Rabu, 24 November 2010

Membaca Langkah Politik Golkar

Dimuat di Harian Jurnal Nasional Kamis 21 Oktober 2010

Baru-baru ini Partai Golkar mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan di depan publik. Salah seorang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Firman Subagyo, misalnya, mengatakan bahwa di kalangan internal Partai Golkar ada suara-suara yang mempertanyakan mengapa pemikiran-pemikiran Golkar tidak terakomodasi di Sekretariat Gabungan (Setgab).
Pemikiran-pemikiran Golkar yang tidak terakomodasi tersebut adalah usulan untuk menaikkan defisit anggaran dari 1,7 persen menjadi 2,1 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 agar ada peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastrukutr dan dana satu milyar untuk setiap desa. Kedua usulan tersebut ternyata tidak disetujui pemerintah. Usulan yang pertama dianggap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai tidak urgen, sedang usulan yang kedua ditolak.

Problem Komunikasi
Pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan di sini adalah apakah ketidakpuasan Golkar di Setgab itu betul-betul hanya karena pemikirannya tidak terakomodasi ataukah ini sekadar sebuah strategi untuk menaikkan daya tawar politik (political bargaining) bilamana SBY ingin melakukan reshuffle seperti yang diisukan belakangan ini sekaligus menaikkan citrnya di depan publik? Dan bagaimana respons dari partai-partai lain di Setgab?
Persoalan ini menarik untuk dikemukakan. Sebagaimana diketahui bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Oleh karena itu, apa yang diungkap Golkar jelas memperlihatkan ada masalah di tubuh Setgab.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua cara pandang yang bisa diberikan dalam hal ini. Pertama, bila ketidakpuasan Golkat betul-betul dilandasi oleh karena tidak terakomodasinya usulan-usulan yang pernah diajukannya, maka jelas ini menunjukkan adanya problem komunikasi di internal Setgab.
Dan ini sebenarnya justeru memberikan citra yang buruk kepada Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie (Ical), yang notabene merupakan ketua harian Setgab. Sebab, seharusnya Ical mampu menjadi mediator yang berusaha menjembatani berbagai masalah yang muncul di internal Setgab. Mengangkat satu masalah ke publik tanpa membahasnya dulu di dalam Setgab tentu memperlihatkan bahwa komunikasi yang seharusnya terjalin ternyata tidak jalan.
Meskipun Setgab bukan sebagai organisasi murni tetapi tidak dapat dimungkiri bahwa ini merupakan sebuah persekutuan atau perhimpunan yang diberlakukan di dalamnya prinsip-prinsip keorganisasian. Salah satunya adalah komunikasi organisasi antara para anggota yang pada derajat tertentu bisa menujukkan kohesivitas di antara para anggota. Dengan realitas ini, kohesivitas di antara anggota Setgab menjadi luntur.
Pada sisi lain, hal ini juga kian mempertegas bahwa koalisi yang tergabung dalam Setgab tersebut jelas-jelas lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis semata, yakni kepentingan bagi-bagi kue kekuasaan, bukan pada kesamaan ideologis dan platform kepartaian. Masing-masing anggota Setgab tampaknya ingin meraih dan mengamankan kepentingannya sendiri-sendiri.
Dalam konteks ini, Golkar dapat dianggap sebagai pihak yang tengah memainkan kepentingannya sendiri. Apalagi Golkar juga menyebut-nyebut usia partai yang tentu saja lebih tua dari partai-partai anggota Setgab lainnya. Seolah-olah Golkar ingin mengatakan bahwa partai ini jauh lebih berpengalaman dari partai-partai lainnya.
Kedua, ini agaknya yang lebih kuat, bahwa ketidakpuasan Golkar yang telah diungkapkan ke publik menjelang acara Rapat Pimpinan Nasional I Partai Golkar tersebut agaknya lebih didasari oleh semacam strategi untuk menaikkan daya tawar Golkar terhadap SBY dan menaikkan citra di depan publik.
Terkait dengan daya tawar terhadap SBY, bagaimanpun juga Golkar tetap ingin berada di pemerintahan. Secara historis, partai ini tidak pernah bisa melepaskan diri dari ketiak pemerintah. Maka, Jika SBY benar-benar akan melakukan penggantian kabinet, setidaknya tiga orang kader Golkar akan tetap dipertahankan dan bahkan bila perlu ditambah.
Sementara itu, dengan mengangkat isu ketidakpuasan Golkar terhadap keberadaannya di Setgab ke publik, partai ini pada saat yang sama juga ingin menaikkan citranya di mata publik. Ini terlihat dari isu yang diangkatnya, yakni kenaikan defisit anggaran dan pembangunan ekonomi di desa. Golkar tentu berharap akan dianggap publik sebagai partai yang sangat mendukung kesejahteraan rakyat.
Golkar sebenarnya sudah menyadari kemungkinan ditolaknya usulan yang ditawarkan, seperti pemberian dana satu milyar untuk setiap desa. Bagaimanapun usulan itu, meskipun berbungkus untuk kepentingan rakyat, tetapi tetap kental dengan kepentingan politik partai. Misalnya, Golkar mengusulkan agar uang itu ditransfer langsung ke daerah, tentu ini menguntungkan Golkar karena partai ini banyak memiliki kepala daerah. Partai-partai anggota Setgab lainnya tentu keberatan dengan usulan tersebut karena umumnya tidak mempunyai kepala daerah.
Dari sudut pandang ini, jelas bahwa Golkar memiliki target politik tertentu dengan mengungkapkan ketidakpuasannya ke publik. Maka, tidak aneh kalau partai-partai anggota Setgab lainnya menuding bahwa Golkar sebenarnya sedang berupaya menaikkan citra politik saja.
Di lain pihak, SBY tentu masih berkepentingan terhadap keberadaan Golkar di Setgab. Oleh karena itu, kalaupun nanti penggantian kabinet dilakukan, ia tidak akan berani meninggalkan Golkar, apalagi ketika isu penggulingan terhadap dirinya muncul ke permukaan baru-baru ini. Dan dengan cerdas Golkar menyatakan akan tetap mengawal SBY sampai masa akhir jabatannya.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad Bandung.

Tidak ada komentar: