Kamis, 29 Juli 2010

Kesadaran Legislatif Anggota DPR

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat Kamis, 29 Juli 2010

Sorotan publik terhadap perilaku para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga terhormat ternyata tidak pernah sepi. Setelah dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat karena berbagai kebijakan yang terkesan mementingkan diri mereka sendiri, seperti menaikkan gaji, mengusulkan dana aspirasi dan sebagainya, kini mereka dipandang tidak serius melakukan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Indikasi dari ketidakseriusan tersebut adalah jarangnya sebagian dari para anggota legislatif tersebut hadir dalam berbagai persidangan, baik pada rapat paripurna, komisi dan sebagainya. Hampir setiap persidangan di DPR diundur pelaksanaannya sampai kurang lebih satu jam hanya karena menunggu kehadiran para anggotanya untuk mencapai kuorum.
Pertanyaan yang menarik untuk dilontarkan dalam konteks ini adalah haruskah kehadiran secara fisik para wakil rakyat dalam berbagai persidangan tersebut? Ataukah yang lebih diutamakan adalah peran dan kontribusi mereka dalam tugas-tugas keparlemenan sekalipun tidak hadir secara fisik?
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa tugas utama DPR sebagai lembaga legislatif adalah menjalankan fungsi legislasi di samping fungsi pengawasan dan anggaran. Sayangnya, justeru fungsi legislasi inilah yang kurang dilaksanakan secara signifikan.
Yang sering mengemuka selama ini adalah fungsi pengawasan. Sebagai lembaga yang mesti menjalankan fungsi check and balances, tentu hal tersebut tidaklah salah, malahan patut diberikan apresiasi. Sayangnya fungsi pengawasan yang diperlihatkan tersebut acap dilakukan bukan semata-mata untuk menuntaskan persoalan, tetapi lebih sebagai politik citra di mata publik. Kasus Pansus Century barangkali dapat dijadikan bukti.
Menjalankan fungsi legislasi jelas memerlukan keterlibatan yang penuh dan keseriusan yang tinggi dari para anggota legislatif. Oleh karena itu, kehadiran mereka secara fisik dalam persidangan menjadi hal yang mutlak. Bukankah dalam persidangan itu semua hal dapat dibicarakan, didiskusikan untuk kemudian diambil keputusan? Kehadiran mereka paling tidak merupakan satu pembuktian akan keseriusan mereka sebagai wakil rakyat.
Dalam konteks ini, kiranya ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, para anggota legislatif harus benar-benar menjadikan jabatan mereka sebagai tugas utama, bukan sebagai sampingan. Disinyalir banyak anggota yang bolos karena mereka lebih mengutamakan pekerjaan lain, misalnya, bisnis bagi anggota yang merupakan pengusaha. Atau ada pula anggota lain seperti yang berasal dari kalangan selebritis yang tetap tampil dalam acara-acara entertainment meskipun sudah menjadi wakil rakyat.
Jika sebagian anggota legislatif masih tetap menyambi pekerjaan lain, tentu tugas utamanya sebagai wakil rakyat tidak maksimal. Fungsi legislasi bukanlah tugas main-main, karena menyangkut kehidupan negara, bangsa dan segenap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan fokus dan serius.
Kedua, mekanisme reward and punishment layak diberikan. Hanya saja usulan sementara ini seperti hukuman pemotongan gaji, pemindaian sidik jari agaknya tidak akan banyak berpengaruh. Kecuali kalau partai dan ketua-ketua fraksi berani memberlakukan hukuman seperti Pergantian Antar Waktu (PAW), mungkin akan lebih signifikan. Masalahnya, ketua-ketua fraksi sendiri jarang menegur anggotanya yang suka bolos.
Ketiga, Badan Kehormatan (BK) DPR harus berani bertindak tegas, misalnya memublikasikan anggota-anggota legislatif yang bolos ke publik. Dengan catatan bahwa mereka benar-benar bolos tanpa alasan, bukan karena sedang melaksanakan tugas keparlemenan atau tugas partai yang waktunya bertabrakan dengan acara persidangan.
Namun demikan, yang lebih penting dari itu semua adalah kesadaran legislatif dari segenap wakil rakyat itu sendiri. Bahwa keberadaan mereka di lembaga legislatif tersebut adalah untuk menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi legislasi, selain pengawasan dan anggaran. Tanpa adanya kesadaran itu betapapun berat sanksi yang diberikan akan terasa sia-sia saja.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Rabu, 28 Juli 2010

Antara Konfederasi, Fusi dan Asimilasi

Harian Tribun Jabar, 26 Juli 2010

Gagasan tentang penyederhanaan partai politik tampaknya kian ditanggapi secara serius oleh partai-partai politik di Indonesia. Mula-mula Partai Amanat Nasional (PAN) menggulirkan ide tentang konfederasi, disusul kemudian oleh Partai Golkar (PG) dengan melontarkan ide tentang fusi. Seperti tidak mau ketinggalan Partai Demokrat (PD) sebagai partai berkuasa juga melontarkan ide serupa dengan istilah asimilasi.
Di manakah letak perbedaan antara konfederasi, fusi dan asimilasi sehingga ketiga partai tersebut merasa harus menghadirkannya ke ruang publik? Ataukah pelontaran ketiga istilah itu hanya sekadar memperlihatkan bahwa mereka sesungguhnya tidak mau kalah dalam berwacana, sehingga masing-masing ingin dianggap sebagai pionir dalam mengusung gagasan tersebut?
Istilah konfederasi dalam bidang politik biasanya digunakan untuk membedakan bentuk-bentuk negara, yaitu negara kesatuan (eenheidsstaat) seperti negara kita Indonesia, negara serikat atau federal (bondstaat) seperti negara Amerika Serikat dan negara konfederasi (statenbond) seperti Swiss, satu-satunya negara yang hingga saat ini masih menerapkan model negara semacam ini.
Secara sederhana negara konfederasi dapat diartikan sebagai gabungan beberapa negara yang memiliki konstitusi sendiri-sendiri tetapi bersepakat untuk melakukan perhimpunan yang longgar. Kata kuncinya adalah bahwa kedaulatan tetap dimiliki oleh setiap negara yang bergabung tersebut, tetapi pemerintahannya yang berdaulat itu bersepakat untuk duduk satu meja membicarakan berbagai kemungkinan kerjasama dan sebagainya.
Ketika gagasan konfederasi ini diterapkan dalam konteks partai politik sebagaimana digulirkan PAN jelas memperlihatkan bahwa partai ini menghendaki agar partai-partai yang setuju melakukan konfederasi bisa bergabung menjelang Pemilu 2014 tanpa kehilangan identitas dan jati diri kepartaiannya. Ketika mereka berhasil memasuki parlemen, maka ini akan menciptakan blok kekuatan baru di lembaga tersebut.
Sementara fusi yang dilontarkan Golkar lebih bermakna sebagai peleburan partai-partai politik sehingga menjadi partai baru yang lebih kuat. Secara historis fusi pernah diterapkan di Indonesia melalui undang-undang yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Maka, lahirlah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai-partai yang berbasis Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partai-partai yang berbasis nasionalis.
Adapun gagasan tentang asimiliasi yang diusung Demokrat sesungguhnya lebih umum diterapkan dalam ranah kebudayaan. Dalam salah satu definisi asimilasi yang paling umum, misalnya, disebutkan sebagai pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Contoh paling mudah untuk konteks budaya Indonesia adalah kasus transmigrasi yang dilakukan orang-orang Jawa ke wilayah Sumatera atau Kalimantan.
Ketika konsep asimiliasi ini diterapkan dalam ranah politik terutama dalam kaitannya dengan sistem kepartaian, agaknya akan terasa sulit. Bagaimanapun masalah penyederhanaan partai politik merupakan masalah struktural, sedangkan asimilasi bersifat kultual. Oleh karena itu, sulit dipadukan. Seandainya pun dilakukan tentu akan memakan waktu yang sangat lama.
Dari tinjauan di atas ketiga gagasan tersebut tampaknya memiliki kelemahan yang patut dipertimbangkan bersama. Konfederasi, misalnya, lebih bersifat jangka pendek. Artinya, gagasan ini lebih didasarkan kepada kepentingan sesaat, bukan jangka panjang. Dalam hal ini, gagasan PAN ini lebih diorientasikan sebagai reaksi terhadap akan dinaikkannya angka Parliamentary Treshold menjadi 5% pada Pemilu 2014.
Sedangkan fusi meskipun memiliki aspek historis tetapi akan sulit dilakukan. Selain membutuhkan waktu yang cukup lama, juga akan berlawanan dengan watak para politisi kita yang cenderung mempelihatkan egoisme yang demikian menonjol. Fusi pada tahun 1975 berhasil karena dilakukan secara paksa oleh pemerintahan Orde Baru yang otoriter sehingga akibatnya seperti menyimpan api dalam sekam.
Apalagi gagasan tentang asimilasi tampaknya terkesan memaksakan diri. Partai politik adalah kumpulan orang dari beragam budaya, suku, agama dan sebagainya yang diikat oleh kepentingan politik bersama. Dalam konteks ini tidak terjadi proses asimilasi. Yang ada adalah berbagai proses negosiasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Oleh karena itu, menjadi ganjil kalau gagasan ini dikaitkan dengan upaya penyederhanaan partai politik.
Namun hemat penulis, dari ketiga konsep tersebut yang lebih memungkinkan adalah konfederasi. Sekalipun berorientasi jangka pendek, tetapi mempunyai pijakan politik yang jelas. Usulan agar masalah ini dimasukkan ke dalam undang-undang sebelum pemilu digelar cukup tepat untuk meminimalisasi kepentingan jangka pendek atau sesaat.
Adapun dua konsep lainnya agaknya lebih merupakan bentuk dari egosime partai besar, yaitu Golkar dan Demokrat yang tidak mau terkesan mengikuti gagasan yang lebih dulu telah dilontarkan partai lain yang notabene partai yang lebih kecil.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Piala Dunia dan Kegelisahan Parpol Besar

Harian Pikiran Rakyat, 28 Juni 2010

Perhelatan Piala Dunia di Afrika Selatan 2010 memperlihatkan banyak kejutan, antara lain rontoknya sejumlah raksasa sepakbola khususnya dari Benua Eropa. Perancis merupakan contoh yang paling tragis. Sebagai peraih juara dunia pada 1998 dan juara Eropa pada 2000, kemudian tampil sebagai finalis pada Piala Dunia 2006, Tim Ayan Jantan harus angkat koper pagi-pagi. Selama di babak pertama, tidak sekalipun kemenangan diperolehnya.
Peristiwa yang juga dramatis dialami Italia setelah mengalami kekalahan yang sangat menyakitkan di laga penentuan melawan Slovakia. Italia yang merupakan peraih terbanyak tahta supremasi sepak bola untuk tingkat Eropa dan kedua di dunia setelah Brasil dan datang ke Afrika Selatan sebagai juara bertahan harus pulang lebih awal dengan menundukkan muka. Inggris hampir mengalami nasib yang serupa, beruntung dewi fortuna masih berpihak kepadanya. Pada laga penentuan Inggris akhirnya berhasil mencatat kemenangan dan lolos ke babak 16 besar meski dengan terseok-seok, sesuatu yang kontras dengan penampilannya pada penyisihan Piala Dunia yang cukup mengkilap.
Tim Eropa lainnya yang mengalami nasib yang tidak menguntungkan adalah Denmark. Meskipun bukan termasuk tim raksasa Eropa, namun tim yang dijuluki Dinamit ini pernah mengecap juara Eropa sehingga kehadirannya di Piala Dunia kali ini layak diperhitungkan. Sayangnya di laga penentuan, tim ini tidak berkutik di hadapan Tim Samurai Jepang dan dibantai dengan skor cukup telak 1-3.
Sementara itu tim-tim yang dianggap underdog dan kehadirannya kerap dianggap penggembira ternyata mampu menjungkirbalikkan perkiraan banyak kalangan. Sebagian dari mereka bahkan telah mempermalukan tim-tim raksasa Eropa. Dari Benua Asia Korea Selatan dan Jepang telah berhasil mencuri perhatian dunia. Korsel berhasil menggebuk Yunani 2-0 di babak awal, meskipun kemudian kalah telak oleh Argentina namun di babak berikutnya berhasil menahan seri Nigeria. Jepang tampil lebih menjanjikan. Di laga penentuan tim ini berhasil menyingkirkan salah satu tim besar Eropa Denmark secara meyakinkan. Tim underdog dari Eropa, Slovakia, juga berhasil memberikan kejutan. Negara yang sebelumnya tergabung dengan Ceko tersebut menyingkirkan sang juara bertahan, Italia.
Dari perhelatan Piala Dunia 2010 yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Benua Afrika Selatan tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa kekuatan besar tidak selamanya memenangkan pertempuran dengan kekuatan kecil seperti yang terlihat dari rontoknya tim-tim besar. Ketika kekuatan-kekuatan besar itu tidak dikelola dengan baik atau banyak terjadi kekisruhan internal yang mengakibatkan kekurangharmonisan di dalam seperti yang terjadi pada skuad Perancis, maka kekalahan sebenarnya tinggal menunggu waktu saja.

Parpol Besar
Apa yang terjadi pada Piala Dunia bukan tidak mungkin terjadi pula dalam dunia politik. Kekuatan-kekuatan besar dalam dunia politik seperti yang terdapat dalam partai-partai politik besar seperti Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat mungkin saja akan tergerus oleh kekuatan-kekuatan kecil di masa mendatang jika saja pengelolaan terhadap parpol-parpol besar tersebut tidak tepat sehingga tidak mampu menghadapi berbagai tantangan.
Golkar, misalnya, kini dihadapkan tantangan nyata dengan kehadiran organisasi kemasyarakatan (ormas) Nasional Demokrat (Nasdem) yang kian populer di mata publik. Partai beringin ini tampak gelisah sampai-sampai sekjen Idrus Marham mengeluarkan pernyataan bahwa kader-kader Golkar yang ada di Nasdem telah membuka friksi dengan Golkar. Pernyataan ini tampaknya menyiratkan kekhawatiran bahwa ormas ini akan mampu menggerogoti kekuatan Golkar terutama pada Pemilu 2014.
Kekhawatiran ini tentu sangat beralasan mengingat Nasdem didirikan oleh Surya Paloh, mantan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar dan pesaing terberat Aburizal Bakrie (Ical), Ketua Umum Golkar sekarang. Surya Paloh memiliki gerbong yang cukup besar di tubuh beringin sehingga tidak akan kesulitan jika sewaktu-waktu menarik mereka. Apalagi secara kepemimpinan, Surya Paloh sebenarnya lebih mengakar ketimbang Ical di Golkar.
Dihadapkan dengan kenyataan ini dan ditambah dengan sejumlah problem yang siap menghadang, tentu Golkar tidak dapat tidur dengan nyenyak. PDIP dan Demokrat juga sebenarnya menghadapi masalah yang tidak kurang peliknya. Kekuatan status quo pada tubuh PDIP bukan tidak mungkin meninggalkan api dalam sekam di masa mendatang, Demokrat meski berhasil menampilkan pemimpin muda tetapi juga tidak terlepas dari “kerangkeng” kekuatan besar di atasnya.
Sementara itu partai-partai menengah atau kecil telah berancang-ancang dan siap memberikan kejutan pada Pemilu 2014. PKS, misalnya. yang telah memproklamsikan diri sebagai partai terbuka dengan membuka keanggotaan bagi non-muslim telah bertekad untuk meraih posisi ketiga. Dan demikian pula partai-partai lainnya.
Sebagaimana adagium yang mengatakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, maka bukan mustahil partai-partai besar akan rontok pada 2014 jika tidak berhasil menaklukkan tantangan yang menghadangnya. Piala Dunia 2010 di Afsel telah memberikan pelajaran bahwa tim-tim besar yang bertabur bintang ternyata tidak menjadi jaminan kemenangan.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.