Selasa, 30 November 2010

Ketika Perahu Mulai Retak

Dimuat di Harian Tribun Jabar, Senin 29 Nopember 2010

Konstelasi politik nasional yang terpampang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini mempertontonkan kegaduhan politik yang cukup ramai. Koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY-Boediono) yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) agaknya mencari jalan sendiri-sendiri, terutama antara Partai Demokrat dan Partai Golkar. Realitas ini kemudian mencuatkan pertanyaan di benak publik apakah perahu koalisi itu sudah mulai retak sehingga tidak mampu lagi berlayar dengan baik.
Tanda-tanda keretakan tersebut mulai terlihat ketika Demokrat dan Golkar saling melemparkan pernyataan panas yang bernada saling mengancam. Juru Bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, misalnya, mengatakan bahwa bahwa SBY dalam melakukan perombakan (reshuffle) kabinet bisa saja menggantikan menteri-menteri dari Golkar dengan kader PDIP. Pernyataan itu kemudian dibalas oleh salah seorang petinggi Golkar, Priyo Budi Santoso, bahwa Golkar tidak akan peduli dengan langkah tersebut asalkan Demokrat siap menanggung resikonya.
Dua pernyataan yang saling mengancam tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sebaliknya terus berlanjut sampai pada masalah pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua partai besar berseberangan dalam penentuan antara Busyro Muqaddas dan Bambang Widjoyanto dan akhirnya pilihan Demokratlah yang menang. Puncaknya terjadi dalam penentuan ketua KPK di mana Golkar begitu ngotot untuk menggunakan voting.
Pertentangan keras antara dua partai besar di dalam koalisi pendukung pemerintahan SBY dengan sangat gamblang memperlihatkan betapa Setgab sebagai corong koalisi tidak mampu menyatukan suara. Ini pulalah yang kemudian mempertegas kenyataan bahwa memang koalisi sedang menapaki jalan keretakan.

Barter Politik
Pertentangan keras Demokrat dan Golkar sebenarnya sudah mulai terasa dari dua kasus besar yang menghebohkan negeri ini, yaitu kasus penawaran perdana saham PT Krakatau Steel Tbk dan kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, mantan pegawai dinas perpajakan. Yang pertama menghebohkan karena ada dugaan bahwa rendahnya harga saham perusahaan plat merah itu karena adanya permintaan sebagian politisi dari partai-partai tertentu. Sedangkan yang kedua karena ada dugaan pengemplangan pajak oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki salah seorang ketua partai politik.
Pada kasus pertama Golkar begitu bersemangat untuk mendorong pengungkapan masalah keterlibatan politisi dalam pembelian saham Krakatau Steel yang disinyalir berasal dari partai pendukung pemerintah. Demokrat kemudian membalasnya dengan meminta kejaksaan untuk mengungkap keterlibatan perusahaan-perusahaan yang diduga mengemplang pajak yang notabene milik grup Bakrie. Inilah agaknya yang terus memicu pertentangan kedua partai besar di koalisi pemerintahan SBY.
Dari sini terlihat bahwa masing-masing pihak memiliki kartu truf yang bisa dijadikan senjata politik yang kuat. Dalam situasi seperti ini kecenderungan untuk dilakukan barter politik sangat tinggi. Dalam hal perombakan kabinet, misalnya, Golkar tentu akan menjadikan kartu tersebut sebagai tameng untuk tetap mendapatkan jatah menteri bagi kader-kadernya. Sebaliknya Demokrat juga akan menggunakan kartunya untuk menekan Golkar agar tidak lagi bersuara kritis terhadap pemerintahan SBY seperti yang belakangan ini diperlihatkan mereka.

Dramaturgi
Boleh jadi perang pernyataan yang diperlihatkan para elite Demokrat dan Golkar sesungguhnya hanya merupakan dramaturgi belaka. Menurut Erving Goffman (1959) yang mengintroduksi teori dramaturgi, kehidupan layaknya sebuah teater yang memiliki panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah ruang publik atau tempat perjumpaan yang digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk mempresentasikan diri mereka. Sedangkan panggung belakang merupakan ruang privat yang tidak diketahui orang lain, tempat di mana seseorang atau sekelompok orang leluasa menampilkan wajah asli mereka.
Dalam konteks ini pernyataan-pernyataan keras yang dikeluarkan Ruhut Sitompul dan kemudian dibalas Priyo Budi Santoso sangat mungkin sekadar presentasi diri mereka di panggung depan. Mereka seolah-olah bertikai di depan publik untuk memperlihatkan bagaimana mereka memperjuangkan nilai-nilai politiknya padahal apa yang terjadi di panggung belakang menunjukkan hal yang sebaliknya.
Realitas ini diperkuat oleh pertemuan antara Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Deokrat dan Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar belakangan ini. Meskipun keduanya menyangkal membicarakan masalah-masalah politik yang kini sedang ramai diperbincangkan, namun sulit dimungkiri bahwa hal tersebut tidak dijadikan agenda, bahkan boleh jadi itulah topik utamanya.
Dengan demikian, betapapun di depan publik Demokrat dan Golkar bertikai tetapi di panggung belakang diam-diam mereka membuat deal-deal politik. Dalam situasi seperti ini, perahu koalisi barangkali tidak akan cepat retak, betapun rapuhnya ikatan yang mempersatukan mereka.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: