Sabtu, 31 Desember 2011

Menagih Komitmen Kerakyatan

Semboyan yang kerap didengungkan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono dalam pembangunan, terutama pro-poor agaknya makin jauh dari harapan. Berbagai kisruh pertanahan yang melibatkan antara warga dan perusahaan berakhir dengan tindakan kekerasan aparat negara, dalam hal ini TNI dan Polri, terhadap warga yang notabene "pemilik asli" tanah yang dirampas itu.
Peristiwa berdarah yang terjadi di Mesuji, baik di Lampung maupun Sumatera Selatan, dan yang baru-baru ini terjadi di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan contoh nyata. Rakyat yang sejatinya menuntut hak mereka sendiri, yakni lahan yang diserobot pihak perusahaan, justeru diperlakukan secara kasar bahkan ditembaki oleh aparat kepolisian. Korban pun lagi-lagi berjatuhan.
Dari berbagai peristiwa kekerasan terkait konflik lahan antara warga dan perusahaan seperti yang terekam dalam tragedi Mesuji dan Bima, tampak jelas bahwa pemerintah sama sekali tidak memperlihatkan keberpihakan pada rakyat. Ironisnya, justeru rakyatlah yang kerap dipersalahkan, seolah merekalah yang menjadi biang keladi kerusuhan tersebut.

Bertindak Tegas
Satu hal yang sering membuat rakyat di negeri ini sangat gemas adalah bahwa pemerintahan ini sangat tidak tegas dalam menindak aparat negara ataupun kekuatan lain yang berbuat sewenang-wenang. Presiden SBY hanya bisa memberikan instruksi kepada bawahannya untuk melakukan investigasi entah dengan membentuk tim pencari fakta ataupun dalam bentuk lain.
Padahal SBY sebenarnya bisa melakukan hal yang lebih dari sekadar instruksi investigasi atau mengatakan prihatin. Misalnya, ia bisa saja mencabut sementara izin operasional perusahaan yang terlibat dalam konflik tersebut. Jika nanti masalahnya sudah jelas, tentu setelah dilakukan studi yang komprehensif dan mendalam, izin tersebut bisa diaktifkan kembali.
Tindakan tegas pemerintah seperti ini sebenarnya sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. Setidaknya ada beberapa keuntungan politik yang bisa diraih SBY. Pertama, citra SBY justeru akan naik di mata publik jika berani bertindak tegas. Bukan tidak mungkin citra yang selama ini melekat dalam dirinya sebagai pemimpin yang lamban, peragu dan semacamnya akan terkikis.
Kedua, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah khususnya terkait dengan semboyan pro-poor akan semakin meningkat. Sekalipun tindakan itu tidak berhubungan langsung dengan aksi nyata peningkatan kemakmuran, namun setidaknya keberpihakan pemerintah terhadap rakyat menjadi modal yang sangat penting. Tanpa ada keberpihak pada rakyat, bagaimana rakyat mau percaya pada pemerintah.

Peta Penyelesaian
Tindakan tegas seperti disebutkan di atas tentulah hanya bersifat sementara atau sekadar shock therapy untuk memberikan efek jera bagi pihak yang melakukan kesewenangan. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana pemerintah melakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik lahan yang sesungguhnya telah terjadi sejak lama dan di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Oleh karena itu, harus ada peta penyelesaian yang tepat sehingga bisa berakhir dengan win-win solution antar pihak-pihak yang berkonflik. Sementara ini pemerintahan hampir selalu berpihak kepada perusahaan sehingga kerap membelanya secara membabi-buta. Sementara rakyat atau warga yang hanya menuntut haknya sendiri justeru kerap dijadikan kambing hitam.
Menurut hemat penulis, ada beberapa langkah penyelesaian yang semestinya dikedepankan pemerintahan dalam hal ini. Pertama, pemerintah semestinya tidak menjadikan kepentingan ekonomi sebagai yang paling utama sehingga mengorbankan kepentingan yang lain. Dengan kata lain, pemerintah jangan hanya mengejar pertumbuhan (growth) tetapi juga kemakmuran (prosperity). Pembukaan lahan oleh perusahaan akan sangat indah kalau didukung oleh warga setempat karena mereka mendapatkan keuntungan dari pembukaan lahan tersebut.
Kedua, pemerintah harus berusaha memahami persoalan konflik lahan ini secara mendalam sehingga bisa sampai pada solusi yang adil. Dalam hal ini, bahkan pemerintah harus berani mengatakan salah jika memang hulu persoalan ini sebenarnya dari pemerintahan sendiri. Misalnya, pembukaan lahan oleh sebuah perusahaan yang kerap menyerobot lahan harga bermula karena izin “asal-asalan” yang dikeluarkan pemerintah. Dengan memahami persoalan secara benar, diharapkan tindakan pemerintah juga bisa adil.
Ketiga, pemerintah harus berani menekan perusahaan untuk melakukan ganti rugi yang sepatutnya dan harus pula mengawasi pelaksanannya. Selama ini yang kerap terjadi adalah proses ganti rugi tidak memadai atau tidak sesuai dengan janji semula. Sayangnya pemerintah tidak melakukan pengawasan yang memadai pula.
Yang paling penting dari itu semua adalah keberpihakan pemerintah kepada rakyat sehingga semboyan pro-poor benar-benar bisa diimplementasikan dengan baik. Tanpa itu, komitmen kerakyatan pemerintah akan terus-menerus ditagih oleh seluruh rakyat.

Polisi dan Kekerasan

Kekerasan aparat negara, baik TNI maupun Polri, terhadap rakyatnya terus berulang-ulang dengan modus yang hampir serupa. Baru saja kita disuguhi tragedi memilukan Mesuji, baik yang di Lampung maupun Sumatera Selatan, kini peristiwa yang nyaris sama terjadi di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Korban jiwa kembali terenggut, kali ini bahkan anak-anak muda yang menjadi korban.
Pertanyaan yang lain dikemukakan di sini adalah mengapa kepolisian kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi rakyatnya sendiri, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban baik luka-luka ataupun meninggal? Tidak ada adakah cara lain yang bisa dikedepankan institusi penjaga keamanan negara tersebut yang lebih bersifat manusiawi?


Reformasi Belum Jalan
Banyak kalangan menilai bahwa terjadinya sejumlah tindakan kekerasan polisi terhadap rakyat diakibatkan oleh belum terinternalisasinya ruh reformasi ke dalam setiap anggota kepolisian di republik ini. Padahal sejak diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di mana polri dilepaskan dari TNI, upaya-upaya reformasi terhadap lembaga kepolisian tersebut terus dilakukan. Reformasi polri setidaknya meliputi tiga aspek, yakni instrumental, struktural dan kultural. Pada dua aspek pertama reformasi polri boleh dikatakan cukup baik. Namun dalam hal reformasi kultural, polisi agaknya masih gamang.
Hal ini, misalnya, terlihat dari tidak maksimalnya fungsi Tri Brata Polri, yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Moto tersebut agaknya masih menjadi pajangan belaka sementara implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Memang di setiap kantor kepolisian moto tersebut terpampang secara jelas namun bukan mustahil jika para polisi tidak menghiraukannya.
Pada sisi lain, polri juga memiliki paradigma baru sejak masa reformasi yang secara tegas mengatakan bahwa "polri bukanlah alat kekuasaan (politik), melainkan alat negara." Ini berarti bahwa tugas utama kepolisian adalah menjaga negara ini dengan segenap jiwa dan raganya, bukan membela mati-matian siapa yang memerintah negara ini.
Namun sayangnya justeru di sinilah kepolisian kerap menemui problemnya. Tarikan-tarikan eksternal baik dari kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi acap membuat kepolisian tergoda untuk menerimanya. Akibatnya, mereka akan selalu berpihak pada kekuatan-kekuatan tersebut alih-alih pada rakyat yang seharusnya mereka ayomi.
Baik tragedi Mesuji maupun Bima sama-sama memiliki dimensi tersebut. Kepolisian diminta perusahaan terkait untuk melindungi mereka dari protes warga setempat dengan imbalan tertentu. Akibatnya, polisi yang segoyianya berada di tengah-tengah karena sebagai alat negara lebih cenderung membela perusahaan daripada warga. Dalam sejumlah pernyataan yang dikeluarkan baik oleh Kadiv Humas maupun Kabag Penum Polri selalu warga yang dipersalahkan atas aksi mereka.

Pengalihan Status
Sebagian pihak juga mensinyalir bahwa berbagai tindakan kekerasan polisi terhadap rakyatnya juga diakibatkan oleh statusnya yang berada langsung di bawah presiden. Sebagaimana diketahui bahwa menurut UU No 2 Tahun 2002, Kepolisian Republik Indonesia bukan hanya dilepaskan dari TNI, melainkan juga ditempatkan di bawah Presiden RI.
Dengan posisinya tersebut kepolisian seolah-olah mendapatkan satu "kekuatan" untuk bisa melakukan apa saja termasuk tindakan kekerasan terhadap rakyat. Dengan dalih atas nama keamanan negara --yang sebenarnya boleh jadi keamanan kelompok tertentu-- polisi dengan tanpa belas kasihan meneror rakyatnya sendiri.
Oleh karena itu, tidak heran kalau kemudian ada usulan agar posisi kepolisian ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Tentu dengan harapan agar arogansi kepolisian yang selama ini dipertontonkan mereka di hadapan rakyat bisa dikurangi bahkan dihapus sama sekali. Terlepas dari urgensi pengalihan status kepolisian tersebut, menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang semestinya dikedepankan polisi dalam menangani persoalan-persoalan rawan yang terkait dengan kepentingan umum.
Pertama, polisi harus mengetahui dulu akar persoalannya baru kemudian melakukan tindakan yang semestinya. Konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan dan warga umumnya terjadi karena masalah penyerobotan lahan oleh perusahaan. Penyerobotan lahan juga terjadi karena perusahaan mengantongi izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kementerian Kehutanan. Dan kerapkali izin pembukaan lahan tersebut tidak disertai studi lapangan yang memadai. Ironisnya juga sering tidak dibarengi secara maksimal dengan pengawasan atas pelakaanaannya di lapangan. Akibatnya, tidak jarang terjadi penyelewengan yang dilakukan perusahaan baik dalam hal pemberian ganti rugi maupun penyerobotan lahan warga. Inilah yang kemudian bisa menjadi pemicu konflik. Dalam situasi seperti ini, seharusnya polisi bersikap jernih dalam memahami persoalan. Jangan hanya melihat reaksi di lapangan seperti aksi demonstrasi warga dan lain-lain, melainkan lebih meneliti sebab-sebabnya.
Kedua, polisi sebaiknya mendahulukan komunikasi persuasif, bukan represif. Satu hal yang harus disadari oleh para polisi adalah bahwa mereka yang melakukan aksi "melawan" perusahaan adalah rakyat sendiri, anak-anak bangsa yang notabene sudah mendiami lahan puluhan tahun yang lalu. Maka, tidaklah manusiawi kalau mereka yang sesungguhnya sedang menuntut haknya sendiri diperlakukan dengan kejam bagaikan musuh.
Ketiga, dengan munculnya berbagai persoalan konflik seperti tersebut di atas sudah saatnya bagi Polri untuk semakin memfokuskan perhatiannya pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menguasai masalah-masalah kemasyarakatan. Polri bisa menyekolahkan kader-kadernya di lembaga pendidikan kepolisian di luar insitusi kepolisian. Di salah satu perguruan tinggi negeri sekarang ini telah dibuka program magister kepolisian yang tentu saja dapat dimanfaatkan oleh kepolisian. Dengan demikian, setiap kali polisi akan menangani persoalan konflik yang terkait dengan sebuah masyarakat, terlebih dahulu mereka melakukan studi komprehensif terhadap masyarakat tersebut, baik secara sosiologis, antropologis dan sebagainya sehingga mampu memandang persoalannya dengan komprehensif pula.
Pendek kata, harus ada evaluasi internal yang dilakukan kepolisian. Namun, evaluasi tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan prosedur penanganan polisi di lapangan, melainkan evaluasi yang bersifat menyeluruh, termasuk upaya reformasi di tubuh polri yang hingga saat ini belum tuntas.

Jumat, 16 Desember 2011

Mungkinkah Terjadi Koalisi-Banteng (Seputar Indonesia, 17 Des 2011)

Pasca penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bandung baru-baru ini ada isu yang menarik tentang merapatnya partai kepala banteng tersebut ke Partai Golkar (PG). Pernyataan sejumlah elite politik dari kedua partai itu agaknya memberikan sinyal ke arah sana seperti yang diungkapkan Taufik Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Lalu Mara, Wasekjen Golkar yang notabene orang dekat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Di antaranya menyebutkan bahwa telah terjalin komunikasi yang baik antar kedua ketua umum partai besar tersebut untuk mencoba menjajaki kemungkinan koalisi.
Merapatnya partai kepala banteng ke partai beringin dapat diduga mengarah pada kepentingan Pemilu 2014 terutama terkait dengan calon presiden (capres) dan calon presiden (cawapres). Sebagaimana diketahui bahwa Golkar telah resmi mencalonkan Ical sebagai capres sedangkan PDIP, meskipun belum secara resmi menetapkan, tetapi telah memberikan sinyal untuk mempromosikan puteri Megawati, Puan Maharani. Jika ini kemudian berakhir pada koalisi, maka kemungkinan besar Ical akan berduet dengan Puan sebagai pasangan capres-cawapres.

Peluang
Isu koalisi banteng dengan beringin dengan muara penduetan Ical-Puan sebagai capres-cawapres pada Pemilu 2014 secara politik tentu sesuatu yang mungkin. Bahkan, menurut penulis, ada sejumlah faktor yang tampaknya bisa mendukung kemungkinan koalisi tersebut. Pertama, sekarang ini dengan banyaknya partai politik (parpol) yang ikut dalam pemilu, sulit bagi setiap parpol untuk melenggang sendirian dalam kontestasi pemilihan presiden, termasuk partai besar seperti Golkar dan PDIP. Apalagi dalam konteks politik Indonesia ada kecenderungan yang menarik bahwa kemenangan parpol tidak berbanding lurus dengan kemenangan kandidat yang diusungnya. Pada Pemilu 2004, Demokrat hanya didukung oleh 7 persen suara, namun kandidat yang diusungnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY, muncul sebagai pemenang. Oleh karena itu, koalisi antar parpol menjadi sesuatu yang niscaya.
Kedua, duet Banteng-Beringin, kalau benar-benar terjadi agaknya hampir tidak akan menemukan kendala sama sekali, karena justeru keduanya lebih banyak memiliki kesamaan ketimbang perbedaan, baik secara ideologis, platform politik dan sebagainya. Bahkan kini tagline kedua partai ini hampir sama. Jika Golkar menyatakan “Suara Golkar, Suara Rakyat”, maka, PDIP sejak dulu selama mengusung tema kerakyatan sehingga kerap diidentikkan dengan partai wong cilik. Oleh karena itu, jika kedua partai ini berduet, akan sangat mudah bersinergi dalam berbagai hal.
Ketiga, peluang Puan Maharani untuk dicalonkan PDIP sangat besar dilihat dari hasil kongres. Sebagaimana diketahui bahwa jika pada Kongres PDIP I dan II ditegaskan bahwa ketua umum partai otomatis menjadi capres, maka pada Kongres III tahun yang lalu tidaklah demikian. Ketua umum tidak dinyatakan otomatis sebagai capres, melainkan hanya diberikan hak prerogratif untuk menentukan siapa yang layak dicalonkan. Dengan kata lain, Megawati meskipun tidak secara otomatis menjadi capres, tetapi tetap merupakan decision maker di tubuh partai kepala banteng. Dalam konteks seperti ini, tentu saja peluang Puan Maharani sangat besar bahkan mungkin terbesar dibandingkan kader-kader PDIP yang lain.
Keempat, kecenderungan seiramanya kader-kader PDIP dan Golkar di DPR dalam sejumlah kasus setidaknya bisa memuluskan niatan koalisi. Meskipun PDIP memainkan peran oposisi sementara Golkar tergabung dalam koalisi pendukung Pemerintahan SBY-Boediono, namun hal itu agaknya tidak menjadi penghalang. Pada kasus-kasus seperti dana talangan (bailout) Bank Century, pemilihan Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan rencana pengajuan interpelasi atas kebijakan Kemenkumham terkait pengetatan pemberian remisi bagi nara pidana koruptor belum lama ini kader kedua partai tersebut tampak satu suara.
Kelima, peluang duet Ical-Puan juga cukup menjanjikan dalam peta persaingan pimpinan nasional pada Pemilu 2014 dilihat dari beberapa aspek. Dari aspek generasi, duet ini memperlihatkan kolaborasi antara generasi tua dan muda sehingga bisa menjawab aspirasi masyarakat yang menghendaki kalangan muda tampil di pentas nasional. Sementara itu kalau dilihat dari dari aspek etnis, duet ini juga menampilkan percampuran antara Sumatera dan Jawa sehingga bisa saling mengisi. Dan dari aspek gender, tentu kemunculan Puan Maharani cukup menjadikan magnet bagi para pemilih terutama dari kalangan perempuan.

Melangkahi Tradisi
Namun demikian, rencana koalisi Banteng dan Beringin bukan berarti tidak memiliki kendala sama sekali. Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi menghambat kemungkinan koalisi. Pertama, bagi PDIP, figur Ical agaknya akan menjadi catatan tersendiri terutama terkait dengan kasus lumpur Lapindo Brantas yang notabene akan mengganggu pencitraan mereka sebagai partai pengusung kerakyatan. Demikian pula nama Ical kerap disebut dalam kaitannya dengan kasus mafia pajak yang telah menyeret Gayus Tambunan ke balik jeruji. Realitas ini tentu harus dikalkulasikan secara matang supaya tidak menjadi bumerang bagi PDIP.
Kedua, secara historis PDIP dan Golkar tidak pernah berkoalisi dalam setiap pemilu. Meskipun antar kedua partai tersebut lebih banyak memperlihatkan persamaan dalam berbagai hal, namun ada barrier yang cukup kuat antar keduanya, antara lain egoisme sebagai partai besar. Sejak dulu, baik PDIP maupun Golkar, tidak pernah mau mengajukan kadernya untuk menjadi cawapres bagi capres dari partai lain. Kasus Jusuf Kalla (JK), yang notabene kader Golkar, yang pernah menjadi cawapres SBY pada Pemilu 2004, merupakan kasus yang berbeda. Sebagaimana diketahui bahwa JK ketika itu maju sebagai cawapres tidak dicalonkan oleh Golkar. Golkar sendiri ketika itu mengusung Wiranto sebagai capresnya yang resmi.
Ketiga, keputusan kedua partai tersebut yang akan menentukan koalisi secara resmi pasca pemilihan legislatif (pileg) juga bisa menghambat. Tentu saja baik PDIP maupun Golkar sama-sama ingin mengukur kekuatan dulu. Kalau PDIP yang memenangi pileg bukan tidak mungkin partai ini akan lebih memprioritaskan kadernya sebagai capres, bukan cawapres. Kalau ini yang terjadi, tentulah Golkar tidak akan bersedia karena sudah memutuskan Ical sebagai capres secara final. Peluang koalisi akan sangat besar kalau suara yang diperoleh Golkar melebihi perolehan suara PDIP. Jika ini yang terjadi, mau tidak mau, PDIP harus bersedia melepaskan egonya sekaligus melangkahi tradisi selama ini dengan hanya menjadikan kadernya sebagai cawapres.
Bagaimanapun koalisi merupakan langkah yang sah dalam politik. Hanya saja PDIP harus cermat memperhitungkan berbagai konsekwensi politik yang mungkin akan timbul dari langkah tersebut. Jangan sampai hanya karena terdorong ambisi untuk menjadi pemenang, tetapi justeru malah menjadi bumerang di kemudian hari.

Senin, 05 Desember 2011

Darah Segar KPK (Tribun Jabar, Senin 5 Des 2011)

Akhirnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 telah terpilih meski sempat mengalami penundaan. Abraham Samad, seorang pengacara dan aktivis antikorupsi, terpilih menjadi ketua KPK yang baru menggeser Busyro Muqaddas ke posisi wakil ketua. Pimpinan terpilih lainnya adalah Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain. Sementara Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, Aryanto Sutadi dan Handoyo tersisih sejak voting pertama.
Satu hal yang menarik adalah bahwa kemenangan Abraham Samad dan pimpinan KPK lainnya telah berhasil mengalahkan calon yang diduga menjadi “titipan” partai penguasa. Bagaimanapun aroma politis dalam pemilihan capim KPK begitu terasa sehingga sempat menunda pemilihan beberapa kali untuk kepentingan lobi-lobi politik terutama yang dilakukan elite-elite partai dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Namun pada akhirnya suara Setgab agaknya tidak cukup solid sehingga calon yang dijagokannya tersingkir.
Terpilihnya Abraham Samad sebagai nakhoda baru KPK jelas merupakan darah segar bagi lembaga yang bertugas memberantas korupsi di negeri ini. Setidaknya ada sejumlah faktor yang bisa memunculkan harapan publik terhadap kiprah lembaga ini. Pertama, Abraham Samad merupakan pimpinan paling muda dibandingkan yang lain di mana usianya baru 45 tahun. Dengan jiwa mudanya diharapkan ia bisa membawa lembaga ini menjadi lebih tegas dan berani ketimbang periode-periode sebelumnya.
Kedua, Abraham Samad selama ini dianggap belum terkontaminasi oleh atmosfir politik Jakarta sehingga relatif lebih bersih dari kepentingan-kepentingan elite-elite tertentu. Ia adalah seorang advokat di Makassar yang kemudian mendirikan Anti-Corruption Committee (ACC), sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam pemberantasan korupsi. Lembaga ini fokus dalam menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan sistem pelayanan publik maksimal.
Ketiga, Abraham Samad tampaknya akan memulai tradisi baru dalam politik Indonesia. Ia, misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa jika dalam satu tahun masa kepemimpinannya KPK tidak berhasil menuntaskan kasus-kasus besar seperti Century, maka ia akan mengundurkan diri dari jabatannya. Sekalipun belum terbukti tetapi janjinya tersebut tidak bisa dianggap main-main apalagi telah disaksikan oleh publik Indonesia.
Keempat, Abraham Samad akan banyak terbantu karena didampingi empat pimpinan KPK lainnya yang juga memiliki rekam jejak bagus terutama Bambang Widjojanto. Bambang yang sempat mengikuti seleksi Calon Pimpinan KPK pada tahun 2007 dan 2010 dikenal publik sebagai advokat dan aktivis antikorupsi yang sangat tegas dalam bersikap. Sikapnya ini telah terlihat sejak ia menjadi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jayapura.
Dengan kata lain, komposisi pimpinan KPK yang baru ini bisa dianggap sebagai “the dream team” dalam pemberantasan korupsi. Tentu dengan catatan bahwa kelima pimpinan KPK tersebut bekerja layaknya sebuah tim yang solid. Jangan sampai ada upaya-upaya untuk menonjolkan diri sendiri, terutama oleh empat pimpinan lainnya yang dari segi usia dan pengalaman lebih senior dari Abraham Samad.
Ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pimpinan baru KPK di bawah panglima Abraham Samad. Menurut penulis, pekerjaan rumah paling utama KPK sekarang ini adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Tidak dapat dimungkiri bahwa belakangan ini kepercayaan publik terhadap KPK mengalami kemerosotan yang cukup signifikan seperti yang pernah diungkapkan oleh salah satu survei. Tentu saja kemerosotan kepercayaan publik yang signifikan bagi lembaga yang diharapkan berada di garda depan pemberantasan korupsi sangat memprihatinkan.
Di antara faktor yang membuat merosotnya kepercayaan publik terhadap KPK adalah ketidakberdayaan lembaga ini dalam menuntaskan kasus-kasus besar di republik ini seperti kasus Century, Suap di Kemenpora terkait dengan pembangunan Wisma Atlit, suap di Kemenakertran dan sebagainya. Sehingga wajar kalau kemudian ada kesan bahwa KPK tebang-tebang pilih dalam menangani sebuah kasus. Bahkan yang lebih buruk lagi anggapan bahwa KPK seolah-olah lebih mengabdi pada kepentingan penguasa, karena ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan kekuasaan, KPK tampak seperti macan ompong.
Maka, tidak ada jalan lain bagi KPK wajah baru ini kecuali lebih berani mengungkapkan kasus-kasus besar tersebut. Penuntasan kasus-kasus besar tersebut selain akan meningkatkan kepercayaan publik, juga bisa membuat kerja KPK lebih optimal. Artinya, KPK akan lebih mencurahkan segenap energinya untuk menuntaskan kasus tersebut, sementara untuk kasus-kasus korupsi berskala kecil cukup diberikan pada lembaga kejaksaan dan kepolisian.
Selain itu KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad harus lebih menekankan kerja daripada bicara. Salah satu komitmen Samad untuk tidak banyak melayani permintaan wawancara dari kalangan media supaya lebih fokus pada pekerjaan patut diacungi jempol. Tentu publik berharap bahwa komitmen tersebut harus benar-benar dibuktikan dalam kenyataan.
Hal lain yang perlu dibuktikan Abraham Samad adalah kenyataan bahwa perbedaan antara hasil pilihan Panitia Seleksi (Pansel) yang diketuai Patrialis Akbar dengan Komisi III. Sebagaimana diketahui menurut hasil Pansel, Samad hanya menduduki peringkat kelima. Tentu ini menjadi catatan tersendiri bagi Samad dan harus dijawab dengan pembuktian kinerjanya. Apakah ia benar-benar pantas mengungguli Bambang Widjojanto yang berada di peringkat pertama menurut Pansel, tentu kinerjanya yang bisa membuktikan.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute

Selasa, 29 November 2011

Zuhud Politik, Mungkinkah? (Republika, 29/11/11)

Meskipun di sejumlah negara kehidupan politik tidak selalu berkelindan dengan kehidupan yang glamor, namun tidak dengan di Indonesia. Terutama di masa-masa kini kehidupan politik di negeri ini sungguh kental dengan nuansa keglamoran. Para politisi pun tidak sungkan-sungkan untuk tampil perlente dan serba wah laiknya kaum selebriti. Mobil-mobil mewah tampaknya sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Salah satu faktor kentalnya aroma ekonomi pada kehidupan politik di Indonesia adalah masuknya kalangan pengusaha ke dalam panggung politik. Inilah yang kerap disebut Andi Faisal Bakti, guru besar ilmu komunikasi di UIN Jakarta, dengan fenomena penguasaha. Artinya, terdapat kolaborasi antara penguasa dan pengusaha. Partai-partai politik sebagai pemasok terbesar politisi umumnya sangat bergantung pada pengusaha bahkan sebagian berhasil dipimpin oleh pengusaha.
Maka, tidaklah mengherankan kalau pengusaha-pengusaha yang sudah terbiasa hidup dengan kemewahan membawa kebiasaannya tersebut ke dalam kehidupan politik. Celakanya adalah para politisi yang tidak berlatar belakang pengusaha pun tidak sedikit yang terjangkiti kebiasaan hidup mewah tersebut. Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika mereka melakukan berbagaima cara ilegal seperti korupsi demi memenuhi keinginan hidup bermewah tersebut.

Zuhud
Konsep zuhud berasal dari terminologi ilmu tasawuf yang berarti tidak tertarik terhadap sesuatu atau meninggalkannya. Dalam hal ini, meninggalkan kehidupan duniawi demi mengejar kehidupan ukhrawi. Sebagian sufi ada yang esktrem memaknai zuhud dengan sama sekali meninggalkan dunia, bahkan sebagian dari mereka menyebutkan bahwa “dunia merupakan penjara bagi orang-orang beriman.” Dengan demikian, kalau orang masih terikat kehidupan duniawi, sulit baginya untuk mencapai kehidupan ukhrawi yang lebih baik.
Namun tidak semua pelaku tasawuf memaknai konsep zuhud sedemikian ekstrim. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disebut HAMKA, dalam karyanya Tasawuf Modern Perkembangan dan Pemurniannya (1939), misalnya, menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak ingin atau tidak demam terhadap dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Artinya, seorang pelaku zuhud tidak berarti meninggalkan sama sekali dunia, namun hatinya tidak demam atau tidak terikat pada dunia.
HAMKA menegaskan bahwa pelaku zuhud menerima kemiskinan sebagaimana halnya ia menerima kekayaan. Saat ia mendapatkan kekayaan yang berlimpah ruah, ia tetap ingat akan kehidupan ukhrawi, sama seperti ia berada di dalam kemiskinan. Dengan kata lain, ia tidak sampai dikuasai atau diperbudak oleh hartanya, tetapi justeru ia lah yang menguasai hartanya tersebut untuk dimanfaatkan dalam kebaikan dan sesuai dengan proporsinya.
Di tengah gaya hidup hedonistik-kapitalistik yang tengah menjangkiti kehidupan para pejabat di negeri ini, khususnya para politisi Senayan yang kini banyak disorot publik, gaya hidup zuhud tampaknya memberikan tawaran yang mencerahkan. Tentu saja ada banyak manfaat atau hikmah yang dapat mereka peroleh jika, setidaknya, semangat zuhud mampu diejawantahkan dalam kehidupan politik mereka.
Pertama, kalau para wakil rakyat mampu menerapkan zuhud dalam kehidupannya, tentu ini akan menjadi teladan yang baik bagi rakyat. Salah satu problem akut bangsa ini adalah krisis keteladanan dari para pemimpin; rakyat seakan sulit sekali menemukan sesuatu yang dapat mereka teladani dari para elite di republik ini kecuali berbagai perilaku yang menyedihkan.
Argumen salah seorang anggota dewan yang mengatakan "Apa salah saya memiliki mobil mewah, toh saya membelinya dengan uang sendiri, bukan korupsi" agaknya memperlihatkan krisis keteladanan tersebut. Dia barangkali atau pura-pura tidak menyadari bahwa sebagai seorang elite, terlebih sebagai yang mewakili rakyat, perilakunya tersebut dapat memberikan pengaruh pada mereka. Kalau mereka hidup bermewah-mewah sebenarnya mereka sedang memberikan contoh gaya hidup seperti itu kepada rakyat.
Kedua, orang yang mampu menerapkan zuhud di dalam kehidupannya akan mampu membangun empati sosial terutama terhadap orang-orang yang menderita. Bagi para wakil rakyat, gaya hidup zuhud sangatlah mendukung pekerjaannya. Sejatinya para wakil rakyat bekerja semata-mata untuk memperjuangkan nasib dan aspirasi rakyat. Maka, jika mereka hidup bermewah-mewah tentu tidak akan merasa nyaman ketika berhadapan dengan rakyat yang sedang mereka perjuangkan karena terdapat kesenjangan yang demikian menganga.
Ketiga, pelaku zuhud tidak menemukan kenikmatan hidup pada perolehan materi yang berlimpah, tetapi pada bagaimana ia berbagi kepada orang lain dengan hartanya tersebut. Ia mampu mengendalikan hartanya, tidak sebaliknya harta yang mengendalikannya. Baginya, hidup dengan mencukupi semua kebutuhannya sudah dianggap baik, sekalipun tidak semua keinginannya terpenuhi.
Para politisi yang memiliki semangat zuhud di dalam jiwanya tentu tidak akan mengukur keberhasilannya dengan kepuasan materi yang di dapatnya selama menjabat. Tetapi bagaimana ia mampu menjalankan amanahnya tersebut dengan baik dan mendapatkan harta sesuai dengan hak yang semestinya ia peroleh. Dengan demikian, mereka tidak akan menghalalkan segala cara demi memperolehnya harta tersebut.

Spiritualitas Politik
Dunia politik praktis yang berlangsung di republik ini, bahkan mungkin juga di negara-negara lain, agaknya memang jauh dari kehidupan spiritual. Politik sampai saat ini masih lebih dominan dimaknai ala Harold Lasswell, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Dengan kata lain, ujung dari gerak politik adalah bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Sekarang ini jarang orang berbicara tentang politik sebagai pengalokasian nilai-nilai (allocation of the values) atau seperti yang ditekankan ilmuwan politik klasik semacam Plato mengenai kebaikan bersama. Politik dalam maknanya seperti ini justeru bisa menekankan masalah komitmen bersama untuk mendistribusikan nilai-nilai keadilan, kebaikan dan sebagainya.
Dalam konteks inilah, politik sesungguhnya bisa menampilkan aspek spiritualitasnya sehingga tidak terasa kering. Dan zuhud sebagai salah satu konsep yang berasal dari khazanah tasawuf barangkali bisa menjadi salah satu pembangkit spiritualitas politik. Mungkinkah?

Rabu, 23 November 2011

Politik Transaksional Demi Mengembalikan Modal (Pikiran Rakyat, 24 Nopember 2011)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agaknya tidak pernah sepi dari sorotan publik. Setelah masalah gaya hidup hedonis yang dipertontonkan sebagian anggotanya yang kedapatan memiliki mobil supermewah, kini masalah yang jauh lebih parah kembali mendera mereka: praktik jual-beli pasal. Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang mencuatkan masalah ini ke tengah publik. Menurutnya, sejak tahun 2003 ada 406 kali uji materi terhadap produk UU, sementara yang dikabulkan MA ada 97 buah. Disinyalir bahwa salah satu penyebab buruknya produk legislasi di DPR adanya praktik jual beli pasal.
Sebenarnya praktik jual beli pasal bukanlah barang baru bahkan sudah merupakan rahasia umum yang kerap terjadi. Di masa Orde Baru, misalnya pada penghujung 1997, DPR pernah menghebohkan dunia politik tanah air ketika diundang ke sebuah hotel untuk membahas RUU Ketenakerjaan. Disinyalir bahwa dana yang digunakan untuk membiayai semua proses pembahasan RUU tersebut adalah dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja (jamsostek). Menurut Abdul Latief, Menaker waktu itu, PT Jamsostek menyediakan dana 3,1 miliar untuk kepentingan tersebut.
Pada masa reformasi ternyata kecenderungan praktik jual beli pasal tidak juga surut. Beberapa indikator praktik kotor tersebut dapat dikemukakan. Pada periode 2004-2009 pembahasan RUU tentang Aceh Nangroe Darussalam di DPR mencuatkan dugaan praktik itu. Pada periode sekarang pun juga demikian, pembahasan beberapa RUU memunculkan dugaan praktik jual beli seperti UU Kesehatan, RUU Otoritas Jasa dan Keuangan dan sebagainya. Menghilangnya ayat tembakau dari UU Kesehatan kian menegaskan kecenderungan itu.
Salah satu akar masalah kecenderungan di atas adalah adanya politik transaksional sejak para anggota DPR masih menjadi caleg dan berkontestasi di dalam pemilu legislatif. Sudah bukan rahasia lagi bahwa politik uang (votter buying) umum dilakukan oleh para caleg ketika melakukan pencalonan pada pemilu. Seorang caleg pusatnya, misalnya, bisa mengeluarkan dana puluhan miliar demi memperoleh kursi di legislatif. Dan ketika mereka terpilih menjadi anggota legislatif, transaksi UU menjadi salah satu cara untuk mengembalikan modal dengan cepat.
Sayangnya menanggapi kritikan tersebut para anggota legislatif justeru bersikap reaktif. Mereka malah menantang Mahfud MD untuk membuktikan tuduhannya. Tentu saja reaksi tersebut dapat dinilai berlebihan oleh publik karena mereka seolah-olah ingin menutupi aib yang sesungguhnya sudah diketahui publik.
Alih-alih mempertontonkan reaksi yang berlebihan seharusnya para anggota legislatif bersikap bijak dengan menjadikan kritikan tersebut sebagai masukan dan koreksi internal atas kinerja mereka. Bahkan semestinya mereka mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengawal semua pembahasan UU di DPR sehingga terhindar dari praktik-praktik yang menyakitkan hati rakyat. Bukankah UU dibuat untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia?
Kritikan itu sebenarnya juga bisa dijadikan masukan bagi partai-partai politik. Bagaimanapun, kecenderungan seperti ini tidak terlepas dari kesalahan partai yang tidak selektif dalam melakukan pencalegan. Banyak partai yang hanya menekankan aspek popularitas dan uang bagi caleg-calegnya, sehingga ketika mereka masuk ke lembaga legislatif, kualitasnya jauh di bawah standar dan mudah tergoda praktik-praktik haram demi mengembalikan modal.

Moralitas Politik Pejabat (Suara Karya, Selasa 22 Nopember 2011)

Gaya hidup hedonis di kalangan pejabat publik terutama sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini marak disorot publik. Diketahui bahwa ada sejumlah anggota legislatif yang memiliki koleksi mobil seperti mobil super mewah asal Inggris, Bentley, yang harganya mencapai 7 milyar rupiah. Sementara itu di parkiran gedung DPR sendiri mobil-mobil mewah semacam Alphard acap terpampang di sana dan sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Tentu saja perilaku beberapa anggota dewan tersebut mendapat kecaman publik secara luas. Mereka dianggap tidak peka terhadap kehidupan rakyat yang sebagian besar tengah mengalami berbagai kesulitan ekonomi. Mereka seolah-olah hanya memikirkan kenyamanan dan kenikmatan hidup sendiri dan keluarganya saja, tanpa memikirkan kehidupan orang lain. Mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri yang terpisah dari dunia orang lain.


Sayangnya argumen-argumen yang dikemukakan sejumlah anggota dewan yang kedapatan memiliki mobil mewah itu bersifat reaktif bahkan terkesan apalogetik. Setidaknya, ada tiga argumen yang mereka kemukakan terkait hal tersebut.
Pertama, sebagian anggota dewan mengatakan bahwa mengapa para politisi senayan yang selalu disorot padahal para pejabat publik di negeri ini pada umumnya juga bergaya hidup hedonis. Sungguh ironis kalau mereka berargumen seperti ini karena seolah menunjukkan ketidakpahaman terhadap posisi dan fungsi mereka sebagai anggota dewan. Mereka lupa bahwa DPR adalah lembaga yang mewakili rakyat dan duduknya mereka di lembaga terhormat tersebut karena suara rakyat.
Dengan demikian, gaya hidup hedonis mereka tidak saja bisa melukai hati rakyat yang justeru tengah dihimpit berbagai kesulitan hidup, namun juga mencerminkan ketidakpatutan bagi seseorang/kelompok yang mewakili rakyat. Di satu sisi mereka selalu mengatakan siap membela kepentingan rakyat, tetapi di sisi lain mereka terperosok ke dalam gaya hidup yang sangat kontras dengan kehidupan rakyat yang mereka hendak bela.
Kedua, sebagian anggota lainnya berargumen bahwa tidak apa-apa memiliki koleksi mobil mewah sepanjang didapat dengan cara yang halal atau tidak melalui korupsi. Boleh jadi hal itu benar karena banyak anggota dewan yang memiliki latar belakangan pengusaha sehingga sudah kaya raya sebelum menjadi anggota dewan. Namun harus diingat bahwa gaya hidup hedonis merupakan penyakit yang bersifat menular dengan cepat. Orang mudah tergoda untuk berperilaku yang sama ketika orang-orang di sekitarnya melakukan hal tersebut.
Secara sosiologis, faktor lingkungan sangat memengaruhi kehidupan sosial. Bukan tidak mungkin beberapa anggota dewan yang pada awalnya belum mengecap gaya hidup hedonis, kemudian bisa terpengaruh oleh perilaku anggota dewan lainnya yang hedonis. Celakanya, kalau sampai untuk mengikuti tren gaya hidup tersebut mereka melakukan korupsi supaya cepat dapat meraihnya. Ini sangat mungkin terjadi mengingat banyak anggota dewan yang semula diperkirakan bakal tahan terhadap godaan korupsi, tetapi setelah masuk lingkungan senayan ternyata tidak berdaya.
Ketiga, argumen sebagian anggota dewan yang menyebutkan bahwa masalah gaya hidup merupakan pilihan atas kehidupannya masing-masing yang tidak perlu diurusi dan diintervensi sungguh menyedihkan melihat posisi mereka sebagai elite masyarakat. Bukankah semua perilaku mereka akan dilihat oleh orang banyak yang sejatinya bisa diteladani? Padahal di negeri ini krisis keteladanan pemimpin tengah menggerogoti hampir semua ranah kehidupan. Maka, jangan disalahkan jika nanti rakyat yang mereka wakili meniru gaya hidup hedonis mereka.

Tidak Perlu Diatur
Betapa pun sikap hidup hedonis yang dipertontonkan sebagian anggota legislatif dan para pejabat publik di negeri ini sudah sedemikian mewabah, namun untuk mengaturnya di dalam sebuah peraturan, menurut hemat penulis, tidak perlu dilakukan. Masalah gaya hidup adalah masalah cara bagaimana orang memandang dan menikmati hidup dan kehidupannya. Dekan kata lain, ini sebenarnya menyangkut masalah moralitas atau etika hidup.
Pada sisi lain, masalah gaya hidup juga bisa dikatakan sebagai hak asasi setiap orang. Ketika seeorang memiliki kekayaannya dan kemudian menikmati kekayaan tersebut dengan caranya sendiri, maka sistem (negara) tidak perlu memaksanya untuk tidak melakukan hal tersebut melalui peraturan. Dan setiap pemaksaan, apapun bentuknya, akan dianggap sebagai sebuah pelanggaran, padahal belum tentu juga peraturan tersebut bisa efektif.
Maka, yang paling jauh dilakukan untuk mencegah hedonisme kian merebak adalah dengan memberikan himbaun moral, terutama dari kalangan pemimpin. Dalam konteks ini, reaksi Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar, yang segera meminta kader-kadernya baik yang ada di legislatif maupun di luar untuk tidak mempertontonkan gaya hidup hedonis ke publik. Dan hal tersebut ternyata direspons positif oleh Bambang Soesatyo, salah seorang kadernya yang memiliki mobil mewah, yang berjanji untuk tidak mengikuti himbauan ketua umumnya.
Salah satu cara untuk mengekang gaya hidup hedonis adalah dengan menekankan gaya hidup asketis. Almarhum Nurcholis Madjid yang akrab disebut Cak Nur mengatakan bahwa sikap hidup asketis adalah kemampuan untuk mengingkari diri sendiri (self denial), tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek dan kesediaan untuk menunda kesenangan (to defer the gratification). Dengan demikian, orang yang asketis senantiasa mampu menahan diri untuk tidak mudah terperosok ke dalam gaya hidup yang sangat memuja keduniaan sekalipun peluang untuk itu sangat terbuka.
Orang dengan gaya hidup seperti ini sangat mudah untuk membangun empati terhadap kehidupan orang lain terutama mereka yang sedang menderita. Ia tidak segan-segan untuk memberikan sebagian hartanya untuk kebahagiaan orang lain karena mereka menemukan kepuasan batin justeru ketika mereka mampu berbagi dengan orang lain. Sebaliknya, tidak menemukannya ketika mereka menumpuk-numpuk harta atau mengoleksi barang-barang mewah seperti kaum hedonis.
Kiranya sikap hidup asketis seperti inilah yang sesungguhnya harus dimiliki para politisi di republik ini terutama para anggota dewan. Mereka justeru semakin akan menemukan kenyamanan manakala di berbagai forum menyuarakan pembelaan terhadap rakyat dan pada saat yang sama juga berperilaku asketis. Jika ini yang mereka lakukan, maka kepercayaan rakyat terhadap mereka jelas akan kian meningkat.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang PolitikThe Political Literacy Institute, Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta.

Minggu, 20 November 2011

Pembekuan Ormas

Pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam diskusi “Forum Penguatan Penghayatan Ideologi Pancasila” Senin 14/11 bahwa Undang-Undang Oganisasi Kemasyarakat (UU Ormas) akan direvisi terkait dengan aksi kekerasan agaknya patut disambut dengan baik. Pasalnya Mendagri berjanji bahwa setiap ormas yang kedapatan melakukan tindakan kekerasan akan langsung dibekukan tanpa melalui proses yang panjang dan berlapis. Pembekuan tersebut bakal dilakukan berbarengan dengan proses hukum kasus kekerasan yang dilakukan ormas.
Apa yang dilakukan mendagri tersebut tentu saja berbeda dengan UU tentang Ormas yang digunakan selama ini, yaitu UU Nomor 85 Tahun 1985. Menurut ketentuan UU tersebut, sebuah ormas hanya dapat dibekukan atau dibubabarkan bila telah melakukan beberapa kali pelanggaran. Persyaratan seperti ini dinilai terlalu lama membuat aparat negara kesulitan untuk mengeksekusinya secara segera sementara kekerasan yang dilakukannya demikian terang benderang.

Wajah Kekerasan
Sebetulnya bisa dikatakan sebagai sebuah anomali bahwa negara Indonesia yang terkenal dengan negara yang penduduknya agamis dan ramah justeru acap menghadirkan wajah kekerasan yang menyeramkan. Celakanya lagi bahwa berbagai tindakan kekerasan di negeri ini seringkali dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Hanya karena kelompok tertentu dianggap “tidak sejalan” dengan pandangan keagamaan mayoritas, lalu dianiaya sedemikian rupa. Dengan kata lain, mereka telah menghadirkan wajah Tuhan yang menyeramkan di muka bumi ini.
Kecenderungan ini terjadi tidak saja pada lingkup internal agama tetapi juga tidak jarang terjadi antar agama. Sehingga toleransi yang kerap didengung-dengungkan sebagai budaya hidup penduduk Indonesia seolah terlindas begitu saja dan digantikan oleh intoleransi, primordialisme dan sebagainya. Banyak kasus yang bisa diangkat dalam konteks ini, seperti tragedi berdarah di Cikeusik (internal agama) atau tragedi yang menimpa Jamaat GKI Yasmin (antar agama). Tentu masih sederet kasus kekerasan lainnya yang bisa didaftar di sini.
Ironisnya adalah bahwa sejumlah kekerasan yang dilakukan ormas tertentu seolah-olah “dibiarkan” oleh negara, atau ada kesan bahwa negara seperti “melindungi” tindakan mereka. Kecurigaan tersebut semakin kuat ketika pelaku-pelaku tindakan kekerasan tersebut tidak segera ditindak. Pemerintah justeru berlindung di balik undang-undang yang ada, padahal sesungguhnya berbagai kasus tersebut bisa dimejahijaukan karena jelas-jelas merupakan tindakan kriminal.
Bukan hanya membiarkan, bahkan dalam derajat tertentu negara sesungguhnya telah “menciptakan” kelompok yang seakan-akan dibebaskan untuk melakukan tindakan kekerasan. Inilah pembacaan dari fenomena terbentuknya pamswakarsa, sebuah organisasi sipil yang diberikan pelatihan kemiliteran dan dibiarkan bertindak seolah-olah militer. Celakanya, hal ini menyelusup terhadap berbagai ranah kehidupan termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Komitmen
Oleh karena itu, jika sekarang ini pemerintah mempunyai keinginan politik (political will) yang kuat untuk mengubah UU tentang Ormas khususnya terkait dengan pasal pembekuan patut disambut baik oleh berbagai kalangan. Dengan demikian, bakal ada peluang yang besar bagi aparat negara untuk segera menindak (membekukan) sebuah ormas jika melakukan tindakan kekerasan tanpa menunggu proses yang berbelit dan panjang.
Perubahan pasal pembekuan ormas yang melakukan tindakan kekerasan secara lebih sederhana dibandingkan UU terdahulu jelas merupakan langkah maju. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut sudah cukup. Masih ada langkah lain yang justeru lebih penting dari sekadar perubahan, yaitu komitmen pemerintah. Perubahan UU tanpa disertai komitmen pelaksananya tentu akan muspra saja seperti yang terjadi pada sejumlah UU di negeri ini.
Komitmen tersebut setidaknya harus diejawantahkan negara dalam sejumlah hal. Pertama, tindakan kekerasan apapun bentuknya dan siapapun pelakunya merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam perspektif agama manapun. Maka, jika ada pihak yang membiarkan apalagi melindungi tindakan kekerasan tersebut jelas harus dimaknai pula sebagai pihak yang turut melakukan tindakan kekerasan.
Kedua, pelaksanaan hukuman atau sanksi pembekuan terhadap ormas yang melakukan tindakan kekerasan harus dilakukan secara adil dan tidak pandang bulu, apalagi kalau hanya didasarkan pada kepentingan politik pemerintah. Selama ini, pemerintah terkesan membiarkan tindakan kekerasan sebuah ormas karena seolah mendapatkan “keuntungan” politik di baliknya. Kecenderungan seperti ini tentu harus dibuang jauh-jauh jika ingin UU ini berjalan efektif.

Menaikkan Citra
Satu hal yang selama ini seolah diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa berbagai tindakan kekerasan di republik ini sejatinya telah mendegradasikan pencitraan negara ini khususnya di kalangan dunia internasional. Beberapa negara bahkan tidak sungkan-sungkan untuk menyatakan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang menakutkan dan sebagainya.
Tidak heran kalau citra toleransi keagamaan di negara ini kian buruk bahkan kebebasan beragama atau keyakinan semakin hari semakin memperlihatkan wajah yang menyedihkan. Tidak berlebihan kalau menjelang Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November 2011 ada sekelompok orang yang akan mengirimkan sebanyak 2011 kartu pos kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tentu kartu pos tersebut bukanlah berisi ucapan selamat kepada presiden, melainkan permintaan agar presiden memberikan jaminan kebebasan beragama di Indonesia.
Oleh karena itu, kalau pemerintah ingin menaikkan kembali pencitraan tentang kehidupan toleransi di negeri yang kita cintai ini, maka perubahan UU tentang Ormas terkait pasal pembekuan tersebut mesti benar-benar dijalankan disertai komitmen yang kuat. Jika itu yang dilakukan, sangat mungkin kehidupan yang toleran dan harmonis antar para pemeluk agama (koeksistensi damai) yang sejatinya memang sudah menjadi ciri khas negeri ini akan kembali naik pamor di republik ini.

Menyoal Hedonisme Pejabat

Gaya hidup hedonis sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini marak disorot publik. Diketahui bahwa ada sejumlah anggota legislatif yang memiliki koleksi mobil seperti mobil super mewah asal Inggris, Bentley, yang harganya mencapai 7 milyar rupiah. Sementara itu di parkiran gedung DPR sendiri mobil-mobil mewah semacam Alphard acap terpampang di sana dan sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Tentu saja perilaku beberapa anggota dewan tersebut mendapat kecaman publik secara luas. Mereka dianggap tidak peka terhadap kehidupan rakyat yang sebagian besar tengah mengalami berbagai kesulitan ekonomi. Mereka seolah-olah hanya memikirkan kenyamanan dan kenikmatan hidup sendiri dan keluarganya saja, tanpa memikirkan kehidupan orang lain. Mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri yang terpisah dari dunia orang lain.



Argumen Reaktif
Sayangnya argumen-argumen yang dikemukakan sejumlah anggota dewan yang kedapatan memiliki mobil mewah itu bersifat reaktif bahkan terkesan apalogetik. Setidaknya, ada tiga argumen yang mereka kemukakan terkait hal tersebut.
Pertama, sebagian anggota dewan mengatakan bahwa mengapa para politisi senayan yang selalu disorot padahal para pejabat publik di negeri ini pada umumnya juga bergaya hidup hedonis. Sungguh ironis kalau mereka berargumen seperti ini karena seolah menunjukkan ketidakpahaman terhadap posisi dan fungsi mereka sebagai anggota dewan. Mereka lupa bahwa DPR adalah lembaga yang mewakili rakyat dan duduknya mereka di lembaga terhormat tersebut karena suara rakyat.
Dengan demikian, gaya hidup hedonis mereka tidak saja bisa melukai hati rakyat yang justeru tengah dihimpit berbagai kesulitan hidup, namun juga mencerminkan ketidakpatutan bagi seseorang/kelompok yang mewakili rakyat. Di satu sisi mereka selalu mengatakan siap membela kepentingan rakyat, tetapi di sisi lain mereka terperosok ke dalam gaya hidup yang sangat kontras dengan kehidupan rakyat yang mereka hendak bela.
Kedua, sebagian anggota lainnya berargumen bahwa tidak apa-apa memiliki koleksi mobil mewah sepanjang didapat dengan cara yang halal atau tidak melalui korupsi. Boleh jadi hal itu benar karena banyak anggota dewan yang memiliki latar belakangan pengusaha sehingga sudah kaya raya sebelum menjadi anggota dewan. Namun harus diingat bahwa gaya hidup hedonis merupakan penyakit yang bersifat menular dengan cepat. Orang mudah tergoda untuk berperilaku yang sama ketika orang-orang di sekitarnya melakukan hal tersebut.
Secara sosiologis, faktor lingkungan sangat memengaruhi kehidupan sosial. Bukan tidak mungkin beberapa anggota dewan yang pada awalnya belum mengecap gaya hidup hedonis, kemudian bisa terpengaruh oleh perilaku anggota dewan lainnya yang hedonis. Celakanya, kalau sampai untuk mengikuti tren gaya hidup tersebut mereka melakukan korupsi supaya cepat dapat meraihnya. Ini sangat mungkin terjadi mengingat banyak anggota dewan yang semula diperkirakan bakal tahan terhadap godaan korupsi, tetapi setelah masuk lingkungan senayan ternyata tidak berdaya.
Ketiga, argumen sebagian anggota dewan yang menyebutkan bahwa masalah gaya hidup merupakan pilihan atas kehidupannya masing-masing yang tidak perlu diurusi dan diintervensi sungguh menyedihkan melihat posisi mereka sebagai elite masyarakat. Bukankah semua perilaku mereka akan dilihat oleh orang banyak yang sejatinya bisa diteladani? Padahal di negeri ini krisis keteladanan pemimpin tengah menggerogoti hampir semua ranah kehidupan. Maka, jangan disalahkan jika nanti rakyat yang mereka wakili meniru gaya hidup hedonis mereka.
Terlepas dari pada argumen-argumen yang reaktif tersebut, para anggota dewan yang bergaya hidup hedonis juga agaknya tidak menyadari bahwa perilakunya tersebut akan merusak pencitraan, tidak saja bagi dirinya, tetapi juga bagi partainya. Partai Golkar yang memiliki tagline "Suara Golkar Suara Rakyat" tentu akan ternoda oleh ulah Bambamg Soesatyo yang memiliki mobil mewah. Demikian pula Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dikenal sebagai partai "wong cilik", tentu akan terasa kontras ketika salah seorang kadernya di legislatif, Herman Herry, mengoleksi mobil mewah.
Jadi, bagaimana mungkin rakyat akan bersimpati pada partai politik di mana para kadernya banyak yang hidup bergelimangkan kemewahan duniawi sekalipun partai tersebut mengusung tema kerakyatan. Boleh jadi rakyat sulit untuk memercayainya karena begitu kontrasnya antara apa yang diperjuangkan dengan apa yang terjadi dalam realitas.

Sikap Hidup Asketis
Bertolak belakang dengan gaya hidup hedonis adalah gaya hidup asketis. Almarhum Nurcholis Madjid yang akrab disebut Cak Nur mengatakan bahwa sikap hidup asketis adalah kemampuan untuk mengingkari diri sendiri (self denial), tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek dan kesediaan untuk menunda kesenangan (to defer the gratification). Dengan demikian, orang yang asketis senantiasa mampu menahan diri untuk tidak mudah terperosok ke dalam gaya hidup yang sangat memuja keduniaan sekalipun peluang untuk itu sangat terbuka.
Orang dengan gaya hidup seperti ini sangat mudah untuk membangun empati terhadap kehidupan orang lain terutama mereka yang sedang menderita. Ia tidak segan-segan untuk memberikan sebagian hartanya untuk kebahagiaan orang lain karena mereka menemukan kepuasan batin justeru ketika mereka mampu berbagi dengan orang lain. Sebaliknya, tidak menemukannya ketika mereka menumpuk-numpuk harta atau mengoleksi barang-barang mewah seperti kaum hedonis.
Kiranya sikap hidup asketis seperti inilah yang sesungguhnya harus dimiliki para politisi di republik ini terutama para anggota dewan. Mereka justeru semakin akan menemukan kenyamanan manakala di berbagai forum menyuarakan pembelaan terhadap rakyat dan pada saat yang sama juga berperilaku asketis. Jika ini yang mereka lakukan, maka kepercayaan rakyat terhadap mereka jelas akan kian meningkat.

Kamis, 27 Oktober 2011

Pemuda dan Kohesivitas yang Retak (Suara Tangsel 28 Oktober 2011)

Sumpah pemuda pada 28 Oktober 83 tahun silam telah menorehkan tinta emas dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Sumpah Pemuda adalah sebuah ikrar politik yang mampu menggetarkan segenap elemen bangsa ketika itu, sehingga semuanya tergerak untuk bersama-sama berjuang melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Ideologi perjuangan para pemuda Indonesia jelas memainkan peranan yang sangat vital.
Tidak dapat dimungkiri bahwa eksistensi kaum pemuda pada masa perjuangan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah republik ini. Berbagai peristiwa heroik yang melibatkan mereka merupakan pertanda betapa pentingnya kaum pemuda Indonesia kala itu dalam mewujudkan kemerdekaan di bumi pertiwi ini. Tanpa kehadiran mereka barangkali nasib negeri ini belum tentu seperti sekarang.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana keberadaan kaum pemuda pada zaman sekarang, setelah terentang waktu delapan puluh tiga tahun dari peristiwa Sumpah Pemuda yang bersejarah itu?
Salah satu hal yang menjadikan kaum muda bersatu dan menjadi pelopor dalam berbagai gerakan adalah ideologi. Secara fungsional ideologi dapat diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan secara struktural ideologi adalah sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
Baik menurut pemaknaan secara fungsional maupun struktural ideologi merupakan hal yang sangat penting bagi para penganutnya. Ia menjadi kekuatan pendorong yang sangat kuat atas berbagai tindakan yang mereka lakukan. Ia menjadi ruh yang mampu mengikat kebersamaan dan pada saat yang sama mengeliminasi perbedaan di antara mereka.
Berbagai aksi kaum pemuda pada masa perjuangan kemerdekaan, tak pelak lagi, didasari dan disemangati oleh sebuah ideologi yang sangat kuat, yaitu anti-kolonialisme dan imperialism. Mereka menghendaki sebuah masyarakat dan negara (Indonesia) yang merdeka, karenanya mereka berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Ideologi itu menjadi sistem pembenaran atas tindakan mereka dan menjadi kekuatan yang memersatukan mereka. Perbedaan suku, bahasa, agama dan sebagainya tidak lagi menjadi penghalang.
Sementara pada diri kaum pemuda masa kini kita sulit menemukan sebuah ideologi yang mampu menjadi semanagat kebersamaan (esprit de corps) dalam kiprah mereka di tengah masyarakat. Alih-alih, mereka justeru tergagap-gagap atau gamang dalam menghadapi berbagai ideologi dunia yang menyergap mereka. Era globalisasi yang memungkinkan berbagai hal bisa memasuki relung-relung kehidupan manusia di belahan dunia manapun tanpa dapat dicegah kian memperparah kondisi itu.
Salah satu dampak globalisasi yang menghinggapi kaum pemuda masa kini adalah gaya hidup hedonistik-konsumeristik-kapitalistik. Inilah ideologi dunia yang jika dibiarkan akan membawa kaum pemuda ke dalam jurang kehidupan yang dalam. Sebab, ideologi ini akan membuat mereka terlena dengan kehidupan yang serba nikmat, nyaman, dan berbagai kemewahan lainnya. Akibatnya, mereka akan lupa terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sesungguhnya memerlukan sentuhan tangan kaum pemuda.

Kohesivitas yang retak
Selain tren gaya hidup hedonistik, hal lain yang dihadapi kaum muda dewasa ini cukup banyak. Salah satunya adalah masalah kohesivitas di antara mereka dalam menghadapi berbagai persoalan sosial-politik yang mendera mereka. Kohesivitas, seperti ditegaskan Irving Janis dalam bukunya Victims of Groupthink (1972), adalah batasan hingga di mana anggota-anggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja sama. Dengan kata lain, kohesivitas merupakan rasa kebersamaan dari kelompok tersebut.
Pemuda sebagai salah satu kelompok dalam masyarakat sesungguhnya diharapkan mampu memperteguh kohesivitas di kalangan mereka seperti hanya para pemuda zaman kemerdekaan. Frasa yang begitu terkenal hingga saat ini, yaitu “Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa” adalah cermin dari kohesivitas yang kuat di kalangan mereka.
Kalau kita saksikan sekarang ada beberapa kecenderungan dari kalangan pemuda masa kini yang memperlihatkan dengan jelas lemahnya kohesivitas. Pertama, lunturnya ideologi kebangsaan di antara mereka karena kuatnya godaan gaya hidup hedonistik. Akibatnya, mereka cenderung tidak memedulikan persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang sesungguhnya begitu berjibun di negeri ini. Sebaliknya, mereka justeru lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat instant, cepat memerolah kekuasaan, kekayaan dan sebagainya.
Kedua, kecenderungan primordialisme di kalangan pemuda masa kini juga cukup kentara. Bahkan dalam derajat tertentu, kaum muda tidak segan-segan untuk diperalat demi mendukung orang atau kelompok tertentu. Dengan demikian, alih-alih mengeliminasi perbedaan seperti halnya kaum muda dulu, mereka justeru mempertebal perbedaan tersebut.
Ketiga, kaum muda masa kini juga seringkali menjadi bagian dari masalah yang dihadapi di negeri ini. Berbagai aksi kekerasan horisontal yang belakangan marak terjadi di negeri ini justeru melibatkan banyak kaum muda. Jadi, bagaimana mungkin kaum muda masa kini akan menjadi pelopor perjuangan jika mereka sendiri malah acap menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan para pemuda masa kini jika ingin dipandang dan dikenang seperti para pemuda di zaman dulu adalah merevitalisasi nilai-nilai sumpah pemuda. Revitalisasi tidak mesti berbentuk ikrar verbal, tetapi lebih pada komitmen bersama untuk mengisi kemerdekaan dengan berbagai aksi nyata seperti pengentasan kemisikinan, pencerdasan bangsa dan sebagainya. Komitmen seperti ini pada gilirannya akan menjadi nilai bersama yang akan menjadi penguat kohesivitas di kalangan kaum muda.

*Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta

PKS Pasca Reshuffle

Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah selesai digelar pada 14 – 15 Oktober kemarin. Rapimnas ini menjadi penting karena diselenggarakan bersamaan dengan momentum perombakan (reshuffle) kabinet yang tengah digodok oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apalagi ada isu yang beredar di tengah publik bahwa salah seorang menteri yang berasal dari PKS akan dicopot.
Pertanyaannya adalah mengapa PKS begitu “kalang kabut” menghadapi persoalan perombakan kabinet sementara partai-partai lain di dalam koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediona terkesan adem ayem saja? Apakah hal tersebut menunjukkan bahwa PKS sudah tidak nyaman berada di dalam koalisi pendukung pemerintahan ataukah hanya sekadar manuver politik untuk menaikkan bargaining position di hadapan SBY?


Merusak Pencitraan
Sejak wacana perombakan kabinet mencuat ke tengah publik selama kurang lebih tiga mingguan PKS merupakan satu-satunya partai di dalam koalisi yang paling banyak melakukan manuver politik. Salah seorang petinggi PKS, misalnya, mengatakan bahwa perombakan kabinet tidak perlu dilakukan karena orientasinya lebih pada penumpukan modal untuk Pemilu 2014. Lalu ketika muncul isu bahwa salah seorang menteri dari PKS akan dicopot, elite partai ini mengancam akan membeberkan kontrak politik khusus antara PKS dengan SBY dan bahkan akan menarik semua kadernya dari pemerintahan. Dengan kata lain, partai kader ini akan keluar dari barisan koalisi pendukung pemerintahan.
Bukan tidak mungkin bahwa apa yang dilakukan para elite PKS tersebut didasarkan pada pemahaman mereka terhadap psikologi politik SBY. SBY selama ini dianggap sebagai orang yang cenderung lebih mementingkan harmoni dan tidak berani melakukan tindakan frontal terhadap kawan koalisinya. Dalam pemikiran para elite PKS, SBY tidak akan benar-benar berani “mendepak” mereka dari koalisi sekeras apapun sikap mereka, karena SBY akan lebih mementingkan stabilitas pemerintahan.
Namun demikian, yang boleh jadi tidak disadari oleh para elite PKS adalah bahwa model komunikasi politik yang mengancam dan menakut-nakuti seperti yang dipertontonkannya sesungguhnya justeru bisa menjadi “blunder” politik bagi partai ini ke depan, terutama terkait dengan pencitraan partai. Ada beberapa hal yang dapat dibaca oleh publik terkait dengan perilaku politik PKS di atas.
Pertama, sikap ngotot PKS untuk tetap mempertahankan menterinya di kabinet bahkan dengan cara mengancam justeru memperlihatkan ke publik betapa partai ini –tak ubahnya seperti partai-partai lainnya—kemaruk terhadap kekuasaan. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan pencitraan partai yang selama ini kerap digambarkan sebagai partai dakwah yang tujuan politiknya bukanlah kekuasaan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika sebagian publik pada akhirnya melihat sikap politik PKS tersebut sebagai sebuah bentuk kemunafikan. Dalam perspektif teori dramaturgi Erving Goffman, apa yang diperlihatkan para elite PKS di panggung depan (front stage) ternyata jauh berbeda dengan apa yang terjadi di panggung belakang (back stage). Partai yang kerap menampilkan dirinya di hadapan publik sebagai partai bersih, peduli dan profesional ternyata tidak seindah seperti yang digambarkan di dalam kenyataannya.
Kedua, tudingan PKS bahwa perombakan kabinet yang akan dilakukan SBY berkaitan dengan upaya penumpukan modal untuk Pemilu 2014 justeru akan menjadi bumerang politik karena bisa berbalik pada dirinya. Sebab, dengan ngototnya partai ini untuk mempertahankan menterinya di kabinet malah membuktikan bahwa partai ini juga tengah melakukan hal yang serupa. Sudah bukan rahasia lagi di negeri ini bahwa jabatan menteri selalu dijadikan lahan yang gemuk bagi partai untuk mendapatkan “gizi” politik. Dengan demikian, boleh jadi publik akan menilai bahwa sikap PKS tersebut memperlihatkan seolah-olah mereka tidak rela “penggemukan” partai yang selama ini sedang dilakukan menjadi terganggu dengan perombakan kabinet.
Ketiga, manuver politik PKS boleh jadi juga akan dipandang sebagai tindakan yang overacting dan kekanak-kanakan. Mereka tidak ubahnya seperti anak-anak yang tengah asyik bermain, lalu mainannya tiba-tiba ada yang merebut, sehingga mereka menangis meraung-raung, melemparkan segala sesuatu yang ada didekatnya kepada orang yang merebutnya dan seterusnya. Mereka hanya bisa berhenti ketika mainannya itu dikembalikan. Sikap seperti jelas akan merugikan partai ini di masa depan.

Dilema Politik
Banyak kalangan menilai bahwa manuver politik PKS tersebut sesungguhnya hanya dilakukan setengah hati, dan pada akhirnya mereka tetap akan “menyerah” kepada SBY. Memang waktu rampinas kemarin sempat ada suara yang menghendaki agar partai ini keluar dari koalisi bahkan suaranya cukup berimbang dengan mereka yang menginginkan tetap berada di dalam koalisi. Namun, di akhir rapimnas PKS memutuskan untu tetap berada di dalam koalisi.
Tampaknya PKS menghadapi dilema dalam mengambilkan sikap politik yang tegas untuk benar-benar keluar dari koalisi. Ada beberapa hal yang mereka pertimbangkan. Pertama, agaknya mereka menyadari benar bahwa akses ekonomi dan politik yang sedang mereka nikmati saat ini jelas sulit untuk diperoleh jika mereka tidak berada di dalam koalisi, sementara pemilu hanya tinggal kurang dari tiga tahun. Tentu kondisi ini tidak akan menguntungkan buat persiapan partai apabila memutuskan keluar dari koalisi.
Kedua, akses untuk memberikan pengaruh pada pemerintahan atau SBY secara khusus tentu saja tidak bisa dilakukan kalau mereka berbalik menjadi partai oposisi. Dalam derajat tertentu, PKS cukup berhasil dalam hal ini sehingga mereka merasa nyaman bergandengan dengan SBY. Oleh karena itu, mereka pasti akan merasa kehilangan sekali jika hal tersebut kemudian dilepaskan begitu saja.
Ketiga, untuk mengambil sikap politik oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampaknya PKS tidak siap. Selain karena mereka tidak memiliki kultur oposisi sehingga tidak akan mampu bertahan lama kalau harus memaksakan diri keluar dari barisan koalisi, juga biaya sosial dan politik yang harus mereka keluarkan akan sangat banyak.
Alhasil PKS akan tetap memilih berada di dalam koalisi sekalipun harus merelakan salah seorang menterinya dicopot. Agaknya prinsip lebih baik kehilangan satu daripada kehilangan semuanya menjadi pilihan PKS.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Urgensi Wakil Menteri

Drama reshuffle kabinet yang tengah dipertontonkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata menyimpan sebuah kejutan untuk para penonton (publik). Tiba-tiba SBY meng”audisi” sejumlah orang untuk menduduki pos wakil menteri di sejumlah kementerian. Sayangnya, kejutan yang diberikan sang aktor utama dari drama tersebut alih-alih membuat publik terpuaskan, justeru membangkitkan kekecewaan bahkan pandangan miring.
Beberapa calon wakil menteri yang telah diaudisi SBY adalah Ali Ghufron Mukti sebagai Wakil Menteri Kesehatan; Sapta Nirwandar sebagai Wakil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata; Wardana sebagai Wakil Menteri Luar Negeri; Musliar Kasim sebagai wakil Menteri Pendidikan Nasional bidang Pendidikan; Wiendu Nuryanti sebagai Wakil Menteri Pendidikan Nasional bidang Kebudayaan; Mahmudin Yasin sebagai Wakil Menteri BUMN; Bayu Krisna Murti sebagai Wakil Menteri Perdagangan; Mahendra Siregar sebagai Wakil Menteri Keuangan; Rusman Heriawan sebagai Wakil Menteri Pertanian; dan Eko Prasojo sebagai Wakil Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi.
Bagi banyak kalangan penunjukan beberapa orang calon wakil menteri tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah memang urgen mengisi pos wakil menteri untuk meningkatkan kinerja kementerian sementara waktu yang tersisa kurang dari tiga tahun? Ataukah langkah tersebut sebagai bentuk kompromi politik SBY dengan partai-partai koalisi pendukungnya?

Kontra Produktif
Dilihat dari berbagai perspektif pun pengangkatan wakil menteri pada saat sekarang tampaknya kurang tepat. Bahkan boleh jadi akan menjadi kontra produktif dengan upaya peningkatan kinerja kementerian yang sesungguhnya menjadi tujuan utama dari perombakan kabinet.
Menurt hemat penulis, ada sejumlah alasan yang bisa dikemukakan sebagai argumentasi bahwa langkah tersebut kontra produktif. Pertama, dari sudut pandang konstitusi, yang dikategorikan sebagai pembantu presiden adalah menteri, sementara wakil menteri tidak termasuk. Oleh karena itu, dalam rapat-rapat kabinet, misalnya, wakil menteri tidak diundang kecuali kalau menteri terkait berhalangan hadir. Dengan demikian, keberadaan wakil menteri sebenarnya tidak signifikan, karena hanya sebatas pengganti saja.
Kedua, di setiap kementerian sebenarnya sudah ada jabatan sekretaris jenderal, direktur jenderal dan inspektur jenderal. Seharusnya untuk meningkatkan kinerja suatu kementerian yang mesti dioptimalisasikan adalah mereka-mereka tersebut, bukan dengan mengangkat pejabat baru. Dengan demikian, penambahan pos baru dapat dikategorikan sebagai langkah yang mubazir dan bahkan merupakan pemborosan uang negara.
Ketiga, pengangkatan wakil menteri jelas tidak sejalan dengan upaya reformasi birokrasi yang justeru sedang digalakan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Menambah pejabat baru di sebuah kementrian jelas membuatnya semakin gemuk. Padahal isu perampingan birokrasi demi meningkatkan efektivitas merupakan problem utama yang harus diselesaikan dalam birokrasi kita. Dengan kata lain, efektivitas yang sebenarnya mesti dikedepankan, justeru kian terkendala.
Keempat, langkah SBY tersebut juga bisa dikatakan sebagai inkonsistensi pemerintah dalam mengeluarkan sebuah kebijakan. Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium PNS yang mulai efektif berlaku sejak 1 Agustus 2011 sampai 2012. Ini berarti, selama kurun waktu tersebut pemerintah tidak akan mengangkat pegawai negeri. Dengan demikian, penambahan pos wakil menteri seolah-olah berlawanan dengan kebijakan tersebut.

Kompromi Politik
Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa pengangkatan pos wakil menteri tersebut jelas tidak semata-mata bertujuan untuk meningkatkan kinerja kementerian, melainkan ada tujuan politis tertentu. Sekalipun pihak istana menepis tudingan tersebut, namun publik yang cerdas tentu mampu mengendus aroma politis yang memang sulit ditutup-tutupi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa ada nuansa kompromi politik di balik langkah tersebut. SBY agaknya tidak bisa berubah. Karakternya yang terlampau hati-hati atau peragu, tidak berani ambil resiko dan sebagainya tetap menonjol dalam perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Keistimewaan konstitusional yang dimilikinya menjadi tidak berguna sama sekali dalam kondisi seperti itu.
SBY agaknya tetap tidak mau bersitegang dengan partai-partai koalisi yang mendukungnya di parlemen meskipun ada di antaranya yang kerap melakukan manuver politik jelang reshuffle. SBY lebih memilih untuk tetap “merangkul” semua partai koalisi daripada harus ditinggalkan oleh mereka bahkan oleh salah satu dari mereka. Oleh karena itu, tidak akan banyak menteri-menteri yang berasal dari partai koalisi yang akan diganti oleh SBY.
Bagi SBY pilihan semacam ini tampaknya dianggap paling aman dan nyaman bagi dirinya dan pemerintahan. Namun di mata publik, pilihan tersebut justeru memperlihatkan betapa SBY tetap “tersandera” oleh politik koalisi. SBY seolah tidak berdaya berhadapan dengan partai-partai koalisi. Ini terlihat dari konsultasi SBY yang dilakukan dengan ketua-ketua umum parpol, sesuatu yang sebenarnya tidak mesti dilakukan jika mengingat bahwa pergantian menteri itu merupakan hak prerogratif presiden.

Minggu, 09 Oktober 2011

Menonton "Sinetron" Reshuffle Kabinet (Harian Pikiran Rakyat Senin, 10 Oktober 2011)

Menonton "Sinetron" Reshuffle Kabinet
Oleh: Iding R. Hasan

Perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Jilid II yang ditargetkan selesai sebelum tanggal 20 Oktober hampir mendekati detik-detik akhir. Ibarat sebuah sinetron, episode demi episode telah ditayangkan di layar besar seluruh negeri dengan pelakon utamanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mana hampir seluruh rakyat menontonnya.
Pertanyaannya adalah mengapa perombakan kabinet tersebut dibuat sedemikian dramatis? Bukankah SBY, dengan hak prerogratifnya, sebenarnya bisa langsung menunjuk calon-calon menteri baru di jajaran pemerintahannya tanpa harus menimbulkan hiruk pikuk di tengah publik?

Pendekatan Dramatisme
Untuk menganalisis model perombakan kabinet ala SBY pendekatan dramatisme Kenneth Burke tampaknya cukup tepat. Pendekatan ini, sebagaimana dijelaskan Burke dalam salah satu karyanya A Rhetoric of Motives (1950), mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama dengan memfokuskan perhatiannya pada adegan dari para pemainnya. Adegan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam menyingkap motif manusia atau pelaku adegan. Di antara sekian banyak motif, Burke menyebut motif rasa bersalah (guilty) yang utama. Tujuannya justeru untuk menebus rasa bersalah tersebut sehingga kemudian mendapatkan pemaafan publik. Sayangnya, seringpula terjadi, untuk menampilkan dirinya bebas dari kesalahan justeru dengan menyalahkan pihak lain.
Apa yang disajikan SBY di Cikeas belakangan ini tampaknya bisa dilihat sebagai bentuk upaya SBY untuk “membersihkan diri”. Bahwa dirinya bukanlah pihak yang harus disalahkan jika apa yang telah dilakukan KIB II selama ini belum sesuai dengan harapan publik. Akan tetapi, para pembantunyalah yang mesti dianggap kurang capable dalam menjabarkan dan menjalankan apa yang telah diinstruksikannya. Maka, mengganti menteri, berdasarkan cara pandang seperti in, merupakan sesuatu yang logis.
Padahal sesungguhnya, dalam prinsip kepemimpinan, tidak berjalannya suatu organisasi, baik dalam lingkup yang kecil maupun besar, merupakan tanggung jawab pemimpin. Dengan kata lain, pemimpinlah seharusnya yang mesti menanggung kesalahan, tanpa menimpakannya kepada bawahannya. Tindakan “cuci tangan” bagi seorang pemimpin bukanlah hal yang patut. Dalam konteks ini, SBY seolah Cuma ingin cuci tangan atas segala kekurangan pemerintahannya.
Pada sisi lain, dengan mekanisme perombakan kabinet yang bak sinetron tersebut, SBY agaknya ingin memperlihatkan pada publik bahwa ia merupakan orang yang sangat hati-hati, mendengarkan aspirasi publik dan sebagainya. Bahkan dengan menjadikan Cikeas yang notabene kediaman pribadi, sebagai pusat penggodokan penggantian menteri, SBY seolah-olah ingin dikesankan sebagai pekerja keras, yang tidak mengenal lelah dan waktu.
Namun, yang kurang disadari oleh SBY adalah bahwa publik saat ini merupakan penonton-penonton kritis yang tidak mudah dikelabui oleh alur cerita sebuah sinetron. Publik tampaknya sudah memahami bahwa “kesemarakan” Cikeas akhir-akhir ini tidak lebih dari sebuah sandiwara belaka di mana tujuan utamanya adalah tidak jauh dari pencitraan. Sebagian besar publik barangkali sudah bisa menebak episode akhir dari “sinetron” perombakan kabinet tersebut.
Publik yakin bahwa SBY pada akhirnya tidak akan bisa melepaskan dari “kerangkeng” politik (koalisi). Bukan saja karena SBY tidak mampu melepaskannya, melainkan ia seolah-olah membiarkan dirinya “terkerangkeng” oleh kepentingan politik tersebut. Isu adanya koalisi spesial antara partai-partai di dalam koalisi pendukung pemerintahan (Sekretariat Gabungan) memperlihatkan dengan jelas kecenderungan tersebut.
Bahwa di langkah awal perombakan kabinet SBY terlebih dahulu berdiskusi dengan Wapres Boediono dan Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto sebagai bentuk langkah profesional, tetapi hal tersebut tidak menjadi jaminan utama. Masalahnya setelah itu SBY juga bertemu dengan pimpinan parpol koalisi yang tentu saja memiliki peluang untuk membuyarkan hasil diskusi sebelumnya. Pengalaman sebelumnya, SBY agaknya tidak berdaya menghadapi “tekanan” parpol koalisi, terutama parpol besar.
Jika ini yang terjadi, tidak berlebihan kalau perombakan kabinet ala SBY disebut sebagai sinetron. Maka, siap-siaplah para penonton untuk tidak puas dengan sinetron tersebut.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Kamis, 06 Oktober 2011

Komodifikasi Lewat Ayu Ting Ting (Suara Merdeka, 7 Oktober 2011)

Sekadar berbagi tulisan saya di Harian Suara Merdeka Jum'at 9 Oktober 2011. Semoga bermanfaat.

Komodifikasi Lewat Ayu Ting Ting

Iding R. Hasan*

Belakangan ini nama Ayu Rosmalina yang lebih populer dengan sebutan Ayu Ting Ting mendadak menjadi buah bibir hampir semua kalangan masyarakat Indonesia. Berita-berita infotainment tak henti-hentinya dari pagi hingga petang mengupas berbagai sisi kehidupannya, tidak hanya soal lagu "alamat palsu" yang sukses melambungkan namanya di jagat hiburan tanah air.
Dalam teori ekonomi-politik media yang diperkenalkan Vincent Mosco dalam buku The Political Economy of Communication (1996), ada satu konsep yang dapat menjelaskan fenomena Ayu Ting Ting, yaitu komodifikasi. Komodifikasi menjelaskan bahwa media memanfaatkan isi (pemberitaannya) dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan atau dijual.
Fenomena Ayu Ting Ting juga pernah dialami selebriti dadakan seperti Sinta-Jojo yang dikenal dengan lipsyn lagu “Keong Racun” dan Briptu Norman Kamaru yang populer setelah diunggah di Youtube membawakan lagu India “Chaiyya-Chaiyya”. Namun dibandingkan dengan para pendahulunya tersebut, tampaknya Ayu Ting Ting akan lebih fenomenal dan bertahan lebih lama. Hal ini, menurut hemat penulis, karena sejumlah faktor pendukung.
Pertama; momentum yang didapat Ayu Ting Ting sangat tepat. Musik dangdut yang sebetulnya sangat populer di negeri, bahkan disebut musik asli Melayu, belakangan ini sedang kalah pamor. Genre musik pop Melayu yang mendayu-dayu mulai mampu menggesernya. Terkini, demam boy band dan girl band tumbuh bak cendawan di musim hujan. Setiap acara musik di televisi baik live ataupun tunda selalu diramaikan oleh kehadiran mereka.
Oleh karena itu, ketika dangdut muncul di tangan Ayu Ting Ting seolah ada kerinduan yang begitu tinggi dari pencinta musik di tanah air. Apalagi irama dangdut yang dibawakan Ayu begitu riang dan easy listening. Hal ini ditambah dengan penampilan Ayu yang lebih ngepop –dia sendiri penggemar group band korea—yang berbeda dengan umumnya para pedangdut wanita di negeri ini. Tak aneh kalau dalam sekejap Ayu mampu menjadi magnet yang sangat kuat daya tariknya.

Eksploitasi
Kedua; Ayu sebenarnya tidak bisa dibilang selebritis dadakan seperti Briptu Norman dan Sinta-Jojo. Ia telah cukup lama berkecimpung dalam dunia entertainment, bahkah sejak usia kanak-kanak. Lagu “Alamat Palsu” yang menghebohkan itupun sesungguhnya berasal dari album ‘Geol Ajep-Ajep” yang dirilis sejak tahun 2007, artinya, ada selang waktu sekitar 4 tahun untuk bisa mengangkat Ayu ke kancah musik dangdut secara nasional. Sebuah kurun waktu yang tidak bisa dibilang singkat, terutama jika dibandingkan dengan mereka yang hanya dengan “lima menit” di Youtube langsung menikmati ketenaran.
Ketiga; sikap dan perilaku (attitude) Ayu juga tampaknya cukup mendukungnya untuk menjadi seorang penyanyi profesional. Dalam sejumlah penampilan, seperti wawancara dengan media massa, ia bisa menempatkan diri dengan baik dan memberikan jawaban-jawaban yang sepatutnya. Beberapa gesture tubuh yang diperlihatkannya juga cukup membuat orang respek. Tidak sedikit selebritis dadakan yang tidak mampu memperlihatkan sikap dan perilaku yang memadai.
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki Ayu Ting Ting tersebut di atas, tidaklah mengherankan kalau ia akan terus menjadi “lahan empuk” pemberitaan media massa. Dalam konteks ini, memang terdapat hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme simbiosis) antara Ayu dan media. Namun, yang perlu dicermati juga adalah bahwa ketika pemberitaan tersebut dilakukan secara masif dan terus menerus dalam derajat tertentu juga bisa membawa efek buruk.
Yang paling dikhawatirkan adalah adanya kecenderungan eksploitasi, terutama oleh media infotainment terhadap Ayu. Indikatornya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan Ayu, sekalipun bersifat pribadi, dieskpos secara besar-besaran yang kerapkali tanpa pertimbangan nilai yang ketat.
Argumentasi pihak media infotainment bahwa pemberitaan berbagai sisi kehidupan artis tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dari yang bersangkutan tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Sebab, pertanggungjawaban publik artis sebenarnya terkait dengan karir profesionalnya. Kalau dia seorang penyanyi, maka karir kepenyanyiannyalah yang harus dimintakan pertanggungjawaban publiknya, demikian pula kalau dia seorang aktor, dan begitu seterusnya.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Ayu Ting Ting dan Komodifikasi Media

Belakangan ini nama Ayu Rosmalina yang lebih populer dengan sebutan Ayu Ting Ting mendadak menjadi buah bibir hampir semua kalangan masyarakat Indonesia. Berita-berita infotainment tak henti-hentinya dari pagi hingga petang mengupas berbagai sisi kehidupannya, tidak hanya soal lagu "alamat palsu" yang sukses melambungkan namanya di jagat hiburan tanah air.

Gejala Komodifikasi
Dalam teori ekonomi-politik media yang diperkenalkan Vincent Mosco dalam buku The Political Economy of Communication (1996), ada satu konsep yang dapat menjelaskan fenomena Ayu Ting Ting, yaitu komodifikasi. Komodifikasi menjelaskan bahwa media memanfaatkan isi (pemberitaannya) dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan atau dijual.
Dari sudut pandang ini, Ayu Ting Ting telah dijadikan "komoditas" yang dipasarkan karena memiliki nial jual tinggi. Selama Ayu Ting Ting memiliki nilai jual yang tinggi, maka media-media massa, terutama media infotainment, baik cetak maupun elektronik, akan terus memberitakannya.
Di sinilah letak logika kapitalistik dari konsep komodifikasi. Ayu telah mampu menjadi akumulator kapital yang luar biasa. Bayarannya pun semakin hari semakin meningkat secara drastis. Oleh karena itu, media-media massa makin gencar dan masif memberitakannya.
Fenomena Ayu Ting Ting juga pernah menimpa kepada sejumlah selebriti dadakan seperti Sinta-Jojo yang dikenal dengan lipsyn lagu Keong Racun; Briptu Norman Kamaru yang populer dengan membawakan lagu chaiyya-chaiyya yang merupakan lagu India.
Namun dibandingkan dengan para pendahulunya tersebut, tampaknya Ayu Ting Ting akan lebih fenomenal dan bertahan lebih lama. Hal ini, menurut hemat penulis, karena sejumlah faktor pendukung.
Pertama, momentum yang didapat Ayu Ting Ting sangat tepat. Musik dangdut yang sebetulnya sangat populer di negeri, bahkan konon disebut musli asli tanah Melayu, belakangan ini sedang kalah pamor. Genre musik pop Melayu yang mendayu-dayu mulai mampu menggesernya. Dan paling terkini, demam boy band dan girl band tumbuh bak cendawan di musim hujan. Setiap acara musik di televisi baik live ataupun tunda selalu diramaikan oleh kehadiran mereka.
Oleh karena itu, ketika dangdut muncul di tangan Ayu Ting Ting seolah ada kerinduan yang begitu tinggi dari pencinta musik di tanah air. Apalagi irama dangdut yang dibawakan Ayu begitu riang dan easy listening sehingga orang mudah tergoda. Hal ini ditambah dengan penampilan Ayu yang lebih ngepop –dia sendiri penggemar group band korea—yang berbeda dengan umumnya para pedangdut wanita di negeri ini. Tak aneh kalau dalam sekejap Ayu mampu menjadi magnet yang sangat kuat daya tariknya.
Kedua, Ayu sebenarnya tidak bisa dibilang selebritis dadakan seperti Briptu Norman dan Sinta-Jojo. Ia telah cukup lama berkecimpung dalam dunia entertainment, bahkah sejak usia kanak-kanak. Lagu alamat palsu yang menghebohkan itupun sesungguhnya berasal dari album ajep-ajep yang dirilis sejak tahun 2007, artinya, ada selang waktu sekitar empat tahun untuk bisa mengangkat Ayu ke kancah musik dangdut secara nasional. Sebuah kurun waktu yang tidak bisa dibilang singkat, terutama jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang hanya dengan “lima menit” di youtube langsung menikmati ketenaran.
Ketiga, sikap dan perilaku (attitude) Ayu juga tampaknya cukup mendukungnya untuk menjadi seorang penyanyi profesional. Dalam sejumlah penampilan, seperti wawancara dengan media massa, ia bisa menempatkan diri dengan baik dan memberikan jawaban-jawaban yang sepatutnya. Beberapa gesture tubuh yang diperlihatkannya juga cukup membuat orang respek. Tidak sedikit selebritis dadakan yang tidak mampu memperlihatkan sikap dan perilaku yang memadai.

Eksploitasi
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki Ayu Ting Ting tersebut di atas, tidaklah mengherankan kalau ia akan terus menjadi “lahan empuk” pemberitaan media-media massa. Dalam konteks ini, memang terdapat hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme simbiosis) antara Ayu dan media. Ayu semakin populer dan tentu saja berimbas pada pundi-pundi rupiahnya, sementara media tak pernah kekurangan bahan berita.
Namun, yang perlu dicermati juga adalah bahwa ketika pemberitaan tersebut dilakukan secara masif dan terus menerus dalam derajat tertentu juga bisa membawa efek buruk. Yang paling dikhawatirkan adalah adanya kecenderungan eksploitasi, terutama oleh media infotainment terhadap Ayu. Indikatornya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan Ayu, sekalipun bersifat pribadi, dieskpos secara besar-besaran yang kerapkali tanpa pertimbangan nilai yang ketat.
Argumentasi pihak media infotainment bahwa pemberitaan berbagai sisi kehidupan artis tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dari yang bersangkutan tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Sebab, pertanggungjawaban publik artis sebenarnya terkait dengan karir profesionalnya. Kalau dia seorang penyanyi, maka karir kepenyanyiannyalah yang harus dimintakan pertanggungjawaban publiknya, demikian pula kalau dia seorang aktor, dan begitu seterusnya.
Sayangnya, kecenderungan media-media infotainment di tanah air justeru tidak memegang teguh prinsip tersebut. Mereka, sebagai jurnalis, seolah bebas mengungkapkan apa saja sisi kehidupan artis entah bersifat pribadi ataupun publik. Inilah watak eksploitatif media yang paling kentara, sehingga tidak sedikit memakan “korban” sejumlah artis tanah air.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa betapapun tarikan komodifikasi begitu kuat dalam suatu pemberitaan, seperti halnya kasus Ayu Ting Ting, namun pihak media juga seyogianya mampu memberikan pengereman. Tidak terlalu mengumbar atau mengeksploitasi habis-habisan. Selain bisa berpengaruh buruk pada sumber berita, khalayak juga akan merasakan kejenuhan, yang pada gilirannya pihak media akan merasakan pula akibatnya.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Rabu, 05 Oktober 2011

Membubarkan atau Mendorong KPK (Harian Jurnal Nasional Rabu 5 Oktober 2011)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini tampaknya kerap mendapatkan bantu sandungan dalam menjalankan tugasnya. Selain masalah kriminalisasi yang sempat menderanya beberapa waktu yang lalu, kini lembaga tersebut menghadapi isu pembubaran. Hal ini terungkap dalam rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung pada Senin 3 Oktober kemarin. Ketika itu, Fahri Hamzah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melontarkan isu pembubaran KPK.
Argumentasi yang disajikan Fahri adalah bahwa KPK sejak didirikan telah menjadi lembaga superbody. Padahal menurutnya, dalam upaya membangun negara demokrasi tidak boleh ada konsep lembaga superbody. Agaknya bukan kali ini saja Fahri melemparkan isu pembubaran KPK tersebut ke tengah publik. Dalam sejumlah diskusi publik baik langsung maupun melalui media massa Fahri memang kerap menyentil KPK secara sinis sebagai lembaga yang terlalu jauh melampaui kewenangan yang seharusnya.



Implikasi Politik
Tak pelak lagi lontaran wacana pembubaran KPK oleh Fahri Hamzah yang notabene seorang anggota dewan menjadi isu publik yang kontroversial. Hal itu, disadari atau tidak, jelas akan membawa implikasi politik yang cukup serius, baik pada level individu maupun lembaga. Setidaknya, menurut hemat penulis, ada tiga implikasi politik yang patut dicermati.
Pertama, secara individu, wacana pembubaran KPK justeru akan menjadi bumerang bagi sang pengusung. Bukan tidak mungkin ia akan dikecam publik karena boleh jadi akan dipersepsikan sebagai orang yang berupaya menghalangi pemberantasan korupsi yang diemban KPK. Sebagai seorang politisi yang lahir pada era reformasi, tentu ia akan dianggap sebagai ironi.
Realitas ini bahkan bisa menjadi penahbis dari hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 5-10 September 2011. Menurut survei tersebut, politisi reformasi ternyata lebih buruk daripada politisi Orde Baru. Salah satu faktor buruknya citra politisi reformasi adalah banyak yang terlibat dalam kasus korupsi berjamaah. Maka, kalau ada salah seorang politisi reformasi yang seolah menjadi penghalang upaya pemberantasan korupsi, jelas hal itu kian memperburuk citra tersebut.
Kedua, secara kelembagaan, wacana pembubaran KPK oleh Fahri Hamzah sangat mungkin berdampak pada partainya, PKS. Karena posisinya sebagai salah seorang elite partai, bukan tidak mungkin publik akan menduga bahwa suaranya adalah suara partai, meskipun hal itu segera dibantah oleh PKS. Jika dugaan tersebut terus menguat, PKS akan mendapatakan getahnya, apalagi partai ini dikenal dengan slogannya “Bersih, Peduli dan Profesional.”
Posisi Fahri sebagai anggota DPR tentu juga akan berimbas pada citra lembaga ini. Apalagi sebelum rapat konsultasi, terjadi “perang dingin” antara DPR-KPK terkait dengan masalah Badan Anggaran (Banggar) DPR. KPK sampai dua kali menolak menghadiri undangan DPR karena acara tersebut akan dihadiri pula oleh anggota banggar, padahal mereka sedang menjadi saksi dalam kasus suap di kemenakertrans. KPK baru siap hadir ketika Banggar DPR tidak dilibatkan dalam acara tersebut.
Ketiga, yang paling mengkhawatirkan adalah jika lontaran Fahri tersebut justeru menjadi semacam sinyal rivalitas antar lembaga negara yang dibalut motif balas dendam. Sebagaimana diketahui, banyak anggota dewan, termasuk dari fraksi Fahri, yang telah menjadi terdakwa, sebagian bahkan telah menikmati “hotel prodeo” karena upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Sementara DPR alih-alih ikut menjadi penggerak upaya pemberantasan korupsi, justeru kerap menjadi bagian pelaku korupsi.

Mendorong KPK
KPK sebagai pengemban amanah UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya dibentuk sebagai lembaga yang diharapkan berada di garis depan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun sebenarnya, lembaga ini juga tetap harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan agung yang secara formal mengemban tugas tersebut. Hal ini, misalnya, terlihat di butir pertama dari tugas KPK, yakni “Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.”
Bahwa KPK diberikan kewenangan penyidikan bahkan penyadapan seperti halnya kepolisian dan kejaksaan agung, menurut hemat penulis, tidak perlu dipersoalkan apalagi dicap sebagai lembaga superbody. Sebab, tanpa kewenangan tersebut sulit bagi lembaga yang diharapkan mampu mengungkap berbagai korupsi dalam melakukan tugasnya. Sementara citra kepolisian dan kejaksaan agung sendiri sangat buruk di mata masyarakat, padahal kedua lembaga itulah yang seharusnya pelaksana utamanya.
Oleh karena itu, alih-alih membubarkan KPK, justeru yang lebih elegan bagi kalangan DPR adalah mendorong lembaga pemberantasan korupsi tersebut untuk lebih berani mengungkapkan berbagai kasus korupsi terutama yang kelas kakap. Mega skandal Bank Century, kasus pengemplangan pajak, lumpur Lapindo dan lain-lain adalah di antara kasus korupsi besar yang seolah-olah hilang tak tentu rimbanya.
KPK juga harus didorong untuk mampu memperlihatkan independensinya di tengah pusaran beragam kepentingan politik. Ungkapan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, bahwa KPK tidak dapat diintervensi kepentingan partai besar, sedang, kecil atau kumpulan partai kecil harus mampu dibuktikan di hadapan publik.
Terlepas dari plus-minus yang telah dilakukan KPK selama ini, sebagai publik tentu kita masih berharap bahwa lembaga ini harus terus menjalankan tugas mulianya, memberantas tindak pidana korupsi di republik ini. Apalagi dari sejumlah survei disebutkan bahwa saat ini publik masih memercayai kredibilitas KPK apalagi jika dibandingkan dengan lembaga DPR.
Labelling sebagai lembaga superbody seyogianya tidak menjadi halangan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya. Bagaimanapun dalam situasi darurat seperti pada masa transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia, keberadaan lembaga tersebut bisa dimaklumi, demi untuk kepentingan yang lebih besar. Sebab, musuh utama negeri ini adalah korupsi, dan korupsi merupakan extraordinary crime. Maka, sangat pantas kalau yang menanganinya lembaga extrordinary juga.
Tentu saja, kalau situasi sosial-politik telah berubah di mana Indonesia menapaki era demokrasi yang sebenarnya, maka kehadiran lembaga semacam KPK boleh jadi tidak diperlukan lagi. Namun, agaknya untuk menapak ke arah sana masih memerlukan perjalanan yang panjang dan berliku. Maka, biarkanlah dulu KPK “menikmati” hak-hak superiornya untuk menjalankan tugas mulianya tersebut.

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Polital Literacy Institute dan Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta.

Jumat, 30 September 2011

Fragmentasi Drama Politik (Suara Pembaruan, Kamis 18/8/2011)

Drama politik kolosal dengan aktor utama, Muhammad Nazaruddin, tampaknya akan memulai babak baru setelah sang buronan tertangkap. Fragmentasi-fragmentasi dari sejumlah episode kisah yang telah disajikan secara acak oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu kini agaknya harus dirangkai secara runtut, sehingga bisa menampilkan cerita yang utuh dengan kemungkinan sejumlah aktor lain yang terlibat.
Publik yang hampir setiap hari disuguhi fragmentasi kisah yang tidak pernah utuh tersebut tentu ingin segera tahu keseluruhan cerita yang sebenarnya. Benarkah, misalnya, aktor utamanya Nazaruddin, ataukah dia hanyalah sebagai pemeran pembantu saja, sementara aktor utamanya masih misteri. Kalau begitu, adakah sutradara di balik kisah itu yang membuat Nazaruddin bak aktor film yang gagah berani melancarkan serangan pada musuh-musuhnya?
Terlepas dari apakah pada akhirnya kisah tersebut akan berakhir dengan happy ending atau sad ending, yang jelas publik agaknya sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui rangkaian kisah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pemerintah, dan pihak-pihak yang terkait, mau tidak mau harus menjadikan kasus ini sebagai prioritas utama untuk segera dituntaskan secara transparan.

Pertaruhan Politik
Bagaimanapun kasus Nazaruddin sudah menyita perhatian publik. Seluruh media di negeri ini tidak ada yang luput memberitakannya. Bahkan untuk menunggu kedatangan Nazaruddi saja, para awak media rela menunggu selama kurang lebih 39 jam. Tentu ini menjadi sebuah penanda betapa tingginya “nilai jual” kasus tersebut. Oleh karena itu, kalau penuntasan kasus ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, atau misalnya, dipenuhi rekayasa, akan menjadi pertaruhan politik yang besar.
Pihak pertama yang paling terkait dengan resiko pertaruhan politik tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masalahnya sekarang ini kasus Nazaruddin sudah berada di tangan KPK, karenanya penuntasannya sangat bergantung pada sejauhmana profesionalisme KPK. Dalam konteks ini, independensi KPK akan menjadi sorotan utama dari publik. Mampukah KPK terbebas dari berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik kekuasaan yang bukan tidak mungkin akan mencoba melakukan intervensi, selama menangani kasus Nazaruddin?
Pertanyaan ini sangat penting mengingat pada saat penjemputan Nazaruddin dari Bogota sampai ke Jakarta muncul kontroversi. Misalnya, sebagaimana yang dituturkan pengacaranya, Otto Cornelis (O.C.) Kaligis, selama pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di dalam perjalanan Nazaruddin tidak didampingi oleh pengacara. Bukankah ini akan memunculkan dugaan yang macam-macam?
Kemudian ketika Nazaruddin sudah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), ada kontroversi seputar larangan pada pengacara dan keluarga Nazaruddin untuk menemuinya. Pihak KPK mengklaim Nazaruddin sendiri yang tidak mau ditemui, sementara pihak pengacara dan keluarga menuduh KPK yang melarang. Inilah yang kemudian memicu protes keras Kaligis karena dianggapnya bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 70. Pasal tersebut menyebutkan bahwa penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara setiap waktu untuk kepentingan perkaranya.
Atas semua kontroversi di awal penanganan kasus Nazaruddin tersebut KPK dituntut untuk menjelaskan ke publik, apakah keputusan pelarangan tersebut benar-benar dikehendaki Nazaruddin ataukah sebaliknya. Kalau tidak dijelaskan secara transparan, ini akan menjadi bumerang bagi KPK. Apalagi sebelumnya lembaga ini sudah didera kasus yang sempat mencoreng sebagian mukanya. Hal ini terkait dengan terungkapnya petinggi KPK yang pernah menemui Nazaruddin.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain KPK harus berani mengungkapkan kasus ini secara terang benderang tanpa takut siapapun dan apapun. Bahkan seharusnya ini menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan keterlibatan aktor-aktor lain yang sangat mungkin lebih powerfull dari Nazaruddin. Hanya dengan cara seperti inilah kepercayaan publik terhadap KPK kembali naik setelah sempat terpuruk pada level kepercayaan di bawah 50 persen seperti yang pernah dilansir salah sebuah survei. Maka, mengutip perkataan Amien Rais, apakah KPK akan menjadi pemberani atau pengecut, akan terlihat dari penanganan kasus ini.
Pihak lain yang sangat terkait dengan pertaruhan politik adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI maupun Ketua Dewan Pembinan Partai Demokrat. Komitmen SBY untuk menjadi orang pertama yang hendak memberantas korupsi di negeri ini akan kembali tersandra jika kasus ini tidak diselesaikan secara tuntas. Apalagi SBY sebelumnya telah mengeluarkan perintah penangkapan atas Nazaruddin, sehingga kalau tidak disertai dengan penuntasan kasusnya, jelas akan menjadi bahan kritikan publik. Perintah penangkapan tersebut tidak lebih dari upaya pencitraan seperti yang kerap ia tampilkan.


Skeptisisme Publik?
Melihat penuntasan kasus Nazaruddin yang sedari awal sudah memperlihatkan kontroversi bukan tidak mungkin kian mengentalkan skeptisime publik. Apalagi sudah banyak kasus sebelumnya yang penanganannya tidak tuntas, atau bahkan menghilang begitu saja ketika bersinggungan dengan kekuasaan. Kasus Bank Century, misalnya, sampai hari ini masih menyisakan misteri. Hal ini diduga terkait dengan bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan. Demikian halnya dengan kasus Nazaruddin yang besar kemungkinan terkait erat dengan kepentingan politik yang lebih besar, yakni Partai Demokrat yang notabene partai yang berkuasa (the ruling party). Dan posisi Nazaruddin adalah bendahara umum PD yang tentu orang paling mengetahui lalu lintas keuangan partai.
Oleh karena itu, kalau penuntasan kasus Nazaruddin tersebut masih tersandra oleh kepentingan politik kekuasaan, maka kita sebagai publik masih akan disuguhi fragmentasi-fragmentasi kisah dari drama politik yang tiada jelas alur ceritanya.

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Polital Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Rabu, 28 September 2011

Agama, Politik dan Kekerasan

Misi utama agama manapun di dunia ini adalah menyelamatkan umat manusia baik di dunia maupun di hari akhir kelak. Oleh karena itu, setiap aksi yang bertentangan dengan semangat penyelamatan manusia jelas bertentangan secara diametral dengan misi suci agama tersebut. Peledakan bom ataupun bom bunuh diri, apapun motifnya, jelas tidak dapat dibenarkan oleh agama karena mengandung semangat desktruktif.
Namun sayangnya, di negeri ini, di mana enam agama hidup berdampingan secara damai, kerap dikeruhkan oleh berbagai aksi kekerasan atas nama agama. Kasus penyerangan terhadap kelompok Islam tertentu masih sering terjadi, demikian pula aksi-aksi peledakan bom. Yang terkini adalah aksi bom bunuh diri di depan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah pada Minggu 25/9 kemarin. Meskipun tidak mengakibatkan banyak korban jiwa, tetapi aksi tersebut jelas merupakan teror yang menakutkan.
Jika kita melihat apa yang terjadi di negeri ini, kita menemukan dengan jelas bahwa ada disparitas yang begitu tajam antara idealitas agama sebagai penyelamat umat manusia dengan realitas destruktif yang dilakukan oleh sebagian pemeluknya. Tentu ini mengundang pertanyaan banyak pihak, mengapa agama seolah tidak mampu mengemban misi sucinya.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua cara pandang untuk memahami realitas tersebut. Pertama, dari aspek internal pemeluk agama. Tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat sebagian pemeluk agama (Islam) yang cenderung memahami doktrin agama secara skripturalis-literalistik. Model pemahaman kelompok ini sangat rigid, keras dan hitam-putih. Inilah yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai kelompok Islam radikal.
Pasca runtuhnya rejim Orde Baru ketika liberalisasi politik begitu menguat kelompok ini tidak lagi bergerak di bawah tanah seperti pada masa sebelumnya. Seolah mendapatkan peluang besar, mereka tampil secara terang-terangan melakukan penyebaran ideologinya.
Salah satu konsep yang dipahami secara skripturalis-literalistik adalah jihad. Jihad lebih dimaknai oleh kelompok ini sebagai berjuang mengangkat senjata di jalan Allah seperti yang pernah dilakukan Nabi Muhammad ketika memerangi kaum kafir Quraisy. Bagi kelompok ini, aksi peledakan bom ataupun bom bunuh diri dipandang sebagai cara jihad di jalan Allah untuk meraih tiket surga.
Kedua, terkait dengan kepentingan eksternal. Ini kerap terjadi ketika terdapat “perselingkuhan” antara agama dan politik. Dalam situasi seperti ini yang dominan terjadi adalah politisasi agama atau agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh orang atau kelompok tertentu. Kasus penyerangan terhadap penganut sebuah aliran di negeri ini beberapa waktu lalu, yang diduga “ditunggangi” kepentingan politik merupakan bukti nyata.
Kecenderungan seperti ini mudah terjadi di Indonesia karena didukung oleh budaya politik patron-client yang sampai hari ini masih terus berlangsung. Patron biasa merujuk pada kalangan berkuasa yang memiliki berbagai sumber daya: kekuasaan, perlindungan, finansial dan sebagainya, sedangkan client umumnya merujuk pada masyarakat atau rakyat yang membutuhkan semua sumber daya tersebut. Dalam sejumlah kasus kita bisa menyaksikan sebuah kelompok agama tertentu seolah “dibiarkan” begitu bebas melakukan berbagai aksi kekerasan.
Tentu sangatlah ironis seandainya kecenderungan budaya politik patron-client terjadi pada kelompok-kelompok yang melakukan berbagai aksi terorisme seperti peledakan bom. Dugaan ini mungkin saja terjadi ketika kita melihat bahwa sejumlah aksi peledakan bom terjadi bersamaan dengan berkembangnya situasi sosial-politik yang sedang tidak bersahabat dengan penguasa. Pemberitaannya yang dilakukan secara masif dan intensif pada gilirannya bisa membuat rakyat lupa terhadap persoalan yang sebenarnya sedang disorot publik
Tentu kita berharap dugaan di atas keliru. Karena itu, pemerintah dan aparat keamanan harus mengungkapkan secara cermat dan jelas aksi-aksi terorisme tersebut tanpa kecolongan lagi.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.