Rabu, 25 Februari 2015

Solusi Eelegan Jokowi? (Koran Sindo 20 Pebruari 2015)

Setelah sekian lama didesak baik oleh publik, para elite politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), kalangan DPR dan sebagainya, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan juga sikapnya.
Rabu sore (18/02) kemarin Jokowi secara resmi mengumumkan tidak akan melantik Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG), melainkan mengajukan nama baru sebagai penggantinya, yaitu Komjen Polisi Badrodin Haiti yang sekarang menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri.
            Pada saat yang sama Jokowi mengumumkan pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua orang komisionernya yang telah berstatus tersangka, Abraham Samad (AS) dan Bambang WIdjojanto (BW) diberhentikan untuk sementara. Kemudian Jokowi menunjuk tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK, yaitu Taufiequrrahman Ruki, Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi SP. Mereka ditunjuk Jokowi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK.

Win-Win Solution
            Bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi tersebut cukup mengejutkan. Ketika BG yang akhirnya tampil sebagai pemenang dalam proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum lama ini, Jokowi diduga bakal segera melantik BG sebagai Kapolri baru. Namun ternyata Jokowi mengambil sikap yang berbeda. Ia justeru membatalkan pelantikan BG dan menunjuk Badrodin sebagai penggantinya.
Apakah langkah yang diambil Jokowi ini merupakan sikap yang tepat? Dilihat dari perspektif teori negosiasi politik, langkah yang diambil Jokowi di atas termasuk ke dalam quadran kolaboratif, yakni negosiasi yang menekankan win-win solution. Pihak-pihak yang bertikai, dalam hal ini Polri dan KPK, termasuk Jokowi yang terkait dengan pertikaian tersebut, sama-sama mendapatkan keuntungan dan pada saat yang sama juga terhindar dari kerugian atau potensi buruk yang kemungkinan didapatkannya.
            Bagi BG secara personal, meskipun keputusan Jokowi terlihat merugikan karena kesempatan menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian yang sudah di depan mata menjadi hilang, tetapi sebenarnya dapat menguntungkan dirinya. Perlu diketahui, betapapun BG memenangkan praperadilan, tetapi bukan berarti ia bisa bebas sepenuhnya.
Pasalnya, yang dianggap tidak sah oleh hakim Sarpin Rizaldi adalah mekanisme atau prosedur penetapannya oleh KPK, bukan substansi tindakan pidananya. Dengan demikian, bisa saja jika prosedur penetapan diperbaiki kembali oleh KPK, BG dapat kembali menjadi tersangka. Sekalipun BG dilantik menjadi Kepala Polri, tidak akan menghalanginya untuk dijadikan tersangka.
Itu akan jauh lebih menyakitkan jika seorang pemimpin tertinggi kepolisian menjadi tersangka. BG sendiri tentu akan menanggung malu yang sangat besar kalau benar-benar terjadi. Bagi polri secara kelembagaan, keputusan Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG juga menguntungkan.
Boleh jadi kalau BG tetap dilantik, konfliknya dengan KPK akan terus berlanjut karena bukan tidak mungkin unsur balas dendam tetap ada. Padahal konflik kelembagaan tersebut telah banyak menguras energi, tenaga dan pikiran yang sia-sia, bahkan mengancam matinya proses penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sementara Badrodin yang tidak terkait langsung dengan konflik, diharapkan bisa menjadi pereda suasana ketegangan itu. Sementara itu, KPK yang nyaris lumpuh karena semua komisionernya terancam menjadi tersangka juga diuntungkan dengan langkah Jokowi. Secara kelembagaan, KPK bakal pulih kembali dengan ditunjuknya tiga orang sebagai plt pimpinan sehingga lembaga ini dapat berjalan secara sempurna.
Tanpa ada solusi tersebut, KPK mungkin akan sulit berjalan normal karena dua orang pimpinannya telah ditetapkan sebagai tersangka. Memang dalam situasi seperti ini, agaknya ada komisioner KPK yang dirugikan secara personal, yakni AS dan BW. Namun karena undang-undang sendiri menyatakan bahwa komisioner yang menjadi tersangka harus nonaktif, maka tidak ada jalan lain bagi mereka berdua selain nonaktif dari KPK. Dalam situasi seperti ini, boleh jadi kedua komisioner nonaktif tersebut bisa menjadi martir demi terus tegaknya pemberantasan korupsi di negeri ini. Mereka berdua boleh “mati”, tetapi KPK harus tetap hidup.

Dukungan Publik
            Langkah yang telah diambil Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG jelas akan berdampak positif yang besar baginya, terutama terkait dengan dukungan publik. Seperti diketahui, suara publik selama ini tampaknya lebih condong pada pembatalan pelantikan BG. Dengan kata lain, publik lebih memercayai KPK ketimbang kepolisian dalam hal penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi.
Karena itu, sekalipun BG menang di praperadilan, dukungan mereka terhadap KPK tetap tidak surut. Dengan keputusan Jokowi tersebut, publik akan menganggap bahwa mantan Wali Kota Solo itu masih tetap memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi di republik ini.
Meski tidak menghentikan sepenuhnya upaya kriminalisasi terhadap KPK, tetapi setidaknya dengan membatalkan pelantikan BG, Jokowi dipandang telah bisa mencairkan ketegangan antara kedua lembaga penegak hukum tersebut. Satu hal lain yang akan disikapi positif oleh publik terkait langkah Jokowi di atas adalah mampunya sang presiden keluar dari tekanan-tekanan dari elite-elite partai politik, khususnya yang berada di dalam KIH.
Selama ini, Jokowi dianggap tidak berdaya menghadapi tekanan itu sehingga berbagai keputusannya cenderung lebih berpihak pada kepentingan para elite politik tersebut ketimbang kepentingan publik. Namun, kali ini Jokowi ternyata lebih mendengarkan aspirasi publik dan lebih mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim Independen atau Tim 9 yang dibentuknya sendiri.
Seperti diketahui, langkah yang diambil Jokowi di atas persis seperti yang direkomendasikan oleh tim yang dipimpin oleh Buya Syafi’i Maarif tersebut. Pengumuman sikap oleh Jokowi sendiri dilakukan tidak lama setelah ia berkonsultasi dengan tim. Tentu realitas ini akan sangat diapresiasi publik. Satu-satunya hal yang mungkin menjadi batu sandungan Jokowi atas keputusannya tersebut adalah reaksi DPR.
DPR yang selama ini bersikukuh agar BG tetap dilantik bahkan sebelum proses praperadilan selesai, agaknya tidak menerima begitu saja langkah Jokowi dengan dalih merusak kewibawaan lembaga tinggi negara. Ini karena mereka merasa tidak dihargai karena keputusannya yang menyetujui BG sebagai calon Kapolri tidak digubris oleh Jokowi.

            Namun Jokowi tampaknya tidak akan terlalu sulit menghadapi lembaga legislatif itu. Selain telah mendapatkan dukungan publik, yang membuat para anggota dewan tidak bisa begitu gegabah untuk bereaksi keras, hubungan Jokowi juga kini relatif sudah lebih cair, terutama dengan elite-elite partai politik dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Jokowi pun bisa melenggang aman. Karena itu, boleh dikatakan, langkah Jokowi di atas merupakan solusi yang elegan.   

Menimbang Keputusan Jokowi (Pikiran Rakyat, 18 Pebruari 2015)

Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memenangkan gugatan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG) seperti yang dibacakan hakim tunggal Sarpin Rizaldi pada Senin 16/02 kemarin. Dengan kemenangan berada di pihak calon tunggal Kapolri tersebut status tersangka BG yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 Januari lalu otomatis dibatalkan. Karena secara tegas hakim memutuskan penetapan tersangka BG tidak sah. Kenyataan ini pada gilirannya membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akhir-akhir ini terus didesak untuk segera membuat keputusan terkait BG seolah tidak punya pilihann lain kecuali melantiknya sebagai Kapolri baru. Hal ini karena dengan tidak sahnya status penetapan BG sebagai tersangka sebagaimana diputuskan hakim, BG dianggap tidak lagi memiliki masalah hukum. Dengan kata lain, BG telah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi Kapolri. Namun demikian, meski di atas kertas Jokowi tinggal menindaklanjuti hasil proses praperadilan dengan melantik BG, agaknya tidak cukup mudah baginya untuk melakukan hal tersebut. Setidaknya ada dua persoalan yang kemungkinan besar dapat menjadi ganjalan atau kerikil tajam bagi Jokowi ke depan dengan mematuhi keputusan hakim di praperadilan tersebut. Pertama, terkait sentiment publik di mana pada umumnya publik menilai BG memang memiliki masalah cacat hukum sehingga tidak layak menjadi orang nomor satu di jajaran polri. Opini publik tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pengalaman selama ini bahwa orang-orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka belum pernah ada yang bebas begitu saja, bahkan biasanya berakhir di penjara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa rekam jejak (track record) yang dimiliki KPK jauh lebih baik dari lembaga-lembaga penegak hukum lainnya di Indonesia seperti kepolisian dan kejaksaan. Hanya lembaga inilah yang mampu melakukan pemberantasan korupsi dan menangkap para koruptor bahkan di lingkaran elite kekuasaan. Tidak ada ceritanya seorang menteri di negeri ini ditangkap dan dipenjarakan kecuali setelah ada lembaga ini. Oleh karena itu, tidak heran kalau mayoritas publik Indonesia berada di belakang KPK dalam kisruh Polri-KPK terkait penetapan BG sebagai tersangka. Sekalipun kini status tersangka BG dicabut hakim praperadilan, tetapi diyakini bahwa publik tetap akan mendukung KPK. Kenyataaan inilah yang nanti bakal dihadapi Jokowi dan berpotensi mengganggu pemerintahannya nanti. Kedua, secara substansi hukum sebenarnya BG belumlah aman. Kemenangan yang berada di pihaknya lebih pada aspek prosedur dan mekanisme hukum penetapan seseorang sebagai tersangka. Artinya, yang dimenangkan oleh hakim praperadilan adalah soal proses penetapan, bukan subtansi tindak pidananya. Oleh karena itu, bisa saja jika prosedur penetapannya diperbaiki, BG akan kembali menjadi tersangka. Oleh karena itu, jika Jokowi melantik BG sebagai Kapolri, sama saja dengan menanam sesuatu yang bermasalah. Jokowi tentu akan dipersalahkan publik karena dianggap tidak konsisten dengan pemilihan pejabat publik yang selama ini sering diungkapkannya. Yakni, tidak akan memilih orang yang bermasalah secara hukum atau orang yang berpotensi bermasalah. Dari sudut ini, BG jelas termasuk orang yang berpotensi memiliki masalah hukum ke depannya. Menyelamatkan KPK Selain itu, ada hal lain yang harus dipertimbangkan Jokowi terkait pelantikan BG, yakni soal nasib KPK. Mungkin sebagian kalangan berpandangan bahwa dengan kemenangan BG dalam proses praperadilan, KPK berada di pihak yang salah. Kemudian mereka berusaha membangun opini publik tentang kesalahan KPK sehingga pada gilirannya kredibilitas lembaga ini akan merosot. Tentu hal tersebut sangat disayangkan kalau benar-benar terjadi. Oleh karena itu, Jokowi harus mempertimbangkannya sematang mungkin sebelum mengambil keputusan yang sangat penting ini. Jika pun pada akhirnya Jokowi tidak memiliki jalan lain kecuali melantik BG sebagai Kapolri, maka hendaknya mantan Gubernur DKI tersebut berusaha untuk menyelamatkan KPK. Salah satunya adalah dengan cara “menghentikan” proses pengaduan hukum para komisioner KPK yang agaknya terlalu mengada-ada. Kasus penetapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, misalnya, kelihatan sekali seperti dipaksakan bahkan tampak seperti upaya balas dendam. Demikian pula pengaduan hukum atas Ketua KPK Abraham Samad yang sesungguhnya lebih berada di wilayah etika ketimbang tindak pidana. Dengan kedudukan dan kewenangannya sebagai presiden, tentu Jokowi dapat melakukan hal tersebut. Dalam konteks ini, Jokowi dapat melakukan negosiasi dengan pihak-pihak terkait. Intinya, Jokowi harus berusaha agar jangan sampai kemenangan BG itu dimaknai sebagai kejemawaan polri terhadap KPK, sehingga KPK kemudian berada di pihak yang disudutkan. Inilah yang harus benar-benar dipertimbangkan Jokowi jika benar-benar ia melantik BG sebagai Kapolri.

Selasa, 03 Februari 2015

Jokowi dan Evaluasi PDIP (Suara Pembaruan, 3 Pebruari 2015)

Di tengah kisruh perseteruan Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai buntut dari penetapan calon tunggal Kapolri Komisaris Jenderal (Pol) Gudi Gunawan (BG) sebagai tersangka, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan pertemuan dengan Prabowo Subianto. Pertemuan tersebut jelas mengundang perhatian publik karena Ketua Dewan Pembina Gerindra tersebut merupakan rival berat Jokowi pada saat Pilpres 2014 yang lalu dan telah menyatakan diri sebagai oposisi pemerintah. Oleh karena itu, banyak kalangan yang bertanya apa sesungguhnya yang ingin dicari Jokowi sehingga mengadakan pertemuan tersebut? Apakah pertemuan itu didasari oleh kekecewaan Jokowi terhadap partai pengusung utamanya, PDIP dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri karena belakangan terdapat kerenggangan hubungan di antara mereka? Dan bagaimana seharusnya PDIP sebagai partai pemerintah menyikapi situasi politik yang kian memanas itu? Pertanyaan yang sangat menggoda terkait pertemuan Jokowi-Prabowo tersebut adalah mungkinkah mantan Gubernur DKI itu akan berpaling ke KMP dan meninggalkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)? Pertanyaan ini tidak berlebihan jika melihat sinyal-sinyal kerenggangan hubungan antara Jokowi dan PDIP (baca: Mega), bahkan ada tanda-tanda bahwa Jokowi mulai menjaga jarak dengan puteri Bung Karno itu dalam mengambil sejumlah keputusan penting. Setelah tidak segera melantik BG sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman, padahal diduga Mega menginginkan hal yang sebaliknya, Jokowi kemudian malah mengangkat Tim 9 tanpa komunikasi dengan Mega terlebih dahulu. Tim 9 ini ditugaskan Jokowi untuk menyelesaikan perseteruan Polri-KPK. Tindakan Jokowi tersebut ternyata mendapatkan reaksi yang keras dari kalangan PDIP. Reaksi paling keras terlihat dari pernyataan salah seorang elite partai moncong putih tersebut yang menyiratkan secara terang benderang bahwa Jokowi berpeluang untuk dilengserkan (impeachment) karena tindakannya itu. Pernyataan ini jelas kian memperlihatkan ketidaknyamanan PDIP terhadap Jokowi. Sebelumnya salah seorang politisi PDIP juga menjadi salah seorang pelapor petinggi KPK ke kepolisian. Melihat dari apa yang telah dilakukan politisi-politisi PDIP terhadap Jokowi agaknya sulit dipercaya benar-benar terjadi. Bagaimana mungkin partai yang sejak awal menjadi pengusung utama Jokowi pada pilpres yang lalu kini justeru berubah menjadi partai yang seolah-olah memainkan peran oposisi. Yang lebih menyedihkan lagi bahkan partai kepala Banteng ini tampak berusaha “mendepak” Jokowi. Yang sangat disayangkan adalah kerenggangan Jokowi dan PDIP tersebut hanya karena persoalan egoisme pribadi, dalam hal ini Mega. Mega merasa seolah-olah Jokowi tidak lagi mau mematuhi apa yang diinginkannya. Para loyalis Mega di PDIP pun kompak berang terhadap Jokowi karena dianggapnya tidak tahu “berterima kasih” atas peran partai yang menghantarkannya menjadi presiden. Berdasarkan analisis di atas agaknya tidak mustahil jika Jokowi merasa semakin tidak nyaman bersama PDIP.. Karena itu, meninggalkannya merupakan alternatif yang sangat memungkinkan. Dalam konteks inilah, pertemuan Jokowi dan Prabowo dapat dipahami.. Memang diketahui bahwa pertemuan itu hanya membahas masalah penyelesaian BG terkait pencalonannya sebagai Kapolri, tetapi bukan tidak mungkin ke depan akan ada kesepakatan-kesepakatan politik lainnya. Elite-elite penentu di KMP mulai menampakkan sikap lunak terhadap Jokowi. Aburizal Bakrie (Ical), misalnya, kini tidak lagi galak pada pemerintahan Jokowi-JK setelah ada skema penyelesaian utang-utang Lapindo oleh pemerintah. Kecenderungan yang sama bisa juga terjadi pada Prabowo dengan penawaran-penawaran konsensi ekonomi-politik. Jika hal ini bisa dipegang Jokowi, tentu ia akan mudah melakukan komunikasi politik dengan KMP untuk mendapatkan dukungan politik. Andai PDIP tidak mau mengubah sikap politiknya terhadap Jokowi seperti yang terlihat sekarang, perpindahan haluan politik Jokowi ke KMP hanya tinggal menunggu waktu saja. Mesti Berkaca Jika skenario di atas terjadi, maka yang sesungguhnya dirugikan adalah PDIP itu sendiri. Pertama, PDIP bisa ditinggalkan sendirian dalam peta politik Indonesia. Paling jauh, Nasdem yang dapat diandalkan dari KIH karena kedekatan Surya Paloh dengan Mega, tetapi partai-partai politik lainnya seperti PKB, Hanura dan PPP mungkin akan lebih cenderung ke Jokowi. Situasi ini jelas akan sangat merugikan PDIP. Tidak salah kalau ada pihak yang menyebutkan PDIP tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Kedua, citra PDIP kian buruk di mata publik. Bukan rahasia lagi bahwa pendukung utama BG untuk menjadi Kapolri adalah Mega dan diduga Megalah orang yang mengusulkannya untuk menjadi pengganti Sutarman. Oleh karena itu, kalau PDIP tetap pada posisi seperti yang sekarang, maka kesan publik bahwa partai ini menghendaki orang yang berstatus tersangka sebagai pejabat publik kian menguat. Padahal selama ini partai ini selalu menampilkan diri sebagai partai yang anti korupsi. Dengan demikian, yang paling tepat dilakukan PDIP sekarang ini harus berani mengkritisi Polri yang seperti melakukan perlawanan terhadap institusi KPK bahkan menyerukan pembatalan pelantikan BG. PDIP seharusnya mendukung KPK sebagai lembaga penegak hukum (pemberantas koruopsi) yang paling dipercaya publik saat ini, bukan ikut merongrong KPK dengan melakukan pengaduan hukum yang tidak jelas junterungannya. Inilah saatnya bagi PDIP untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan politiknya. Sudah semestinya partai ini berada terus di belakang Jokowi dalam memimpin pemerintahan ini. Bagaimana pun kehadiran Jokowi justeru lebih menguntungkan PDIP. Karena itu, kalau sampai ditinggalkan Jokowi, kuburan politik siap menelannya.