Senin, 08 Desember 2014

Manuver Politik Golkar (Pikiran Rakyat, 8 Desember 2014

Ada satu poin menarik yang dihasilkan Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar di Bali yang baru saja selesai. Seperti dikatakan ketua umumnya Aburizal Bakrie (Ical) yang terpilih secara aklamasi untuk periode kedua, partai beringin menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada Langsung yang ditelah ditandatangani dan diterbitkan oleh (mantan) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan hanya itu, Golkar juga bertekad untuk memperjuangkan penolakannya terhadap perppu tersebut dengan mengajak fraksi-fraksi lain, khususnya yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Melihat dari sepak terjang para politisi partai kuning selama ini, apa yang mereka suarakan tersebut apalagi disampaikan dalam forum besar seperti munas, jelas bukan main-main. Dengan kata lain, mereka dipastikan bakal benar-benar serius melakukan upaya penolakan tersebut. Peran Kunci Demokrat Terlepas dari persoalan internal yang membelit Golkar –kemungkinan munas tandingan oleh kubu Presidium Penyelamat Partai pada Januari 2015--, partai ini tampaknya sangat percaya diri atas perilaku politiknya. Mereka yakin benar bahwa Golkar merupakan lokomotif utama atau tulang punggung dalam Koalisi KMP sehingga fraksi-fraksi anggota lainnya diyakini akan mengikutinya. Fakta kesolidan koalisi ini yang dimotori beringin memang cukup kuat selama ini. Namun, manuver Golkar tersebut agaknya membuat salah satu partai mitranya, yakni Demokrat kebakaran jenggot. Seperti diketahui, pendukung utama perppu tersebut adalah partai pimpinan SBY. Selama ini meskipun tidak menyatakan tegas apakah berada di kubu KMP atau Koalisi Indonesia Hebat (KIH), tetapi Demokrat lebih dekat dengan KMP. Oleh karena itu, Demokrat merasa tersinggung dengan manuver Golkar dan menganggapnya sebagai pengkhianatan. Kalau demikian kenyataannya, mungkinkah manuver Golkar bisa berjalan mulus tanpa dukungan Demokrat. Sebab, jika hanya mengandalkan anggota KMP, yakni Golkar dengan 91 kursi, Gerindra 73 kursi, PKS 40 kursi dan PAN 49 kursi, suara mereka tidak akan cukup kuat untuk mengalahkan KIH karena hanya berjumlah 253 kursi. Lalu apakah yang akan dijadikan modal partai beringin untuk memuluskan langkahnya tersebut. Menurut hemat penulis, ada sejumlah hal yang dapat dimanfaatkan Golkar untuk menyokong manuvernya itu. Pertama, kepiawaian dan kelincahan politisi-politisi partai beringin di parlemen. Fakta yang sulit dibantah adalah bahwa mereka merupakan para politisi paling berpengalaman dalam kancah politik Indonesia sehingga mengetahui betul cita rasa para politisi di negeri ini. Kemenangan KMP terutama dalam pemilihan pimpinan MPR yang melibatkan DPD menjadi bukti kuat padahal di atas kertas suara mereka kalah dari KIH. Hal ini ditunjang oleh keadaan para politisi motor penggerak KIH, yakni PDIP yang sebaliknya kurang terampil bahkan cenderung kaku dan “tinggi hati” dalam melakukan manuver politik sehingga mudah dipermainkan. Besar kemungaikinan situasi semacam ini akan dimanfaatkan kembali oleh Golkar demi meraih tujuannya tersebut. Kedua, anggota-anggota DPR sendiri baik yang ada di KMP maupun KIH, sebenarnya secara personal diam-diam banyak yang lebih suka pilkada tidak langsung karena lebih praktis, tidak melelahkan dan sebagainya. Realitas ini tentu akan dimanfaatkan betul oleh Golkar yang memang sangat piawai dalam melakukan persuasi politik kepada para anggota legislatif tersebut seperti keberhasilannya dalam membujuk anggota DPD dalam memilih pimpinan MPR. Dalam situasi seperti ini, Demokrat sesungguhnya diharapkan dapat memainkan perannya. Dengan jumlah 61 kursi di DPR jelas suara mereka sangat menentukan koalisi mana yang akan menang. Kekalahan KIH dalam Paripurna DPR tentang pengesahan RUU Pilkada yang mengubah pilkada dari langsung ke tidak langsung adalah akibat aksi walk out Demokrat. Ada dua pertimbangan yang harusnya dipegang Demokrat. Pertama, penolakan Perppu Pilkada tentu akan mempermalukan SBY karena itu Demokrat tidak boleh terbujuk irama permainan Golkar. Kedua, penolakan pilkada langsung sebenarnya adalah cerminan keinginan dan ambisi para elite politik bukan aspirasi rakyat. Karena itu, memilih untuk tetap mendukung pilkada langsung merupakan langkah bijak dari Demokrat. Dengan demikian, sekalipun Demokrat tetap dalam posisinya, yakni tidak di dalam KMP atau KIH, namun memilih hal yang sesuai dengan aspirasi rakyat menjadi sebuah keharusan bagi partai biru ini. Inilah peran kunci yang mesti dimainkan oleh Demokrat. Asalkan Demokrat tidak mudah tergoda, manuver Golkar dan fraksi-fraksi lainnya di KMP untuk menjegal Perppu Pilkada sulit diwujudkan. *Penulis, Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute

Jumat, 28 November 2014

Pertaruhan Politik Golkar (Jawa Pos 28 Nopember 2018)

Partai Golkar benar-benar tengah menyajikan drama politik yang panas di panggung politik Indonesia. Perang pernyataan yang saling menegasikan antar dua kubu yang berseberangan antara kubu Aburizal Bakrie (Ical) dengan kubu Presidium Penyelemat Partai yang dikomandani Agung Laksono terus terjadi. Sebelumnya, bentrokan fisik berdarah pun tak terhindarkan lagi. Inilah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya setiap kali Golkar hendak menyelenggarakan musyawarah nasional (munas). Biasanya konflik-konflik antar kader dapat diselesaikan dengan lebih elegan tanpa melibatkan benturan fisik. Tetapi jelang Munas IX yang waktu penyelenggaraannya diperdebatkan oleh kedua kubu didahului oleh bentrokan berdarah yang tentu saja bisa menodai perhelatan politik tersebut. Pertaruhan Politik Apa sesungguhnya yang tengah dipertontonkan oleh aktor-aktor politik di tubuh partai beringin tersebut dan mengapa konflik tersebut tersaji di ruang public sedemikian panas. Dan yang terpenting apakah implikasinya bagi masa depan partai ini setidaknya untuk lima tahun ke depan? Sulit dibantah bahwa konflik yang menimpa tubuh partai beringin tersebut tidak lain karena persoalan rebutan pucuk pimpinan antara Ical dengan rival-rivalnya. Sebagai petahana Ical agaknya masih menyimpan ambisi besar untuk tetap berkuasa. Karena itu, meski banyak suara miring terkait kemampuannya, Ical tetap ngotot maju kembali bahkan melakukan berbagai macam cara untuk mempermudah dirinya meraih kembali kekuasaan termasuk dengan mempercepat munas. Justeru di sinilah letak masalahnya. Dalam pandangan rival-rival Ical, keputusan Golkar mempercepat munas tersebut sebagai bentuk rekayasa Ical dan para loyalisnya agar dirinya terpilih kembali dan sekaligus dapat mempersempit ruang gerak pesaingnya untuk bermanuver. Padahal sebelumnya kubu Ical selalu menolak upaya untuk mempercepat munas dan tetap bersikukuh mengikuti keputusan Munas Riau. Tetapi kenyataannya sekarang berbalik. Inilah yang membuat para pesaingnya meradang sehingga konflik pun tak dapat dihindari lagi. Seyogianya Ical mau berintrospeksi diri terkait kepemimpinannya selama lima tahun ini. Golkar di bawah kendalinya lebih banyak menampilkan kegagalan ketimbang keberhasilan. Di level legislatif, perolehan suaranya menurun dari 107 kursi pada 2009 menjadi hanya 91 kursi pada 2014. Memang di beberapa daerah Golkar berhasil menguasai DPRD, tetapi kalau dicermati secara mendalam, hal itu bukan karena faktor Ical seperti yang diklaim para loyalisnya, melainkan karena mesin partai dan infrastrukturnya yang berjalan dan paling modern dari semua partai. Di level eksekutif nasib partai beringin lebih menyedihkan lagi. Ical yang dicapreskan Golkar sejak jauh-jauh hari dan dikampanyekan secara masif melebihi capres-capres lainnya malah gagal total. Tidak ada satu pun tokoh yang bersedia mendampingi Ical untuk menjadi cawapresnya. Bahkan ketika Ical bersedia menurunkan penawaran dirinya untuk hanya menjadi cawapres bagi capres lainnya, ternyata juga tak laku. Ironis sekali, seorang capres dari partai besar tersisih dari bursa kepemimpinan nasional bahkan sebelum gelanggang pertempuran dimulai. Dengan kenyataan menyedihkan yang menimpa Golkar tersebut pantas kalau kemudian banyak elemen di tubuh partai beringin yang menginginkan regenerasi kepemimpinan terutama di kalangan kader-kader muda. Namun, karena keinginan mereka secara kasat mata dihadang kaum loyalis Ical meski dengan dalih konstitusi partai, maka hal itu telah menjadi ledakan ketidakpuasan yang sangat kuat. Sebenarnya jika situasi ini tetap berlangsung demikian akan sangat membahayakan bagi Golkar sebagai institusi paling tidak untuk lima tahun ke depan. Ada banyak hal yang dipertaruhkan di sana. Pertama, besar kemungkinan Golkar akan semakin loyo di masa mendatang. Dengan minimnya prestasi, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, Golkar di bawah pimpinan Ical, partai ini diyakini akan semakin sulit bersaing. Apalagi pada Pemilu 2019 nanti pemilu akan dilakukan secara serentak antara pemilihan presiden dan anggota legislatif. Kedua, Jika konflik yang sudah semakin panas ini tidak segera dicarikan jalan keluarnya, bukan tidak mungkin akan berakhir dengan perpecahan. Masih kental dalam ingatan kita, Prabowo Subianto pernah tersingkir dari persaingan merebutkan pucuk pimpinan partai beringin kemudian keluar dan mendirikan Gerindra. Demikian pula Surya Paloh mengalami hal yang sama dan kemudian ia mendirikan Nasdem. Bukan tidak mungkin hal yang seperti itu bisa terjadi kembali. Ketiga, cara-cara mempertahankan kekuasaan secara tidak fair dan tidak demokratis seperti yang dipertontonkan kubu Ical jelas akan memberikan citra yang buruk terhadap Golkar di mata publik. Ical dianggap hanya mementingkan kekuasaan dirinya dan kelompoknya saja. Karena itu, Golkar bisa kehilangan momentum penting dari Munas IX untuk menata kembali eksistensi kepartaiannya seraya melakukan refleksi ke depan bagi Golkar. Dengan demikian, kekisruhan pertaruhan yang tengah melanda partai beringin tersebut memiliki implikasi politik yang sangat merugikan. Meskipun Golkar memiliki aktor-aktor politik yang sangat berpengalaman dalam mengatasi situasi seperti ini, tetapi tidak ada jaminan mereka akan berhasil. Karena itu, apa yang tengah dipertontonkan Golkar tersebut akan menjadi pertaruhan politik di masa mendatang. *Penulis, Staf Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selasa, 28 Oktober 2014

Kabinet Kerja dan Perempuan (Pikiran Rakyat 29 Oktober 2014)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah membentuk kabinet yang disebutnya denga kabinet kerja. Sebanyak 34 menteri yang telah diangkat Presiden Jokowi pada Minggu sore 26/10 kemarin. Komposisinya 20 menteri dari kalangan profesional dan 14 menteri dari kalangan partai politik (parpol). Hal ini berbeda dengan rencana sebelumnya di mana pembagiannya adalah 18 berbanding 16. Ada beragam respons publik terhadap susunan kabinet kerja untuk masa bakti 2014-2019 tersebut. Sebagian kalangan beranggapan bahwa kabinet kerja tersebut cukup memenuhi ekspektasi publik karena banyaknya kalangan profesional yang dilibatkan. Tetapi tidak sedikit pula yang memiliki pandangan sebaliknya karena ada sejumlah menteri yang ditempatkan tidak pada posisi yang seharusnya atau sesuai dengan prinsip the right man on the right place. Menteri Perempuan Namun demikian, terlepas dari pro dan kontra terhadap komposisi kabinet kerja yang akan membantu Jokowi-JK tersebut, ada satu hal yang tampaknya patut mendapat apresiasi yang tinggi dari publik. Hal itu terkait dengan tampilnya sejumlah menteri dari kalangan perempuan sebanyak 8 orang. Jumlah ini merupakan yang terbanyak sepanjang terbentuknya pemerintahan di republik ini. Kedelapan menteri perempuan tersebut adalah Retno Marsidi sebagai Menteri Luar Negeri; Yohana Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Nila Moeloek sebagai Menteri Kesehatan; Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial; Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan; Rini Soemarno sebagai Menteri Negara BUMN; Siti Nurbaya sebagai Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup; dan Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Yang lebih menarik adalah bukan kuantitas menteri-menteri perempuan tersebut, tetapi justeru penempatan mereka pada posisi-posisi yang strategis. Retno Marsudi, misalnya, ditempatkan sebagai Menlu. Jabatan menlu merupakan jabatan yang sangat strategi terutama jika dikaitkan dengan percaturan global sekarang ini. Bagi sebuah negara, jabatan ini sama dengan “jendela dunia” di mana orang-orang dari seluruh dunia akan memandang dan menilainya. Di Amerika Serikat sendiri jabatan menlu disebut juga dengan sekretaris negara karena sedemikian penting perannya. Oleh karena itu, posisi menlu tidak bisa dijabat dengan tokoh-tokoh sembarangan, melainkan oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Menlu Retno tampaknya memenuhi kriteria tersebut. Karir diplomatnya sangat menunjang; ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kemenlu kemudian menjadi Duta Besar Indonesia Belanda sampai saat ini. Selain itu, ia dikenal sebagai pekerja keras tetapi merupkan pribadi sederhana yang tampaknya selaras dengan keinginan Jokowi. Pantaslah kalau ia menjadi perempuan pertama di negeri ini yang menempati jabatan menlu. Sementara itu penempatan Yohana Yembise dalam kabinet kerja setidaknya memiliki dua makna strategis bagi pemerintahan ini khususnya dan bagi masyarakat Indonesia umumnya, yakni sebagai representasi kalangan perempuan itu sendiri dan representasi kedaerahan. Yohana merupakan puteri terbaik tanah Papua yang berhasil meraih puncak akademis tertinggi sebagai guru besar. Karena itu, pengangkatannya sebagai menteri jelas memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap masyarakat Papua yang selama ini acap terpinggirkan dari derap pembangunan meskipun telah memberikan sumbangsih sumber daya alam yang tak terkira nilainya. Tampilnya seorang tokoh Papua di pemerintahan jelas akan mampu menggairahkan masyarakat Papua khususnya kalangan perempuan untuk juga meraih prestasi setinggi-tingginya. Yohana sendiri memberikan komentar pasca ditunjuk sebagai menteri: “...Saya sedih karena Papua yang menjadi bagian dari NKRI, hingga kini baru ada satu guru besar perempuan....Saya pikir kesempatan saya masukv ke sini (kabinet) dapat membuka pintu bagi orang-orang di Papua mengikuti jejak saya.” Dari pernyataan ini tersurat dengan jelas keinginan Yohana untuk memajukan kaum perempuan Indonesia khususnya di tanah kelahirannya. Meskipun posisi Yohana sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan posisi yang secara tradisional merupakan “jatah” kaum perempuan, tetapi kehadirannya memberikan nilai lebih. Sebagai orang yang bersentuhan dan merasakan langsung problem yang membelit kaum perempuan dan anak-anak seperti kemiskinan, keterbelakangan dan sebagainya, tentu ia akan jauh lebih menguasai permasalahan ini. Inilah yang membedakannya dengan menteri-menteri perempuan sebelumnya. Selain dua orang menteri perempuan tersebut, menteri-menteri yang lainnya cukup memberikan warna tersendiri bagi pemerintahan Jokowi-JK. Memang tidak semuanya dianggap orang yang cukup representatif bagi gerakan kaum perempuan. Sebut saja misalnya Puan yang hampir tidak pernah bersentuhan dengan masalah ini. Namun Hal ini tidak akan mengurang makna penting keterlibatan kaum perempuan di kabinet ini. Tentu saja kehadiran menteri-menteri perempuan tidak serta merta menjadi semacam “tiket gratis” bagi majunya politik perempuan di republik ini. Memang di satu sisi, pengangkatan menteri-menteri perempuan dapat dianggap sebagai bentuk affirmative action terhadap gerakan kaum perempuan. Tetapi pada sisi lain, masih harus ditunggu bagaimana kinerja mereka nanti, apakah dapat dianggap representatif ataukah tidak. Oleh karena itu, jika mereka mampu tampil secara profesional sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan tidak kalah dengan kaum laki-laki, maka apresiasi sangat tinggi akan layak diberikankepada mereka. Jika ini yang terjadi, tentu akan menjadi momentum kebangkitan keterlibatan perempuan di ruang publik. Dengan demikian, sebagai publik kita patut menunggu gebrakan dan terosoboan para menteri perempuan tersebut. Selamat bekerja! *Penulis, Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute

Jumat, 26 September 2014

Dramaturgi SBY dan RUU Pilkada

Palu sudah diketok. Sidang Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada yang berlangsung selama kurang lebih dua puluh empat jam itu selesai. Sorak sorai fraksi-fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Gerindra demikian membahana begitu opsi pilkada tidak langsung atau melalui DPRD muncul sebagai pemenang dengan voting. Sebanyak 226 suara mendukung pilkada tidak langsung dan hanya 135 suara yang mendukung pilkada langsung. Dramaturgi SBY Voting yang menghasilkan kemenangan opsi pilkada tidak langsung diwarnai oleh drama keluarnya (walk out) fraksi Demokrat dari sidang paripurna. Sebelumnya partai yang berlambang mercy tersebut mengajukan 10 syarat untuk penyelenggaraan pilkada secara langsung. Tetapi karena persyaratan tersebut tidak diterima, fraksi Demokrat akhirnya memilih untuk bersikap netral atau tidak ikut terlibat dalam voting. Satu hal yang menarik dicermati adalah sikap fraksi Demokrat yang seolah berbalik seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Seperti diketahui, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat kerap menyatakan dukungannya terhadap pilkada langsung di berbagai kesempatan. Ia tidak ragu untuk menegaskan bahwa pilkada langsung sebagai bentuk kedaulatan rakyat yang harus terus dijaga. Namun demikian, fakta yang terlihat secara gamblang di rapat paripurna ternyata tidak seperti itu. Apakah SBY tidak dapat mengendalikan anggota-anggotanya yang berada di fraksi Demokrat sehingga seolah-olah tidak mendengar sikapnya selama ini? Boleh jadi asumsi tersebut benar jika melihat bahwa di tubuh partai pemenang Pemilu 2009 itu terdapat faksi yang tidak selalu sejalan dengan SBY. Tetapi, hemat penulis, apa yang dilakukan fraksi Demokrat tersebut sebenarnya atas sepengetahuan SBY sendiri. Dengan kata lain, SBY memang merestui sikap fraksi Demokrat untuk walk out dari paripurna. Sulit dimungkiri bahwa hal itu merupakan skenario yang memang telah dirancang sejak awal. Di awal-awal Demokrat seolah-olah memberikan harapan pada PDIP sebagai motor pendukung pilkada langsung, tetapi kemudian berbalik menghantamnya di saat-saat akhir. Dari pengajuan 10 syarat oleh fraksi Demokrat sebenarnya dapat dibaca dengan jelas bahwa partai biru tersebut tengah memainkan peran dalam sebuah drama politik yang canggih. Pasalnya persyaratan tersebut jelas tidak mungkin diterima oleh forum paripurna karena konstelasinya berpihak pada koalisi KMP dan hal ini sebenarnya disadari sepenuhnya oleh Demokrat. Tentu Demokrat kemudian menjadikan penolakan paripurna atas persyaratan yang diajukannya itu sebagai alasan untuk walk out sehingga seolah-olah aksinya itu bukan karena menolak pilkada langsung. Dari perspektif dramaturgi Erving Goffman (1955), apa yang dilakukan SBY dan fraksi Demokrat tersebut dapat dijelaskan dengan tepat. Dukungan SBY dan juga fraksi Demokrat di awal terhadap pilkada langsung tampaknya merupakan permainan peran di panggung depan (fronts stage) belaka. Hal ini tentu saja dilakukan dalam rangka pengelolaan kesan (management of impression) mereka sehingga publik menilai seolah-olah mereka berpihak pada kedaulatan rakyat. Tetapi di panggung belakang (back stage) boleh jadi SBY dan fraksi Demokrat memainkan peran yang sama sekali berbeda dengan panggung depan. Panggung belakang yang tidak terlihat oleh publik memang sangat mungkin dijadikan tempat untuk melakukan hal tersebut. Ibarat aktor-aktor film yang memainkan peran-peran heroik di filmnya, setelah melepaskan peran itu dan kembali dalam kehidupan nyata, perilakunya kadang malah berseberangan. Bad Ending Story Bagi Demokrat dan terutama SBY, sikap politiknya tersebut mungkin saja akan menjadi akhir cerita yang buruk (bad ending story) bagi pemerintahannya. SBY yang merupakan produk pertama dari pemilihan langsung oleh rakyat justeru menjadi orang yang juga mengakhiri proses pemilihan yang mengedepankan kedaulatan rakyat tersebut. Jelas hal ini merupakan sesuatu yang sangat ironis apalagi jika melihat pernyataan-pernyataannya yang selama ini seolah mendukung kedaulatan rakyat. Alih-alih mendapatkan citra yang baik dari publik dengan sikap politiknya itu, SBY justeru tengah mendegradasikan citranya tersebut. Ia, misalnya, akan makin dipandang publik sebagai orang yang benar-benar tidak konsisten atau plin plan seperti yang dikerap disematkan orang kepadanya. Banyak kasus yang memperlihatkan keplinplanan sikapnya selama ini, dan ketidakkonsistenannya atas dukungan pilkada langsung kian menambah daftar panjang sikapnya itu. Entah disadari SBY atau tidak, sikap politiknya terhadap RUU Pilkada seperti disebutkan di atas boleh jadi akan menjadi sejarah yang akan dicatat oleh tinta buruk dalam politik Indonesia. Betapa tidak, reformasi yang telah melahirkan semangat kebebasan sipil dan memanifestasikan kedaulatan rakyat dalam berbagai bentuknya antara lain pilkada langsung, kini pelan-pelan mulai berakhir. Bukan tidak mungkin, dari pilkada langsung akan bergeser ke yang lainnya, sehingga satu demi satu kedaulatan rakyat akan terampas kembali seperti era sebelumnya. Padahal SBY sebenarnya bisa mengakhiri masa pemerintahannya selama dua periode itu dengan akhir cerita yang menyenangkan (happy ending story). Andai saja ia mau mengendalikan semua anggota fraksi Demokrat untuk tetap konsisten mendukung pilkada langsung, bukan sekadar pencitraan, tentu konstelasi politik juga berubah, karena suara partai penguasa itu saat ini bisa mengubah peta politik di DPR. Sangat mungkin opsi pilkada langsung akan menang dalam voting. Jika ini yang terjadi, bukan saja opsi yang mengusung kedaulatan rakyat tersebut akan menang di paripurna, melainkan juga akan mengangkat citra SBY dan Demokrat sendiri. Bagi SBY sebagai presiden, pastilah hal tersebut akan diapresiasi sangat tinggi oleh publik dan pada akhirnya masa pemerintahan SBY akan dicatat oleh tinta emas dalam sejarah politik Indonesia. Tetapi sayang, SBY tidak melakukan itu. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy renInstitute

Rabu, 10 September 2014

Aroma & Manuver Politik RUU Pilkada (Pikiran Rakyat, 8 September 2014)

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang sejak masa reformasi dilakukan secara langsung kini terancam nasibnya. Hal ini terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang sebentar lagi akan disahkan di DPR. Poin paling kontroversial dari RUU tersebut adalah usulan agar pilkada tidak diselenggarakan secara langsung, tetapi dikembalikan lagi ke DPRD seperti pada masa-masa sebelumnya. Sejumlah fraksi di DPR tampaknya memberikan dukungan penuh terhadap keinginan untuk mengembalikan pilkada pada DPRD, bahkan ada yang bersuara dengan cukup lantang. Hal ini, misalnya, terlihat dari sikap fraksi Gerindra dan Golkar seperti yang diungkapkan oleh sejumlah elitenya dalam beberapa kesempatan. Fraksi-fraksi lain pun, meski tidak sekencang kedua partai di atas, agaknya banyak yang mendukung pula. Dukungan sejumlah frkasi atas usulan pelaksanaan pilkada oleh DPRD sebenarnya sangat mengherankan bagi publik. Pasalnya selama ini hampir semua fraksi di DPR tidak pernah terdengar memberikan dukungan terhadap usulan itu. Meskipun ada masukan dari beberapa elemen masyarakat bahwa pilkada secara langsung kerap menimbulkan konflik, kerusuhan dan sebagainya, tetapi mereka tetap berpendapat pilkada secara langsung jauh lebih baik. Lalu mengapa sekarang fraksi-fraksi, terutama Gerindra dan Golkar tiba-tiba berbalik mendukung pengembalian pilkada de DPRD? Hal ini agaknya terkait dengan perolehan suara kedua partai ini di berbagai daerah yang cukup dominan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) kemarin. Tentu saja dengan kondisi tersebut, kedua partai yang berasal dari koalisi yang sama itu sama-sama diuntungkan. Dengan demikian, dukungan fraksi-fraksi di DPR lebih merupakan manuver politik belaka, terutama yang dimainkan oleh Gerindra dan Golkar. Jika RUU Pilkada ini kemudian disahkan, maka besar kemungkinan kepala-kepala daerah lebih banyak yang berasal keduanya, dan pada akhirnya akan menjadi kekuatan politik yang bisa diandalkan di kemudian hari. Selain itu, ada hal lain yang menarik dari rencana pengesahan RUU Pilkada di DPR, yakni keterbelahan fraksi-fraksi. Tampaknya pengaruh Pemilihan Presiden (Pilpres) yang belum lama selesai masih terlihat cukup jelas. Seperti diketahui, ada dua koalisi besar pada pilpres kemarin, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Koalisi Gotong Royong (KGR) yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kini dalam sikapnya terhadap RUU Pilkada keterbelahan fraksi-fraksi di DPR tampak dengan jelas. Fraksi-fraksi yang berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Gerindra, Golkar, PKS dan PPP memberikan dukungan atas RUU tersebut. Sebaliknya, fraksi-fraksi yang berasal dari Koalisi Gotong royong seperti PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura menyatakan penolakan atas RUU dan menghendaki agar pilkada dilaksanakan secara langsung. Menurut hemat penulis, sangatlah disayangkan jika sikap fraksi-fraksi tersebut terhadap RUU Pilkada lebih didasarkan pada sentimen koalisi ketimbang pada pertimbangan substansi. Hanya karena solidaritas antar sesama anggota koalisi lalu mereka menyuarakan hal yang sama, meski sebenarnya tidak setuju, tentu bukanlah sikap politik cerdas dalam konteks ini. Masalahnya adalah RUU Pilkada tersebut tidak mendapatkan dukungan publik secara luas. Diyakini bahwa publik akan tetap memberikan dukungan jika pilkada dilaksanakan secara langsung. Bagi publik justeru dalam pilkada langsunglah partisipasi politik mereka benar-benar dapat diterapkan. Jika pilkada dikembalikan ke DPRD mereka hanya akan menjadi penonton. Dengan demikian, hak politik mereka seolah-olah direnggut oleh anggota legislatif. Oleh karena itu, sikap fraksi-fraksi yang mendukung pilkada dikembalikan ke DPRD, apalagi hanya karena solidaritas koalisi justeru tidak akan menguntungkan secara politik di masa yang akan datang. Bukan tidak mungkin publik akan memandang partai-partai tersebut sebagai tidak reformis. Golkar, misalnya, yang memiliki slogan “suara Golkar suara rakyat” jelas akan dicibir publik karena sikapnya justeru bertentangan dengan slogannya itu. Dengan demikian, fraksi-fraksi yang mendukung pengembalian pilkada ke DPRD hanya berpikir dalam kerangka kepentingan praktis pragmatis saja, yakni memperkuat barisan kekuasaan di daerah. Sementara mereka mengabaikan satu hal, bahwa sikapnya itu justeru bisa menjadi semacam investasi politik yang buruk dalam jangka panjang bagi masa depan partainya. Publik tentu akan mencatat dalam ingatan mereka tentang sikap politik partai tersebut.

Oposisi Juga Seksi (Koran Sindo 27 Agustus 2014)

Kini pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang dilayangkan Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Upaya-upaya hukum yang ditempuh penggugat, dengan demikian, telah berakhir karena keputusan MK bersifat final dan mengikat. Terkait dengan masalah ini banyak pertanyaan yang muncul tentang bagaimana masa depan koalisi merah putih yang beranggotakan partai-partai politik pendukung pasangan nomor urut dua tersebut. Apakah mereka akan tetap berkoalisi setidaknya sampai lima tahun ke depan sehingga memilih berada di luar kekuasaan ataukah akan bubar di tengah jalan karena sebagian anggotanya tergiur untuk masuk ke dalam kekuasaan? Kekuasaan yang Menggoda Bukan tidak mungkin sebagian anggota koalisi merah putih akan berpindah haluan untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Seperti diwacanakan belakangan ini bahwa Demokrat dan PAN tengah didekati PDIP agar bergabung ke dalam gerbongnya. Meski Demokrat sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk bersikap netral, tetapi sejumlah elite partai ini banyak yang melakukan pendekatan dengan partai pemenang pemilu. Sementara para elite partai-partai anggota koalisi merah putih lainnya mulai melakukan manuver. Golkar, misalnya, bahkan telah cukup lama diramaikan dengan wacana penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada 2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Calon kuat ketua umum partai beringin yang muncul, Agung Laksono, tegas-tegas menyatakan akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Jika ini terjadi, Golkar jelas akan keluar dari koalisi merah putih. Hal yang sama juga kini tengah menimpa PPP. Adanya keinginan elite-elite partai politik pendukung koalisi untuk berubah haluan kian menahbiskan bahwa kekuasaan memiliki daya penggoda yang luar biasa. Ironisnya, di republik ini partai-partai politik dalam banyak hal kerap menggantungkan hidupnya pada ketiak kekuasaan. Karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan untuk berada di luar, mereka seoalah-olah merasa tidak akan mampu berbuat banyak. Hal ini diperparah dengan kecenderungan pragmatisme partai-partai politik tersebut di mana kursi atau kekuasaan merupakan segala-galanya dalam berpolitik. Politik semata-mata dimaknai seperti yang dikatakan Harold D. Lasswell sebagai siapa memeroleh apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how). Akibatnya, mereka lebih memilih untuk berada di dalam kekuasaan yang dianggapnya sebagai zona nyaman ketimbang mengambil resiko untuk berada di luar kekuasaan. Oposisi, Mengapa Tidak? Padahal sesungguhnya politik yang sehat memerlukan keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan tanpa penyeimbang akan mudah terjatuh pada otoritarianisme dan bentuk-bentuk kesewenangan lainnya. Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely), tampaknya sulit dibantah. Berbagai praktik kekuasaan tanpa kekuatan penyeimbang dengan mudah ditemukan di negara-negara otoriter, termasuk di negeri ini pada masa Orba. Kekuatan penyeimbang tdak dapat disangkal lagi merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Karena itu, partai-partai politik anggota koalisi merah putih, kalaupun tidak semuanya, seyogianya ada yang tetap memainkan peran penyeimbang atau oposisi untuk lima tahun ke depan. Mereka tidak perlu ragu-ragu untuk menyatakan dirinya sebagai partai oposisi bagi pemerintahan Jokowi-JK. Hemat penulis, oposisi sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi partai-partai politik .Jika peran oposisi yang dimainkannya berjalan secara benar besar kemungkinan oposisi akan menjadi investasi politik di masa-masa yang akan datang. Artinya, mereka akan dapat memanen dividen investasi politik itu pada waktunya nanti. Demikianlah kita, misalnya, menyaksikan silih bergantinya partai yang berkuasa di AS. Yang menjadi oposisi bisa menarik hati publik sehingga kemudian mampu berkuasa pada periode berikutnya. Oleh karena itu, publik sangat berharap anggota koalisi merah putih seperti Gerindra, PKS dan PBB, syukur-syukur juga anggota-anggota koalisi merah putih lainnya, untuk konsisten memainkan peran oposisi paling tidak selama tahun ke depan. Peran oposisi yang baik, menurut hemat penulis, harus diorientasikan pada hal-hal berikut. Pertama, oposisi seyogianya didasarkan pada niat untuk melakukan politik keseimbangan terhadap kekuasaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dalam kultur demokrasi kekuasaan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, melainkan harus ada yang mengimbanginya. Jangan sampai oposisi dipengaruhi oleh motif balas dendam atas kekalahan yang diderita partai-partai oposisi pada saat pemilu. Kalau motif ini yang mengemuka, bisa dipastikan peran oposisi yang dimainkannya tidak akan berjalan dengan baik. Kedua, peran oposisi harus dilakukan secara cerdas, jangan asal-asalan. Dengan kata lain, partai-partai oposisi harus bisa menempatkan dirinya kapan untuk bersikap kritis atas kebijakan pemerintah dan kapan saatnya memberikan dukungan. Asal kritis saja atau lebih parah asal berbeda dengan pemerintah, alih-alih akan mendatangkan simpati justeru akan menimbulkan antipati publik. Hal ini malah membahayakan bagi partai-partai itu sendiri. Ketiga, oposisi seyogianya dimaknai sebagai bentuk merawat tradisi politik yang baik di republik ini. Sebagaimana diketahui, budaya politik Indonesia hampir tidak mengenal tradisi oposisi apalagi selama kendali kekuasaan dipegang oleh rezim Orba. Jangankan oposisi, potensi-potensi perbedaan sikap dan pandangan dengan pemerintah saja ketika itu segera disapu bersih oleh penguasa bahkan dengan menggunakan kekerasan. Baru setelah memasuki reformasi oposisi mulai muncul, meski belum menjadi tradisi politik yang melembaga. Pada dua periode pemerintahan kemarin, misalnya, PDIP telah memainkan peran oposisi dengan cukup baik dan kini dapat menunai hasilnya. Maka, sangat tepat kalau Gerindra , PKS dan partai anggota koalisi merah putih lainnya juga ikut merawat tradisi politik yang baik ini dengan menempuh jalur oposisi. Di masa-masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita dapat menyaksikan silih bergantinya kekuasaan di Indonesia antara penguasa dan oposisi. Dengan demikian, oposisi tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap tabu di negeri ini, sebaliknya ia justeru merupakan isu seksi yang mesti dimanfaatkan partai-partai politik yang mengalami kekalahan dalam pemilu. Maka, sekali lagi, tidak perlu ragu untuk menempuh jalur oposisi.

Menolak Rangkap Jabatan (Pikiran Rakyat 12 Agustus 2014)

Keinginan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar menteri-menteri yang berasal dari kalangan partai politik (parpol) untuk melepaskan jabatannya di parpol patut diapresiasi. Hal itu semata-mata agar para menteri tersebut dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada tugas-tugas kementerian tanpa terbebani oleh kepentingan-kepentingan parpol. Publik jelas memandang keinginan Jokowi tersebut sebagai sebuah langkah maju, pasalnya hal itu, meski kerap diangkat ke publik, tetapi hanya berhenti menjadi wacana tanpa pernah diwujudkan dalam kenyataan. Sementara parpol-parpol pendukung Jokowi di pilpres kemarin tidak seragam menyikapinya. Nasdem dan Hanura secara tegas mendukung, tetapi PKB menolak. Meskipun kemungkinan besar keinginan Jokowi tersebut tidak mudah dilaksanakan karena masih ada ketidaksepakatan di kalangan parpol pendukungnya, tetapi tampaknya Jokowi akan didukung sepenuhnya oleh publik. Ini artinya, kalau PKB tetap keukeuh dengan sikapnya, bukan tidak mungkin parpol ini akan mendapatkan perlawanan publik. Tentu saja hal tersebut tidak akan menguntungkan secara politik bagi parpol pimpinan Muhaimin Iskadar itu. Bahaya Rangkap Jabatan Mengapa gagasan seorang menteri agar melepaskan jabatannya di parpol mesti didukung sepenuhnya? Pada kenyataannya, perangkapan jabatan di kementerian dan parpol dalam praktik pemerintahan Indonesia selama ini justeru lebih banyak menimbulkan sisi yang negatif. Setidaknya, ada tiga sisi negatif dari perangkapan jabatan tersebut. Pertama, kencenderungan untuk penyalahgunaan jabatan (abuse of power) jika seorang menteri merangkap jabatan dengan di parpol. Kenyataan yang terjadi dalam politik Indonesia memperlihatkan dengan jelas betapa kasus-kasus penyalahgunaan jabatan seperti korupsi, misalnya, selalu berkaitan atau malah bersumber pada parpol. Dengan kata lain, parpollah yang justeru menjadi muara korupsi tersebut. Dalam situasi yang sedemikian rupa menteri-menteri yang berasal dari parpol alih-alih membentengi kementeriannya dari kencenderungan korupsi justeru malah menjadi pelakunya. Dalam konteks ini, seringkali seorang menteri menggunakan berbagai fasilitas negara padahal tujuannya bukan untuk kepentingan negara, melainkan parpolnya. Hal ini bisa dilakukan dengan dalih kunjungan kerja, pemberian bantuan sosial dan sejenisnya. Maka, konflik kepentingan (conflict of interest) tidak dapat dihindari lagi. Kedua, bukan rahasia lagi bahwa kementerian-kementerian yang dipimpin oleh menteri yang berasal dari parpol kerap menjadi “sapi perahan” atau “Anjungan Tunai Mandiri/ATM” bagi parpol terkait. Tidak heran kalau sebuah pos kementerian dipimpin kader Partai A, maka kebijakan-kebijakannya akan selalu menguntungkan partai tersebut. Berbagai cara atau strategi pun dilakukan sang menteri agar aliran dana ke kas partainya terus berlangsung. Kasus korupsi yang melibatkan dua parpol pendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediona, yakni Demokrat dan PKS secara gamblang menunjukkan kecenderungan tersebut. Yang pertama terkait dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang dipimpin kader Demokrat, sedangkan yang kedua terkait dengan Kementerian Pertanian (Kementan) yang dipimpin kader PKS. Ketiga, seyogianya saat seseorang ditunjuk menjadi menteri, ia tidak lagi mereprsentasikan lembaga atau organisasi dari mana ia berasal. Sepenuhnya ia sudah menjadi abdi negara yang bekerja hanya untuk kepentingan negara, bukan dirinya atau kelompoknya. Karena itu, ia dituntut untuk dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada pekerjaannya sebagai menteri. Konsekwensinya, ia harus melepaskan atribut kepartaiannya. Sementara kalau masih merangkap jabatan di partai, tentu menteri akan terpecah konsentrasinya sehingga pekerjaannya tidak biaa optimal. Bagaimanapun, ia masih harus memikikirkan pula kepentingan partainya. Apalagi kalau sudah mendekati waktu pemilu berikutnya, menteri akan selalu disibukkan dengan urusan-urusan partainya seperti sosialisasi, kampanye dan lain-lain sehingga kerap mengabaikan pekerjaannya sebagai menteri. Dari beberapa kecenderungan sisi negatif di atas, sudah saatnya praktik rangkap jabatan menteri dalam politik Indonesia ditinggalkan. Kita sangat berharap jika pos-pos kementerian dibentengi atau dibebaskan dari atribut-atribut parpol, potensi penyalahgunaan kekuasaan seperi korupsi dapat diminimalisasi atau bahkan diberantas sama sekali. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak mendukung keinginan Jokowi agar para menteri yang berasal dari parpol bersedia melepaskan jabatan di parpolnya. Kita pun sebagai publik, apapun preferensi politik kita pada saat pilpres kemarin, sangat berharap kabinet yang akan dipimpin duet Jokowi-Jusuf Kalla (JK) nanti benar-benar merepresentasikan kabinet profesional atau yang sering disebut dengan zaken cabinet.

Sabtu, 09 Agustus 2014

ISIS dan Romantisme Khilafah (Suara Pembaruan Sabtu, 9 Agustus 2014)

ISIS dan Romantisme Khilafah Iding R. Hasan* Fenomena gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) ternyata kian mengkhawatirkan. Dukungan terhadap kelompok ekstremis ini tampaknya cenderung meluas di kalangan masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Bahkan sekarang mereka sudah berani secara terang-terangan mendeklarasikannya di negeri ini, dan mengklaim sebagai bagian dari gerakan yang lahir dari Timur Tengah tersebut. Mereka juga agaknya aktif merekrut pengikut-pengikut baru terutama kalangan anak-anak muda. Salah satu daya tarik ISIS di kalangan masyarakat Islam Indonesia adalah tujuannya untuk mendirikan khilafah Islamiyah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentu saja banyak orang Islam Indonesia yang merasa terwakili oleh yang ditawarkan ISIS tersebut sehingga kemudian mereka memberikan dukungan sepenuhnya. Tidak heran kalau para pengikutnya di sini setiap hari semakin bertambah. Karena itu, jika tidak segera dibandung, ia akan terus berkembang. Romantisme Sejarah Khilafah Islamiyah di kalangan umat Islam memang dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting untuk kepentingan Islam. Tetapi persoalannya adalah apakah keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah di negeri Indonesia merupakan langkah yang tepat? Apakah semata-mata karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dapat dijadikan argumentasi yang kuat untuk mendukung keinginan tersebut? Kalau dilihat dari tipologi gerakan-gerakan radikal Islam yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah, pada umumnya tampak memiliki pola yang sama. Mereka, meminjam istilah Ernest Bormann, pencetus teori konvergensi simbolik, memiliki dan berbagi tema-tema fantasi (fantacy themes) yang sama, bahwa khilafah merupakan pemerintahan paling ideal yang telah ditetapkan Allah Swt; dan bahwa keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran hanya dapat direalisasikan di bawah pemerintahan khilafah tersebut. Dalam pandangan mereka, berbagai praktik penyelewengan umat manusia selama ini seperti ketidakadilan, kesenjangan antara kaya dan miskin, diskriminasi dan sebagainya merupakan akibat dari pemerintahan sekarang yang tidak mau tunduk pada aturan Tuhan atau sesuai bahasa mereka, tidak mau menerapkan khilafah. Itulah yang mereka sebuat sebagai pemerintahan thaghut, yakni pemerintahan kaum kafir yang kejam, despotik atau sewenang-wenang pada rakyatnya. Sayangnya, mereka agaknya tidak memahami bahwa segala urusan duniawi, termasuk masalah pemerintahan (khilafah) bersifat kontekstual. Artinya, ia boleh jadi merupakan pilihan tepat, tetapi hanya berlaku untuk ukuran saat itu. Sedangkan di saat yang lain belum tentu tepat jika diterapkan. Tidak bisa orang kemudian menggeneralisasi sedemikian rupa bahwa sebuah sistem akan berlaku untuk setiap waktu dan tempat. Khilafah pada masa Nabi dan khalifah-khalifahnya memang sangat layak diterapkan. Ketika itu Islam tengah menguasai dunia bahkan sampai tembus ke belahan Eropa seperti Spanyol, Italia dan sebagainya. Selain itu, pemerintahan pusat di Madinah juga secara tegas menyebutkan dirinya sebagai negara Islam. Karena itu, tidak akan ada pihak yang berani menghalangi pembentukan khilafah. Situasi di Indonesia tentu saja sangat berbeda. Benar bahwa mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi dasar negaranya adalah Pancasila dengan prinsip bhineka tunggal ika. Oleh karena itu, tidak boleh bagi pengikut sebuah agama, sekalipun jumlahnya mayoritas, menuntut untuk menerapkan sistem (pemerintahan) yang sesuai dengan agamanya saja. Sebaliknya, mereka mesti mau bertoleransi terhadap pengikut agama-agama lain, karena hanya dengan toleransilah ikatan kemajemukan sebuah bangsa akan kuat dan kokoh. Dengan demikian, jika ada kelompok yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia, termasuk oleh ISIS, apalagi dengan menghalkan penggunaan kekerasan, jelas hal itu merupakan tindakan a-historis dan mencermin ketidakpahamannya akan konteks masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Sama sekali tidak ada argumentasi yang kuat, dari sudut pandang manapun, untuk melakukan hal tersebut. Atau dengan kata lain mereka sebenarnya hanyalah sedang berasyik ma’syuk dengan romantisme sejarah kegemilangan Islam di masa lalu seraya menutup mata akan realitas umat Islam kekinian di Indonesia. Dekonstruksi Gerakan ISIS dan gerakan-gerakan radikal Islam lainnya umumnya memiliki doktrin serupa yang mendorong, untuk tidak mengatakan memaksa, mereka berani melakukan tindakan-tindakan yang tidak toleran, penuh kekerasan dan sebagainya. Di antara doktrin-doktrin yang kerap kita dengar adalah takfiri (mengkafirkan pihak yang berlainan agama atau yang dianggap musuhnya) dan jihad fi sabilillah (berjuang dengan mengkat senjata di jalan Allah). Konstruksi pemahaman mereka atas dua doktrin di atas sebenarnya keliru dari sudut Islam yang diajarkan oleh Nabi sendiri. Karena itu, perlu ada upaya dekonstruksi terhadap doktrin tersebut. Tetapi setelahnya harus pula disertai dengan rekonstruksi sehingga bisa meluruskan kekeliruan itu. Doktrin takfiri, misalnya, tidak lagi relevan untuk saat ini apalagi di Indonesia. Dikotomi "muslim" dan "kafir" menjadi ambigu jika dikaitkan dengan masyarakat kita sekarang ini. Siapakah di antara mereka yang benar-benar dapat digolongkan ke dalam kelompok kafir dzimmi dan harbi, tentu sulit sekali dibedakan. Kata kafir sendiri sebenarnya memiliki makna yang tidak tungggal. Kafir tidak semata-mata diartikan sebagai non muslim. Dalam konteks ini, interpretasi yang dilakukan ulama NU bahwa kafir bisa diterapkan untuk koruptor sangat menarik dan lebih relevan untuk sekarang. Dilihat dari arti harfiah kafir sebagai orang yang inkar, interpretasi tersebut sangat tepat. Tentu saja akan ada dukungan besar jika ISIS melancarkan serangan takfirinya pada para koruptor. Mengenai doktrin jihad, kaum radikal juga sudah sangat keliru dalam penerapannya. Berjuang mengangkat senjata, yang kerap didengungkan mereka, bahkan oleh Nabi sendiri dianggap sebagai "jihad kecil." Jihad yang benar adalah bersungguh-sungguh dan berusaha keras dalam suatu hal seperti dalam menuntut ilmu, mencari rizki dan sebainya. Mati dalam usaha tersebut justeru dianggap mati syahid dan dijanjikan surga oleh Tuhan. Dengan demikian, rekonstruksi atas pemahaman kaum radikal yang keliru tersebut harus terus dilakukan sehingga penyebaran ISIS sedikit banyak dapat ditangkal. Dalam konteks ini, para ulama sebagai pemuka pendapat (opinion leader) diharapkan dapat memainkan perannya dengan menyebarkan pemahaman tersebut ke tengah-tengah masyarakat, khususnya kalangan anak muda sehingga tidak mudah terbujuk rayuan ISIS. Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Kamis, 10 Juli 2014

Kemenangan Rakyat (Suara Pembaruan 10 Juli 2014

Kemenangan Rakyat Iding R. Hasan* Pesta telah usai. Sebagian besar rakyat Indonesia sejak pagi berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan pilihannya masing-masing. Tampaknya ada kegembiraan sekaligus kegairahan yang besar dari mereka untuk ikut menentukan siapa pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan memimpin Indonesia untuk periode 2014-2019. Hasil pemilihan presiden (pilpres) pun sudah dapat diketahui. Penghitungan sebagian besar lembaga survei (quick count) menempatkan pasangan Jokowi Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai pemenang. Hanya sebagian kecil lembaga survei yang menyatakan Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasalah yang menang. Namun, kalau melihat pada rekam jejak lembaga-lembaga survei tersebut, sulit dimungkiri bahwa pasangan nomor urut dualah yang akan menjadi pemenang Pilpres 2014 meski kepastiannya masih harus menunggu hasil hitung manual oleh KPU Setiap hajatan pemilahan umum, baik yang berskala lokal maupun nasional, selalu menyisakan residu kekalahan yang berbentuk rasa ketidakpuasan dari pihak yang mengalami kekalahan tersebut. Apalagi kalau pemilihan tersebut hanya melibatkan dua kontestan seperti Pilpres 2014 yang baru usai ini, yakni Pasangan Prabowo-Hatta dan Pasangan Jokowi-JK. Potensi terjadinya perpecahan atau konflik antar kedua belah pihak tersebut jelas cukup besar. Satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa fenomena dukung mendukung pada kedua pasangan tersebut sungguh luar biasa. Bahkan dalam derajat tertentu, dukungan tersebut kerap tersajikan dengan fanatisme yang berlebih sehingga cenderung menghalalkan segala cara demi mendukung pasangan pujaannya. Maka, tidak heran, berbagai kampanye hitam (black campaign), fitnah dan sebagainya saling dilancarkan oleh masing-masing kubu. Tentu saja jika fenomena dukung mendukung yang tidak sehat tersebut dibiarkan terus berlanjut sampai pasca pilpres, terutama di kalangan pihak yang kalah, maka potensi konflik horizontal bisa saja terjadi. Hal seperti ini tidak sedikit terjadi dalam beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah daerah di Indonesia. Setidaknya, hubungan antar kedua pendukung pasangan tersebut akan tetap memanas. Menurut hemat penulis, untuk mengurangi potensi konflik pasca pilpres, setidaknya ada dua hal kunci yang mesti dilakukan. Pertama, pihak yang kalah harus segera mengucapkan selamat minimal untuk sementara pada pihak yang menang sebagai konsekwensi dari deklarasi semua pasangan “siap menang dan siap kalah.” Ini merupakan budaya politik yang sangat baik dalam konteks demokrasi yang semestinya ditradisikan dalam politik Indonesia. Kalau para elite politik di negeri ini berkomitmen untuk merawat tradisi politik yang baik ini, besar kemungkinan rakyat pun akan mengikutinya. Berbagai konflik pasca pilkada selama ini justeru dipengaruhi oleh sikap para elitenya yang membiarkan pendukungnya melakukan anarkisme karena merasa tidak puas dengan hasilnya. Jika pasangan Prabowo-Hatta melakukan hal tersebut, malah akan berdampak bagus bukan saja bagi konteks politik Indonesia, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Secara konteks politik, pasangan ini akan dianggap ikut melembagakan budaya politik yang baik ini dan secara pribadi akan dipandang orang-orang yang berjiwa besar yang tentu saja akan mendapatkan respek dari semua kalangan. Mengucapkan selamat pada pemenang bukan berarti pihak yang kalah mengabaikan masalah hukum. Tentu saja jika ada dugaan terjadi kecurangan dalam pilpres, harus ditindaklanjuti melalui proses hukum. Maka, sembari mengucapkan selamat pada pemenang tetapi juga mengatakan bahwa proses hukum harus ditunggu. Itulah yang pernah dilakukan Al-Gore pada saat dikalahkan oleh Geroge W. Bush pada Pilpres AS karena selisih antar keduanya begitu tipis. Kecenderungan seperti ini dalam Pilpres 2014 sangat besar karena, seperti diprediksi sebelumnya oleh berbagai lembaga survei, selisih perolehan suara antar kedua pasangan sangat tipis. Jelas akan sangat mudah bagi pasangan yang kalah untuk melontarkan tuduhan adanya kecurangan. Maka, apa yang dilakukan Al-Gore bisa dijadikan rujukan oleh pasangan tersebut. Namun sayangnya, tidak ada ucapan selamat dari Pasangan Prabowo-Hatta pada Pasangan Jokowi-JK dalam pernyataan Prabowo pasca pemilihan. Bahkan sebaliknya ia mengklaim sebagai pemenang dengan mengacu pada hasil hitung cepat beberapa lembaga survei yang dipegangnya. Tentu saja ini menjadi preseden yang kurang baik bagi demokrasi di negeri ini. Kedua, bagi pihak yang menang, tidak perlu ada eforia yang berlebihan. Cukup bersyukur dan berterima kasih pada seluruh rakyat Indonesia karena merekalah yang menjadikan mereka pemenang. Dan yang terpenting adalah segeralah merangkul pasangan yang kalah. Akan sangat indah jika pasangan yang menang mendatangi kediaman pasangan yang kalah sehingga silaturahim politik antar keduanya tetap terjalin. Tentu ini akan menjadi teladan yang akan diteladani oleh para pendukungnya di kalangan bawah. Pemilu untuk Bangsa Satu hal yang perlu ditegaskan bahwa pilpres yang baru saja diselenggarakan ini adalah pemilu untuk segenap bangsa dan rakyat Indonesia. Pilpres diselenggarakan semata-mata untuk mendapatkan sosok pemimpin Indonesia yang dapat menjadikan negeri ini lebih baik dari berbagai aspeknya di masa depan. Dan pemimpin itu adalah pemimpin untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk golongan tertentu saja. Oleh karena itu, semua pihak harus menyadari bahwa ketika pemilu telah digelar, maka selesai pula semua urusan pemilihan tersebut, terutama yang terkait dengan dukung mendukung pada pasangan tertentu. Saatnya semua rakyat Indonesia untuk memberikan dukungan sepenuhnya kepada pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih secara sah. Jika kemarin mati-matian mendukung pasangan tertentu bahkan sampai harus melupakan hubungan pertemanan dan keluarga, sejak 9 Juli ini semua itu harus ditinggalkan. Perbedaan pandangan hanya boleh terjadi pada saat sebelum dan sampai waktu pemilihan. Namun setelah itu, tidak ada lagi alasan untuk berbeda atau tidak mendukungan pasangan yang menang. Karena kemenangan yang sesungguhnya dalam pilpres ini adalah kemenangan rakyat. Inilah sebenarnya kesejatian demokrasi. Bahwa demokrasi itu bagi semua orang. Dan semua orang di negeri in, tak peduli siapa pasangan yang didukung sebelumnya, harus merasakan kegembiraan dengan pesta demokrasi ini. *Penulis, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Jumat, 23 Mei 2014

Adua Kuat Dua Poros (Suara Pembaruan, Jum'at 23 Mei 2014)

Setelah proses dan dinamika politik yang hiruk pikuk terkait dengan koalisi antar partai politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 akhirnya publik Indonesia memiliki hanya dua poros pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua poros pasangan tersebut adalah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pasangan Jokowi-JK diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sedangkan Pasangan Prabowo-Hatta diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Belakangan Pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan dukungan baru dari Partai Golkar di menit-menit akhir. Sebelumnya Ketum Golkar, Aburizal Bakrie (ARB), yang diberikan mandat sepenuhnya oleh Rapimnas untuk menentukan langkah pencapresannya atau arah koalisi partai gagal mencapai titik temu dengan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri, meskipun sudah melakukan pertemuan beberapa kali. Pada akhirnya ARB menjatuhkan pilihannya pada Pasangan Prabowo-Hatta. Dengan hanya ada dua pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2014 tentu persaingan antar kedua kubu akan lebih sengit karena keduanya dipastikan berhadapan secara head to head. Bagaimana peta kekuatan dari masing-masing pasangan tersebut, inilah barangkali yang akan menjadi fokus utama tulisan ini. Dari sisi mesin politik partai, di atas kertas Pasangan Prabowo-Hatta lebih unggul dari Pasangan Jokowi-JK. Secara sederhana jika dikalkulasikan, suara partai-partai politik pengusung Pasangan Prabowo-Hatta totalnya mencapai kurang lebih 48,93 persen. Sedangkan suara partai pengusung Pasangan Jokowi-JK hanya berjumlah sekitar 39,97 persen. Belum lagi kalau dilihat dari kemampuan mesin politik partai dalam menggalang dan menggerakkan kekuatan kader dan simpatisan. Pasangan Prabowo-Hatta diuntungkan oleh kemampuan mesin politik Golkar yang diakui masih lebih unggul dari semua partai di Indonesia. Ditambah lagi dengan kemampuan mesin politik PKS yang juga dianggap berhasil dalam menggerakkan kader dan simpatisannya. Namun mesin politik bukanlah faktor utama dalam setiap hajatan pemilu. Khusus dalam konteks pemilu di Indonesia justeru faktor figur menjadi kekuatan kunci untuk meraih simpati dari publik. Banyak contoh kasus dalam pemilu atau pilkada di negeri ini di mana yang muncul sebagai pemenang adalah orang yang mengandalkan pada kekuatan figurnya meskipun tidak didukung banyak partai. Dalam konteks rivalitas head to head antara Prabowo dan Jokowi dari sisi kekuatan figur terdapat beberapa dimensi yang berbeda. Ada survei menarik yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada April kemarin. Pada dimensi sisi ketegasan dan wibawa, sosok Prabowo ternyata lebih unggul dengan 51 dan 52 persen sementara Jokowi hanya memeroleh 29 dan 37 persen. Namun pada dimensi kejujuran/bisa dipercaya/amanah dan perhatian pada rakyat Jokowi mendapatkan suara yang lebih banyak dengan 44 dan 55 persen sedangkan Prabowo hanya 30 dan 23 persen. Dalam situasi seperti ini, kehadiran cawapres sejatinya bisa menjadi penutup kelemahan dari setiap capres. Sayangnya Hatta Rajasa sebagai cawapres Prabowo kurang bisa menutupi kelemahan Prabowo pada dimensi kejujuran dan kesederhanaan yang dikalahkan Jokowi. Sementara JK kemungkinan besar bisa menutupi kelemahan Jokowi pada dimensi ketegasan yang dikalahkan Prabowo, sebab JK juga dikenal sebagai orang yang tegas dan berani mengambil keputusan meski dengan resiko (taking risk). Dari sisi elektabilitas, meskipun tren suara dukungan Prabowo mengalami peningkatan sedangkan Jokowi sebaliknya mengalami penurunan, tetapi elektabilitas Jokowi tetap berada di atas Prabowo. Menurut survei yang dilakukan CSIS pada Maret lalu jika diadu secara head to head Jokowi unggul dengan 54,3 persen dari Prabowo yang memeroleh dukungan 28,3 persen. Pada sisi ini kehadiran JK lagi-lagi akan menguntungkan Jokowi. Dari aspek elektabilitas JK jelas jauh lebih tinggi dari Hatta. Dari sisi representasi daerah, memang Prabowo dan Jokowi yang sama-sama mewakili suku Jawa diuntungkan oleh kehadiran cawapresnya yang juga berasal dari non-Jawa. Hanya saja JK lebih unggul dari Hatta karena dianggap lebih merepresentasikan daerah Indonesia bagian timur. Sementara Hatta yang berasal dari Palembang tidak dianggap merepresentasikan Indonesia bagian Barat. Gaya Komunikasi Politik Aspek lain yang juga dapat memberikan pengaruh pada keterpilihan capres adalah gaya komunikasi politik. Jika dianalisis secara head to head dalam hal gaya komunikasi politik terdapat perbedaan yang berbeda secara diametral antara Prabowo dan Jokowi seperti yang kerap terlihat dari penyampaian pesan-pesan politik keduanya di ruang-ruang publik. Prabowo lebih mengandalkan retorika politik yang lugas, formal dan cenderung menjaga jarak dengan khalayak. Hal seperti ini bukan hanya terlihat dalam komunikasi verbal, tetapi juga dalam komunikasi non-verbal. Prabowo, misalnya, kerap memakai pakaian safari ala pejabat atau terkadang berbau militer. Ia juga berkali-kali tampil dengan menunggang kuda di depan publik yang kian menambah keberjarakannya dengan khalayak. Sementara gaya komunikasi politik Jokowi lebih bersifat cair, non-formal dan cenderung tidak menjaga jarak dengan khalayak. Hal ini juga terlihat bukan saja dalam komunikasi verbal, melainkan juga dalam komunikasi non-verbal. Dalam aktivtas “blusukan” yang sudah menjadi trademarknya, Jokowi kerap memakaian stelan kemeja putih dan celana hitam yang notabene merupakan pakaian kebanyakan rakyat Indonesia sehingga membuatnya lebih mudah membaur dengan rakyat. Pada sisi lain, gaya komunikasi politik verbal Prabowo cenderung lebih agresif. Hal tersebut. misalnya, terlihat dalam serangan-serangan dan sindiran-sindiran yang sering dilancarkan Prabowo terhadap orang atau kalangan tertentu seperti yang terlihat dalam kasus Batu Tulis. Demikian pula setiap kali disinggung masalah keterlibatannya dalam kasus HAM di masa lalu, Prabowo cenderung memberikan reaksi yang keras. Pada saat yang sama gaya komunikasi politik verbal Jokowi cenderung lebih defensif. Hampir tidak pernah publik mendengar Jokowi melakukan serangan atau sindiran verbal terhadap tokoh atau kalangan lain. Sebaliknya, setiap kali mendapatkan serangan bahkan serangan yang mengandung fitnah sekalipun, reaksi Jokowi cenderung lebih tenang. Ungkapannya yang kini sangat terkenal “aku rapopo” agaknya dapat menggambarkan kecenderungan tersebut. Dari perbandingan beberapa aspek yang tersebut di atas, hemat penulis Pasangan Jokowi-JK memiliki kans yang lebih besar daripada Pasangan Prabowo-Hatta untuk memenangi Pilpres 2014. Pemilihan JK sebagai cawapres menjadi nilai lebih yang mampu menutupi kelemahan Jokowi selama ini, di mana hal tersebut tidak terhadi pada pasangan rivalnya. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Voila Strategique dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy renInstitute

Selasa, 15 April 2014

Menggagas Koalisi Sederhana (Pikiran Rakyat, 16/04/14)

Menggagas Koalisi Sederhana Iding R. Hasan* Setelah Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 usai digelar kini fokus perhatian partai-partai politik (parpol) bergeser ke penjajakan koalisi antar satu dengan lainnya. Tidak adanya parpol yang dominan atau memenuhi syarat pengusulan pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) secara sendiri membuat koalisi menjadi pilihan mutlak. Berbagai kalkulasi politik coba dibuat oleh sejumlah kalangan terkait koalisi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang pemilu, meski masih menunggu keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU, membuat koalisi besar. Argumentasinya bukan hanya sekadar mempermudah jalan capresnya, yaitu Joko Widodo (Jokowi) menuju kursi Presiden RI, tetapi juga supaya bisa menguasai parlemen secara dominan. Sebagian lain berpandangan bahwa PDIP tidak perlu membuat koalisi besar. Dengan raihan suara yang hampir menyentuh level 20 persen versi hitung cepat (quick count) sebenarnya partai kepala banteng tersebut tidak perlu repot-repot membuat koalisi besar. Cukup dengan mengajak satu atau dua parpol langkah PDIP tidak akan mengalami kesulitan. Pertimbangan Ideologis Koalisi antar parpol dalam sebuah sistem politik biasanya didasarkan pada tiga pertimbangan: ideologis, strategis dan taktis. Namun dalam praktiknya, terutama dalam politik Indonesia, kecenderungan koalisi lebih banyak didasarkan pada pertimbangan strategis dan taktis. Pertimbangan ideologis justeru kerapkali terabaikan kalau tidak dibuang sama sekali. Kecenderungan tersebut tampaknya tidak lepas dari orientasi pragmatis dari hampir setiap parpol di Indonesia. Bahwa politik semata-mata dipahami sebagai, meminjam ungkapan Harold D. Lasswell siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how). Masuk ke dalam dunia politik tanpa mendapatkan kekuasaan dianggap sia-sia belaka. Akibatnya, bagi-bagi kekuasaan menjadi tujuan utama dari koalisi seperti itu. Itulah fenomena koalisi antar parpol di Indonesia. Contoh paling nyata adalah koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) di parlemen. Tidak ada pertimbangan ideologis di sana, kecuali pertimbangan strategis dan taktis sebagai cerminan dari pragmatisme politik. Kekuasaan Demokrat sebagai pemimpin koalisi berlangsung aman dan parpol-parpol anggotanya mendapatkan kue kekuasaan. Sayangnya koalisi tambun yang hanya didasarkan pada orientasi pragmatisme politik memang sangat rapuh sehingga mudah sekali terjadi perpecahan. Demikianlah dalam perjalanannya kerap terjadi saling serang antar parpol anggota Setgab. Jelas hal tersebut tidak kondusif bagi jalannya pemerintahan SBY-Boediona seperti yang sering kita saksikan. Koalisi Sederhana Menurut hemat penulis, lebih baik bagi PDIP untuk membuat koalisi sederhana dengan hanya menggandeng dua parpol saja. Pertimbangan ideologis mesti menjadi dasar utama pembentukan koalisi tersebut, baru setelah itu pertimbangan strategis dan taktis. Kedua pertimbangan ini juga penting terkait dengan mekanisme dan berjalannya koalisi nanti. Di antara parpol-parpol yang tepat digandeng PDIP adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Keduanya memiliki basis ideologis yang sama dengan PDIP yaitu nasionalis. PKB meskipun sering diklaim sebagai partai Islam atau berbasis massa Islam karena identik dengan NU tetapi sebenarnya merupakan partai nasionalis. Selain itu, secara historis PKB dan warga nahdliyin secara umum relatif lebih dekat dengan PDIP, berbeda dengan PPP, PAN, PKS dan PBB. PKB juga termasuk anggota koalisi yang paling patuh dibandingkan dengan anggota lainnya seperti yang terlihat di Setgab kemarin. Sementara Nasdem jelas berada di sayap yang sama dengan PDIP selain juga kedekatan elite antar keduanya relatif baik, yakni antara Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh. Meskipun partai pendatang baru tetapi suara Nasdem cukup bagus yakni di kisaran 6 persen.bahkan mampu mengalahkan partai lama Hanura yang hanya berada di kisaran 5 persen. Dari perspektif di atas agaknya cukup tepat kalau PDIP menggandeng PKB dan Nasdem untuk koalisi untuk menyongsong pemerintahan Indonesia ke depan. Meskipun jumlah suara ketiganya tidak menjadi mayoritas mutlak, yakni sekira 35 persen, tetapi peluangnya untuk menang pada Pilpres Juli 2014 cukup besar. Apalagi karakteristik pilpres berbeda dengan pileg. Pada pilpres kekuatan figur jauh lebih dominan. Boleh jadi efek Jokowi yang banyak dipertanyakan pada pileg kemarin justeru pada pilpres akan lebih terasa. Logikanya banyak pemilih yang suka pada figur (Jokowi) tetapi tidak suka pada partainya (PDIP. Dengan demikian, koalisi sederhana sudah cukup mampu mengamankan PDIP untuk menjadi partai penguasa setidaknya untuk periode 2014-2019. PDIP akan fokus mengelola negara karena koalisi sederhana relatif lebih solid dan tidak rentan dengan konflik internal. *Penulis, Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Jumat, 11 April 2014

Peluang Poros Islam (Republika, 12 April 2014)

Peluang Poros Islam Iding R. Hasan* Ada satu kenyataan yang menarik dari gelaran Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 yang baru saja selesai, yakni naiknya perolehan suara partai-partai politik (parpol) Islam. Hal ini menurut hasil sementara baik berdasarkan hitung cepat (quick count) maupun exit poll dari sejumlah lembaga survei. Menurut exit poll dari Indonesia Research Center, misalnya, diketahui bahwa di antara parpol-parpol Islam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh suara tertinggi, yakni 9,50 persen. Disusul kemudian oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 7,11 persen; Partai Amanat Nasional (PAN) 7,07 persen; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 6,81 persen dan Partai Bulan Bintang (PBB) 1,61 persen. Perolehan suara parpol-parpol Islam tersebut ternyata berbeda dengan prediksi hasil jajak pendapat dari beberapa lembaga survei yang dilakukan sebelum pileg. Umumnya hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa parpol-parpol Islam akan jeblok pada Pileg 2014. Menrut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2013, perolehan suara parpol Islam semuanya berada di bawah angka 5 persen PKB (4,5 persen), PPP (4 persen), PAN (4 persen dan PKS (3,7 persen). Terlepas dari apakah naiknya perolehan suara parpol-parpol Islam tersebut akibat mendapatkan limpahan suara dari Partai Demokrat yang pada pemilu kali ini mengalami kemerosotan tajam atau karena faktor-faktor lainnya, satu hal yang pasti bahwa kini parpol-parpol Islam seolah-olah mendapatkan energi baru dengan kenaikan perolehan suara tersebut. Poros Islam Jilid Dua Mungkinkah peningkatan suara parpol-parpol Islam di Pileg 2014 akan membuka kembali peluang munculnya poros Islam? Beberapa waktu lalu sempat mengemuka usulan tersebut yang dilemparkan oleh PKS, tetapi ternyata tidak mendapatkan respons tinggi dari parpol-parpol Islam lainnya. Namun dengan kenyataan yang ada sekarang bukan tidak mungkin parpol-parpol Islam tersebut bersedia membuka pintu kembali bagi gagasan poros Islam jilid dua. Peluang tersebut memiliki potensi cukup besar kalau dilihat misalnya dari segi kuantitas jumlah suara. Jika keseluruhan suara parpol Islam hasil pileg kemarin digabungkan, maka jumlahnya bisa mencapai kurang lebih 30 persen. Jelas angka tersebut bukan jumlah yang kecil dan sudah lebih dari cukup untuk memunculkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sendiri. Barangkali satu-satunya kendali besar bagi munculnya poros Islam jilid dua adalah persoalan traumatis yang masih dirasakan oleh PKB. Sebagaimana diketahui bahwa poros Islam yang dipelopori Amien Rais, Ketua Umum MPR ketika itu, mendesak pemakzulan terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2001 padahal poros Islam pulalah yang mendukung naiknya Gus Dur ke kursi Presiden RI pada 1999. Tetapi dalam politik segala sesuatu bisa terjadi. Seperti adagium yang sangat terkenal dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri. Maka, PKB bisa saja mengubah sikapnya terhadap gagasan poros Islam jika dilakukan negosiasi di antara elite-elite parpol Islam. Kepentingan Bersama Satu kecenderungan yang menurut hemat penulis memungkinkan terjadinya poros Islam untuk saat ini adalah perolehan suara PKB yang tertinggi di antara parpol-parpol Islam lainnya. Hal ini jelas membuat posisi tawar rumah politik warga Nahdliyyin tersebut lebih tinggi. Dengan kata lain, partai ini bisa menjadi pemimpin poros Islam jilid kedua nanti. Dalam konteks ini, PKB tentu memiliki hak mendapatkan jatah untuk mengusung capres sedangkan cawapresnya bisa diambil dari kalangan internal parpol-parpol Islam lainnya atau mungkin saja dari kalangan eksternal yang dapat menyumbang elektoral tinggi sehingga menjadi duet yang menjanjikan di Pilpres 2014. Mungkin saja PKB mengajukan Rhoma Irama sebagai capres dari poros Islam karena selama ini partai pimpinan Muhaimin Iskandar tersebut telah menggadang-gadang sang raja dangdut sebagai capresnya. Boleh jadi perolehan suara tinggi PKB bukan saja karena mendapatkan limpahan suara Demokrat, melainkan karena faktor Rhoma Irama yang sangat popular di kalangan umat Islam. Meskipun belum ada penelitian resmi mengenai hal ini, tetapi faktor figur dalam politik Indonesia memang sangat berpengaruh. Bukan tidak mungkin pada situasi seperti ini akan ada resistensi dari parpol-parpol Islam yang umumnya telah memiliki capresnya sendiri. Yang paling kuat resistensinya kemungkinan besar datanng dari PAN karena jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan Hatta Rajasa sebagai capres. Adapun PPP, PKS dan PBB relatif lebih mudah atau tingkat resistensinya tidak akan terlalu tinggi. Pada akhirnya, para elite parpol Islam semestinya jangan terlalu mengedepankan ego kepartainnya, melainkan harus mendahulukan kepentingan bersama, yakni kepentingan politik Islam. Kalau memang perolehan suara PAN misalnya kalah signifikan, sudah semestinya para elite PAN tidak terlalu ngotot untuk membidik kursi nomor satu. Bagaimana pun poros Islam jilid pertama telah pernah berjaya pada Pemilu 1999. Salah satu faktor utamanya adalah adanya sikap untuk mendahulukan kepentingan bersama di antara para elite parpol Islam ketika itu. Bukan tidak mungkina dengan sikap yang sama poros Islam jilid kedua juga akan mengalami nasib yang sama pula. *Penulis Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Selasa, 08 April 2014

Sukses Pemilu, Sukses Demokrasi (Koran Sindo, 07/04/14)

Sukses Pemilu, Sukses Demokrasi Iding R. Hasan* Salah seorang ilmuwan politik, Robert Dahl, mengatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) sesungguhnya merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Dengan demikian, pemilu menjadi instrumen yang sangat penting bagi keberlangsungan demokrasi di sebuah negara. Kesuksesan penyelenggaraan pemilu akan berpengaruh besar terhadap kesuksesan demokrasi. Dalam konteks ini, pemilu legislatif (pileg) yang akan digelar pada 9 April 2014 oleh pemerintah Indonesia dapat dimaknai sebagai suatu ikhtiar untuk mempertahankan dan memperkuat sistem demokrasi yang sekarang ini sedang berjalan, terlepas dari segala kekurangannya. Tidak heran kalau pemerintah dan terutama pihak-pihak penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan sebagainya berusaha sekuat tenaga untuk menyukseskan pemilu. Pada sisi lain, masyarakat Indonesia sebagai para pemilih sebenarnya juga memiliki kepentingan yang sama terhadap keberhasilan pemilu tersebut. Sebagai masyarakat yang telah menyatakan dirinya sebagai pemegang nilai-nilai demokrasi, tentu konsekwensinya adalah bagaimana mereka mampu menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupan politik, antara lain menyukseskan pemilu dengan berpartisipasi aktif di dalamnya. Partisipasi Politik Partisipasi politik aktif masyarakat dalam pemilu misalnya dengan memberikan suara tidak dapat dimungkiri merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi kesuksesan pemilu. Salah satu indikator paling kasat mata dari kesuksesan pemilu adalah tingkat partisipasi publik dalam memberikan suara. Semakin tinggi tingkat partisipasinya, semakin besar tingkat kesuksesannya. Menurut hemat penulis, dalam situasi politik seperti sekarang memberikan suara atau memilih merupakan alternatif terbaik. Terlepas dari (kemungkinan) berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu, jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu yang pernah diselenggarakan pada zaman Orde Baru (orba), kita menyadari betul bahwa pemilu yang digelar sejak zaman reformasi jauh lebih baik dalam berbagai hal. Memilih untuk tidak memilih atau yang biasa disebut golongan putih (golput) agaknya bukanlah langkah yang tepat untuk saat ini. Jika pada masa orba hampir tidak ada gunanya berpartisipasi dalam pemilu karena sudah disetting sedemikian rupa oleh pihak penguasa. Maka, golput tentu memiliki makna sebagai penegasan sikap. Namun saat ini, ketika perubahan politik ke arah yang lebih baik terbuka dengan pemilu, tentu golput akan sia-sia. Pemilu, misalnya, memiliki fungsi politik yang sangat penting terkait dengan keajegan demokrasi, yakni sirkulasi elite, di samping fungsi-fungsi lainnya seperti legitimasi politik, perwakilan politik, dan pendidikan politik. Sirkulasi elite menjadi penting karena bisa membuat kekuasaan lebih terdistribusikan. Dan pemilulah yang memungkinkan terjadinya sirkulasi elite tersebut. Menjadi persoalan besar ketika sirkulasi elite tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, kekuasaan terkonsentrasi pada sekelompok orang yang pada gilirannya dapat menimbulkan oligarki politik. Itulah yang terjadi pada msa orba. Oleh karena itu, jika masyarakat berpartisipasi politik dengan memberikan suaranya pada pemilu, maka mereka telah memainkan peran dalam melancarkan sirkulasi elite tersebut. Sirkulasi elite akan semakin bermakna bagi demokrasi jika didukung oleh aktor-aktor politik yang memiliki komitmen tinggi terhadap nilai-nilai demokrasi. Dalam hal ini, peran masyarakt sangat penting untuk menyeleksi calon-calon legislator (caleg) yang memegang komitmen tersebut. Pada sisi lain, perhelatan demokrasi yang masif seperti pemilu tentu tidak akan terlepas dari munculnya persaingan dan konflik di tengah masyarakat yang diakibatkan oleh banyaknya parpol kontestan pada Pemilu 2014. Sebagaimana diketahi terdapat 12 parpol ditambah 3 parpol lokal yang akan bersaing. Namun dalam perspektif demokrasi, persaingan dan konflik tersebut dianggap sesuatu yang positif selama dilakukan dalam koridor-koridor demokrasi. Bahwa persaingan tersebut bisa saja berubah menjadi konflik justeru di situlah letak pentingnya pemilu. Salah seorang pakar politik Ramlan Surbakti, misalnya, menegaskan bahwa pemilu sebenarnya merupakan sebuah mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat agar integrasi masyarakat tetap terjamin. Dengan demikian, pemilu dapat digunakan untuk menjaga konflik sehingga tidak sampai terus berlanjut pada tingkat akar rumput. Pengetahuan Politik Partisipasi politik masyarakat dalam pemilu akan lebih sempurna jika dibarengi dengan bekal-bekal politik, antara lain pengetahuan politik (political knowledge) yang memadai. Dengan kata lain, masyarakat bukan hanya sekadar berpartisipasi dengan memberikan suara mereka pada saat pemilu, tetapi juga memiliki pengetahuan politik yang cukup, misalnya mengenal betul siapa caleg-caleg yang mereka akan pilih. Dalam konteks ini, masyarakat tidak perlu segan-segan untuk mencari tahu misalnya dengan menelurusi rekam jejak (track record) dari para caleg yang hendak mereka pilih. Hal ini menjadi penting karena dengan bekal pengetahuan politik yang memadai, maka masyarakat dapat memilih caleg-caleg yang layak untuk mengisi gedung parlemen. Memang sekarang ini ada kecenderungan bahwa banyak sekali caleg yang tidak dikenal masyarakat. Hal ini, selain karena kurang masifnya sosialisasi dari pihak penyelenggara pemilu, tetapi terutama karena kurang intensifnya kerja-kerja politik parpol selama ini. Pada umumnya parpol hanya aktif melakukan kerja-kerja politik menjelang pemilu, sehingga tidak cukup waktu untuk mensosialisasikan caleg-calegnya ke masyarakat. Oleh karena itu, inisiatif masyarakat untuk melakukan penelusuran terhadap rekam jejak para caleg jauh lebih baik. Inilah sebenarnya bentuk dari literasi politik masyarakat. Artinya, ketika masyarakat sudah melek (literate) politik, maka partisipasi politik mereka di dalam pemilu jauh lebih berkualitas. Partisipasi aktif yang didasarkan pada pengetahuan politik dari segenap masyarakat Indonesia inilah yang sesungguhnya dapat menjadikan pemilu sukses, dan pada gilirannya menjadikan demokrasi sukses. Maka, sukses pemilu adalah sukses demokrasi. *Penulis, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Pejabat dan Kampanye Permanen (Analisis Politik Sindonews, 26/03/14)

Pejabat dan Kampanye Permanen Oleh : Iding R. Hasan Persoalan kampanye pejabat seperti para kepala daerah, menteri-menteri dan bahkan presiden sebenarnya merupakan masalah yang cukup riskan. Itulah kenapa pada saat dibuat undang-undang atau peraturan yang memungkinkan para pejabat melakukan kampanye pada saat pemilihan umum (umum) timbul pro dan kontra. Salah satu poin yang menjadi perdebatan dalam peraturan mengenai kampanye pejabat madalah sulitnya bagi para pejabat untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) pada saat kampanye. Misalnya penggunaan fasilitas-fasilitas negara seperti akomodasi, transportasi dan sebagainya, termasuk pemakaian anggaran yang sejatinya digunakan untuk kepentingan departemen atau daerah yang dipimpinnya. Sementara itu kalangan yang pro atas peraturan kampanye pejabat --mereka biasanya berasal dari partai politik (parpol) yang berada dalam lingkaran kekuasaan-- pada umumnya berdalih bahwa para pejabat terkait pai stmampu membedakan antara kepentingan partai dan kepentingan negara. Dengan kata lain, mereka tidak akan menggunakan fasilitas negara demi kepentingan partainya. Meskipun pada akhirnya peraturan mengenai kampanye pejabat tersebut disepakati, yaitu UU Pemilu dan Peraturan KPU No 15 tahun 2013, tetapi kekhawatiran atas pelanggaran terhadap peraturan itu sangat kuat. Dan ternyata kekhawatiran dari banyak kalangan itu terbukti di lapangan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), misalnya, menemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan sejumlah pejabat ketika melakukan kampanye. Mereka antara lain diduga telah menyalahgunakan fasilitas negara untuk kampanye. Menurut Bawaslu, ada laporan indikasi pelanggaran penggunaan fasilitas negara dalam kampanye yang dilakukan para pejabat antara lain, Menteri Kelautan dan Perikanan, pada saat rapat umum Partai Golkar di Demak dan di Simpanglima, Demak. Demikian pula Menteri Agama yang diduga melakukan kampanye terselubung dalam pondok pesantren dan dalam acara kementerian saat menghadiri acara silaturahmi dan peresmian rusunawa Pondok Pesantren se-Malang Raya di Pondok Pesantren Shirotul Fuqoha, Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Kampanye Permanen Perlukah sebenarnya pejabat berkampanye pada saat pemilu? Dalam kecenderungan komunikasi politik masa kini, kampanye kerap dilakukan dengan basis marketing politik. Bruce I. Newman, salah seorang teorisi marketing politik dalam salah satu tulisannya, Political Marketing: Theory, Research, and Application (dalam Lynda Lee Kaid, 2004: 23), menyebutkan bahwa pada saat seseorang terpilih untuk menduduki jabatan politik melalui pemilu, maka ia harus terus menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik marketing politik. Hal ini penting ketika dia mulai memerintah, membuat kebijakan dan sebagainya sehingga apa yang dilakukannya tetap berorientasi pada pasar atau rakyat sehingga mendapat respons yang baik dari mereka. Itulah yang dimaksud Bruce I. Newman sebagai kampanye permanen (permanent campaign) yang dilakukan oleh pejabat. Kampanye permanen yang berbasis pada marketing politik ini juga menjadi penting bagi para pejabat atau pemegang kekuasaan karena para rival mereka selalu berusaha untuk mencari kelemahan-kelemahannya. Di pemilu berikutnya tentu mereka akan menjadi sasaran kampanye menyerang (attacking campaign) dari rival-rival tersebut. Dari sisi marketing politik harus ada sesuatu (produk) yang bisa “dijual” kepada konsumen atau khalayak oleh para pejabat sehingga akan terus mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Menurut hemat penulis, produk marketing politik yang tepat dalam konteks ini adalah kinerja mereka sendiri selama memerintah atau menjabat kekuasaan. Kalau kinerja para pejabat bagus, tentu respons publik juga akan bagus, dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, bagi para pejabat, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat menunjukkan kinerja yang baik selama mereka memegang kekuasaan. Dengan sendirinya publik akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada para pejabat yang memiliki kinerja yang baik tanpa diminta sekalipun. Dengan kata lain, kinerja yang baik dari para pejabat sejatinya merupakan produk terpenting dari marketing politik mereka. Tanpa harus terlibat dalam urusan kampanye yang belum tentu memiliki efektivitas terhadap meningkatnya persepsi publik, mereka sesungguhnya telah melakukan “kampanye” sepanjang waktu dengan kinerja baiknya tersebut. Inilah sesungguhnya sisi keuntungan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan orang-orang yang baru akan masuk ke dalam arena kekuasaan. Oleh karena itu, hemat penulis, para pejabat sebenarnya tidak perlu harus terlibat dalam kampanye pada pemilu sehingga mengorbankan banyak waktunya untuk urusan yang bukan kepentingan tugas utamanya. Biarlah urusan kampanye diserahkan pada orang-orang lain, sementara mereka tetap fokus bekerja menyelesaikan tugas-tugasnya. Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Rabu, 05 Maret 2014

Pengawasan Dana Kampanye (Suara Pembaruan, Rabu 5 Maret 2014)

Dua belas partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014 telah menyerahkan laporan dana awal kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada hari Minggu (02/03) kemarin. Nilai total dari keseluruhan dana yang akan digunakan parpol-parpol dalam kampanye pemilu mulai 16 Maret adalah 1,973 triliun rupiah. Pada laporan tahap kedua ini, KPU meminta semua parpol untuk menyerahkan tiga dokumen terkait dana kampanye. Ketiga dokumen tersebut adalah Laporan Penerimaan Sumbangan Periode II, Laporan Pembukaan Rekening Khusus Dana Kampanye dan Laporan Dana Awal Kampanye. Selanjutnya KPU bertanggung jawab untuk memverifikasi semua dokumen tersebut. Partisipasi Publik Nilai angka keseluruhan dana kampanye yang hampir menyentuh dua triliun rupiah dengan variasi antara 36,3 miliar hingga 306,5 miliar yang dilaporkan parpol jelas merupakan jumlah yang sangat besar bagi hajatan politik seperti kampanye. Jumlah tersebut tentu saja harus benar-benar diawasi dari mulai asal penerimaannya sampai pada penggunaannya nanti pada saat kampanye pemilu. Memang sudah ada lembaga formal yang bertugas untuk mengawasi kampanye pemilu termasuk penggunaan dana di dalamnya, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Akan tetapi pada praktiknya pengawasan tersebut tidak cukup hanya dilakukan oleh lembaga formal saja, melainkan juga oleh berbagai pihak yang berkepentingan agar kampanye pemilu berjalan sesuai aturan. Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa partisipasi publik dalam melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye merupakan hal yang sangat diperlukan. Semakin banyak publik melakukan pengawasan jelas akan mengurangi potensi-potensi pelanggaran kampanye, karena para pelaku kampanye tentu merasa banyak yang mengawasi. Ada beberapa aspek penting yang dapat diawasi secara ketat oleh publik terkait dana kampanye pemilu tersebut. Pertama, terkait aspek pembelanjaan dana kampanye. Aspek ini tentu dapat diukur, misalnya, apakah sesuai dana yang diterima sebuah parpol dengan yang dibelanjakan saat kampanye. Tentu akan mencurigakan jika sebuah parpol memeroleh dana sedikit tetapi pada saat kampanye pengeluaraanya ternyata sangat berlebihan. Apalagi jika kita melihat pada regulasi kampanye seperti Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2013 penekanannya lebih banyak pada aspek penerimaan dana kampanye, seperti pembatasan sumbangan baik dari perorangan maupun perusahaan, daripada aspek pembelanjaannya. Hal ini jelas membuat parpol-parpol lebih leluasa dalam membelanjakan dana kampanye tanpa terlalu mengkhawatirkan keharusan pelaporannya. Di sinilah pentingnya pengawasan terhadap pembelanjaan dana kampanye. Kedua, pengawasan oleh publik juga dapat diarahkan pada aspek profil pemberi dana kampanye. Dalam konteks ini, publik harus berani memeriksa secara lebih mendalam siapa sebenarnya orang yang memberikan dana tersebut. Apakah ia, misalnya, pantas menyumbangkan uang satu miliar sebagai batas maksimal pemberian dana untuk perorangan jika dikaitkan dengan pekerjaannya. Bukan tidak mungkin terjadi bahwa nama pemberi dana kampanye bukanlah nama yang sebenarnya, melainkan dipinjam oleh orang tertentu yang memiliki dana berlimpah. Misalnya, seseorang yang memiliki miliaran uang menyumbangkan dana lebih dari batas maksimal tetapi menyiasatinya dengan memecah sumbangannya tersebut dengan sejumlah nama yang berbeda dengan cara meminjam kartu pengenal yang bersangkutan. Tentu saja pelanggaran seperti ini tidak akan terungkap jika tidak diawasi secara ketat termasuk oleh publik. Jika kemudian publik banyak menemukan pelanggaran-pelanggaran kampanye, khususnya terkait pembelanjaan dana kampanye, sebaiknya publik tidak segan-segan untuk mendeklarasikannya melalui berbagai forum dan saluran komunikasi seperti media massa, baik cetak, elektronik maupun online. Pendeklarasian ini selain akan membuat pelaku kampanye merasa malu, juga dapat dijadikan pintu bagi penyelidikan oleh pihak berwenang. Kendala Partisipasi publik dalam pengawasan dana kampanye jelas merupakan sesuatu yang sangat penting. Namun tentu bukan hal yang mudah untuk membuat publik bersedia berpartisipasi dalam proses pengawasan tersebut. Setidaknya, ada dua kendala dalam konteks ini. Pertama, terkait dengan kesadaran publik agar proses-proses kampanye berjalan dengan baik dan sesuai atuaran. Jika kampanye termasuk hal-hal yang terkait dengan dananya sebagai pintu masuk menuju pemilu berjalan dengan baik, tentu hasil yang diperoleh juga baik. Untuk sampai pada hal tersebut, salah satu syaratnya adalah adanya pengawasan terhadap proses-proses kampanye tersebut. Masalahnya adalah tidak semua prang memiliki kesadaran untuk melakukan pengawasan. Mungkin saja sebagian dari mereka bersikap pesimis dan beranggapan bahwa apa yang dilakukannya tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Atau mungkin juga sebagian orang merasa tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan pengawasan dan berbagai alasan lainnya. Kedua, sangat mungkin publik yang akan melakukan pengawasan terhadap pembelanjaan dana kampanye berbenturan dengan keengganan parpol-parpol untuk bersikap terbuka. Dengan kata lain, parpol boleh jadi akan berusaha untuk mempersulit berbagai upaya yang dilakukan pihak lain untuk melakukan pengawasan misalnya dengan menutup akses informasi dan sebagainya. Namun sebenarnya sikap semacam itu dapat diatasi oleh publik dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Komisi Informasi Publik (KIP) yang mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk bersikap transparan. Persoalannya tidak semua orang mau bersusah payah untuk berhadapan dengan sikap parpol yang cenderung tidak bersahabat dalam hal tersebut. Namun, terlepas dari dua kendala di atas pengawasan publik terhadap penggunaan dana kampanye merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Artinya, apapun problem yang menghadang sudah saatnya publik turut terlibat dalam pengawasan dana kampanye sehingga potensi-potensi pelanggaran penggunaan dana kampanya dapat ditekan sedemikian rupa. Publik juga seyogianya menyadari bahwa semakin sering mereka terlibat dalam proses pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye, semakin besar peran mereka dalam menekan setiap upaya penyimpangan. Dengan kata lain, semakin besar pula peran mereka dalam perbaikan proses-proses politik di negeri ini.

Selasa, 04 Maret 2014

Soliditas (Semu) PDIP, Koran Sindo, 4 Maret 2014

Kasus Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma), yang telah menjadi pemberitaan nasional secara besar-besaran belakangan ini tampaknya mengusik Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, untuk segera turun tangan. Pasalnya pemberitaan yang cenderung memperlihatkan adanya riak-riak internal di lingkaran partai kepala banteng tersebut disinyalir banyak merugikan PDIP yang notabene partai pengusung Risma. Pemberitaan tersebut terutama berkaitan dengan rencana pengunduran Risma dari jabatannya. Hal ini antara lain dipicu oleh pengangkatan Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota untuk mendampingi Risma sebagai pengganti Bambang DH yang mundur karena mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jatim. Proses pengangkatan tersebut dipandang Risma sebagai tidak prosedural karena tidak melibatkan dirinya sama sekali. Sejak saat itulah kasus Risma kemudian bergulir bak bola liar sehingga menjadi pemberitaan besar-besaran. Risma yang dipandang sebagai wali kota yang banyak menorehkan prestasi gemilang di kota pahlawan itu menjelma menjadi sosok yang diharapkan publik Indonesia sebagai calon pemimpin di masa depan. Kini Risma, seperti halnya Jokowi dulu yang hanya berkutat di daerah, telah berhasil naik ke panggung politik nasional. Tidak heran kalau kemudian kasus Risma terus menggelinding tanpa dapat dihentikan. Risma pun berubah menjadi komoditas politik yang diperebutkan oleh partai-partai politik untuk dipasangkan dengan calon-calon mereka. Realitas ini jelas sangat merugikan PDIP karena kalau sampai Risma berhasil ditarik partai lain, PDIP lah yang paling dirugikan karena suaranya akan terbelah. Soliditas (Semu) Dalam situasi yang semakin tidak menguntungkan PDIP itulah Mega kemudian turun tangan. Bersama dengan sejumlah elite partai dan juga Gubernur DKI, Joko Widodo (Jokowi), Mega bertandang ke Surabaya. Dalam pertemuan dengan Risma Mega meminta sang wali kota untuk mengurungkan niatnya mengundurkan diri dan tetap tegar melanjutkan kepemimpinannya di Surabaya tanpa harus memikirkan yang lain-lain di luar itu. Sebagai sebuah langkah dalam mengelola konflik (conflict management) apa yang dilakukan Mega di atas memang untuk sementara dapat meredam riak-riak internal di PDIP. Setidaknya, para elite partai tersebut bersepakat untuk segera mengakhiri kekisurahan yang terjadi khususnya terkait pengangkatan Wisnu sebagai pendamping Risma. Pada saat yang sama mereka mengharapkan agar semua kalangan di internal partai untuk lebih memfokuskan diri pada upaya konsolidasi partai guna menghadapi Pemilu 2014. Namun, menurut hemat penulis, kalau dicermati secara lebih mendalam, langkah Mega tersebut tidak serta merta akan membuat soliditas PDIP terutama di Surabaya akan dengan mudah terbangun kembali. Secara permukaan mungkin saja tidak terlihat riak seperti yang terlihat, tetapi bukan tidak mungkin di balik itu masih tersimpan bibit konflik yang tidak mudah dipadamkan begitu saja atau dalam waktu yang singkat. Membaca kasus Risma tidak bisa hanya dimulai dari masalah pengangkatan Wisnu sebagai wakilnya, tetapi harus membacanya secara utuh dari proses-proses politik sebelumnya. Selama menjabat sebagai Wali Kota Surabaya Risma sudah sering mendapatkan tekanan-tekanan politik yang celakanya datang dari orang-orang partai pengusungnya termasuk Wisnu sendiri. Kasus yang paling terkenal adalah saat Risma menolak dengan tegas rencana pembangunan jalan tol di tengah Kota Surabaya dengan anggaran trilyunan rupiah. Risma yang tidak tergiur dengan iming-iming uang melimpah jika ia menyetujui rencana tersebut, lebih memilih untuk bersikukuh mempertahankan kota Surabaya seperti sekarang. Sikap tegas Risma inilah yang kemudian membuatnya kerap berseberangan dengan kalangan DPRD di mana Wisnu merupakan wakil ketuanya. Selain masalah pembangunan jalan tol, banyak pula kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan Risma dan kemudian ditentang oleh kalangan DPRD Surabaya sehingga Risma semakin merasa tertekan. Puncaknya saat Wisnu yang notabene orang sesama PDIP yang kerap menentangnya diangkat menjadi wakilnya. Tentu saja keengganan Risma untuk didampingi Wisnu bukan semata-mata masalah prosedural, tetapi jelas karena riwayat konflik antar keduanya. Oleh karena itu, menilik riwayat konflik antar Risma-Wisnu selama ini tidak akan mudah bagi keduanya, terutama bagi Risma untuk menghilangkan kesejangan psikologis dalam memimpin Kota Surabaya ke depan. Bukan tidak mungkin Risma masih merasa curiga bahwa pengangkatan Wisnu dilakukan dalam rangka membuat dirinya tidak leluasa lagi melakukan kebijakan-kebijakan seperti sebelumnya karena Wisnu mungkin saja akan berusaha merecokinya. Dalam hal ini, seharusnya Mega pada saat pertemuan kemarin tidak hanya meminta Risma untuk membatalkan rencana pengunduran diri dan terus melanjutkan pekerjaannya. Tetapi yang justeru lebih penting adalah meminta Wisnu untuk mendukung sepenuhnya program-program yang telah dan akan dilakukan Risma. Termasuk dalam hal hubungan Risma dengan DPRD, Wisnu seharusnya diminta untuk mampu “mengendalikan” DPRD Surabaya. Namun sayangnya Mega agaknya lebih melihat Risma sebagai fokus dari kekisruhan yang menimpa Kota Surabaya belakangan ini. Sehingga Mega kemudian lebih banyak memberikan perintah pada Risma, tetapi tidak pada Wisnu. Padahal jelas yang membuat Risma tertekan adalah ulah orang-orang PDIP yang notabene “anak-anak” Mega sendiri. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bahwa ke depan akan terjadi kembali gesekan-gesekan antara Risma-Wisnu dalam memimpin Kota Surabaya. Apalagi, seperti yang dikatakan Komisi II bahwa kemelut di Kota Surabaya sepenuhnya diserahkan pada kewenagan daerah untuk menanganinya. Ini berarti bahwa orang-orang daerah, dalam hal ini kalangan DPRD Surabaya akan lebih leluasa mengatasinya, termasuk dalam menghadapi Risma. Jika ini yang terjadi, maka soliditas yang diperlihatkan PDIP dengan kedatangan Mega di Surabaya boleh jadi hanyalah soliditas semu belaka

Kamis, 27 Februari 2014

Risma dan Kegalauan PDIP, Pikiran Rakyat, Rabu 26 Februari 2014

Nama Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma), kini kian melejit ke dalam blantika bursa calon pemimpin Indonesia di masa depan. Berbagai torehan prestasinya selama menjabat tampaknya membuat publik Indonesia, terutama warga kota pahlawan begitu mencintainya. Hal itu, misalnya, terlihat dari dukungan yang diberikan mereka khususnya pada saat Risma sedang menghadapi masalah seperti yang dialaminya sekarang. Sebagaimana diketahui bahwa Risma belakangan berniat mengundurkan diri dari jabatannya. Hal ini bermula dari polemik pasca pemilihan Wisnu Sakti Buana sebagai wakil walikota menggantikan Bambang DH yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jatim. Pengangkatan Wisnu tersebut dianggap Risma sebagai tidak sesuai prosedur. Bukan tidak mungkin keadaan tersebut menimbulkan ketegangan interaksional antara Risma dan Wisnu yang sama-sama kader PDIP. Sebagaimana diketahui bahwa Risma kerap berbeda pendapat dalam sejumlah seperti penolakan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya dan sebagainya. Wisnu yang juga anggota DPRD tampaknya tidak berusaha mendukung langkah Risma tersebut. Hal ini terasa aneh mengingat Risma adalah tokoh yang diusung PDIP. Dalam situasi runyam seperti ini, tidak aneh kalau kemudian Risma berniat mengundurkan diri dari jabatannya. Risma diberitakan telah melayangkan surat ke Mendagri untuk mengklarifikasi persoalan yang membelitnya dirinya tersebut. Risma mengancam jika Mendagri tidak merespons permohononannya itu, ia akan benar-benar mengundurkan diri. Jika Risma mundur jelas PDIP yang akan rugi. Partai moncong putih ini akan dipandang publik sebagai partai yang bukan hanya membiarkan, tetapi juga ikut menjadikan kader terbaiknya tertekan sedemikian rupa. Hal ini menjadi kontra produktif bagi PDIP yang sebenarnya tengah merintis jalan menuju kekuasaan. Manajemen Isu Satu hal yang menarik dari respons PDIP terhadap kasus Risma di atas adalah bagaimana partai ini seperti orang yang tertusuk senjata sendiri. Apa yang menimpa sang walikota memang tidak dapat dilepaskan sikap PDIP sendiri yang agaknya tidak tegas memberikan dukungan pada kadernya yang sedang memimpin dengan prestasi-prestasi yang mengkilat itu. Alih-alih PDIP terkesan lebih memberikan dukungan pada kadernya yang lain, yang kini menjadi wakil walikota. Namun ketika kemudian Risma yang tadinya seolah diabaikan PDIP kini mendapatkan simpati publik yang luar biasa, bukan hanya dari warga Surabaya, melainkan dari seluruh rakyat Indonesia, partai ini mulai kebingungan. Dengan kata lain, PDIP seperti dilanda kegalauan saat menghadapi kenyataan bahwa Risma telah menjelma menjadi fenomena nasional. Satu hal yang sangat mengkhawatirkan bagi PDIP adalah bahwa popularitas Risma yang kian melejit tersebut mempunyai potensi besar untuk menjadi pesaing Jokowi. Meskipun sampai sekarang Jokowi belum resmi dijadikan calon presiden (capres), tetapi dengan perolehan suaranya yang selalu tertinggi dalam berbagai survei, PDIP agaknya sulit berkelit dari kenyataan tersebut. Tetapi kini ada rising star baru. Pada saat yang sama survei Jokowi mengalami sedikit penurunan pasca kasus banjir yang melanda Jakarta, meskipun tetap berada di urutan atas. Tentu saja jika Risma terus berkibar di pentas nasional akan membuat dilema bagi PDIP karena kedua-duanya adalah kader partai. Potensi perpecahan suara pendukung Jokowi dan Risma sangat mungkin terjadi. Apalagi kalau kemudian Risma benar-benar mengundurkan diri dari jabatannya karena kekecewaannya terhadap proses-proses politik terhadap dirinya dan kemudian diambil oleh capres-capres di luar PDIP sebagai pendampingnya. Jelas hal tersenut akan sangat merugikan PDIP, terutama jika yang meminangnya adalah Prabowo Subianto yang selama ini merupakan pesaing terberat Jokowi dalam berbagai survei Dalam konteks inilah tampaknya PDIP berusaha untuk memanaje isu seputar Jokowi. Diungkapnya masalah penyadapan terhadap Jokowi oleh elite PDIP, terlepas dari benar atau tidaknya isu tersebut, dapat dipahami sebagai upaya mengangkat kembali pamor Jokowi. PDIP berusaha menempatkan Jokowi sebagai pusat isu yang tengah dipojokkan oleh berbagai kalangan sehingga simpati publik menguat kembali. Pada saat yang sama PDIP juga berusaha untuk membujuk Risma agar tidak mengundurkan diri dari jabatannya. Meskipun apa yang dilakukan PDIP tersebut cukup telat dalam merespons kasus seputar Risma, tetapi setidaknya hal ini menjadi pembelajaran yang baik agar partai nasionalis tersebut lebih jeli dalam melihat figur-figur di dalam rahimnya sendiri. Jangan sampai kader terbaik justeru terabaikan oleh kepentingan segelintir orang di internal partainya.

Selasa, 14 Januari 2014

Beban Berat Demokrat, Suara Pembaruan, Senin 13 Januari 2014

Beban Berat Demokrat Iding R. Hasan* Pasca ditahannya mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jum,at 10/01 lalu disinyalir banyak kalangan akan semakin memperberat perjalanan politik partai berlambang mercy tersebut khususnya jelang Pemilu 2014. Elektabilitas Demokrat, misalnya, yang terus mengalami penurunan sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah lembaga survei besar kemungkinan sulit membaik kembali. Sebagian pihak bahkan memprediksi, jika kasus Anas masuk ke dalam proses pengadilan sebelum gelaran Pemilu Legislatif (Pileg) pada Apri 2014, elektabiliras Demokrat akan semakin merosot. Hal ini karena boleh jadi dalam proses pengadilan tersebut Anas akan mengungkap sejumlah nama elite partai biru tersebut. Menurut hemat penulis, sekalipun proses pengadilan Anas baru digelar setelah Pileg, tetap saja bagi Demokrat tidak akan mudah untuk menaikkan kembali citranya di mata publik Indonesia. Hal ini antara lain karena kubu Anas tentu akan terus menerus melakukan konstruksi opini yang hendak memperlihatkan kepada publik bahwa apa yang terjadi pada Anas bukan semata-mata proses hukum, melainkan kental dengan aroma politik. Sebagai aktor politik yang sarat pengalaman dan piawai dalam mengendalikan situasi Anas mampu mengkonstruksi opini, bukan sekedar dengan komunikasi verbal, melainkan juga non-verbal. Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Pebruari 2013 lalu sebagai penerima gratifikasi mobil Harrier terkait kasus Hambalang, Anas mampu mengkonstruksi opini, baik melalui media massa konvensional maupun media sosial seperti Twitter. Bahkan saat keluar dari ruang pemeriksaan KPK dengan baju rompi tahanan berwarna oranye Anas tetap melakukan konstruksi opini yang tampaknya sudah dipersiapkannya dengan matang. Ungkapan bahwa apa yang sedang dialaminya itu sebagai proses pencarian kebenaran dan keadilan yang ditutup dengan ungkapan bahwa kebenaran akan menang jelas sebagai upaya Anas untuk mengkonstruksi bahwa dirinya adalah representasi dari kebenaran tersebut yang tengah mengalami penzaliman. Selain itu ucapan terima kasih yang diungkapkan Anas kepada sejumlah nama pimpinan dan penyidik KPK dan terutama pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu bukanlah ucapan terima kasih yang lazim. Dalam perspektif komunikasi, apa yang diungkapkan Anas tersebut sebagai bentuk dari komunikasi tingkat tinggi (high context communication). Model komunikasi seperti ini biasanya diekspresikan dengan ungkapan simbolik dan kode atau tidak diungkapkan secara terus terang dan apa adanya. Sebagai politisi yang berasal dari Jawa Anas tentu piawai dalam melakukan komunikasi tersebut. Oleh karena itu, ungkapan terima kasih Anas tersebut mesti ditafsirkan sebagai retorika satiris yang ditujukan pada nama-nama yang disebutkannya. Tetapi yang paling menghunjam adalah ungkapan yang ditujukan Anas pada SBY dengan dua frasa “di atas segalanya” dan “hadiah tahun baru 2014”. Opini yang dibangun Anas tersebut boleh jadi akan bergaung kuat karena kepiawaiaanya dalam memanfaatkan momentum ketika memainkan isu ke tengah publik. Sebagai politisi yang sadar kamera Anas pintar memanfaatkan momentum. Di hadapan puluhun jepretan kamera saat hendak menuju rutan KPK, dengan ekspresi wajahnya yang tetap tenang, ia melontarkan peluru-peluru tajam, sehingga kemudian menjadi headline di semua media baik cetak maupun elektronik. Sekarang meskipun sudah berada di balik jeruji opini tersebut tetap disuarakan loyalis-loyalis Anas terutama yang tergabung dalam Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) yang bermarkas di rumah Anas sendiri. Beban Berat Bagi Demokrat, situasi politik ini tentu sangat berat. Kondisi ini diperparah oleh kekurangpiawaian elite-elite partai dalam melakukan komunikasi publik. Salah satu yang paling nampak adalah lemahnya manajemen komunikasi antar para aktor politik di tubuh partai biru tersebut dalam menyikaspi sebuah kasus, termasuk kasus Anas. Kerap kali terjadi ketidaksinkronan pernyataan yang dikeluarkan para elite Demokrat sehingga terkesan tidak ada koordinasi dengan baik. Misalnya, ketika Anas membentuk PPI, ungkapan para elite Demokrat begitu reaktif sehingga tampak berbeda-beda satu dengan yang lain. Pada saat yang sama tidak ada tokoh di tubuh Demokrat yang betul-betul piawai dalam mengendalikan situasi. Syarif Hasan, misalnya, sebagai ketua harian sering gagap dalam mengeluarkan pernyataan ke publik. Parahnya Demokrat menunjuk Ruhut Sitompul sebagai juru bicaranya yang justeru sering membuat pernyataan yang kontraproduktif terhadap citra yang hendak dibangun kembali Demokrat. Kondisi ini tentu cukup berbahaya ketika para elite Demokrat tersebut berhadapan dengan opini yang sekarang kian gencar dibangun kubu Anas terutama mengenai keterlibatan Cikeas dalam kasus Anas. Dalam konteks ini, kounter opini yang mesti mereka bangun harus dilakukan secara cerdas, tidak reaktif dan emosional. Kalau tidak, salah-salah opini publik bisa mengarah ke kubu Anas. Jika ini yang terjadi, jelas beban Demokrat akan semakin berat. Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta