Minggu, 14 Maret 2010

Paralelisme Pemilu Irak-Indonesia

Dimuat di Harian Tribun Jabar, Sabtu 03 Maret 2010

Pada hari Minggu 7 Maret kemarin rakyat Irak telah menyelenggarakan perhelatan besar yang sangat penting untu masa depan negaranya, yaitu pemilihan umum legilslatif. Momentum pemilu ini begitu krusial karena pemenang pemilu nanti akan menghadapi masalah penarikan tentara asing dari negeri seribu satu malam tersebut pada 2011. Artinya, di masa mendatang diharapkan Irak memiliki pemerintahan yang berdiri di atas kaki mereka sendiri tanpa topangan asing seperti selama ini.
Yang menarik dari penyelenggaraan pemilu di Irak tersebut adalah bahwa tampaknya ada paralelisme dengan pemilu yang telah dilaksanakan di negera kita Indonesia dalam beberapa hal. Dan kalau dicermati dengan seksama, kesamaan tersebut sesungguhnya dapat dijadikan pembelajaran yang sangat berharga bagi para elite-elite politik di negeri ini.

Isu Non-agama
Paralelisme yang pertama adalah bahwa isu yang digaungkan oleh partai-partai politik yang mengusung kandidat Perdana Menteri Irak ternyata lebih menonjolkan isu-isu non-agama. Kelompok Moqtada Sadr, misalnya, yang dikenal sebagai faksi Syiah yang fanatik dan sangat benci Amerika Serikat juga tidak menyuarakan isu-isu keagamaan dalam kampanyenya. Bahkan Sadr kemudian berkoalisi dengan Amar Hakim yang menjadi pimpinan Koalisi Nasionalis Irak di mana isu utama kampanyenya adalah masalah kemanusiaan.
Mencuatnya isu-isu non-agama dalam kampanye Irak tentu sangat menarik untuk diamati. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa para elit politik Irak menyadari bahwa yang dibutuhkan oleh rakyat Irak sekarang ini adalah sesuatu yang ril yang menyangkut hajat hidup mereka, seperti adanya rasa aman di kalangan mereka dan meningkatnya kesejahteraan hidup mereka yang belum pulih sejak invasi AS.
Para elit politik Irak menyadari bahwa kegagalan mereka dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan akan berpengaruh terhadap kredibilitas mereka di hadapan rakyat. Apa yang menimpa Perdana Menteri incumbent Nouri al-Maliki sekarang ini agaknya menjadi pelajaran penting. Pamor Maliki belakangan ini jauh merosot di mata rakyat yang diduga karena kegagalannya menciptakan rasa aman. Berbagai kasus bom bunuh diri terus bermunculan bahkan sampai menjelang pemilu.
Pemilu yang berlangsung di tanah air pada April 2009 tampaknya juga dalam derajat tertentu memperlihatkan kecenderungan yang sama. Partai-partai politik pada umumnya tidak menyuarakan isu-isu keagamaan dalam kampanye-kampanye mereka. Dan faktanya, partai-partai yang tetap keukeuh mengusung isu-isu keagamaan semacam Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak laku di pasaran. PBB bahkan kemudian tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR.
Pengecualian barangkali layak diberikan kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang sangat kental dengan warna keagamaan tersebut justeru tidak terjebak pada isu-isu keagamaan. Sebaliknya ia bermain di wilayah yang betul-betul menjadi kebutuhan rakyat. Slogannya, bersih, peduli dan profesional tampaknya cukup mengena di hati masyarakat. Saat korupsi sedang menggurita, berbagai musibah yang datang silih berganti dan carut marut birokrasi dan pemerintahan di negeri ini ketiga slogan tersebut terasa sangat tepat.

Koalisi Pragmatis
Paralelisme kedua yang terjadi dalam pemilu Irak dan Indonesia adalah munculnya koalisi yang didasarkan atas kepentingan jangka pendek elite-elite partai yang berebut untuk menjadi penguasa. Koalisi yang dibangun sama sekali tidak didasarkan pada kesamaan ideologis atau program.
Sekarang ini ada 12 koalisi politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan di Irak. Dari 12 kekuatan koalisi politik tersebut, yang tergolong menonjol adalah Koalisi Negara Hukum pimpinan PM Nouri al-Maliki, Koalisi Nasional Irak pimpinan Ammar Hakim, Kubu Irakiyah atau Gerakan Nasional Irak pimpinan Ayad Allawi, Koalisi Kurdistan pimpinan Masoud Barzani dan Jalal Talabani, Koalisi Persatuan Irak pimpinan Menteri Dalam Negeri Gawad al-Bulani.
Disinyalir bahwa pertarungan antar koalisi tersebut sesungguhnya bukan pertarungan untuk memperebutkan suara terbanyak dari rakyat Irak, tetapi lebih sebagai upaya untuk mengincar kursi perdana menteri yang kini dijabat al-Maliki. Karenanya, koalisi tersebut lebih merupakan kesepakatan-kesepakatan antar elite-elite koalisi ketimbang adanya kesamaan program.
Kecenderungan seperti ini pula yang terjadi di Indonesia. Koalisi yang dibangun baik menjelang maupun sesudah pemilu didasarkan kepada kepentingan pragmatisme elite-elite partai politik. Hal ini misalnya terlihat dari koalisi partai-partai politik yang mengusung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono. PKS dan PPP yang kental identitas keagamaannya bergandengan tangan dengan Partai Demokrat yang sangat nasionalis. Setelah pemilu kekuasaan pun dibagi-bagi sebagai politik balas budi seperti yang terlihat sekarang.
Koalisi yang dibangun atas dasar kepentingan pragmatis ternyata tidak mampu berjalan dengan mulus seperti yang terjadi di negeri ini. Bagaimanapun kepentingan politik setiap partai tidak sama, sehingga ketika terjadi gesekan kepentingan antar mereka seperti yang terlihat di Pansus Century, maka yang muncul adalah perseteruan. Kecenderungan demikian pulalah tampaknya yang akan terjadi dalam koalisi di Irak.
Dari dua kecenderungan pemilu di Irak yang memiliki paralelisme dengan pemilu di Indonesia sangatlah penting bagi elite-elite politik di negeri ini untuk mengambil pelajaran berharga.

*Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Seusai Pansus Century

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jum'at 05 Maret 2010

Hasil Rapat Paripurna DPR RI Selasa malam kemarin memperlihatkan bahwa opsi C yang menyatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh otoritas moneter dan fiskal akhirnya menang dalam voting. Opsi yang akhirnya didukung enam fraksi, yakni Golkar, PKS, PDIP, Hanura, Gerindra, dan belakangan PPP, mengalahkan opsi A yang menyatakan hal sebaliknya, di mana tiga fraksi, yakni Demokrat, PKB, dan PAN menjadi pendukungnya. Salah seorang anggota PKB, Lili Wahid bahkan membelot dari suara fraksinya dan memilih opsi C. Skor akhirnya, 212 untuk Opsi A dan 325 untuk opsi C.

Meskipun ada upaya untuk memperlambat paripurna oleh fraksi-fraksi pendukung opsi A yang dimotori oleh Demokrat dengan mengajukan opsi baru, yaitu gabungan antara opsi A dan C, tetapi pada akhirnya hal tersebut tidak memberikan pengaruh apa-apa. Sebab, pada pemungutan suara pertama opsi tersebut kalah. Apalagi secara substantif, pengajuan opsi gabungan tersebut terlalu mengada-ngada dan dipaksakan.

Pertanyaan yang layak diajukan seusai paripurna tersebut adalah bagaimana konstelasi politik selanjutnya, terutama terkait dengan koalisi di parlemen? Hal ini penting diungkapkan mengingat dua fraksi dari pendukung opsi C, yakni Golkar dan PKS, adalah fraksi yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.

Dalam konteks ini, paling tidak ada dua kemungkinan yang akan terjadi seusai paripurna. Pertama, koalisi pendukung Yudhoyono-Boediono di parlemen besar kemungkinan retak atau pecah kongsi. Pandangan yang sangat berlawanan antara Golkar, PKS, dan empat fraksi yang tetap dalam koalisi akan sulit disatukan kembali dalam perahu yang sama.

Keretakan ini mulai mengeras ketika serangan-serangan balik yang dilancarkan kubu Demokrat terhadap Golkar dan PKS terkesan seperti serangan balas dendam. Serangan Yudhoyono terhadap Aburizal Bakrie (Ical) melalui kasus pengemplangan pajak dan pelaporan Staf Khusus Presiden, Andi Arief, atas dugaan L/C bermasalah di Bank Century atas nama Misbakhun dari PKS, merupakan bukti konkret dari perseteruan tersebut.

Jika kemungkinan ini yang terjadi, Demokrat yang notabene pengusung utama Yudhoyono-Boediono dipastikan akan kelimpungan. Apalagi pada pemungutan suara kemarin, PPP yang tadinya diduga berada di pihak Demokrat ternyata memberikan dukungan kepada seterunya. Kalau ini kemudian berlanjut ke dalam koalisi, makin goyahlah Demokrat.

Namun, dari sudut pandang demokrasi, justru realitas politik tersebut merupakan hal positif karena akan terjadi perimbangan kekuatan antara eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, mekanisme check and balances antara kedua lembaga negara tersebut kian membaik. Pemerintahan Yudhoyono-Boediono tentu akan lebih hati-hati lagi dalam mengeluarkan berbagai kebijakannya. Akan tetapi, Yudhoyono di sisi lain bisa leluasa melakukan perombakan kabinet (reshuffle).

Kedua, Demokrat akan berusaha terus mempertahankan koalisi dengan tetap merangkul Golkar dan PKS. Pilihan ini mungkin terjadi jika Yudhoyono memberikan konsesi "besar-besaran" bagi keduanya baik dalam bentuk pemberian jabatan menteri atau bahkan wapres ataupun dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan keduanya. Sekalipun pilihan ini berat, tetapi secara politik akan menguntungkan bagi Yudhoyono karena relatif mudah mengamankan kebijakan-kebijakannya di parlemen.

Akan tetapi pada sisi lain, jika kemungkinan ini yang terjadi, Golkar dan PKS akan merugi secara politik dalam jangka panjang. Keduanya sama saja dengan melakukan "bunuh diri" politik karena citra mereka akan rontok di hadapan publik. Kekritisan keduanya selama pembahasan masalah Century tak lebih sebagai tarian dramaturgis yang ujung-ujungnya hanya mencari kekuasaan.

Keputusan politik

Satu hal yang harus dipahami oleh semua pihak adalah, apa yang telah diputuskan oleh Sidang Paripurna DPR merupakan keputusan politik. Keputusan politik berbeda dengan keputusan dalam ranah hukum misalnya melalui keputusan pengadilan. Semua pihak hendaknya memahami implikasi dari keputusan tersebut.

Hal ini perlu ditegaskan mengingat ada kecenderungan, fraksi-fraksi yang memilih opsi C adalah mereka yang berada di pihak yang benar, karenanya layak disebut para pahlawan. Sementara fraksi-fraksi yang mendukung opsi A adalah mereka yang berada di pihak yang salah, karenanya layak disebut para pecundang. Padahal dalam ranah politik tidak dikenal fomula benar atau salah. Yang ada adalah kalah atau menang, mungkin atau tidak mungkin, dan seterusnya. Gagasan apa pun yang didukung mayoritas anggota parlemen, itulah yang menang terlepas dari kebenaran yang dikandungnya. Keputusan politik yang dihasilkan paripurna DPR bukanlah kebenaran yang mesti dipegang secara penuh.

Dalam konteks ini, keputusan politik di DPR itu harus ditin- daklanjuti dengan langkah-langkah hukum sehingga kebenaran yang dihasilkan dapat dipegang semua pihak. Jika keputusan hukum telah keluar, baru kita bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah.

Oleh karena itu, rekomendasi yang menghendaki agar lembaga kepolisian, kejaksaan, dan KPK menindaklanjuti keputusan politik tersebut harus terus didorong dan diawasi baik oleh para wakil rakyat itu sendiri maupun publik.***

Penulis, kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.