Senin, 09 September 2013

Langkah Taktis PDI Perjuangan (Suara Pembaruan, 9/9/2013)

Meskipun tidak ada pendeklarasian secara resmi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atas pencapresan Joko Widodo (Jokowi) untuk Pemilu 2014, namun sinyal-sinyal ke arah itu tampaknya cukup kuat. Inilah yang terlihat dari hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP yang diselenggarakan pada 6-8 September kemarin. Agenda rakernas sendiri memang sejak awal tidak ditargetkan untuk mendeklarasikan capres. Dalam pidatonya sebagai ketua umum pada pembukaan Rakernas Megawati Soekarnoputri, misalnya, menyebut-nyebut Jokowi sebagai generasi yang lahir dari rahim cinta kasih PDIP. Selain itu, Mega juga memercayakan Gubernur DKI Jakarta itu untuk membacakan "dedication of life" Bung Karno di hadapan ribuan kader partai kepala banteng tersebut. Belum lagi pernyataan-pernyataan Mega yang menegaskan bahwa ia selalu memerhatikan aspirasi dari arus bawah Dalam dunia komunikasi apa yang diperlihatkan oleh Mega tersebut termasuk ke dalam kategori apa yang disebut William Gudykunts sebagai komunikasi konteks tinggi (high context communication). Komunikasi jenis ini kerap tidak mengedepankan pesan verbal yang terang benderang seperti halnya komunikasi konteks rendah (low context communication), melainkan banyak menggunakan pesan nonverbal yang tersembunyi. Dari perspektif ini publik sebenarnya dapat membaca sinyal persetujuan Mega atas pencapresan Jokowi. Langkah Taktis Persoalannya adalah mengapa Mega sebagai orang yang paling otoritatif untuk menentukan capres PDIP tidak segera saja mendeklarasikan Jokowi sebagai capresnya? Menurut hemat penulis, ada beberapa pertimbangan yang dilakukan Mega. Pertama, Mega tampaknya menyadari bahwa sekalipun sebagian besar perwakilan DPD PDIP menyuarakan nama Jokowi, tetapi ada juga sebagian yang menyuarakan nama-nama lain seperti Puan Maharani dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, di internal partai moncong putih tsendiri masih terdapat dua kubu, yakni antara yang mendukung Jokowi dan yang tetap menginginkan trah Soekarno sebagai capres PDIP. Tentu jika Mega langsung menetapkan Jokowi sebagai capres akan menimbulkan kekecewaan pada kubu Soekarnois yang dalam derajat tertentu bisa menimbulkan perpecahan. Jelas Mega tidak ingin hal itu terjadi apalagi target PDIP menjadi pemenang Pemilu 2014. Kedua, dengan tidak langsung mendeklarasikan Jokowi sebagai capres PDIP pada Rakernas III kemarin Mega terlepas dari perasaan ketersinggungan atau bahkan kehilangan muka. Bagaimanapun, sesuai amanat Kongres Bali, yang berhak menentukan capres PDIP adalah Mega sendiri sebagai ketua umum. Maka, jika Rakernas dijadikan forum untuk pendeklarasian capres, dianggap melangkahi forum yang lebih besar, yakni kongres atau lebih parah lagi dipandang mengenyampingkan Mega sebagai yang telah diberi mandat Ketiga, Mega juga tampaknya masih menunggu momentum yang tepat untuk pendeklarasian capres PDIP. Saat ini meskipun hampir semua pihak, baik kalangan internal maupun eksternal partai, memandang positif untuk mengusung Jokowi sebagai capres secara resmi, namun dari segi timing belum dianggap tepat. Oleh karena itu, ada sebagian usulan yang menghendaki agar pendeklarasian dilakukan berbarengan dengan hari ulang tahun PDIP yakni bulan Januari. Usulan tersebut tampaknya cukup tepat, meskipun ada pula yang menghendaki agar pendeklarasian dilakukan setelah pemilu legislatif (pileg). Menurut penulis, jika dilakukan setelag pileg jelas terlalu terlambat. Memang ada keuntungan jika dilakukan setelah pileg karena sudah tau perolehan suara partai, namun yang harus diingat bahwa penentuan capres juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap elektabilitas partai. Keempat, Mega tidak segera menetapkan Jokowi sebagai capres tampaknya supaya PDIP lebih fokus pada upaya konsolidasi partai untuk memenangkan pemilu dengan mengajak semua kadernya bekerja keras. Dalam salah satu pernyataannya Mega, misalnya, menegaskan bahwa PDIP harus memiliki kesabaran revolusioner untuk mendapatkan kemenangan. Kesabaran revolusioner itu hanya dapat dilakukan dengan bekerja keras. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dapat dipahami mengapa Mega tidak segera mendeklarasikan Jokowi sebagai capres PDIP. Dalam derajat tertentu tindakan yang dipilih Mega di atas bisa dipandang sebagai sebagai langkah taktis dan bijak. Atau bisa pula dianggap sebagai langkah kompromistis terhadap dua arus yang berseberangan di internal PDIP. Realistis Masih adanya suara-suara yang tetap menghendaki agar orang yang memiliki trah Soekarno saja yang diusung PDIP sebagai capres pada Pemilu PDIP tentu merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Mega. Meskipun secara personal Mega tidak memiliki persoalan karena dia sendiri agaknya tidak akan maju lagi sebagai capres, tetapi bagaimanapun masih ada Puan Maharani yang notabene puteri kandungnya. Nama Puan juga disebut-sebut sebagai capres oleh sejumlah DPD di Rakernas kemarin. Dalam hal ini, Mega harus mempertimbangkan antara keinginan untuk tetap mengedepankan trah ayahnya atau bersikap legowo untuk mempersilahkan orang lain yang diusung sebagai capres PDIP. Tentu Mega harus melakukan kalkulasi politik yang matang untuk mengambil keputusan tersebut terutama dengan memperhitungkan kans untuk meraih kemenangan. Dan agaknya sinyal dari Mega untuk memilih bersikap legowo cukup kuat. Sebenarnya, kalau mau berpikir jernih, meskipun pada akhirnya PDIP memilih untuk mengusung Jokowi sebagai capres, hal itu tidak serta merta menghilangkan trah Soekarno dari PDIP. Bagaimanapun, jika nanti Jokowi terpilih menjadi presiden, kendali partai masih tetap ada di Mega dan bisa diteruskan pada keturuannya. Sedangkan Jokowi hanyalah kader yang kebetulan sedang diberikan tugas partai untuk mengelola negara. Dengan demikian, itulah pilihan paling realistis bagi Mega. Bahwa kemudian masih ada kelompok yang tidak menghendaki Jokowi maju sebagai capres, dengan kemampuan dan pengalamannya menyatukan partai selama ini, tidak sulit bagi Mega mengatasinya dengan baik. Mega hanya perlu menjelaskan kepada mereka agar bersama-sama mendahulukan kepentingan partai daripada individu dan kelompok sebagai yang selalu didengungkan Bung Karno. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute,