan personal maupun organisasional. Tak sekadar untuk memahamkan pihak lain, melainkan juga menciptakan network, pembinaan kader loyalis, distribusi power hingga strategi pemenangan dalam proses kontes politik.

Paling tidak kita bisa mengidentifikasi dua bobot utama dari buku ini. Pertama, buku ini hadir menjadi semacam potret atas dinamisasi sejumlah isu yang beragam mengenai komunikasi politik di Tanah Air dan beberapa bahasan lain terkait isu di luar negeri. Dari lima bab yang disuguhkan, beragam peristiwa disoroti cukup detil, mengacu pada peristiwa kuat yang menjadi polemik opini publik serta headline media massa. Meskipun momentum peristiwanya berbeda-beda, namun penulis piawai menarik benang merah peristiwa tersebut dalam kategorisasi yang relevan. Bahkan sebaran peristiwa tersebut, menunjukkan analisis dan ulasan perspektif komunikasi politik yang bernas berdasarkan keunikan peristiwanya. Hampir setiap isu yang ditulis, mendapatkan elaborasi teoritis atau praktis dan tak jarang juga perpaduan keduanya.

Penulis memulainya dengan isu yang terkait dengan manajemen kesan dalam pencitraan politik di bab pertama. Tak disangkal lagi, bahwa kini politik citra kerap dilakukan oleh aktor dalam ‘wilayah bermainnya”.Penulis di subjudul “Konvergensi Panggung Politik”, misalnya menyimpulkan telah terjadi proses konvergensi antara panggung hiburan dan panggung politik. Sama-sama menuntut popularitas, prestise dan langkahlangkah strategis menjaga citra diri.Kritisisme dieksplisitkan oleh penulis dalam konteks manajemen citra diri ini kerap kali menjebak aktornya pada situasi hyperealitas. Selain itu, penulis juga menekankan perlunya literasi politik untuk mengimbangi peristiwa politik yang kerap paradoksal.

Pada bab kedua, secara khusus penulis mengkaji praktik komunikasi politik pada era pemerintahan SBY.Pembaca akan disuguhi ulasan yang tajam atas berbagai peristiwa yang terkait dengan penyelenggaraan komunikasi politik oleh SBY dalam kapasitasnya sebagai personal maupun dalam jabatan presidennya di Kabinet Indonesia Bersatu I dan II. Bahasan di bab ketiga berlanjut dengan eksistensi aktor politik yang berperan sebagai komunikator sekaligus juga komunikan dari hubungan timbal balik (interplay) dirinya dengan aktor lain sekaligus lingkungan politik yang menjadi konteks di mana komunikasi politik dilakukan. Dalam proses hubungan antar aktor ini,sudah barang tentu akan muncul relasi kuasa yang justru kerap menjadi lokus utama studi komunikasi politik. Bab keempat,membahas posisi penting media dalam mengonstruksi realitas politik.

Lebih khusus lagi mengenai bagaimana peran, fungsi, dan dinamisasi media saat menjadi saluran komunikasi politik. Di Indonesia, media massa turut menjadi pilar konsolidasi demokrasi dengan perannya sebagai saluran informasi sekaligus alat kontrol terhadap kekuasaan. Di bab terakhir, penulis membahas praktik komunikasi politik pada sejumlah isu internasional. Misalnya saja penulis membahas kunci di balik kesuksesan Obama dalam memenangkan national election di AS,praktik soft powerdalam kiprah Obama, juga praktik komunikasi politik dalam diplomasi dan penyelesaian sengketa. Bobot kedua dari buku ini, analisis penulis secara umum tak sekadar menempatkan politik citra sebagai instrumen manipulasi kesadaran.

Melainkan menimbang perlu kesadaran substantif dari setiap praktik politik citra tersebut. Dalam perspektif pemasaran politik, publik atau khalayak biasanya dipandang sebagai pasar (market) sedangkan aktor politik baik perorangan maupun kelompok atau lembaga dianggap sebagai produk (product). Laiknya suatu produk dalam perusahaan,maka ia atau mereka harus dikemas sedemikian rupa sehingga akan mendapatkan respons yang baik dari pasar. Demikian pulalah dalam politik, seorang kandidat, misalnya harus dikemas sedemikian rupa dengan pencitraan yang baik sehingga mampu menarik minat khalayak untuk memilihnya. Masalah pencitraan dalam komunikasi politik ini kerap dilakukan sedemikian rupa sehingga sering terjadi adanya ketimpangan yang sangat jauh antara realitas yang dicitrakan dengan realitas yang sebenarnya.

Penulis mengingatkan agar para aktor jangan hanya menempatkan khalayak dalam relasi I-it relationship melainkan harus dalam I-thou relationship yang lebih manusiawi.Penulis menegaskan perlu adanya pengarusutamaan literasi politik,termasuk dalam politik citra.Tujuannya,tentu saja untuk mewujudkan cita-cita ideal, yakni politik yang lebih memberdayakan.(*)

Iding R Hasan,
Deputi Direktur Bidang Politik di The Political Literacy Intitute.

Selasa, 04 Mei 2010

Politik Jalan Tengah Partai Demokrat

Analisis Politik di Harian Pikiran Rakyat, Senin 03 Mei 2010

Partai Demokrat sebentar lagi akan menyelenggarakan perhelatan besar, yakni kongres. Isu pemilihan ketua umum menjadi sangat krusial bagi partai ini jika dikaitkan dengan Pemilu 2014. Sebagaimana diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina tidak dapat mencalonkan lagi sebagai presiden. Oleh karena itu, posisi ketua umum menjadi sangat strategis, baik jika ia sendiri menjadi calon presiden maupun mencalonkan orang lain.

Namun, betapa pun pentingnya isu pencalonan ketua umum, ada hal yang jauh lebih penting bagi Demokrat dalam rangka mempertahankan eksistensinya sebagai partai besar, yaitu platform dan orientasi politik Partai Demokrat.

Isu ini menjadi penting karena pertama, pada Pemilu 2014 Partai Demokrat akan ditinggalkan Yudhoyono. Bagaimanapun kemenangan partai ini pada Pemilu 2009 lalu banyak dipengaruhi oleh ketokohan dan kepopuleran Yudhoyono, bukan karena prestasi yang telah ditorehkan oleh partai.

Sementara kader-kader partai yang kini tengah bersaing memperebutkan kursi ketua umum, yaitu Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Marzuki Alie, agaknya belum mampu menyamai ketokohan dan popularitas Yudhoyono. Oleh karena itu, Partai Demokrat tidak dapat lagi menggunakan magnet figur untuk memikat para pemilih, tetapi strategi partai ke depan yang dilandasi platform yang jelas.

Kedua, di tengah banyaknya parpol yang akan berpartisipasi pada Pemilu 2014, tentu Partai Demokrat harus mampu menjadi partai dengan ciri khas tertentu yang akan menjadi daya tarik bagi rakyat.
**

Salah satu isu yang kini banyak digulirkan oleh sejumlah kalangan adalah Demokrat sebaiknya menjadi partai tengah, baik dalam konteks politik, ekonomi, agama, maupun sebagainya. Usulan ini tampaknya cukup beralasan dilihat dari beberapa hal. Pertama, dalam konteks kebhinekaan atau kemajemukan bangsa Indonesia menjadi partai tengah tentu sangat menguntungkan. Bagaimanapun, keanekaragaman suku, bahasa, agama, dan budaya mesti ada yang mengakomodasi sehingga persatuan dan kesatuan tetap terjaga.

Partai politik yang salah satu fungsinya adalah mengagregasi beragam kepentingan tentu menjadi institusi yang sangat tepat untuk melakukan politik akomodasi. Jika Demokrat mampu memainkan peran tersebut, besar kemungkinan partai ini akan tetap menjadi partai pilihan rakyat.

Kedua, dalam konteks politik-keagamaan, isu-isu yang terkait dengan fundamentalisme, terorisme, dan liberalisme cukup marak di tanah air yang dalam derajat tertentu dapat mengganggu stabilitas politik.

Ketiga, dalam konteks ekonomi, pilihan jalan tengah sangat tepat. Artinya, tidak mudah terombang-ambing antara ayunan bandul kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Isu itu menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan label yang pernah diterima partai ini sebagai partai yang menyokong ekonomi neoliberalisme.

Mengambil jalan tengah dalam konteks politik Indonesia sekarang tampaknya merupakan strategi politik yang paling tepat. Namun, tentu saja hal tersebut tidak mudah, butuh kerja keras dan yang paling utama adalah konsistensi. Masalahnya, dalam banyak kasus, sering kali partai jalan tengah tidak dapat menampilkan ketegasan sikap tersebut. Politik jalan tengah, karena selalu berusaha memperlihatkan kenetralan, tanpa terasa sering terjebak pada upaya untuk ”menyelamatkan diri sendiri.”***

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Rabu, 07 April 2010

Pencalonan Artis dan Banalitas Politik

Dimuat di Analisis Politik Harian Pikiran Rakyat, Senin 05 April 2010

Baru-baru ini pemberitaan tentang pencalonan sejumlah artis untuk menjadi kepala daerah cukup marak. Nama Julia Perez (Jupe), misalnya, kini ramai diperbincangkan di media massa baik cetak maupun elektronik setelah menyatakan kesediaannya atas pinangan sejumlah partai politik untuk menjadi calon bupati di daerah Pacitan, Jawa Timur. Sebelumnya artis-artis lain, seperti Sarah Azhari dan Cici Paramida sempat disebut-sebut akan meramaikan bursa pencalonan di daerah itu. Sederet artis lain juga pernah diisukan telah dipinang sejumlah parpol untuk menjadi bupati atau wakil bupati di beberapa kabupaten di Indonesia, antara lain, Ayu Azhari, Ikang Fauzi, Tukul Arwanan, Inul Daratista dan sebagainya.
Pertanyaan yang laik diajukan dalam konteks pencalonan sejumlah artis untuk menjadi kepala daerah adalah: apakah gejala tersebut merupakan sebuah bentuk keterbukaan politik sebagai konsekwensi demokrasi? Ataukah dalam derajat tertentu kecenderungan tersebut akan menodai proses demokrasi itu sendiri?

Banalitas Politik
Sebagian pihak mengatakan bahwa masuknya artis ke dalam dunia politik, merupakan sebuah bentuk banalitas politik. Banalitas secara harfiah menurut Kamus Webster, berarti sesuatu yang biasa dan remeh temeh (triviality). Dalam konteks ini, banalitas politik dapat dimaksudkan sebagai kehidupan atau ruang politik yang mementingkan permukaan, dangkal dan pada saat yang sama mengagungkan budaya popular.
Para artis yang terbiasa hidup dalam gemerlap dunia artifisial tampaknya berbanding lurus dengan banalitas politik. Semakin banyak artis yang memasuki dunia politik, maka semakin banal pulalah kehidupan politik di negeri ini. Celakanya partai-partai politik tampaknya berlomba-lomba untuk meminang para artis untuk dijadikan calon kepala daerah. Jika partai politik lebih mengutamakan orang-orang yang menggenggam popularitas daripada kader-kadernya sendiri, maka kian sempurnalah kecenderungan banalitas politik tersebut.
Gejala banalitas politik tersebut tampaknya kian menemukan momentumnya di negeri ini. Di kalangan masyarakat Indonesia, penerimaan terhadap kalangan artis juga masih cukup kuat. Hal ini disebabkan, antara lain karena corak masyarakat Indonesia yang bersifat kolektif (Deddy Mulyana: 1999). Dalam kultur masyarakat yang seperti itu pengidolaan terhadap seorang tokoh mudah sekali terjadi.
Dari sudut kepentingan jangka pendek, pencalonan artis untuk menjadi kepala daerah oleh partai politik memang menguntungkan partai bersangkutan. Di samping popularitas artis, dana partai juga akan relatif hemat karena para artis yang diusungnya selalu diminta kesiapan dananya untuk berkampanye.
Namun demikian, dari sudut kepentingan jangka panjang hal tersebut akan menimbulkan konsekwensi-konsekwensi politik yang cukup serius baik bagi partai politik itu sendiri maupun bagi kehidupan politik (demokrasi) secara umum di negeri ini.
Pertama, terkikisnya politisi-politisi ideolog dari partai politik dan panggung politik secara umum. Jika pencalonan artis untuk menjadi kepala daerah terus dilakukan oleh sejumlah partai politik, maka kader-kader partai yang notabene calon-calon politisi ideolog lambat laun akan bertumbangan. Kesempatan mereka untuk tampil sebagai pemimpin akan terebut oleh politisi-politisi karbitan tersebut. Fenomena ini dapat dikatakan juga sebagai bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi.
Kedua, Fenomena itu memperlihatkan bahwa beberapa partai politik di Indonesia kian mengalami disorientasi. Nilai-nilai idealitas politik agaknya kian jauh dari mereka dan digantikan oleh nilai-nilai pragmatis. Kilauan popularitas dan gizi yang menggiurkan dari para artis telah memabukkan mereka.
Memang orang dapat berkilah bahwa demokrasi memungkinkan semua orang untuk masuk ke dalam ranah politik tanpa terkecuali, termasuk artis. Namun, yang tak boleh dilupakan juga adalah bahwa demokrasi juga mesti berlandaskan pada aturan main (rule of game), antara lain kualitas individu yang memadai untuk menjadi seorang pelayan publik. Inilah yang sulit dipenuhi para artis, setidaknya untuk saat ini.

*Penulis, kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Minggu, 14 Maret 2010

Paralelisme Pemilu Irak-Indonesia

Dimuat di Harian Tribun Jabar, Sabtu 03 Maret 2010

Pada hari Minggu 7 Maret kemarin rakyat Irak telah menyelenggarakan perhelatan besar yang sangat penting untu masa depan negaranya, yaitu pemilihan umum legilslatif. Momentum pemilu ini begitu krusial karena pemenang pemilu nanti akan menghadapi masalah penarikan tentara asing dari negeri seribu satu malam tersebut pada 2011. Artinya, di masa mendatang diharapkan Irak memiliki pemerintahan yang berdiri di atas kaki mereka sendiri tanpa topangan asing seperti selama ini.
Yang menarik dari penyelenggaraan pemilu di Irak tersebut adalah bahwa tampaknya ada paralelisme dengan pemilu yang telah dilaksanakan di negera kita Indonesia dalam beberapa hal. Dan kalau dicermati dengan seksama, kesamaan tersebut sesungguhnya dapat dijadikan pembelajaran yang sangat berharga bagi para elite-elite politik di negeri ini.

Isu Non-agama
Paralelisme yang pertama adalah bahwa isu yang digaungkan oleh partai-partai politik yang mengusung kandidat Perdana Menteri Irak ternyata lebih menonjolkan isu-isu non-agama. Kelompok Moqtada Sadr, misalnya, yang dikenal sebagai faksi Syiah yang fanatik dan sangat benci Amerika Serikat juga tidak menyuarakan isu-isu keagamaan dalam kampanyenya. Bahkan Sadr kemudian berkoalisi dengan Amar Hakim yang menjadi pimpinan Koalisi Nasionalis Irak di mana isu utama kampanyenya adalah masalah kemanusiaan.
Mencuatnya isu-isu non-agama dalam kampanye Irak tentu sangat menarik untuk diamati. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa para elit politik Irak menyadari bahwa yang dibutuhkan oleh rakyat Irak sekarang ini adalah sesuatu yang ril yang menyangkut hajat hidup mereka, seperti adanya rasa aman di kalangan mereka dan meningkatnya kesejahteraan hidup mereka yang belum pulih sejak invasi AS.
Para elit politik Irak menyadari bahwa kegagalan mereka dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan akan berpengaruh terhadap kredibilitas mereka di hadapan rakyat. Apa yang menimpa Perdana Menteri incumbent Nouri al-Maliki sekarang ini agaknya menjadi pelajaran penting. Pamor Maliki belakangan ini jauh merosot di mata rakyat yang diduga karena kegagalannya menciptakan rasa aman. Berbagai kasus bom bunuh diri terus bermunculan bahkan sampai menjelang pemilu.
Pemilu yang berlangsung di tanah air pada April 2009 tampaknya juga dalam derajat tertentu memperlihatkan kecenderungan yang sama. Partai-partai politik pada umumnya tidak menyuarakan isu-isu keagamaan dalam kampanye-kampanye mereka. Dan faktanya, partai-partai yang tetap keukeuh mengusung isu-isu keagamaan semacam Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak laku di pasaran. PBB bahkan kemudian tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR.
Pengecualian barangkali layak diberikan kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang sangat kental dengan warna keagamaan tersebut justeru tidak terjebak pada isu-isu keagamaan. Sebaliknya ia bermain di wilayah yang betul-betul menjadi kebutuhan rakyat. Slogannya, bersih, peduli dan profesional tampaknya cukup mengena di hati masyarakat. Saat korupsi sedang menggurita, berbagai musibah yang datang silih berganti dan carut marut birokrasi dan pemerintahan di negeri ini ketiga slogan tersebut terasa sangat tepat.

Koalisi Pragmatis
Paralelisme kedua yang terjadi dalam pemilu Irak dan Indonesia adalah munculnya koalisi yang didasarkan atas kepentingan jangka pendek elite-elite partai yang berebut untuk menjadi penguasa. Koalisi yang dibangun sama sekali tidak didasarkan pada kesamaan ideologis atau program.
Sekarang ini ada 12 koalisi politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan di Irak. Dari 12 kekuatan koalisi politik tersebut, yang tergolong menonjol adalah Koalisi Negara Hukum pimpinan PM Nouri al-Maliki, Koalisi Nasional Irak pimpinan Ammar Hakim, Kubu Irakiyah atau Gerakan Nasional Irak pimpinan Ayad Allawi, Koalisi Kurdistan pimpinan Masoud Barzani dan Jalal Talabani, Koalisi Persatuan Irak pimpinan Menteri Dalam Negeri Gawad al-Bulani.
Disinyalir bahwa pertarungan antar koalisi tersebut sesungguhnya bukan pertarungan untuk memperebutkan suara terbanyak dari rakyat Irak, tetapi lebih sebagai upaya untuk mengincar kursi perdana menteri yang kini dijabat al-Maliki. Karenanya, koalisi tersebut lebih merupakan kesepakatan-kesepakatan antar elite-elite koalisi ketimbang adanya kesamaan program.
Kecenderungan seperti ini pula yang terjadi di Indonesia. Koalisi yang dibangun baik menjelang maupun sesudah pemilu didasarkan kepada kepentingan pragmatisme elite-elite partai politik. Hal ini misalnya terlihat dari koalisi partai-partai politik yang mengusung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono. PKS dan PPP yang kental identitas keagamaannya bergandengan tangan dengan Partai Demokrat yang sangat nasionalis. Setelah pemilu kekuasaan pun dibagi-bagi sebagai politik balas budi seperti yang terlihat sekarang.
Koalisi yang dibangun atas dasar kepentingan pragmatis ternyata tidak mampu berjalan dengan mulus seperti yang terjadi di negeri ini. Bagaimanapun kepentingan politik setiap partai tidak sama, sehingga ketika terjadi gesekan kepentingan antar mereka seperti yang terlihat di Pansus Century, maka yang muncul adalah perseteruan. Kecenderungan demikian pulalah tampaknya yang akan terjadi dalam koalisi di Irak.
Dari dua kecenderungan pemilu di Irak yang memiliki paralelisme dengan pemilu di Indonesia sangatlah penting bagi elite-elite politik di negeri ini untuk mengambil pelajaran berharga.

*Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.