Selasa, 30 November 2010

Urgensi Perombakan Kabinet

Dimuat di Harian Sinar Harapan, Selasa 30 Nopember 2010

Pada bulan Oktober lalu ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono genap berusia setahun tuntutan dari berbagai kalangan agar SBY melakukan perombakan kabinet (reshuffle) demikian kencang. Belakangan ketika berbagai persoalan muncul mendera republik ini dari mulai masalah bencana seperti banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai dan letusan Merapi Yogyakarta sampai gonjang-ganjing kasus hukum yang melibatkan Gayus Tambunan isu reshuffle tersebut perlahan-lahan menghilang.
Namun sebagai publik seyogiayanya kita tidak terlena oleh kecenderungan tersebut. Sebaliknya, berbagai persoalan yang sangat memprihatinkan itu seharusnya dijadikan batu pijakan untuk kian keras menyuarakan perlunya perombakan kabinet. Hal ini karena bencana yang menimpa negeri ini dalam derajat tertentu tidak terlepas dari ketidakmampuan para pemimpin, dalam hal ini menteri-menteri terkait dalam mengelola negeri ini melalui kementeriannya masing-masing.

Ketegasan
Apa yang diperlukan SBY sekarang ini adalah ketegasan dalam mengambil sikap untuk melakukan perombakan kabinet. Apalagi dasar pijakannya sudah jelas, selain kontrak politik berbasis kinerja yang telah disepakati antara SBY dan para menterinya, juga laporan dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalia Pembangunan (UKP4) yang beberapa waktu lalu memberikan rapor merah terhadap sejumlah kementerian.
Oleh karena itu, SBY tidak perlu lagi merasa takut dan ragu-ragu untuk mengambil tindakan tegas sekalipun harus “mengorbankan” koalisi politik pendukungnya yang di DPR tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Jika memang ada menteri yang berasal dari koalisi tersebut tetapi dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka sudah seharusnya SBY menggantinya dengan orang lain.
Dalam hal ini, SBY tidak perlu memaksakan menteri-menterinya yang memang tidak layak naik kelas untuk dinaikkan kelasnya. Kalaupun dipaksakan, maka justeru akan membebani SBY sendiri. Di pihak lain, para elite partai koalisi juga suda menegaskan bahwa masalah pergantian menteri merupakan hak prerogratif presiden sehingga mereka tidak akan mencampurinya, sehingga SBY seolah telah mendapatkan garansi politik.

Zaken kabinet
Perombakan kabinet yang mesti dilakukan SBY untuk memasuki tahun kedua pemerintahannya hendaknya diarahkan pada terbentuknya zaken kabinet. Zaken kabinet merupakan kabinet yang diisi oleh kalangan profesional atau yang ahli di bidangnya. Dengan demikian, penempatan seseorang dalam suatu jabatan kementerian didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tersebut tanpa dilihat latar belakang politiknya.
Model pemerintahan dengan zaken kabinet ini sangat penting bagi pemerintahan SBY mengingat sejumlah hal. Pertama, tantangan riil pemerintahan dalam berbagai bidang di masa-masa yang akan datang akan semakin pelik. Dalam persoalan penegakan hukum, misalnya, SBY harus menempatkan orang yang betul-betul ahli di bidangnya. Menkumham sekarang, yang dipilih SBY lebih sebagai politik balas budi, tampak gamang dalam menghadapi berbagai kasus hukum sehingga acap menimbulkan kontroversi. Kebijakannya untuk memberikan remisi terhadap Syaukani sebagai nara pidana koruptor dengan alasan kemanusian karena sakit jelas sangat diskriminatif. Hal seperti ini tentu menjadi kontraproduktif terhadap citra pemerintahan SBY yang sedari awal sudah mencanangkan perang terhadap korupsi. Demikian pula di bidang lainnya seperti masalah TKI yang sesungguhnya merupakan isu klasik, pelepasan saham perdana PT Krakatau Steel Tbk yang kisruh dan lain sebagainya tentu memerlukan penanganan seorang yang ahli.
Kedua, loyalitas para menteri yang berasal dari kalangan profesional tentu akan lebih kuat daripada para menteri yang berasal dari kalangan parpol. Bagaimanapun, menteri yang berasal dari sebuah parpol tidak akan terlepas dari dualisme loyalitas, antara ke partainya dan negara sehingga kinerjanya tidak maksimal. Kabinet pelangi yang dibentuk SBY di masa pemerintahan pertamanya memperlihatkan betapa menteri-menteri yang berasal dari parpol seringkali mengutamakan kepentingan partainya Ini akan terlihat lebih jelas di masa-masa akhir pemerintahan atau ketika pemilu sudah dekat waktunya. Mereka biasanya sibuk dengan berbagai program kampanye demi membesarkan partainya sehingga tugas-tugasnya sebagai menteri kerap terabaikan.
Model zaken kabinet bukan berarti tidak ada kelemahan apalagi dalam pemerintahan seperti Indonesia yang sekalipun menganut presidensialisme akan tetapi nuansanya adalah parlementarisme antara lain dengan adanya sistem multipartai. Dalam konteks ini menteri-menteri yang murni berasal dari jalur profesional jarang mendapatkan dukungan kuat dari partai politik. Sehingga dalam kasus tertentu mereka tidak berdaya ketika misalnya harus mengeluarkan sebuah kebijakan yang memerlukan dukungan politik.
Dalam konteks ini, SBY sebenarnya boleh saja mengakomodasi kader-kader parpol sepanjang dilakukan dalam koredor profesionalisme. Apalagi di kalangan partai-partai politik banyak juga terdapat kader-kader yang profesional di bidangnya masing-masing. Namun SBY harus berani meminta kepada mereka untuk melepaskan baju partainya manakala ditunjuk sebagai menteri.
Berbagai masalah kini sudah menumpuk di depan mata yang memerlukan penanganan segera. Maka, perombakan kabinet betul-betul sudah urgen untuk segera dilakukan SBY.

Tidak ada komentar: