Kamis, 20 Desember 2012

Soliditas (Semu) Demokrat (Seputar Indonesia, Jum'at 21/12/2012)

Barangkali Partai Demokrat merupakan satu-satunya partai di Indonesia sekarang ini yang paling banyak didera masalah. Partai berlambang bintang mercy ini seperti “tak putus dirundung malang,” meminjam judul sebuah novel karya pujangga kenamaan Indonesia, Sutan Takdi Alisjahbana. Setelah kasus tersangkanya Andi Alfian Mallarangeng dalam proyek Hambalang, muncul masalah pencopotan Ruhut Sitompul dari jabatannya di DPP sebagai Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi. Keputusan tersebut diambil oleh pengurus harian DPP yang dihadiri Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum. Tentu saja keputusan tersebut membuat Ruhut Sitompul, yang terbiasa bicara tanpa tedeng aliang-aling itu, meradang. Da tidak menerima keputusan itu dan menganggap bahwa yang berhak memecatnya dari kepengurusannya di DPP hanyalah Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono. Sampai saat ini pun Ruhut pun masih terus melakukan perlawanan terhadap tindakan pencopotannya dan terus menyuarakan kritik pedas, terutama pada Anas, di berbagai forum. Namun, DPP Demokrat tampaknya tetap bergeming dengan keputusannya. Soliditas Partai Satu hal yang mudah diduga dari keputusan DPP mencopot Ruhut adalah soliditas partai. Dari sisi etika keorganisasian, Ruhut banyak menghadirkan masalah bagi Demokrat karena sering memperlihatkan ketidakkompakan dengan jajaran pengurus lainnya. Tidak jarang dia melontarkan ke publik masalah-masalah internal partai yang seyogianya tidak etis diungkapkan. Selain itu, dia paling getol menyerukan agar Anas mundur dari jabatannya sebagai ketua umum partai. Meskipun demikian, keputusan DPP untuk mencopot Ruhut juga mengandung resiko yang tidak kecil. Ruhut yang tidak menerima keputusan tersebut terus melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Ruhut mengetahui betul berbagai “rahasia dapur” Anas, sehingga bukan tidak mungkin dia akan mengungkapkannya ke publik. Namun sebenarnya yang paling dikhawatirkan bukanlah Ruhut secara personal, melainkan elite-elite Demokrat yang berseberangan dengan Anas, termasuk SBY. Mereka sebenarnya juga tidak setuju dengan tindakan pencopotan tersebut, karenanya ketika Ruhut melakukan perlawanan terhadap Anas, seolah-olah kepentingan mereka terakomodasi dan diam-diam memberikan dukungan. SBY sendiri, meski tidak memperlihatkan pembelaannya secara tegas pada Ruhut, namun sudah bukan Rahasia lagi jika dia tidak menyukai Anas sejak awal. Peran Simbolik SBY Pada awalnya mungkin publik tidak mengira bahwa Anas akan berani membuat keputusan mendepak Ruhut dari DPP yang kerap mendapatkan perlindungan dari SBY. Tetapi tampaknya yang terjadi tidaklah demikian. Anas justeru berani membuat keputusan tersebut tanpa meminta pertimbangan terlebih dahulu pada SBY. Oleh karena itu, keputusan itu dianggap tamparan keras bagi SBY. Dari sini agaknya Anas sudah siap berhadapan head to head dengan SBY. Apakah ini berarti bahwa Anas merasa berada di atas angin atas SBY sehingga tidak terlalu menganggap keberadaannya di Demokrat? Boleh jadi kecenderungannya demikian. Anas adalah tipikal politisi tulen yang sudah terbiasa bergerak dan bergerilya di kalangan kader-kadernya sehingga paham betul peta politik yang dihadapinya. Dia tidak akan membuat keputusan politik yang berani jika memang situasinya tidak benar-benar mendukung dirinya. Dalam hal keputusan mendepak Ruhut, Anas tampaknya sudah memperhitungkannya. Dia yakin bahwa sebagian besar kader Demokrat berada di belakangnya sehingga jikapun harus dibenturkan dengan SBY dia tidak merasa takut. Sekalipun ada kubu lain di Demokrat, yakni Marzuki Alie dan Andi yang identik dengan Cikeas, yang tentu saja mempunyai loyalis-loyalisnya di bawan, namun diyakni mereka tidak akan berani melakukan “perlawanan” secara terbuka. Apa yang terjadi di Demokrat tersebut bisa dilihat dari perspektif teori spiral keheningan (spiral of silence) yang dikemukakan ilmuwan politik Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann (1974). Teori ini mengasumsikan bahwa jika opini mayoritas terbentuk, biasanya ada dua pilihan yang dilakukan minoritas: diam atau mengikuti suara mayoritas. Hemat penulis, kader-kader Demokrat yang berseberangan dengan kubu Anas akan lebih memperlihatkan pilihan yang pertama, yakni diam entah karena takut atau sungkan. Elite-elite partai seperti yang berada di dewan pembina saja seperti tidak berdaya untuk “berhadapan” dengan Anas, bahkan merasa kapok melakukannya seperti yang dialami Hayono Isman. Kekuatan Anas semakin terlihat kokoh ketika ia menempatkan loyalis-loyalisnya di pos-pos strategis dan menggeser kader-kader lain yang berseberangan. Andi Nurpati yang notabene loyalis SBY digeser dari jabatannya sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik yang sangat strategis menjadi Ketua Divisi Hubungan Eksternal dan LSM. Posisinya kemudian digantikan oleh I Gede Pasek Suardika yang notabene merupakan kubu Anas. Dengan demikian, SBY kian kehilangan kader loyalisnya di DPP. Anas berani berhadapan dengan SBY, sebaliknya SBY seperti mati kutu. SBY bagaikan orang yang sudah kehilangan wibawa di hadapan kader-kadernya sendiri. Boleh jadi, ke depan SBY akan lebih banyak memainkan peran simbolik saja di Demokrat. Di pihak lain, Anas kian leluasa untuk menancapkan kuku-kukunya di seluruh tubah Demokrat. Dengan kata lain, secara tidak langsung Anas sebenarnya telah “meminggirkan” SBY secara perlahan-perlahan dari “rumah” yang telah susah payah dia rintis. Namun demikian, Anas sebagai ketua umum partai tentu juga harus tetap menjalin komunikasi yang baik dengan SBY, karena bagaimanapun SBY masih tetap menjadi figur sentral dan ikon Demokrat yang tak terbantahkan. Apalagi selain Ketua Dewan Pembina, SBY juga menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai yang bertanggung jawab atas pemenangan Pemilu 2014. Sementara waktu yang tersisa kurang lebih satu setengah tahunan lagi. Karena itu, keduanya perlu bergandengan tangan sehingga soliditas partai dapat terjaga dengan baik. Keberhasilan Demokrat untuk membangun soliditas partai guna menyongsong Pemilu 2014 akan sangat bergantung pada kepiawaian Anas dalam melakukan komunikasi dan akomodasi kepentingan dengan berbagai pihak internal partai yang berseberangan dengan diriny, terutama SBY. Kalau tidak, bukan tidak mungkin jika soliditas tersebut hanya bersifat semu.

Senin, 17 Desember 2012

Manajemen Konflik Partai (Suara Pembaruan, Senin 17 Desember 2012)

Partai-partai politik di Indonesia hampir semuanya pernah mengalami keretakan internal yang berujung pada konflik. Sebagian partai bahkan mengalami konflik yang sangat tajam sehingga mengakibatkan perpecahan. Partai-partai baru akibat dari perpecahan tersebut pun kemudian bermunculan dengan nama yang hampir serupa dengan partai induknya. Sebut saja misalnya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) yang notabene pecahan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan lain sebagainya. Konflik, seperti yang diungkapkan Thomas dan Killman (1978), merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai baik dalam diri inividu atau antar individu. Realitas ini biasa terjadi dalam sebuah organisasi seperti partai politik Perbedaan tersebut biasanya tidak bisa dikelola dengan baik oleh para elite partai sehingga alih-alih dapat diredam, justeru kian menajam. Hal ini kian diperparah dengan kecenderungan adanya faksionalisme di tubuh partai politik. Sebenarnya keberadaan faksi di dalam sebuah partai merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah, namun jika tidak dimanaje dengan baik justeru dapat mengakibatkan konflik semakin melebar. Kasus Demokrat Apa yang terjadi pada Partai Demokrat belakangan ini, yaitu pencopotan Ruhut Sitompul dari jabatannya di DPP sebagai Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi, bisa dipandang dari perspektif di atas. Meskipun sebagian elite Demokrat ada yang berargumentasi bahwa pencopotan tersebut merupakan hal yang biasa, atau sekadar rotasi seperti ditegaskan Saan Mustafa, namun tidak dapat dimungkiri bahwa ada aroma politis di dalamnya. Apalagi Ruhut pada kenyataannya tidak diberikan jabatan baru di DPP alias dibiarkan berada di luar kepengurusan. Dengan demikian, Ruhut hanya menjadi anggota partai biasa. Aroma politis tersebut sangat kental jika melihat pada konteks politik yang terjadi di partai yang berlambang mercy tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Ruhut kerap berseberangan dengan pemikiran mainstream partai. Selain itu, Ruhut merupakan pengurus partai yang paling sering mengeluarkan pernyataan agar Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum, mengundurkan diri untuk sementara, terutama setelah namanya sering disebut-sebut oleh Muhammad Nazaruddin dalam proses pengadilan. Padahal kebijakan partai menegaskan bahwa seorang pengurus harus mau mengundurkan diri jika sudah menjadi tersangka. Sementara Anas sampai saat ini belum dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu saja para pengurus harian DPP di bawah pimpinan Anas merasa gerah dengan pernyataan-pernyataan Ruhut tersebut karena bisa mengganggu soliditas partai. Maka, pencopotan pun tidak dapat dihindari. Meskipun Ruhut sendiri menolak pencoporan tersebut dan bersikeras bahwa hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Dewan Pembina (Kawanbin) yang berhak mencopotnya, tetapi sulit baginya untuk berada kembali di DPP sebagai pengurus. Dengan kata lain, sudah ada resistensi atas keberadaan Ruhut di Demokrat, setidaknya seperti terlihat pada aksi pengusiran dirinya dari Silaturahmi Nasional (Silatnas) pada Jum’at kemarin. Persoalannya adalah apakah pencopotan Ruhut dari kepengurusan di DPP akan berimplikasi pada keretakan internal partai? Kecenderungan ke arah itu sangat mungkin terjadi apalagi jika kita melihat adanya faksionalisme di tubuh Demokrat itu sendiri. Seperti diketahui bahwa sejak Kongres Demokrat di Bandung beberapa waktu yang lau di mana Anas muncul sebagai ketua umum, ada tiga faksi di partai biru ini, yaitu faksi Andi Alfian Mallarangeng yang dekat dengan Cikeas, faksi Marzuki Alie dan faksi Anas Urbaningrum sendiri. Sampai saat ini tampaknya residu kekalahan pada faksi Andi dan Marzuki masih ada meskipun di permukaan tidak kelihatan. Ruhut sendiri sebenarnya pada awalnya merupakan salah seorang tim sukses Anas pada saat kongres, tetapi belakangan ia lebih merapat ke kubu Cikeas terutama setelah terkuat kasus korupsi pembangunan Wisma Atlit dan Hambalang dengan terdakwa Nazaruddin. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pencopotan Ruhut dari kepengurusan di DPP akan menyimpan benih “dendam” pada kubu Cikeas terhadap kubu Anas. Komentar dari sejumlah anggota Dewan Pembina Demokrat, meski tidak bernada keras, yang menyayangkan tindakan pencopotan tersebut sebenarnya merupakan sinyal ketidaksetujuan terhadap kebijakan kubu Anas. Manajemen Konflik Seberapa besar potensi konflik yang mungkin muncul dari sebuah kebijakan dalam organisasi apapun, sebenarnya dapat diantisipasi jika para pengurus organisasi tersebut mampu mengelolanya dengan baik. Potensi konflik dari dampak pencopotan Ruhut, misalnya, dapat diredam jika Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai mampu mengelolanya dengan baik setidaknya dengan meminimalisasi potensi konflik tersebut. Pencopotan Ruhut sendiri sebenarnya merupakan salah satu ikhtiar Anas untuk mengambil salah satu yang lebih ringan dari dua hal yang sama-sama merugikan partai. Membiarkan Ruhut berada di dalam kepengurusan tetapi selalu berseberangan dengan pemikiran utama para pengurus lainnya tentu jauh lebih buruk daripada membuatnya di luar kepengurusan. Oleh karena itu, pencopotan Ruhut dari kepengurusan di DPP mau tidak mau harus diambil oleh Anas. Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan Anas adalah bagaimanapun Ruhut merupakan orang yang pernah sangat dekat dengan dirinya sehingga mengetahui betul kebaikan sekaligus keburukannya. Maka, jika Ruhut dibiarkan berada di luar kepengurusan dengan rasa dendam yang memuncak akibat dicopot, bukan tidak mungkin Ruhut akan lebih kencang menyuarakan kritiknya. Bahkan mungkin akan lebih nekad dengan “menelanjangi” Anas habis-habisan di muka publik. Dengan kata lain, Ruhut tidak segan-segan untuk mengungkapkan “borok-borok” Anas di muka umum. Jika ini yang terjadi, tentu sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan Demokrat ke depan apalagi akan menghadapi pemilu pada 2014. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen konflik adalah bagaimana elite atau pemimpin organisasi mampu mengarahkan perselisihan pada suatu titik yang berorientasi pada penyelesaian konflik sehingga dapat meminimalisasi potensi konflik tersebut. Salah satu caranya antara lain dengan kesediaan untuk mengakomodasi kepentingan orang yang di dalam konflik tersebut berada di pihak yang “dirugikan”.. Dalam konteks Demokrat, Ruhut sebagai orang yang “dirugikan” karena dicopot dari kedudukannya, seyogianya tetap diakomodasi di dalam partai. Meskipun tidak dalam kepengurusan di DPP, mungkin saja di lembaga lain seperti lembaga non struktural tetapi memiliki garis koordinasi dengan ketua umum. Dengan cara seperti di atas, setidaknya Ruhut merasa tetap dihargai sehingga tidak akan terlalu kencang bersuara miring di luar. Demokrat pun bisa lebih fokus untuk melakukan konsolidasi guna mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014.

Jumat, 09 November 2012

Dahlan Iskan Versus DPR (Jurnal Nasional, 06/11/2012)

Dahlan Iskan Versus DPR Iding R. Hasan* Hubungan antara Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampaknya kian memanas. Hal ini bermula sejak munculnya surat edaran dari Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam kepada pada menteri dan jajaran di Kabinet Indonesia Bersatu II. Surat edaran Nomor 542/Seskab/IX/2012 itu memuat tentang pengawalan APBN 2013-2014 dengan mencegah praktik kongkalikong. Setelah surat itu beredar, Dipo Alam mengakui telah menerima pesan singkat dari Dahlan yang menyatakan tentang masih adanya upaya pemerasan pada BUMN oleh oknum-oknum di DPR. Pernyataan Dahlan tentang adanya sejumlah oknum DPR sebagai pemeras BUMN inilah yang membuat gerah kalangan anggota legislatif. Apalagi kemudian pernyataan tersebut bocor ke publik dan beredar luas khususnya di jejaring sosial dengan menggunakan inisial sejumlah nama anggota dewan dari berbagai fraksi. Celakanya, apa yang beredar di tengah publik tersebut ternyata lebih banyak dari apa yang dilaporkan Dahlan. Menurutnya, ada sepuluh nama yang ia laporkan, tetapi yang beredar mencapai lima belas orang. Tentu ini membuat hubungan Dahlan dengan DPR kian runyam. Hubungan antara Dahlan dan DPR agaknya akan terus meruncing selama permasalahan pokoknya tidak segera diklarifikasi. Oleh karena itu, tidak heran kalau sejumlah pihak menghendaki agar segera diadakan pertemuan antara menteri BUMN dengan lembaga legislatif tersebut. Resmi dan Terbuka Sebetulnya sinyal untuk segera menuntaskan masalah benar tidaknya sejumlah oknum anggota dewan memeras BUMN sudah cukup jelas. Dahlan dalam berbagai kesempatan menyatakan kesiapannya untuk mengklarifikasi pernyataanya secara terang benderang jika diundang secara resmi oleh DPR. Artinya, menteri BUMN tersebut menghendaki agar pertemuan dilakukan secara resmi dan sekaligus terbuka bagi publik. Menurut penulis, permintaan yang dilakukan Dahlan tersebut sudah tepat dengan sejumlah alasan. Pertama, pihak yang kena getah dari pemberitaan tentang ulah sejumlah oknum anggota dewan sebagai pemeras BUMN adalah lembaga DPR itu sendiri. Karena itu, sudah seharusnya lembaga inilah yang mesti berinisiatif. Dalam hal ini, Badan Kehormatan (BK) merupakan pihak yang paling tepat untuk melakukan pemanggilan terhadap menteri BUMN untuk klarifikasi. Kedua, jika pertemuan tersebut benar-benar dilakukan, maka sudah seharusnya diadakan secara terbuka sehingga semua publik Indonesia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Saat ini publik bertanya-tanya manakah yang berada di pihak yang benar. Sementara kalau pertemuan itu diselenggarakan secara tertutup, potensi untuk terjadinya “kompromi” antar kedua belah pihak cukup besar. Dan ini bisa memunculkan persoalan baru. Ketiga, secara prosedural-birokratis Dahlan sebenarnya sudah melakukan langkah yang benar. Ia melaporkan penemuannya kepada atasannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan menginformasikannya kepada Dipo Alam sebagai Seskab. Bahwa laporannya itu kemudian bocor ke publik merupakan hal yang berada di luar kekuasaan dirinya. Keempat, pertemuan secara resmi dan terbuka jelas lebih etis daripada upaya tunjuk batang hidung secara langsung. Seperti diketahui bahwa sejumlah anggota dewan meminta Dahlan untuk langsung saja menyebutkan nama oknum-oknum terkait, bukan sekadar inisial saja. Padahal penyebutan nama seperti itu memiliki konsekwensi hukum yang tidak ringan. Kredibilitas Dari perspektif komunikasi, kredibilitas merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang komunikator ketika menyampaikan pesannya kepada publik atau khalayak. Seorang komunikator yang kredibel tentu akan jauh lebih mudah memersuasi khalayak ketimbang sebaliknya. Dalam konteks ini, Dahlan sebenarnya berada dalam posisi di atas angin karena kredibilitasnya di mata publik lebih baik dari DPR dalam kaitannya dengan upaya pembersihan instansi dari praktik kotor korupsi. Rekam jejak (track record) Dahlan dan sepak terjangnya sejak menjabat sebagai menteri BUMN cukup meyakinkan publik. Komitemennya untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya juga menambah catatan baiknya. Bahkan terhadap tudingan miring dari kalangan legislatif atas inefisiensi anggaran PLN sebesar 30 trilyun saat menjadi Dirut ia siap menanggung resikonya. Secara tegas Dahlan mengatakan, ikhlas di penjara jika tindakannya itu dianggap melanggar hukum. Ketegasan sikap tersebut justeru kian membuat DPR terpojok karena opini publik yang terbangun lebih berpihak kepada Dahlan. Oleh karena itu, satu-satu jalan untuk menyelamatkan muka lembaga ini adalah melakukan tindakan proaktif. Menunggu pihak Dahlan untuk berinisiatif melaporkan kasus tersebut ke BK sama saja dengan membiarkan opini publik terus berpihak kepadanya. Jelas hal ini tidak menguntungkan lembaga DPR. Mengedepankan egosime kelembagaan juga bukan pilihan yang bijak apalagi lembaga legislatif dan kementerian sebenarnya merupakan patner kerja. Selama ini apa yang dilontarkan kalangan legislatif lebih memperlihatkan egoisme kelembagaan saja atau ketersinggungan emosional terhadap perilaku Dahlan. Kebijakan-kebijakan Dahlan dalam menata organisasi kementerian BUMN pun, misalnya, kerap ditanggapi secara emosional oleh pihak legislatif. Oleh karena itu, duduk bersama antar kedua belah pihak merupakan langkah yang urgen. Tentu bukan sekadar pertemuan, melainkan berkomitmen untuk melakukan upaya pembersihan seperti dengan membuka secara jelas oknum-oknum anggota DPR yang terlibat. Dan jika benar-benar terbukti harus ditindak tegas dengan diberikan sanksi, baik administratif maupun pidana. Apalagi publik sebenarnya sudah tahu bahwa prakik-praktik pemerasan oleh segelintir oknum dengan beragam modusnya bukan hal yang baru. Ini sudah menjadi semacam rahasia umum karena sudah berlangsung sejak lama. Persoalannya adalah apakah DPR memiliki komitmen untuk memberantas berbagai praktik tindakan kotor di republik ini ataukah tidak. Jika pihak Dahlan sudah berkomitmen untuk siap buka-bukaan dengan konsekwensi apapun, termasuk ikhlas di penjara, seharusnya pihak DPR juga mempunyai komitmen yang sama. Sebab, jika ada komitmen bersama semacam itu, muara pertemuan tersebut tentu akan lebih jelas. *Penulis, Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute

Efek Jokowi di Pilkada Jabar (Suara Pembaruan, 02/11/2012)

Efek Jokowi di Pilkada Jabar Iding R. Hasan* Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat sebentar lagi akan digelar, yakni pada 2013. Sebagian partai-partai politik (parpol) telah menominasikan calon-calonnya. Sampai saat ini sudah tiga parpol yang telah menyatakan secara resmi calonnya untuk memerebutkan posisi Gubernur Jabar. Demokrat telah memutuskan Yusuf Macan Effendy (Dede Yusuf), Golkar menominasikan Irianto M. Syaifudin (Yance) dan PKS kembali menjagokan Ahmad Heryawan, masing-masing sebagai calon gubernur (cagub). Sementara PDIP tampaknya masih sedang mempertimbangkan untuk mengusung Rieke Diah Pitaloka. Yang menarik adalah bahwa perhelatan Pilkada Jabar 2013 digelar tidak lama setelah penyelenggaraan Pilkada DKI 2012 yang telah dimenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kemenangan Jokowi dianggap sebagai fenomenal, selain karena tidak terduga-duga, juga mampu mengalahkan petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke) yang didukung oleh banyak parpol, seperti Demokrat, Golkar, PKS dan lain-lain. Sementara Jokowi hanya didukung dua parpol saja, yakni PDIP dan Gerindra. Mungkinkah kemenangan Jokowi akan memberikan efek terhadap Pilkada Jabar? Kekuatan Figur Dalam konteks pemilihan umum di Indonesia, baik dalam skala nasional seperti pemilihan presiden (pilpres) maupun lokal seperti pilkada, kekuatan figur tampaknya masih cukup dominan. Kemenangan Jokowi di Pilkada DKI 2012 yang belum lama berlangsung menjelaskan kecenderungan tersebut. Demikian pula kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden Republik Indonesia pada dua pemilu, yaitu 2004 dan 2009. Dilihat dari realitas politik Indonesia seperti itu, maka parpol-parpol yang akan berkontestasi dalam Pilkada Jabar tampaknya memang lebih mengedepankan kekuatan figur. Itulah kenapa parpol-parpol besar telah menominasikan calon-calon yang diyakini merupakan figur-figur kuat di Jabar. Salah satu indikator kekuatan figur adalah popularitas. Dede Yusuf, misalnya, jelas memiliki popularitas yang tinggi antar lain karena faktor keartisannya. Yance, meski bukan artis, tetapi cukup dikenal di Jabar, selain mantan Bupati Indramayu yang dianggap sukses, juga sekarang menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Jabar. Dibandingkan kader-kader beringin lainnya, Yance merupakan kader yang paling populer. Dominannya kekuatan figur dalam konteks politik Indonesia juga sebenarnya didukung oleh pola perilaku pemilih di negeri ini, termasuk di Jawa Barat. Salah satu lembaga survei pernah melansir hasil penelitian bahwa perilaku pemilih Indonesia, terutama di Jabar cenderung menyukai figur populer. Mereka pada umumnya tidak mau pusing-pusing memikirkan program yang ditawarkan calon. Ini bisa jadi merupakan penjelasan mengapa pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf mampu keluar sebagai pemenang pada Pilkada Jabar yang lalu. Dalam konteks seperti inilah, maka parpol-parpol yang sekalipun telah menetapkan cagub populer masih tetap mencari pasangan yang populer juga. Dede Yusuf yang notabene cagub terpopuler masih dipandang perlu oleh Demokrat untuk dipasangkan dengan Rieke sehingga ada wacana koalisi Demokrat-PDIP. Demikian pula PKS mencoba menjajaki untuk menduetkan Heryawan dengan Deddy Mizwar, salah seorang aktor yang cukup populer. Yance juga sempat diwacanakan untuk berduet dengan Nurul Arifin, kader Golkar dari kalangan artis, hanya saja Nurul tidak bersedia. Realitas ini kian diperkuat oleh kecenderungan parpol-parpol di negeri ini yang sangat pragmatis dalam derajat akut. Parpol-parpol berharap bahwa figur-figur yang populer akan menjadi pendulang suara (vote getter) yang andal pada waktu pemilihan, sehingga mesin-mesin parpol tidak perlu bekerja terlalu keras. Dengan kata lain, parpol hanya memikirkan kekuasaan belaka dengan berupaya untuk meloloskan calonnya untuk mendapatkan kemenangan. Tidak penting benar apakah visi, misi dan program partai dapat diketahui dan diserap oleh publik ataukah tidak. Perlu Kehati-hatian Bahwa efek Jokowi akan terasa dalam perhelatan Pilkada Jabar mungkin sulit untuk dihindari. Namun, parpol juga harus berhati-hati dalam konteks tersebut. Artinya, Pilkada DKI tentu tidak sama persis dengan Pilkada Jabar. Karena itu, perlu ada perlakuan yang berbeda atau khusus terhadap Pilkada Jabar. Hal ini juga berlaku bagi partai PDIP sebagai pengusung utama Jokowi. Pernyataan sebagian elite PDIP untuk melahirkan "Jokowi"-"Jokowi" baru dalam sejumlah pilkada di Indonesia perlu disikapi secara kritis. Figur seperti Jokowi tidak dapat dibentuk secara instan apalagi dilahirkan melalui rekayasa. Jokowi menjadi tokoh seperti sekarang ini melalui proses yang alamiah, tidak dibuat-buat. Sikap kesederhanaan dan kepopulisannya, misalnya, merupakan sesuatu yang genuine. Karenanya, PDIP tidak boleh sembarang menentukan calonnya. Kemenangan Jokowi juga antara lain ditentukan oleh adanya cap kegagalan terhadap kepemimpinan Foke sehingga resistensi publik sangat tinggi. Maka, kemunculan Jokowi dengan kekuatan figurnya itu seolah menjadi alternatif yang menjanjikan perubahan nyata bagi publik Jakarta. Sementara dalam Pilkada Jabar, pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf sekalipun tidak memiliki prestasi yang dianggap menonjol, tetapi juga tidak dipandang gagal oleh publik Jabar. Karena itu, para pesaing Heryawan tidak akan semudah Jokowi dalam berkontestasi. Dari sisi ini, parpol-parpol harus lebih jeli dalam menentukan calon dan pasangannya jika ingin keluar sebagai pemenang. Bagi PDIP sendiri, hemat penulis, pilihan yang cukup tepat adalah segera menetapkan Rieke sebagai cagub di Pilkada. Kepopuleran Rieke selama ini, bukan hanya karena faktor keartisannya saja, melainkan juga karena konsistensinya dalam memperjuangkan hak-hak orang-orang tertindas, seperti kaum buruh, TKI dan sebagainya. Ia bahkan kerap ikut turun aksi ke jalan ketika saluran-saluran komunikasi formal yang telah dilakukannya ternyata tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Dengan demikian, sikap Rieke di atas bukanlah dibuat-buat atau artifisial, tetapi memang lahir dari dalam jiwanya. Wacana untuk menduetkan Rieke dengan Teten Masduki juga merupakan langkah yang tepat. Ini akan menjadi perpaduan yang pas dilihat dari berbagai segi. Dari segi jender, jelas ini merupakan hal yang tepat. Juga dari segi latar belakang politik antara orang parpol dan nonparpol. Koalisi antara orang parpol dengan nonparpol tentu akan jauh lebih mudah daripada antar parpol yang terlalu banyak melakukan tawar menawar (bargaining). Dari segi komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, keduanya tidak diragukan lagi. Publik tahu bahwa selama ini Teten merupakan seorang pegiat antikorupasi dan pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW) yang sangat kritis Bagaimanapun kecenderungan masyarakat Indonesia sekarang, tak terkecuali di Jawa Barat, sedang mengharapkan pemimpin-pemimpin yang mampu memberantas musuh terbesar di negeri ini, yaitu korupsi. Maka, jelas duet Rieke-Teten akan menjadi alternatif bagi para pemilih Jawa Barat. Tanpa harus berkoalisi dengan partai lainpun peluang pasangan ini sangat besar, apalagi fakta membuktikan bahwa koalisi parpol ternyata tidak berbanding lurus dengan suara arus bawah. *Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Jokowi Way, Gatra 18-25/10/2012

Jokowi Way Iding R. Hasan* Resmi sudah Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta periode 2012-2017 setelah dilantik pada Senin (15/10). Kini setumpuk pekerjaan telah menanti: kemacetan, banjir, kriminalitas, penataan birokrasi dan sebagainya. Tak ada jalan lain bagi Jokowi kecuali bekerja keras dengan irama yang cepat. Membangun Komunikasi Politik Langkah pertama yang harus segera dilakukan Jokowi adalah membangun komunikasi politik dengan berbagai pihak, termasuk kubu Fauzi Bowo (Foke) yang dikalahkannya. Bagaimanapun, sebuah kontestasi politik kerap meninggalkan residu kekalahan yang berpotensi menimbulkan konflik. Maka, sungguh elegan jika Jokowi bersedia merangkul dan mengajaknya untuk bersama-sama membangun Jakarta. Langkah ini tentu dapat menjadi pintu masuk bagi Jokowi untuk menjalin komunikasi politik yang seluas-luasnya, khususnya dengan partai-partai politik pendukung Foke. Tidak dapat dihindari, dalam memimpin kota ini, Jokowi akan sering berhadapan dengan mereka yang berjumlah mayoritas sebagaimana yang terepresentasikan di DPRD DKI. Sementara Jokowi hanya didukung PDIP dan Gerindra yang jumlahnya hanya 15 persen. Apalagi belakangan terhembus isu keretakan antara kedua partai tersebut yang disinyalir dipicu oleh naiknya popularitas Prabowo Subianto saat pilkada kemarin. Ucapan Megawati baru-baru ini tentang “penumpang gelap” kian memperteguh keretakan tersebut. Sebab, dari sisi konteks komunikasi, ucapan Ketum PDIP tersebut jelas ditujukan kepada Prabowo. Prabowo sendiri ternyata tidak menghadiri acara pelantikan. Realitas ini tentu menjadi pekerjaan tambahan bagi Jokowi untuk bisa menyolidkan kembali keduanya. Pada saat yang sama Jokowi juga dituntut untuk bisa menjalin komunikasi politik dengan para pemimpin dari kota-kota satelit di sekitar Ibu Kota Jakarta, seperti Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang. Pembangunan kota Jakarta tentu akan selalu bersinggungan dengan kota-kota tersebut. Karena itu, jika jika Jokowi berhasil berkomunikasi secara baik dengan mereka, penanggulangan terhadap berbagai problem di Jakarta akan lebih mudah dilakukan. Komunikasi Mendengarkan Masyarakat dengan tradisi oral yang kuat seperti Indonesia cenderung lebih suka berbicara daripada mendengarkan. Para pemimpin di republik ini, baik yang berada di ranah eksekutif maupun legislatif, umumnya lebih suka berbicara atau didengarkan daripada mendengarkan. Kecenderungan ini kian diperparah dengan mentalitas feodalistik warisan kolonial Belanda yang hanya mau dilayani, bukan melayani. Selama ini, kita bisa melihat dan merasakan betapa birokrasi yang berlangsung di Indonesia, dari hulu sampai ke hilir, memperlihatkan kecenderungan seperti itu. Pada level kelurahan atau desa, misalnya, para lurah atau kepala desa umumnya lebih mau didengarkan ketimbang mendengarkan dan lebih mau dilayani daripada melayani. Apatah lagi para pemimpin di level yang lebih atas. Oleh karena itu, salah satu pekerjaan Jokowi adalah mengubah mentalitas para birokrat Jakarta agar mempunyai mentalitas pelayan publik (public servant). Mentalitas ini dapat dibangun antara lain dengan sering melakukan komunikasi interaksional. Merujuk John R. Wenburg dan William W. Wilmot dalam The Personal Communication (1973), model komunikasi interaksional mengandaikan bahwa proses komunikasi berlansung secara dua arah. Komunikan atau penerima tidak bersifat pasif, melainkan aktif dengan senantiasa memberikan umpan balik (feed bacak) yang mesti direspons oleh komunikator. Dalam konteks ini, maka seorang pemimpin atau birokrat (komunikator) mestinya lebih mau mendengarkan rakyat (komunikan) daripada didengarkan, karena rakyat bukanlah sekumpulan orang pasif. Rakyat kerap memberikan umpan balik berupa aspirasi kepada pemimpinnya yang seyogianya direspons dengan segera. Jika ini berjalan dengan baik, pada akhirnya seorang pemimpin akan lebih mau melayani rakyatnya ketimbang dilayani. Jokowi yang dikenal sebagai figur sederhana dengan gaya komunikasinya yang populis secara genuine tentu memiliki potensi besar untuk mengubah mentalitas tersebut. Pengalamannya di Solo membuktikan bahwa ia merupakan tipikal pemimpin yang mau melayani dan mendengarkan rakyat ketimbang sebaliknya. Kini, setelah menjadi Gubernur Jakarta, ia, misalnya, telah berkomitmen untuk lebih banyak di lapangan daripada di kantor. Jelas ini merupakan pengejawantahan dari mentalitas tersebut. Simbolisasi gaya komunikasi Jokowi yang populis, misalnya, bisa dilihat publik setelah acara pelantikannya sebagai gubernur. Tanpa ragu dan canggung Jokowi menghampiri para pendukung (rakyat)nya. Ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah simbol bahwa Jokowi siap untuk mendengarkan suara rakyatnya; bahwa Jokowi siap mendatangi mereka dan pada gilirannya siap melayani mereka. Komunikasi mendengarkan semacam inilah yang sebenarnya dirindukan dari para pemimpin di republik ini, bukan hanya pada level daerah tetapi juga nasional. Rakyat Indonesia tentu sudah sangat bosan bahkan gerah dengan pemimpin yang lebih banyak berkeluh kesah atau menumpahkan curahan hati (curhat) ke publik, karena seharusnya pemimpinlah yang mesti mendengarkan keluh kesah dan curhat rakyat untuk kemudian memberikan solusi. Salah satu efek positif dari komunikasi mendengarkan yang dilakukan seorang pemimpin adalah bahwa rakyat akan merasakan kehadirannya di tengah-tengah mereka. Dan bagi pemimpin sendiri, langkah ini bisa menjadi jalan untuk memahami aspirasi rakyat yang kemudian merealisasikannya dalam program kerja. Jika ini yang terjadi, tentu rakyat akan menganggap pemimpinnya sebagai milik mereka, bukan milik golongan atau partai tertentu. Bagi Jokowi, pengidentifikasian dirinya sebagai milik semua rakyat Jakarta, bukan milik partai tertentu sangat penting. Ini sekaligus dapat menangkis tuduhan sejumlah pihak bahwa sejak awal ia telah “ditunggangi” oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Maka, selama Jokowi, dengan gaya komunikasinya yang populis, mampu “hadir” dan “bersama” dengan rakyat Jakarta, tudingan seperti itu lambat laun akan sirna. Jika berhasil dalam memimpin Ibu Kota Jakarta, maka, besar kemungkinan gaya komunikasi politik Jokowi selama memimpin akan menjadi role model bagi pemimpin-pemimpin lainnya di negeri ini. Inilah Jokowi way. *Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Pilkada DKI dan Peluang Prabowo, Jurnal Nasional, 26/09/2012

Pilkada DKI dan Peluang Prabowo Iding R. Hasan* Ada hal menarik dari perhelatan putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 pada 20/09 yang lalu. Nama mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Prabowo Subianto, disebut-sebut sebuah lembaga survei sebagai tokoh yang paling berpeluang untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Hal ini menyusul kemenangan sementara pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang notabene merupakan pasangan yang diusung partai Prabowo, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarnoputri. Sebagaimana diketahui salah sebuah lembaga survei menyebutkan bahwa jika pemilihan presiden (pilpres) diselenggarakan tahun ini, maka Prabowo berpotensi untuk muncul sebagai pemenang. Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 7 – 11 September 2012 di wilayah Jakarta tersebut menemukan bahwa jika pilpres diselenggarakan sekarang, 19,1 responden memilih Prabowo dan Mega hanya didukung 10,1 persen. Sedangkan Aburizal Bakrie (Ical) hanya memperoleh suara 7 persen, Hatta Rajasan dan Anas Urbaningrum bahkan berada di bawah angka 7 persen. Yang menarik dari temuan tersebut adalah bahwa pemilih pasangan Jokowi-Ahok 25 persen memilih Prabowo dan hanya 13 persen memilih Mega sebagai presiden pada 2014. Sementara itu, dari kalangan pemilih pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) ditemukan bahwa sebanyak 13 persen memilih Prabowo dan hanya 8 persen memilih Mega. Dengan demikian, Prabowo didukung baik oleh massa pendukung Jokowi-Ahok maupun Foke-Nara. Dari temuan di atas wajarlah kalau Prabowo Subianto menjadi calon presiden (capres) yang paling berpeluang untuk menjadi orang nomor satu di republik ini. Namun, akankah kondisi yang kondusif bagi Prabowo ini akan terus didapatkannya sampai saat penyelenggaraan Pilpres 2014 nanti? Faktor Pendukung Tentu ada pertanyaan mengapa Prabowo bisa mendapatkan citra positif di mata publik, khususnya Jakarta sekarang ini? Ada beberapa argumentasi yang dapat menjelaskannya. Pertama, saat penyelenggaraan Pilkada DKI 2012 publik Jakarta, khususnya yang mendukung pasangan Jokowi-Ahok tertuju perhatiannya pada sosok Jokowi. Sosok Jokowi yang dianggap orang bersih, jujur dan merakyat itu mampu menutupi hal-hal yang buruk tentang Prabowo. Dengan kata lain, publik Jakarta lupa terhadap berbagai kasus yang menimpa Prabowo seperti pelanggaran HAM. Kedua, Prabowo relatif tidak mendapatkan rival yang mampu mengunggulinya. Seperti yang diketahui bahwa calon-calon presiden, baik yang sudah dideklarasikan oleh partai politik pengusungnya maupun yang masih dielus-elusnya, umumnya juga terbebani oleh kasus-kasus hukum. Ical yang telah dideklarasikan Partai Golkar, misalnya, jelas sulit bersaing karena jeratan kasus yang tidak ringan. Wiranto yang dicalonkan kembali Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) juga setali tiga uang, bahkan kasus pelanggaran HAM pada masa Orde Baru yang ditujukan padanya jauh lebih berat. Praktis satu-satunya capres yang mampu mendekati perolehan suara Prabowo adalah Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Namun, tentu Mega bukanlah pesaing Prabowo yang sesungguhnya. Selain belum dicalonkan secara resmi oleh PDIP, Mega juga agaknya cenderung tidak akan kembali maju pada Pilpres 2014. Faktor usia dan pengalaman buruk, dua kali mengalami kekalahan pada pilpres sebelumnya, diyakini bakal menghalangi Mega untuk kembali berkontestasi. Ketiga, belum banyak muncul calon-calon presiden alternatif terutama dari kalangan non partai kecuali yang kerap disebut-sebut media massa, seperti Menteri BUMN, Dahlan Iskan dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mafud MD. Dua orang tokoh inipun, karena belum dicalonkan partai politik, tentu tidak disertakan dalam jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei tersebut. Barangkali hasilnya akan berbeda, jika kedua orang tokoh tersebut disertakan pula. Tidak Mudah Betapapun pasca penyelenggaraan putaran kedua Pilkada DKI Prabowo seolah-olah di atas angin, namun belum tentu perjalanan ke depan akan dilaluinya dengan mudah. Masih ada rentang waktu sekitar dua tahunan sebelum diadakan Pilpres 2014, sehingga berbagai kemungkinan bisa saja terjadi yang justeru tidak menguntungkan bagi Prabowo. Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang berpotensi untuk menjadi ancaman Prabowo dalam perjalanannya menuju Istana Negara. Pertama, memori publik bisa dibuka mengenai berbagai kasus seperti pelanggaran HAM yang melilit Prabowo oleh rival-rivalnya. Jika sekarang sebagian besar publik Jakarta cenderung melupakannya, itu karena perhatiannya lebih tertuju pada Jokowi. Pada saat pilpres nanti, tentu segenap publik Indonesia akan terfokus pada semua capres, termasuk Prabowo sehingga berbagai kekurangan mereka akan dibuka di mata publik. Saat itulah kasus-kasus terkait Prabowo bisa menjadi batu sandungan perjalanan politiknya. Kedua, meskipun Prabowo memiliki berbagai faktor pendukung yang dapat memperkuat pencapresannya: finansial yang melimpah, militer dan yang sangat penting dari kalangan Jawa, namun bukan berarti semua itu bisa menjadikan perjalanannya mulus. Salah satu kelemahannya adalah faktor ketokohan yang tampaknya sangat penting dalam konteks politik Indonesia seperti yang diperlihatkan Jokowi dalam Pilkada DKI kemarin. Sayangnya, faktor ketokohan Prabowo tampaknya tidak terlalu menonjol, misalnya dilihat dari kebersihan, kejujuran, sikap kerakyatan dan sebagainya. Seandainya pun dia berusaha menampilkan dirinya seperti itu ketika kampanye jelang Pilpres 2014, misalnya, bukan tidak mungkin akan tampak artifisial karena akan terkesan-kesan dibuat-buat dan tidak alamiah seperti Jokowi. Ketiga, jika nanti banyak tokoh-tokoh alternatif, baik yang dicalonkan sebagai presiden maupun wakil presiden, yang ternyata mempunyai ketokohan yang jauh melampaui Prabowo, tentu hal itu kian mempersulit langkahnya. Bukan tidak mungkin nama para tokoh yang sekarang sudah beredar terutama dilakukan oleh kalangan media, benar-benar maju dalam persaingan politik pada 2014. Jelas Prabowo tidak akan bisa lagi mengandalkan hasil survei. Dengan demikian, meskipun saat sekarang Prabowo lebih unggul dari capres-capres lainnya, namun perjalanannya menuju kursi Presiden RI pada 2014 tidak akan mudah. *Penulis, Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute

Minggu, 23 September 2012

Pilkada DKI dan Evaluasi Partai Politik (Pikiran Rakyat, Senin 24/09/2012

Pilkada dan Evaluasi Partai Politik Iding R. Hasan* Kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) pada putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 20/09 kemarin, seperti yang dirilis oleh berbagai lembaga survei melalui hitung cepat (quick count), jelas merupakan tamparan keras bagi partai politik. Betapa tidak, partai-partai politik yang secara beramai-ramai mengusung Foke-Nara pada kenyataannya tidak mampu menjadikan Foke memerintah Jakarta untuk yang kedua kalinya. Pasangan Foke-Nara yang pada putaran pertama meraih total suara 34,05 persen seharusnya bisa menambah perolehan suara secara meyakinkan karena mendapatkan tambahan dukungan dari partai-partai politik seperti Golkar dan PKS yang pada putaran pertama mengusung calon sendiri. dari perolehan suara pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini yang diusung PKS sebesar 11,72 persen dan pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono yang diusung Partai Golkar sebesar 4,74 persen saja tentu sudah cukup kalau solid. Tetapi ternyata bergabungnya dua partai politik besar dan menengah tersebut tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perolehan suara Foke-Nara. Evaluasi Realitas yang tergambarkan dari Pilkada DKI 2012 tersebut mau tidak mau harus dijadikan evaluasi bagi partai-partai politik. Dalam konteks ini, hal yang paling harus dijadikan bahan introspeksi diri bagi partai politik adalah ketidaksinkronan antara kehendak elite partai dan aspirasi anggota partai. Mengapa keputusan yang telah dibuat para elite partai politik ternyata tidak dipatuhi oleh para anggota partai sehingga keputusan tersebut tidak dapat diwujudkan sesuai harapan? Tentu ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan terkait masalah tersebut. Pertama, ada kecenderungan umum di kalangan partai-partai politik Indonesia bahwa para petinggi partai politik kerap terseret oleh kepentingan segelintir elite partai sehingga dalam membuat sebuah kebijakan partai lebih berorientasi kepada mereka ketimbang pada basis massa di bawah. Kedua, kecenderungan pragmatisme kekuasaan di kalangan partai-partai politik di Indonesia sudah berada pada derajat yang cukup parah. Bahkan partai yang identik dengan partai kader yang ideologis seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekalipun tidak dapat menghindarinya. Hal ini, misalnya, terlihat dari pilihan yang diberikan PKS pada pasangan Foke-Nara. Padahal dari segi pencitraan, partai yang kerap menampilkan dirinya sebagai partai yang bersih dan peduli ini, seharusnya lebih lebih menjatuhkan pilihan pada pasangan Jokowi-Ahok. Faktor “kue” kekuasaan disinyalir sebagai motif utamanya. Dari gambaran di atas semestisnya partai-partai politik di negeri ini segera menyadari dan mengubah performanya sehingga lebih disukai dan merasa dimiliki oleh basis massanya. Oleh karena itu, para elite partai politik harus sering turun ke bawah untuk menyerap aspirasi konstituennya sehingga berbagai keputusan yang akan dibuat partai lebih berorientasi pada aspirasi tersebut. Pencapresan Selaian evaluasi partai, hal yang mesti dipertimbangkan kembali oleh partai-partai politik, bercermin dari kasus Pilkada DKI 2012, adalah perlunya melakukan evaluasi pencapresan. Keunggulan kekuatan figur Jokowi dengan penampilannya yang bersahaya, merakyat, jauh dari kasus korupsi dan sebagainya sehingga mampu mencuri hati sebagian besar warga Jakarta jelas mesti dijadikan bahan evaluasi bagi partai, baik yang sedang mencari bakal calon presiden maupun yang sudah mengusung calonnya secara resmi. Tentu evaluasi tidak bisa bersifat asal-asalan atau hanya sekadar tambah sulam belaka, melainkan menyeluruh. Artinya, jika calon yang kini tengah dielus-elus atau bahkan diusungnya tidak memberikan pengharapan, maka, partai sebaiknya tidak perlu ragu untuk mengevalusi pencalonannya dengan mencari sosok-sosok lain yang lebih tepat. Dalam konteks Golkar, misalnya, langkah yang diambil partai beringin untuk tetap mencalonkan Aburizal Bakrie (Ical) dan sekarang mencari sosok pendamping yang lebih merakyat, karena terinspirasi sosok Jokowi, barangkali tidak akan berpengaruh banyak. Sebab, masalah utamanya justeru terletak pada sosok Ical yang jauh dari kesan-kesan merakyat, sederhana apalagi bersih. Kalaupun partai ini nanti menemukan sosok seperti Jokowi sebagai pasangan Ical, kecil kemungkinan untuk berhasil karena akan terkubur oleh problem yang ada pada diri Ical. Hal ini berbeda dengan Jokowi. Meskipun mendapatkan banyak serangan khususnya yang ditujukan pada pasangannya, Ahok, baik terkait SARA maupun cap sebagai politisi kutu loncat, namun semua itu mampu ditutupi oleh ketokohan Jokowi yang kuat. Sehingga berbagai serangan yang bertubi-tubi tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, partai-partai politik di republik ini tidak perlu ragu untuk mengevaluasi kembali pencapresan yang telah dibuatnya jika ingin benar-benar memperoleh kemenangan. *Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Artis dan Revolusi Cerdas DKI (Sindo, Kamis 20/09/2012)

Artis dan Revolusi Cerdas DKI Iding R. Hasan* Ada satu peristiwa yang cukup menarik perhatian publik jelang diselenggarakannya putaran kedua Pemilihna Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, yaitu deklarasi Gerakan Revolusi Cerdas DKI yang digagas sejumlah artis ibukota pada Senin (17/09). Di antara beberapa artis yang terlibat dan hadir di dalam acara tersebut adalah Katon Bagaskara, Dedy Mizwar, Andre Hehanusa, Glen Fredly, Charles Bonar Sirait, Nugie, Sherina dan lain-lain. Gerakan tersebut pada intinya mengajak seluruh warga DKI untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada DKI 2012 ini. Dua hal penting yang dapat dimaknai dari peristiwa tersebut adalah keberadaan artis itu sendiri dan Gerakan Revolusi Cerdas DKI. Terkait dengan artis, dari perspektif komunikasi politik, keterlibatan mereka di dalam gerakan tersebut tampaknya memiliki makna yang cukup penting, setidaknya untuk eksistensi mereka sendiri di dalam kehidupan politik di Indonesia. Politik Substantif Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan dalam konteks ini. Pertama, sebagai salah satu khalayak politik yang dapat dikategorikan sebagai apa yang disebut Dan Nimmo (1978) publik berperhatian (public attentive), para artis yang terlibat di dalam Gerakan Revolusi Cerdas DKI tersebut berhasil memperlihatkan pada publik secara umum konsern mereka atas isu-isu politik secara cerdas di republik ini, terutama dalam Pilkada DKI. Mereka boleh jadi akan dipandang sebagai orang-orang yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap terselenggaranya kehidupan politik yang lebih baik dan bersih. Kedua, keterlibatan artis dalam gerakan politik yang bersifat subtantif seperti di atas setidaknya juga dapat menimalisasi persepsi negatif atau pandangan miring sebagian besar publik selama ini terhadap keberadaan mereka di dalam kehidupan politik. Sebagaimana diketahui bahwa keterlibatan para artis dalam politik, terutama sejak masa reformasi, mengalami eskalasi yang luar biasa baik di ranah legislatif maupun eksekutif. Di badan legislatif pusat, misalnya, terdapat delapan artis yang berhasil lolos. Namun sayangnya, keberadaan mereka, sebagian besar lebih banyak dipandang sebagai “aksesoris” politik belaka sehingga peran dan kiprah mereka kurang menonjol. Dalam pandangan salah seorang pakar komunikasi politik di Indonesia, Effendy Ghazali (2000), kehadiran kalangan artis dalam kehidupan politik mempertegas kenyataan bahwa politik Indonesia sangat mengedepankan politik pencitraan yang jauh dari masalah-masalah substansial. Ketiga, keterlibatan artis dalam politik dengan cara seperti ini sesungguhnya bisa menjadi semacam pembelajaran politik yang berharga bagi mereka. Ini merupakan modal politik yang jauh lebih bernilai dari sekadar popularitas yang mereka andalkan. Modal popularitas dalam banyak hal justeru kerap “merusak” proses politik demokratis yang tengah dibangun di negeri ini, khususnya dalam modernisasi partai politik. Salah satu ciri politik modern adalah tahapan kaderisasi yang berjenjang. Pertama rekrutmen atas kader-kader yang potensial. Tentu tidak dilakukan sembarangan atau asal comot saja. Kedua, pembinaan kader menjadi loyalis organisasi partai sehingga dapat menjadi seperti yang disebuh Daniel Katz (dalam Dan Nimmo 1989) politisi-politisi ideolog di kemudian hari. Ketiga, pendistribusian pada sumber-sumber politik baik di eksutif maupun legislatif. Rekrutmen artis oleh partai-partai politik di Indonesia jelas tidak melalui tahapan-tahapan seperti tersebut di atas. Partai politik merekrut mereka dan langsung masuk pada tahapan ketiga dengan menempatkannya sebagai calon-calon legislatif (caleg) maupun sebagai calon gubernur, bupati atau walikota dalam sejumlah pilkada. Akibatnya, mereka tidak dapat dapat memainkan peran politik yang substansial karena bekal politik yang masih sangat minim. Oleh karena itu, dengan semakin banyak artis yang mengawali keterlibatannya di dalam politik melalui gerakan-gerakan politik seperti Gerakan Revolusi Cerdas DKI tersebut, maka tingkat pemahaman mereka terhadap politik juga semakin baik dan meningkat. Sehingga jika suatu waktu benar-benar terjun di dalam kehidupan politik praktis, bekal politik mereka cukup memadai. Dengan demikian, skeptisisme publik terhadap eksistensi mereka di dalam politik pun dapat terkikis sedikit demi sedikit. Revolusi Cerdas DKI Terlepas dari pengagas Gerakan Revolusi Cerdas DKI adalah para artis ibukota, jelas gerakan ini patut diacungi jempol dan didukung oleh semua pihak yang mengharapkan kehidupan politik yang lebih baik dan bersih. Salah satu butir penting yang dikemukakan dalam deklarasi tersebut adalah hendaknya warga Jakarta berpartisipasi aktif dalam Pilkada DKI dengan mengawal proses demokrasi. Dengan kata lain, warga Jakarta bukan hanya sekadar mengikuti dan berpartisipasi saja dalam pilkada, melainkan juga mengawal hak-haknya, sehingga tidak dimanipulasi pihak lain. Satu hal yang sangat dikhawatirkan oleh berbagai kalangan adalah potensi kecurangan yang akan mungkin timbul dalam putara kedua Pilkada DKI 2012 ini. Tanpa bermaksud menuduh pihak-pihak tertentu, Pilkada DKI kerap diidentikkan dengan kecurangan dan kekerasan baik secara fisik maupun simbolik. Oleh karena itu, tanpa pengawalan yang ketat dari warga, boleh jadi potensi-potensi tersebut bisa muncul kembali. Dari sisi literasi politik, gagasan Gerakan Revolusi Cerdas DKI ini tentu sangat penting. Hal ini bisa menjadi semacam pendidikan politik yang baik bagi para pemilih Jakarta. Pendidikan politik yang baik umumnya mengacu pada tiga hal penting, yaitu pengetahuan politik (political knowledge), sikap politik (political attitude) dan keterampilan politik (political skill). Dalam konteks Pilkada DKI, misalnya, jika para warga mau menjadi pemilih yang cerdas tentu mereka harus memiliki setidaknya pengetahuan dan sikap politik. Misalnya, memilih kandidat Gubernur DKI harus didasarkan pada pengetahuan politik pemilih antara lain tentang rekam jejak (track record) baik saat sebelum maupun sesudah menjabat. Memilih tidak seharusnya didasarkan karena kedekatan keluarga, etnis dan juga agama. Peristiwa ini juga begitu penting karena terjadi di ibukota. Bagaimanapun Pilkada DKI merupakan barometer bagi pilkada-pilkada di tempat lainnya. Oleh karena itu, kalau Pilkada DKI dapat terselenggara secara bersih, tentu diharapkan akan menjadi lokomotif perubahan politik di seluruh Indonesia. *Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Jumat, 31 Agustus 2012

Menyoal Politisasi Agama (Suara Pembaruan, Jum'at 31 Agustus 2012)

Dunia politik Indonesia tampaknya tidak pernah bisa dilepaskan dari keterlibatan unsur agama, terutama Islam. Oleh karena itu, berbicara tentang politik di negeri ini, juga mesti berbicara tentang agama Islam. Sayangnya, sejauh yang bisa diamati relasi antara politik dan agama lebih sering menampilkan relasi yang tidak seimbang, dalam pengertian bahwa agama lebih menampilkan dirinya sebagai subordinatif terhadap politik. Dengan kata lain, agama lebih banyak dimanipulasikan untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Maraknya berbagai aksi kekerasan di republik ini yang secara kasat mata lebih bermotifkan agama, seperti konflik antar aliran, sesungguhnya, jika ditelisik lebih jauh, bermuara pada persoalan politik dan kekuasaan. Apa yang terjadi pada komunitas Syi’ah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran Kabupaten Sampang, Madura, baru-baru ini yang telah menelan korban, baik yang meninggal maupun luka-luka, disinyalir memiliki motif politik. Hal ini terkait dengan kepentingan politik kelompok tertentu dalam rangka meraih dukungan massa mayoritas jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam derajat tertentu, kasus maraknya kampanye SARA jelang putaran kedua Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 20 September yang akan datang bisa pula dibaca sebagai bentuk manipulasi agama untuk kepentingan politik. Sejumlah tokoh masyarakat, seperti pedangdut Rhoma Irma, misalnya, secara terang-terangan mengajak pada umat Islam untuk memilih pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang seiman seraya mengutip ayat dari Kitab Suci. Bahkan belakangan elite politik pun ikut-ikutan latah mengampanyekan hal serupa seperti yang diperlihatkan Ketua DPR, Marzuki Alie. Akibatnya, suasana politik di kota Jakarta kian memanas. Kampanye hitam (black campaign) baik berupa selebaran ataupun melalui media sosial terus dilancarkan oleh masing-masing pendukung pasangan cagub-cawagub. Bahkan ada kecenderungan bahwa persaingan tajam antar kandidat dengan melibatkan isu SARA tersebut sudah menjurus pada konflik horizontal. Kalau ini tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin kekerasan akan meledak. Dampak Buruk Menyeret-nyeret agama ke dalam ranah politik apalagi dilakukan secara manipulatif jelas akan memberikan dampak buruk, bukan hanya terhadap kehidupan politik melainkan juga kehidupan agama pada saat yang sama. Dalam konteks politik, fenomena ini jelas merupakan sesuatu yang kontra produktif terhadap perkembangan demokrasi yang sedang berjalan di negeri ini. Ketika demokrasi sangat menekankan rule of the game dalam berpolitik, selain kebebasan tentu saja, maka tentu menjadi terkendala dengan maraknya aksi kekerasan yang jelas-jelas tidak menghormati rule of the game tersebut. Saat demokrasi begitu menekankan cara-cara yang baik dan beradab untuk mencapai tujuan politik, para penyokong aksi kekerasan justeru seperti ingin menghalalkan segala cara guna meraih apa yang mereka inginkan. Ketika demokrasi lebih mengedepan cara-cara dialogis, negosiasi dan seterusnya, para pelaku kekerasan justeru lebih mengedepankan cara pandang mata kuda; melihat setiap permasalahan secara hitam dan putih. Bagi kehidupan keagamaan sendiri, manipulasi agama untuk kepentingan politik jelas akan menodai agama itu sendiri. Agama, meminjam gagasan teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin, akan kehilangan fungsi liberatifnya di tengah-tengah pemeluknya. Agama yang sejatinya mampu membebaskan manusia dari sikap-sikap primordilaistik, chauvinistic, kepicikan cara berpikir dan sebagainya, justeru, dengan maraknya fenomena di atas, menjadi factor penumbuh subur sikap-sikap tersebut. Di saat agama seharusnya menjadi penebar kedamaian di muka bumi ini, tetapi justeru, ketika diseret untuk kepentingan politik, menjadi penebar kebencian yang berakibat pada pertumpahan darah. Ketika agama seyogianya mengusung misi profetik-keilahian, oleh para oknum pemegang kedudukan politik dan kekuasaan, agama justeru diperosokkan ke dalam lumpur profan yang kotor. Dengan demikian, agama seolah telah kehilangan jati dirinya di dalam kubangan politik. Political Will Pemerintah Meledaknya aksi kekerasan di kalangan warga yang berkibat pada jatuhnya sejumlah korban, baik meninggal, luka-luka maupun yang trauma, jelas memperlihatkan kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pemberian rasa aman kepada para warganya. Apalagi apa yang terjadi di Sampang sebenarnya bukanlah yang pertama kali, melainkan sudah terjadi sejak lama, sehingga pemerintah seharusnya sudah bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi dan berusaha mencegahnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan pemerintah terhadap berbagai peristiwa konflik di sejumlah kasus di Indonesia tidak menyelesaikan masalah sampai tuntas. Pemerintah seringkali hanya mengambil jalan aman (safety player) sekadar hanya menghentikan konflik secara sesaat tanpa menyentuh akar permasalahannya. Akibatnya seperti menyimpan api dalam sekam yang setiap saat dapat meledak jika ada sumbu pemicunya. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan berbagai langkah terobosan untuk menghentikan tragedi tersebut. Menurut hemat penulis, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam situasi seperti ini. Pertama, soft means, yaitu cara-cara yang mengedepankan persuasi dalam mengatasi persoalan konflik. Dialog menjadi satu-satunya metode yang tepat. Kurangnya dialog, seperti yang disinggung Menag Suryadharma Ali, merupakan salah satu pemicu meledaknya konflik. Dalam konteks ini, pemerintah mesti melibatkan kaum ulama secara intensif karena mereka, seperti yang digambarkan Dan Nimmo dalam Komunikasi Politik Khalayak dan Efek (2000), merupakan pemuka pendapat (opinion leader) yang suaranya didengar masyarakat. Jangan sampai, mereka hanya dijadikan seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra sebagai pemadam kebakaran saja. Peran mereka tentu sangat penting terutama dalam upaya memberikan pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan terbuka terhadap umat. Banyak tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok umat yang memang didasari oleh sempitnya pemahaman keagamaan mereka, sehingga membunuh orang yang tidak sealiran seolah-olah tidak berdosan atau malah dianggap jihad. Kedua, hard means, yakni cara-cara yang bersifat reaktif. Sebagai pihak yang berwenang, pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan harus berani menindak tegas siapapun pelaku kekerasan, baik dari kelompok minoritas maupun mayoritas atau bahkan dari kalangan aparat sendiri. Prinsip menegakkan keadilan harus lebih diutamakan. Jangan sampai sinyalemen yang menyebutkan bahwa aparat keamanan selama ini bertindak berat sebelah benar-benar terjadi di lapangan. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu sulit diharapkan tercapai penyelesaian masalah secara utuh. Pemerintah harus berani bersikap bahwa segala bentuk kekerasan baik berupa penyerangan, pembakaran apalagi pembunuhan sekalipun atas nama agama merupakan tindakan yang biadab. Karena itu para pelakunya harus ditindak secara setimpal. Jangan sampai seperti yang pernah (kerap) terjadi dalam kasus seperti ini, pihak korban justeru yang dijadikan tersangka. Ketiga, pemerintah harus mengungkapkan informasi mengenai konflik tersebut secara utuh dan apa adanya tanpa pretense untuk menutup-nutupinya. Sangat mengherankan bahwa pemerintah yang diwakili Menteri Agama mengatakan pada publik bahwa tragedi Sampang tersebut merupakan konflik keluarga. Padahal media-media lokal di Madura menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan konflik sosial. Sebenarnya kalau pemerintah mau dan memiliki political will yang baik masalah tersebut dapat diselesaikan dengan tuntas. Kalau tidak, alih-alih tuntas justeru masalah-masalah serupa akan terus bermunculan di republik ini.

Kamis, 30 Agustus 2012

Kekerasan Politik dan Politik Kekerasan (Pikiran Rakyat, Kamis 30 Agustus 2012

Kekerasan demi kekerasan tampaknya kian akrab di tanah yang konon para penduduknya dijuluki sebagai bangsa yang religius dan cinta damai. Sebuah ironi memang. Tetapi itulah yang kerap terjadi. Sampai-sampai para pakar, baik dari kalangan dalam maupun luar negeri, mencoba menyelami akar permasalahan tersebut secara mendalam: mengapa tidak terdapat paralelisme antara keramahan dengan sikap-sikap yang toleran dan bijak? Salah satu akar persoalan yang menjadi faktor penyebab munculnya aksi kekerasan di Indonesia adalah politik dan kekuasaan. Karena itu, kekerasan demi kekerasan yang terpampang di negeri ini laik disebut sebagai kekerasan politik meskipun berbajukan agama. Dalam konteks ini, agama hanya dijadikan semacam pemantik api atau sumbu yang dapat membakar massa dengan mudah karena wataknya yang sangat sensitif. Dengan kata lain, agama sebenarnya hanya diseret-seret oleh oknum tertentu ke dalam ranah politik untuk kepentingan mereka sendiri. Tragedi yang menimpa komunitas Syi’ah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran Kabupaten Sampang, Madura, baru-baru ini yang telah menelan korban, baik yang meninggal maupun luka-luka, disinyalir memiliki motif politik. Hal ini terkait dengan kepentingan politik kelompok tertentu dalam rangka meraih dukungan massa mayoritas jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Kecenderungan seperti ini ternyata tidak hanya khas Madura, namun juga kerap terjadi di daerah-daerah yang lain. Jika analisis ini benar, maka kekerasan politik yang tersuguhkan di republik ini kian mendapatkan justifikasinya yang kuat. Implikasinya tentu sangat mengkhawatirkan terutama terhadap kehidupan politik dan demokrasi yang sedang berjalan secara perlahan-lahan di Indonesia. Ini di satu sisi, pada sisi lain, kehidupan agama juga menjadi sangat terancam. Agama, misalnya, akan kehilangan nilai profetiknya jika diseret masuk ke dalam politik praktis yang “kotor” tersebut. Politik Kekerasan Namun sayangnya, sejumlah aksi kekerasan yang berkali-kali terjadi di depan mata kita, bukan hanya sulit diatasi tetapi justeru memiliki penyokongnya tersendiri. Dengan kata lain, masih ada (atau malah banyak) kelompok di negeri ini yang lebih mengedepankan cara-cara kekerasan ketimbang cara-cara persuasif dalam menyelesaikan persoalan. Parahnya lagi, mereka mencari legitimasi dari ayat-ayat Kitab Suci untuk memuluskan caranya tersebut. Tentu dengan metode penafsiran mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak di antara mereka yang berlindung di balik firman-firman Tuhan saat melakukan aksi-aksi yang sebenarnya sudah di luar prikemanusiaan: pembunuhan, pembakaran fasilitas umum, penganiayaan dan sebagainya. Celakanya, kelompok-kelompok semacam ini kerap berkolaborasi dengan elite-elite politik tertentu sehingga terjadingan hubungan yang bersifat simbiosis-mutualistis dalam konteks yang negatif. Pada gilirannya cara-cara kekerasan tersebut kian mendapatkan legitimasi untuk terus dilakukan. Politik kekerasan pun seolah dianggap menjadi sesuatu yang absah. Demikianlah, kekerasan politik dan politik kekerasan seakan mendapatkan tali pertemanan yang kokoh. Tentu saja sebagai publik kita berharap bahwa kecenderungan yang seperti ini harus segera diakhiri atau paling tidak diminalisasi. Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam konteks pencegahan atau pengikisan aksi-aksi kekerasan. Pertama, soft means, yaitu cara-cara yang mengedepankan persuasi dalam mengatasi persoalan konflik. Dialog menjadi satu-satu metode yang tepat. Kurangnya dialog, seperti yang disinggung Menag Suryadharma Ali, merupakan salah satu pemicu meledaknya konflik. Dalam konteks ini, pemerintah mesti melibatkan kaum ulama secara intensif, jangan sekadar dijadikan tambal sulam atau pemadam kebakaran saja, dalam upaya memberikan pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan terbuka terhadap umat. Banyak tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok umat yang memang didasari oleh sempitnya pemahaman keagamaan mereka, sehingga membunuh orang yang tidak sealiran seolah-olah tidak berdosan atau malah dianggap jihad. Kedua, hard means, yakni cara-cara yang bersifat reaktif. Sebagai pihak yang berwenang pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan harus berani menindak tegas siapapun pelaku kekerasan sekalipun berasal dari kalangan mayoritas. Prinsip menegakkan keadilan harus lebih diutamakan. Jangan sampai sinyalemen yang menyebutkan bahwa aparat keamanan selama ini bertindak berat sebelah benar-benar terjadi di lapangan. Ala kulli hal, apapun motifnya dan siapapun pelakunya, aksi-aksi kekerasan tetaplah merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Dan setiap aksi kekerasan selalu membuka kesempatan untuk aksi kekerasan balasannya. Sehingga alih-alih dapat menyelesaikan masalah kekerasan justeru selalu menciptakan masalah baru.

Jumat, 10 Agustus 2012

Jalan Terjal Foke-Nara (Harian Jurnas, 18 Juli 2012)

Sampai saat ini publik masih diliputi keterkejutan atas kekalahan pasangan kandidat petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) pada putaran pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 11 Juli yang lalu. Pasalnya, sebelum digelar pilkada hampir semua lembaga survei menempatkan pasangan Foke-Nara di urutan teratas dengan selisih yang cukup signifikan dari lima pasangan kandidat lainnya. Pasangan ini bahkan sangat percaya diri untuk menang hanya dengan putaran pertama saja. Tentu saja kenyataan yang cukup menyakitkan tersebut membuat jalan pasangan Foke-Nara semakin terjal untuk mengalahkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada putaran kedua di bulan September yang akan datang. Tentu harus ada langkah-langkah evaluatif dari tim sukses pasangan Foke-Nara atas kegagalannya menjadi pemenang sementara pada putaran pertama sehingga dapat membuat perbedaan pada putaran kedua. Langkah Blunder Kekalahan yang diderita pasangan Foke-Nara, meski sebenarnya masih bersifat sementara, agaknya telah membuat mereka terpukul dan panik. Ini terlihat dari sejumlah langkah yang diambil tim sukses (timsesnya) yang bukan tidak mungkin justeru bisa menjadi blunder bagi pasangan tersebut. Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis, yang dalam derajat tertentu malah menyulitkan pasangan Foke-Nara meraih simpati publik Jakarta. Pertama, tidak lama setelah penghitungan quick count yang menempatkan pasangan Jokowi-Ahok di peringkat pertama, timses Foke-Nara melemparkan tuduhan adanya kecurangan bahkan politik uang (voter buying) ke kubu Jokowi-Ahok. Tetapi kemudian tuduhan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) karena tidak cukup bukti. Bagi publik sendiri, tuduhan kubu Foke terhadap Jokowi terkait politik uang terasa menggelikan. Secara common sense saja peluang untuk melakukan politik uang atau politik transaksional justeru lebih terbuka dilakukan pihak Foke. Selain sebagai petahana yang memungkinkannya untuk “menggunakan” berbagai fasilitas negara untuk kampanye, dana kampanye yang dimiliki Foke juga terbesar dari semua pasangan kandidat. Akibatnya, alih-alih mendapatkan simpati, Foke justeru mendapatkan cibiran dari publik. Kedua, selain tuduhan kecurangan, sekarang juga sudah beredar terutama di group-group BBM mengenai isu primordialisme yang dihembuskan sejumlah orang yang boleh jadi pendukung Foke. Kalimat-kalimat provokatif yang terkait dengan keyakinan dan etnis dari pasangan Jokowi, yakni Ahok, menjadi sasarannya. Isu primordialisme tersebut agaknya akan terus bergulir jika Foke tidak segera bertindak untuk menghentikannya, terlepas dari apakah kalimat-kalimat provokatif tersebut berasal dari pendukungnya atau bukan. Sebab, jika tidak, bukan mustahil tindakan rasialis tersebut akan berdampak negatif pada Foke sendiri. Setidaknya, publik Jakarta akan menilai Foke telah membiarkan para pendukungnya berlaku tidak adil dan picik di saat kecenderungan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, baik suku, ras dan agama. Semboyan bhineka tunggal ika jelas merupakan bukti yang paling sahih dari penghargaan terhadap pluralisme tersebut. Kerja Keras Tidak ada cara lain bagi timses pasangan Foke-Nara selain bekerja lebih keras lagi supaya bisa mengalahkan pasangan Jokowi-Ahok. Hal utama yang bisa dilakukan Foke untuk meraih kemenangan pada putara kedua nanti adalah berupaya lebih meyakinkan partai-partai pendukung yang dimotori Demokrat untuk bekerja lebih solid dan giat daripada kemarin. Dalam konteks ini partai yang harus dilobi Foke dengan segera dan serius adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perolehan suara PKS yang mencapi 11 persen pada putara pertama jelas sangat signifikan bagi Foke. Foke mungkin diuntungkan dalam situasi ini. Secara ideologis, PKS sebenarnya lebih mudah merapat ke Demokrat daripada PDIP. Dan secara konfigurasi politik nasional, partai dakwah juga berada dalam satu barisan koalisi pendukung pemerintahan bersama Demokrat. Namun bukan berarti langkah tersebut tanpa hambatan sama sekali. Jokowi juga tentu tidak akan diam saja dan mengabaikan kader-kader PKS yang cukup banyak tersebut. Melalui kedekatan hubungan personal dengan Hidayat Nur Wahid, kandidat gubernur yang diusung PKS, yang pernah menjadi tim suksesnya di Surakarta dulu, tentu Jokowi melakukan pendekatan langsung. Apalagi ia telah melakukan silaturahim ke Hidayat mendahului Foke. Sementara itu, fenomena ketidaksinkronan antara keputusan elite partai dengan kader di bawah juga masih terasa. Bukan hal anomali jika sejumlah kader PKS, misalnya, tidak mengikuti garis kebijakan partai terkait dengan pilihan kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI. Mereka bisa saja lebih memilih pasangan Jokowi-Ahok ketimbangan Foke-Nara. Apalagi figur Jokowi di mata mereka memiliki kemiripan dengan simbol yang selama ini mereka pegang: bersih, jujur, peduli dan peduli. Foke juga agaknya tidak bisa berharap banyak pada Golkar. Selain jumlahnya kurang signifikan, juga belakangan terjadi “perang dingin” antar kedua partai besar tersebut. Kasus-kasus korupsi yang kini dibuka ke publik dan melibatkan sejumlah kader Golkar disinyalir sebagai “balas dendam” Demokrat terhadap partai beringin. Karena itu, suara kader Golkar di Jakarta sulit diharapkan berpaling ke Foke. Untuk suara golput yang mencapai angka di atas 30 persen sulit dirayu Foke agar mau menjatuhkan pilihan kepadanya. Pasalnya, mereka umumnya orang-orang yang apatis terhadap kehidupan politik di negeri ini yang koruptif, busuk dan sebagainya. Celakanya, penyebab semua itu kerap dialamatkan pada partai politik, apalagi partai yang sedang berkuasa. Lagi-lagi Foke tidak bisa berbuat banyak dalam situasi seperti ini. Dengan demikian, jalan sangat terjal sudah menanti pasangan Foke-Nara pada putaran kedua Pilkada DKI September yang akan datang. Harus ada langkah-langkah super ekstra bagi timses pasangan ini jika tidak ingin kembali dipecundangi oleh Jokowi-Ahok di rumah sendiri.

Jokowi Effect (Harian Sindo, 16 Juli 2012)

Kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam putaran pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 11 Juli lalu sungguh menohok. Pasalnya, dalam catatan hampir semua lembaga survei menjelang digelarnya pilkada pasangan petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) selalu berada di posisi teratas. Sementara pasangan Jokowi-Ahok berada di posisi kedua dengan selisih yang cukup jauh. Namun dalam kenyataannya, dalam penghitungan metode hitung cepat (quick count) pasangan yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Geraka Indonesia Raya (Gerindra) tersebut unggul cukup signifikan dari pasangan Foke-Nara. Menurut data sejumlah lembaga survei, antara lain Lingkaran Survei Indonesai (LSI), pasangan Jokowi-Ahok 43,04% dan Foke-Nara 34,17%. Sedangkan menurut Indobarometer, Jokowi-Ahok 42,2% dan Foke-Nara, 33,8%. Tentu ada banyak faktor yang bisa dianalisis mengenai kemenangan pasangan Jokowi-Ahok yang mengejutkan tersebut sekaligus kekalahan pasangan petahana yang sebelumnya diunggulkan. Mulai dari keengganan publik terhadap pemimpin yang dianggap gagal sehingga mereka mendambakan adanya perubahan, branding kandidat yang terlalu berlebihan, mesin partai yang kurang berjalan baik, sosialiasi kandidat yang tidak maksimal dan sebagainya. Faktor Jokowi Namun dari semua faktor yang dapat memenangkan pasangan Jokowi-Ahok dalam putaran pertama Pilkada DKI adalah Jokowi itu sendiri. Ada sejumlah hal yang bisa dibaca dari Jokowi. Pertama, Jokowi dikenal sebagai orang yang memiliki integritas yang tinggi. Ia dianggap orang yang bersih, jujur dan sederhana karena itu ia menjadi kebanggaan warga Solo sehingga diberikan amanah untuk menjadi wali kota sampai dua periode. Tetapi mengapa publik tidak memilih Hidayat Nur Wahid (HNW) padahal ia juga dianggap sebagai orang yang bersih, jujur dan sederhana? Dalam konteks ini, Jokowi lebih diuntungkan oleh kompetensi yang dimiliki selama menjabat sebagai orang nomor satu di Solo yang dipandang berhasil dalam membangun kota Solo. Tentu publik Jakartapun berharap mempunyai seorang pemimpin yang bukan sekedar bersih, jujur dan sederhana melainkan juga kompeten sehingga bisa mengelola kota Jakarta secara profesional. Kedua, satu hal yang kuat menancap di jiwa Jokowi dan tidak terdapat di kandidat-kandidat lainnya adalah sikapnya yang merakyat. Sikapnya tersebut tampaknya bukan artifisial atau dibuat-buat melainkan sudah menjadi jiwanya. Dalam sebuah acara roadshow salah satu program televisi di Solo, misalnya, Jokowi tanpa sungkan duduk membaur dengan rakyat beralaskan lantai menonton acara tersebut. Seolah tidak ada sekat antara pemimpin dan rakyatnya. Bagi publik ini bisa dibaca sebagai simbol kemanunggalan antara kedua pihak. Ketiga, selain itu, Jokowi ternyata juga seorang yang cukup lincah dalam berpolitik. Jokowilah kandidat yang pertama melakukan silaturahim kepada kandidat lain pada saat penghitungan belum selesai. Meskipun ia menolak untuk menyebutnya sebagai penjajagan koalisi, tetapi bukan tidak mungkin langkah tersebut akan bermuara ke sana. Apalagi, kalau dirunut ke belakang, Hidayat merupakan salah seorang tokoh yang mendukung pencalonan Jokowi sebagai Wali Kota Solo. Dengan demikian, peluang untuk meraih simpati dari para pendukung HNW di putara kedua nanti cukup besar. Semua hal terkait personalitas Jokowi tersebut didukung oleh branding yang tidak terlampau berlebihan yang dibuat oleh tim suksesnya. Baju kotak-kotak yang terus menerus digunakan Jokowi sampai menjelang pilkada, misalnya, jelas sebuah branding yang merupakan simbol kesederhanaan dan kemerakyatan. Iklan yang memperlihatkan Jokowi akrab dengan kalangan menengah ke bawah dan dukungannya terhadap proyek mobil nasional Esemka juga menjadikan ketokohannya semakin kuat sebagai calon pemimpin. Efektifkah Isu SARA? Satu hal yang dikhawatirkan banyak kalangan pada putaran kedua Pilkada DKI pada September mendatang adalah munculnya isu-isu primordialisme terkait agama, suku dan ras. Jelas yang dituju adalah pasangan Jokowi-Ahok. Sebagaimana diketahui bahwa Ahok berasal dari agama dan etnis yang minoritas di republik ini, sehingga ia akan menjadi sasaran empuk para pendukung rivalnya. Sekarang pun di ranah media sosial sudah mulai ada yang menghembuskan isu tersebut. Namun menurut hemat penulis, isu-isu berbau primodialisme tidak akan cukup efektif untuk menggoyang seorang kandidat pada waktu sekarang ini. Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, publik hari ini, terutama di Jakarta sebagai kota metropolitas, sudah cerdas yang ditandai antara lain dengan rasionalitas dalam menentukan pilihan politik. Bagi mereka, orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan besar yang dihadapi ibukota seperti kemacetan, banjir dan kriminalitas itulah yang layak dipilih sekalipun bukan berasal dari golongan mereka. Kedua, era primordialisme yang di masa lalu dikenal dengan sebutan politik aliran sudah kehilangan konteksnya. Memang pada masa Orde Baru ketika politik hegemoni rezim Orba begitu dominan yang membuat kalangan islam politik terpinggirkan dari mainstream politik Indonesia, politik aliran cukup efektif. Tetapi hari ini di era reformasi, ketika tidak ada lagi politik hegemoni, hal tersebut sudah tidak bisa diharapkan. Ketiga, pendukung yang menyuarakan isu primordialisme bukan tidak mungkin akan mendapat labelling sebagai kalangan yang ingin menodai prinsip pluralisme yang termanifestasikan dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia. Maka, jika mereka benar-benar menyuarakan isu tersebut dalam rangkan menjegal pasangan Jokowi-Ahok justeru akan menjadi bumerang bagi kandidat yang diusungnya. Karena itu, mereka harus berpikir seribu kali jika mau melancarkan isu tersebut. Dari catatan di atas, penulis meyakini bahwa pada putaran kedua nanti peluang pasangan Jokowi-Ahok masih tetap besar untuk kembali memenangkan kontestasi. Memang di pasangan ini, ada kelemahan pada diri Ahok di luar persoalan SARA, antara lain mudahnya ia berganti-ganti partai politik sehingga bisa dicap sebagai kutu loncat. Namun untungnya hal tersebut tertutup oleh ketokohan Jokowi sehingga tidak berpengaruh banyak jikapun dijadikan sasaran serangan. Demikian pula dengan kecenderungan partai-partai koalisi nasional seperti Golkar dan PKS akan mengalihkan dukungan pada pasangan Foke-Nara juga tidak akan berpengaruh signifikan. Masalahnya seringkali keputusan elite-elite politik tidak berbanding lurus dengan aspirasi massa akar rumput. Salah satu faktor kekalahan pasangan yang diusung PKS dan Golkar adalah adanya kecenderungan tersebut. Semua itu tentu akan menjadi kecenderungan yang positif bagi pasangan Jokowi-Ahok. Dengan demikian, Jokowi effect diyakini akan terus memancarkan magisnya pada putaran kedua Pilkada DKI September mendatang. Butuh kerja keras yang luar biasa dari timses Foke-Nara jika ingin mengalahkan pasangan Jokowi-Ahok.

Jumat, 06 Juli 2012

Pekerjaan Rumah Golkar (Suara Pembaruan, 6 Juli 2012)

Gemuruh suara dukungan kader-kader Partai Golkar kepada Sang Ketua Umum Aburizal Bakrie (Ical) untuk menjadi calon presiden (capres) membahana di Hotel Aston, Bogor, pada Jum’at (29/6/2012) malam yang lalu. Acara yang bertajuk Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Golkar itu pada akhirnya telah mengukuhkan secara resmi Ical sebagai capres tunggal dari partai beringin tersebut. Sebanyak 33 pengurus DPD tingkat I dan organisasi sayap partai seperti MKGR dan Soksi telah memberikan dukungan penuh terhadap pencapresan Ical. Pertanyaannya adalah apakah pengukuhan Ical secara resmi sebagai satu-satunya capres Golkar bisa menjadi penanda bahwa semua kalangan internal partai benar-benar telah menerima Ical sebagai kader yang paling layak dinominasikan sebagai capres? Dengan kata lain, apakah soliditas partai kuning tersebut benar-benar utuh? Ataukah masih ada ganjalan-ganjalan lain yang bisa menjadi batu sandungan pencapresan Ical pada 2014 mendatang? Soliditas Artifisial? Secara permukaan publik bisa melihat bahwa kader-kader Golkar tampaknya telah bersepakat untuk menjadikan Ical sebagai capres tunggal. Hal ini, misalnya, tampak dari persetujuan yang diberikan salah seorang tokoh senior yang notabene Ketua Dewan Pertimbangan Partai, Akbar Tanjung, atas pencapresan Ical. Akbar bahkan ikut hadir dalam acara pengukuhan pencapresan Ical. Padahal beberapa waktu lalu antar Akbar dan Ical telah terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam terkait dengan pencapresan tersebut. Namun kalau diteliti secara seksama persetujuan Akbar agaknya diberikan secara bersyarat. Akbar, misalnya, mengatakan bahwa meskipun telah menyetujui pencapresan Ical, ia tetap akan memantau elektabilitas Ical antara lain melalui sejumlah survei. Ini bisa diartikan, jika sampai mendekati waktu pemilihan umum (pemilu), elektabilitas Ical tidak sesuai dengan yang diharapkan, bukan tidak mungkin akan ada peninjauan ulang terhadap pencapresan Ical. Tentu saja “peringatan” yang diberikan Akbar tersebut tidak bisa dianggap sepele karena ia merupakan tokoh senior yang masih memiliki pengaruh kuat terutama di kalangan DPD tingkat II di kabupaten/kota. Sementara seperti yang telah diketahui bahwa para pengurus DPD tingkat II hanya dijadikan “penonton” dalam acara Rapimnas tersebut. Ini artinya, ada kemungkinan besar mereka berpaling dari Ical saat melihat grafik elektabilitas Ical yang tidak cukup menjanjikan. Pada sisi lain, ketidakhadiran Jusuf Kalla (JK) dalam acara Rapimnas juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk kekecewaannya terhadap Golkar. Padahal JK disebut-sebut banyak kalangan sebagai tokoh Golkar yang lebih potensial untuk menjadi capres daripada Ical. Menurut survei yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), elektabilitas JK justeru berada di atas Ical. Ia hanya kalah dari Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri. Tentu saja ketidakhadiran JK bisa menjadi bibit perpecahan internal yang pada gilirannya berpotensi mengganggu soliditas partai. Sayangnya reaksi yang ditunjukkan elite-elite Golkar terhadap potensi perpecahan tersebut agaknya berlebihan atau tidak simpatik. Misalnya, Golkar siap memecat siapapun kader yang akan maju sebagai capres dengan menggunakan kendaraan partai lain. Jelas yang dibidik adalah JK. Selain itu, Golkar juga akan memberikan sanksi kepada pimpinan partai di daerah dan politisi di Parlemen yang tidak bertindak sebagai tim pemenangan atau tidak proaktif dalam pemenangan Ical sebagai capres. Tentu saja ancaman seperti ini dapat dianggap sebagai bentuk ketakutan yang luar biasa dari elite-elite Golkar akan ketidaksolidan kader-kadernya untuk mendukung pencapresan Ical. Dengan kata lain, mereka sebenarnya menyadari bahwa ada banyak potensi di kalangan internal partai yang tidak secara sukarela memberikan dukungan atas pencapresan Ical. Masalah Elektabilitas Ical agaknya berusaha membangun optimisme terkait dengan peluangnya sebagai capres Golkar. Salah satunya ia mencoba mengutip hasil survei yang dilakukan dua lembaga survei tanah air, yaitu Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS). Menurut yang pertama, elektabilitias Golkar berada pada angka 20,9 persen, sementara menurut Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Golkar meraih 23 persen. Besaran angka tersebut mampu menggeser posisi dua partai besar lainnya, yaitu Partai Demokrat yang notabene partai berkuasa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun sayangnya elektabilitas Golkar ternyata tidak berbanding lurus dengan elektabilitas Ical sebagai capres. Ada grafik kenaikan yang signifikan pada elektabilitas Golkar tetapi tidak pada elektabilitas Ical. Menurut Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) pada 6/6/2012, Ical hanya mendapatkan 10,6 persen suara di 163 kabupaten/kota di 33 provinsi. Ia bahkan kalah oleh JK yang mendapatkan 14,9 persen suara. Tentu saja hasil survei tersebut menjadi ironi bagi calon yang dinominasikan Golkar. Pada saat yang sama, tingginya elektabilitas Golkar juga berpotensi terganggu oleh pemanggilan dua orang kadernya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bertepatan dengan momen pengukuhan Ical sebagai capres terlepas dari apakah bersifat politis atau tidak. Kedua orang tersebut adalah Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Golkar, yang diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau. Dan Zulkaernaen Djabar yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Kitab Suci al-Qur’an di Kementerian Agama. Kasus yang terakhir ini jelas akan sangat berpengaruh terhadap citra Golkar di mata publik. Bukan tidak mungkin publik berasumsi bahwa terhadap hal yang berdimensi spiritual saja kader Golkar bisa melakukan korupsi, maka apalagi terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Maka, kalau partai beringin tidak segera bertindak, grafik kenaikan elektabilitasnya akan terhenti kalau tidak malah anjlok. Batu Sandungan Selain masalah di atas, ada hal lain yang juga berpotensi menjadi batu sandungan bagi pencapresan Ical. Pertama, terkait dengan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Surabaya. Betapapun Ical berusaha “mengelak” dari penimpaan dirinya sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap korban-korban lumpur Lapindo, misalnya melalui jalur hukum atau publikasi melalui media-media yang dimilikinya, namun publik tetap memandangnya sebagai pihak yang bertanggung jawab. Kedua, Ical merupakan tipikal seorang pemimpin elitis atau tidak merakyat sehingga sulit baginya untuk mendapatkan dukungan dari arus bawah (grass root). Meskipun belakangan ia kerap melakukan safari politik ke berbagai daerah di Indonesia, namun tampaknya belum cukup maksimal dan juga tidak didukung oleh gaya komunikasi politik yang kuat. Ketiga, realitas bahwa Ical bukan berasal dari suku Jawa bagaimanapun masih menjadi persoalan dalam politik Indonesia. Sulit bagi seorang capres non-Jawa yang bisa memenangkan kontestasi mengingat dominasi Jawa masih berlangsung sampai saat ini. Dari paparan di atas, jelas terlihat banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dibenahi Golkar jika ingin pencapresan Ical mendapatkan dukungan yang besar dari publik. Jika tidak, sangat sulit mengharapkan Ical untuk keluar sebagai pemenang pada Pemilu 2014.

Menakar Duet Ical-Pramono (Jurnal Nasional, 13 Juni 2012)

Belakangan ini muncul wacana untuk menduetkan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie (Ical), dengan KASAD Pramono Edi Wibowo sebagai pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada 2014. Gagasan ini tidak bisa dianggap main-main karena dilontarkan oleh para petinggi Partai Golkar seperti Akbar Tanjung (AT) yang notabene merupakan Ketua Dewan Pertimbangan partai beringin tersebut. Wacana ini tampaknya terus mendapatkan sambutan positif di kalangan kader-kader Golkar. Sebagaimana diketahui bahwa Golkar telah bulat untuk menjadikan Ical sebagai capres tunggal pada Pemilihan Presiden (pilpres) 2014. Sayangnya dalam sejumlah survei yang dilakukan oleh banyak lembaga survei di Indonesia posisi Ical selalu berada pada kisaran menengah ke bawah. Oleh karena itu, salah satu cara yang harus ditempuh partai ini adalah mencarikan pasangan yang ideal. Di antara sekian nama yang telah digodok akhirnya pilihan jatuh pada Pramono. Ada sejumlah pertimbangan yang dilakukan Golkar dalam konteks ini. Pertama, realitas politik Indonesia sampai hari ini masih tetap menjadikan unsur Jawa sebagai faktor determinan dalam pemilihan presiden. Sejak Soekarno jabatan presiden selalu dipegang oleh orang Jawa. Hanya pernah ada satu presiden non-Jawa di republik ini, yaitu BJ Habibie, itupun sesungguhnya tidak dapat dianggap sebagai pengecualian karena ia tidak dipilih rakyat, melainkan langsung ditunjuk oleh mantan Presiden Soeharto saat lengser dari jabatannya. Dan Pramono adalah representasi orang Jawa sehingga akan banyak membantu Ical yang non-Jawa. Kedua, pakem duet sipil-militer juga masih tetap relevan dalam konteks politik Indonesia. Meskipun militer, atau tepatnya Angkatan Darat, telah mendapatkan stigma buruk di kalangan masyarakat terutama selama masa Orde Baru, namun fakta politiknya kehadiran militer masih tetap dibutuhkan di kalangan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pramono yang memiliki darah militer tulen diyakini memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi sehingga sangat tepat jika berpasangan dengan Ical yang notabene orang sipil. Ketiga, kolaborasi sesama partai besar, dalam hal ini Golkar dan Demokrat, di atas kertas sangat potensial untuk memenangkan persaingan pemilihan presiden meskipun dalam realitasnya tidak selalu berbanding lurus antara hasil pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres. Namun begitu, hasil pileg tetap akan menjadikan acuan partai dalam menominasikan calonnya. Dan menduetkan Ical dengan Pramono menjadi sangat penting karena faktor ketokohan Pramono, antara lain dikenal bersih dan tidak ambisius, sehingga bisa menjadi kredit poin dalam pilpres nanti. Keempat, dalam berbagai kesempatan para petinggi Golkar mengemukakan keyakinaanya bahwa partai ini akan keluar sebagai pemenang dalam Pileg 2014 melihat partai rivalnya, terutama Demokrat tengah menghadapi berbagai kemelut politik. Jika ini yang terjadi, tentu Golkar akan sangat percaya diri untuk menjadikan tokoh-tokoh lain sebagai cawapresnya termasuk Pramono. Sebaliknya, tokoh-tokoh lain akan sulit menolak ajakan partai beringin tersebut. Langkah Musykil Jika Golkar begitu antusias dan ngebet untuk untuk menduetkan Ical dengan Pramono, lain halnya dengan Demokrat. Partai berlambang mercy ini bahkan terkesan menghindar dari pembicaraan tersebut. Sejumlah elite Demokrat bahkan segera memberikan reaksi mulai dari penolakan secara diplomatis sampai penolakan secara terang-terangan atas wacana penduetan tersebut. Dilihat dari kecenderungan tersebut, agaknya rencana partai beringin untuk memasangkan Ical-Pramono tampaknya sangat musykil untuk direalisasikan karena sejumlah alasan. Pertama, meskipun Demokrat saat ini banyak mendapatkan sorotan miring dari publik terkait dengan sejumlah kasus korupsi yang menjerat beberapa kadernya, namun belum tentu juga perolehan suara partai ini akan anjlok pada pilpres 2014. Masih ada waktu tersisa untuk melakukan perbaikan sehingga bisa meraih kembali simpati publik. Oleh karena itu, Demokrat tentu tidak akan rela untuk menjadikan calonnya sebagai orang nomer dua. Kedua, Demokrat juga yakin betul bahwa tingkat elektabilitas Ical tidak meyakinkan antara lain karena terganggu oleh kasus-kasus besar yang menimpanya seperti lumpur Lapindo, mafia pajak dan lain-lain, di luar dari faktor non-Jawa dan non-militer. Dengan demikian, jika Demokrat merelakan tokoh potensialnya, Pramono, sebagai pasangan Ical, sama saja dengan “menjerumuskan” diri sendiri. Dari perspektif ini, jelas Demokrat tidak akan bersedia menerima tawaran Golkar. Ketiga, Demokrat sebenarnya saat ini sedang berada pada tahapan “wait and see” berkaitan dengan pengusungan capres dan cawapres. Setelah tidak bisa lagi mengandalkan figur sentralnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ditambah dengan kondisi partai yang diibaratkan tengah memakan buah simalakama, selalu dianggap salah oleh publik, partai ini terkesan sangat hati-hati dalam menentukan siapa figur yang pantas diusungnya. Tidak heran kalau banyak petinggi partai ini merasa terganggu dengan lontaran wacana penduetan tersebut. Taktik Golkar Terlepas dari agak musykilnya wacana penduetan Ical-Pramono, hemat penulis, bukan tidak mungkin ada maksud lain di balik lontaran gagasan tersebut. Boleh jadi Golkar sebenarnya ingin “menggoda” Demokrat yang hingga saat ini belum juga menentukan capresnya secara resmi. Golkar tentu tahu bahwa Demokrat sedang mengalami krisis figur pengganti SBY untuk berkontestasi pada Pilpres 2014. Siapa tahu pada akhirnya partai biru tersebut bisa tergoda jika terus dipancing. Namun pada sisi lain, apa yang dilakukan Golkar juga dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan diri partai beringin dengan pencapresan Ical. Meskipun pada level elite organisasi Golkar sudah dicapai kesepakatan atas pencapresan tersebut, akan tetapi bukan berarti masalahnya sudah selesai. Residu perpecahan masih membayangi yang tentu akan berimplikasi pada problem soliditas partai. Selain itu, Golkar juga sangat menyadari bahwa Ical sebenarnnya sulit bersaing dengan capres-capres lainnya. Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa apa yang dilakukan partai beringin tersebut sebagai sebuah taktik politik belaka dalam rangka mengail di air keruh. Dengan kata lain, Golkar sebenarnya tengah memanfaatkan kesempatan di tengah kesempitan Demokrat. Penulis, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta, Deputi Direktur The Political Literacy Institute

Selasa, 08 Mei 2012

Selebriti di Panggung Politik (Pikiran Rakyat, Selasa 8/05/12)

Kaum selebriti tampaknya masih dianggap sebagai magnet yang memiliki daya tarik luar biasa dalam politik Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau panggung politik Indonesia kerap diramaikan oleh munculnya sejumlah selebriti. Pemilihan umum kepada daerah (pemilukada), termasuk di Jawa Barat, juga tidak sepi dari keterlibatan kaum selebriti tersebut. Bahkan Wakil Gubernur Jabar sekarang, Yusuf Macan Effendy, yang lebih akrab disebut Dede Yusuf, merupakan salah seorang selebriti. Kini menjelang Pemilukada Jabar yang sebentar lagi akan dihelat pada tahun 2012 ini sosok selebriti kembali menjadi fokus perhatian. Salah seorang selebriti yang digadang-gadang untuk tampil memimpin Jabar adalah Rieke Diah Pitaloka, pemeran si Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri, yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bahkan Rieke kemudian menjadi rebutan sejumlah partai besar untuk menjadi pendamping calonnya, seperti Demokrat, Golkar dan PKS. Bila berkoalisi dengan Demokrat Rieke akan berduet dengan Dede Yusuf yang sudah ditetapkan sebagai Calon Gubernur (Cagub) partai berlambang mercy ini. Dan bila ini terjadi maka akan terbentuk pasangan sesama selebriti. Bila bergabung dengan Golkar, Rieke akan berpasangan dengan Ketua DPD Golkar Jabar, Irianto M Syaifuddin (Yance). Dan bila bergandengan dengan PKS, Rieke akan berduet dengan gubernur petahana (incumbent) Ahmad Heryawan yang akan mencalonkan kembali. Tipikal Masyarakat Indonesia Tidak dapat dimungkiri bahwa kaum selebriti di republik ini masih mendapatkan tempat yang istimewa di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang begitu mudah mengidolakan sosok seorang selebriti secara taken for granted. Sehingga ketika sang selebriti tersebut masuk ke panggung politik, ia seakan mendapatkan modal yang sangat berharga berupa popularitas. Sulit disangkal bahwa kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) pada pemilukada yang lalu banyak disumbang oleh perolehan suara dari Dede Yusuf. Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu faktornya, seperti yang pernah ditegaskan Deddy Mulyana, adalah karena tipikal masyarakat Indonesia yang bersifat kolektivis. Berbeda dengan corak individualisme yang berkembang di negara-negara Barat, model kolektivisme sebuah masyarakat seperti di Indonesia, sangat menekankan pada kultur kebersamaan. Dalam situasi yang sedemikian rupa, simpati dan empati mudah sekali muncul di tengah mereka ketika ada sosok yang dianggap lebih dari masyarakat kebanyakan. Maka, kaum selebriti yang umumnya lebih menonjol setidaknya dari aspek penampilan diri, mudah sekali mendapatkan simpati dari masyarakat. Dalam situasi seperti ini tidak aneh kalau partai-partai politik di negeri ini berlomba-lomba untuk menggaet kaum selebriti. Tujuannya tidak lain untuk mendongkrak suara sebanyak-banyaknya. Sayangnya dalam banyak kasus partai politik kerap hanya mempertimbangkan aspek popularitas semata tanpa dibarengi dengan pertimbangan terhadap aspek kualitas yang bersangkutan. Sehingga banyak pula kaum selebriti yang hanya berfungsi sebagai “pemanis” politik belaka. Dalam konteks Pemilukada Jabar, sebagai publik tentu kita harus tetap kritis terhadap kehadiran bakal calon dari kaum selebriti. Antara lain dengan melihat setidaknya pada rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Apalagi di wilayah Jabar kita sudah memiliki bukti terdahulu. Dicky Chandra yang sempat menjadi Wakil Bupati Garut, misalnya, ternyata “tidak berdaya” dalam kehidupan politik yang sesungguhnya sehingga ia memilih kembali ke dunia hiburan. Bahkan Dede Yusuf sebagai cagub pun tampaknya belum berhasil memberikan kontribusi nyata dalam kepemimpinannya tersebut. Tentu sikap kritis terhadap kaum selebriti tersebut tidak berarti kita harus menutup mata terhadap mereka yang memiliki rekam jejak yang baik. Dalam konteks ini, Rieke sesungguhnya memiliki modal rekam jejak yang kuat. Keterlibatannya dalam sejumlah advokasi terhadap hak-hak rakyat yang terabaikan seperti kaum buruh, TKI dan sebagainya menjadi nilai positif baginya. Hanya saja PDIP selaku partai pengusung Rieke harus pandai-pandai menduetkannya dengan pasangan yang tepat. Bagaimanapun kaum selebriti memiliki hak-hak politik sama seperti warna negara Indonesia lainnya. Mereka berhak maju sebagai calon bupati, gubernur ataupun presiden. Sementara kita sebagai publik juga mendapatkan hak untuk memilih atau tidak memilih mereka. Oleh karena itu, kitalah sesungguhnya yang paling berperan dalam konteks ini.

Senin, 30 April 2012

Polemik Pencapresan Ical (Harian Jurnas 30 April 2012

RAPAT Pimpinan Nasional (Rapimna) Partai Golkar sejatinya akan diselenggarakan Otober 2012. Namun Partai Beringin ini memutuskan mempercepatnya Juli datang. Percepatan rapimnas tersebut disinyalir berbagai kalangan sebagai salah satu upaya untuk memuluskan langkah Aburizal Bakrie (Ical) sebagai calon presiden (capres) tunggal dari Golkar. Sebagaimana diketahui, nama Ical terus didengungkan oleh Golkar sebagai capres pada Pemilu 2014. Yang menarik dicermati, keputusan DPP Golkar itu ternyata tidak sepenuhnya didukung elite-elite partai. Bahkan ada yang terang-terangan mempertanyakan rencana percepatan rapimnas yang dianggap menyalahi tradisi partai tersebut. Ketua Dewan Pertimbangan Partai Akbar Tanjung (AT) dan salah seorang ketua DPP Hajriyanto Y Thohari adalah di antara elite partai yang mempertanyakan rencana tersebut. Menurut keduanya, Golkar seharusnya menjaring terlebih dahulu tokoh-tokoh partai, selain Ical, yang dianggap layak menjadi capres. Akibatnya, ketegangan internal di Partai Beringin ini kian memuncak. Apalagi masing-masing pihak bicara pada media massa sehingga masalah ini semakin meluas. Dalam konteks ini tampaknya pihak DPP Golkar berinisiatif mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh senior partai seperti: AT dan Jusuf Kalla (JK). Persoalannya, apakah pertemuan tersebut cukup efektif untuk meredam polemik dan menghasilkan win-win solution antarkedua pihak? Rasionalitas Percepatan Ada beberapa hal yang barangkali dapat dipahami dari gagasan percepatan rapimnas tersebut. Pertama, agar waktu persiapan untuk menjadikan Ical sebagai capres Golkar cukup panjang. Waktu yang tersisa untuk sampai pada Pemilu 2014 kurang lebih dua tahun. Karenanya, Golkar harus segera menetapkan capresnya sehingga kesempatan untuk konsolidasi, sosialisasi dan sebagainya cukup panjang. Partai pemenang kedua pada pemilu lalu ini agaknya tidak mau mengulangi kasus penetapan JK sebagai capres Golkar pada 2009 yang hanya memberikan waktu persiapan tiga bulan. Kedua, penetapan Ical sebagai capres Golkar segera, selain memberikan waktu persiapan yang panjang, juga akan memudahkan Golkar menyosialisasikannya ke seluruh kader dan simpatisan partai. Di sisi lain, partai ini juga akan lebih fokus terhadap upaya pemenangan Ical sebagai capres dan tidak terganggu oleh isu-isu lain seperti adanya tokoh Golkar lain yang pantas atau bahkan lebih pantas daripada Ical. Tentu, jika ini terjadi, soliditas Golkar akan kuat untuk memenangkan Ical sebagai presiden. Ketiga, penetapan capres oleh sebuah partai politik (parpol) sejak jauh-jauh hari, dalam konteks fatsoen politik dan demokrasi, sebenarnya tidak perlu dianggap salah. Sebaliknya, langkah tersebut dapat dipandang sebagai bentuk kesiapan seseorang untuk siap berkontestasi dan memperjuangkan nilai-nilai dan tujuan politiknya. Di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat, para calon kandidat presiden yang akan berkontestasi pada pemilihan presiden sudah ditetapkan sejak jauh-jauh hari. Problem Soliditas Namun demikian, persoalan besar yang menggelayuti Golkar jika percepatan rapimnas tetap dilakukan adalah justru masalah soliditas partai. Adanya riak-riak ketidaksetujuan sejumlah elite Golkar atas gagasan percepatan rapimnas tidak bisa diabaikan begitu saja. Ini karena elite yang masuk ke dalam barisan ini, terutama AT, bukanlah tokoh sembarangan, melainkan orang yang cukup berpengaruh dan mempunyai kader-kader loyalis, terutama di daerah-daerah. Salah satu faktor kegagalan JK saat menjadi capres Golkar adalah adanya kader-kader partai yang tidak mau tunduk terhadap keputusan DPP Golkar untuk menjadikan JK sebagai capres. Aspek lain yang tidak menguntungkan Golkar terkait citra politik, baik bagi Ical sendiri maupun bagi Golkar sebagai institusi. Di satu sisi, Ical akan dianggap sebagai seorang yang ambisius yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Dengan mempercepat rapimnas, tanpa melibatkan tokoh-tokoh senior partai, Ical tentu dipandang telah menutup rapat-rapat pintu bagi kader-kader Golkar yang layak menjadi orang nomor satu di negeri ini. Demokrasi telah “dimatikan‘ oleh Ical di partainya sendiri. Apalagi citra Ical di mata publik Indonesia selama ini tidak sebagus citra para capres lain yang menjadi rival-rivalnya. Publik tentu tidak akan melupakan begitu saja bagaimana kasus lumpur Lapindo telah mengharu-biru masyarakat Indonesia dan sampai kini penyelesaiannya belum tuntas. Meski Ical berusaha melepaskan diri dari jeratan kasus tersebut, tetap saja publik mengaitkan dengan dirinya. Demikian pula kasus pengemplangan pajak yang diduga terkait dengan sejumlah perusahaan miliknya. Ical Melunak? Langkah antisipatif memang telah diambil Golkar, yakni dialog antara DPP dan tokoh-tokoh senior partai. Sebagai mekanisme penyelesaian organisasional, inisiatif tersebut tentu merupakan hal yang positif karena sedikit banyak akan mampu meredam kian memanasnya polemik tersebut. Di sisi lain, langkah ini juga akan memperlihatkan pada publik betapa mekanisme dialog merupakan pilihan paling baik bagi sebuah parpol manakala terjadi ketegangan internal. Namun, ada pertanyaan besar: bersediakah Ical melunak, misalnya mengakomodasi usulan AT agar percepatan rapimnas tersebut hanya difokuskan untuk membahas mekanisme pencapresan Golkar? Ataukah pertemuan itu hanya sekadar upaya penampilan dirinya, meminjam konsep dramaturgi Irving Goffman, sebagai orang yang akomodatif, respek pada senior dan sebagainya sehingga mendapatkan kesan yang baik dari publik? Dari sisi ini, penulis yakin, Ical tidak akan melunak terhadap permintaan Akbar. Bagaimana pun Ical telah berusaha keras mempersiapkan diri sebagai capres seperti: melakukan konsolidasi internal, melakukan safari politik ke berbagai daerah, dan sebagainya. Apalagi Ical juga ditengarai memiliki motif ekonomi dalam pencapresannya itu terkait aset-aset ekonominya. Karena itu, Ical agaknya tidak akan mau begitu saja melepaskan kesempatan yang sudah ada di depan matanya. Ia justru akan lebih “menekan‘ tokoh-tokoh senior di dalam pertemuan tersebut dengan mengajukan konsesi yang menguntungkan dirinya. Dengan kata lain, pertemuan ini hanya akan dijadikan Ical sebagai upaya pengelolaan kesan belaka, dan pada saat yang sama, ia menginstruksikan para pengurus partai untuk tetap menetapkan dirinya sebagai capres tunggal.