Rabu, 24 November 2010

Penuntasan Paket UU Politik

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat Kamis 25 Oktober 2010

Pembahasan paket undang-undang politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai saat ini masih berjalan tertatih-tatih sementara batas akhir penyelesaian tinggal sebentar lagi. Ada enam RUU yang dikategorikan sebagai paket undang-undang politik, yaitu RUU perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, RUU perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, RUU perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, RUU perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPRD, RUU perubahan atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres, dan RUU tentang Pemilu Kepala Daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) telah bersepakat bahwa masa persiapan pemilu yang ideal adalah 2,5 tahun. Dengan demikian, kalau Pemilu 2014 akan diselenggarakan pada April 2014, maka akan jatuh pada bulan September 2011. Oleh karena itu, pembahasan paket undang-undang politik tersebut seharusnya sudah selesai selambat-lambatanya pada bulan Oktober 2011.
Dengan waktu yang kurang dari setahun apakah lembaga legislatif kita mampu menuntaskan tugas tersebut? Ada banyak suara dari sejumlah kalangan yang menyiratkan kepesimisan akan pencapaian target itu. Penilaian ini sulit ditolak jika melihat kinerja DPR yang memang lamban terutama dalam hal legislasi. Dari keenam paket undang-undang politik tersebut yang relatif lancar hanyalah RUU tentang partai politik.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ada beberapa langkah yang harus dilakukan DPR jika ingin pembahasan paket undang-undang politik tersebut sesuai dengan target. Pertama, DPR hendaknya mengurangi masa reses. Salah satu caranya adalah mengkaji ulang bahkan bila perlu melakukan moratorium kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri yang biasa dilakukan di masa reses. Sebagaimana diketahui masa reses anggota DPR biasanya berlangsung satu bulan dan sampai saat ini mereka telah melakukan lima kali reses. Jadi, kalau dihitung dari sejak pelantikan pada Oktober 2009, diperkirakan masa reses yang telah digunakan berkisar antara 3,5 sampai 4 bulan. Selain itu, masa reses juga bisa digunakan untuk menambah hari legislasi. Dua hari legislasi yang telah ditetapkan, yakni Rabu dan Kamis agaknya masih belum berjalan efektif.
Kedua, DPR tidak perlu merasa sungkan untuk bekerjasama dan berbagi dengan pemerintah. Apalagi dari keenam RUU tersebut ada dua yang merupakan inisiasi pemerintah, yaitu tentang pemilihan presiden dan wapres dan pemilihan kepala daerah. Berbeda dengan DPR, pemerintah dalam hal ini lebih diuntungkan karena relatif bebas dari beragam kepentingan partai politik, sehingga bisa lebih fokus dalam membuat undang-undang.
Ketiga, yang terpenting adalah bahwa para anggota legsialatif hendaknya mengedepankan komitmen bersama untuk menyukseskan pemilu yang merupakan hajatan nasional. Kepentingan negara mesti didahulukan daripada kepentingan partai. Berlarut-larutnya pembahasan misalnya tentang undang-undang penyelenggara pemilu memperlihatkan betapa mereka masih “tersandera” oleh kepentingan partai. Usulan agar penyelenggara pemilu boleh dimasuki orang partai jelas mengindikasikan hal tersebut.
Para anggota legislatif membangun argumentasi kengototannya itu dengan melihat Pemilu 1999 sebagai justifikasi mereka ketika orang-orang partai menjadi penyelenggara pemilu dan cukup sukses. Padahal situasi dan konteks sosial-politik ketika itu jauh berbeda dengan sekarang. Seharusnya mereka berkaca pada Pemilu 2009 di mana waktu persiapan sangat singkat, yakni hanya satu tahun sehingga kurang maksimal dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi para anggota DPR untuk tidak menuntaskan paket undang-undang politik jika ingin hajatan nasional pada 2014 berjalan dengan sukses.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.\

Tidak ada komentar: