Kamis, 21 Oktober 2010

Perubahan Peta Kekuatan Politik

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat (Kamis 21 Oktober 2010)

Baru-baru ini terdapat setidaknya dua peristiwa politik yang kiranya dapat memberikan perubahan peta kekuatan politik yang cukup signifikan. Pertama, menyeruaknya suara-suara dari internal Partai Golkar (PG) yang menyiratkan ketidakpuasan atas keterlibatannya di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) di lembaga parlemen. Ketidakpuasan ini terkait dengan tidak diakomodasikannya beberapa pemikiran yang ditawarkan partai beringin. Bahkan ketidakpuasan tersebut oleh sebagian kalangan internal partai ingin ditindaklanjuti dengan keluar dari Setgab.
Kedua, terdapat kecenderungan kian merapatnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Partai Demokrat (PD). PDIP yang selama ini dipandang sebagai partai oposisi yang berada di luar Setgab belakangan ini memberikan sinyal cukup kuat untuk bergandengan tangan dengan Demokrat. Bukti paling anyar adalah hadirnya beberapa elite Demokrar, seperti Marzuki Alie, Andi Malarangeng dan Syarif Hasan dalam acara tasyakuran khitanan putra Puan Maharani di sebuah hotel di Jakarta.
Yang menarik dianalisis adalah bahwa kedua peristiwa tersebut bertepatan dengan momentum satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Seperti banyak diungkapkan oleh berbagai kalangan bahwa capaian kerja pemerintahan SBY selama satu tahun ini belum maksimal. Sebagian kementerian bahkan mendapatkan rapor merah. Oleh karena itu, tuntutan agar SBY melakukan penggantian kabinet (reshuffle) cukup kuat. Dalam konteks inilah, signifikansi politik dari kedua peristiwa di atas sulit diabaikan.

Perubahan Peta Kekuatan?
Memang terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa akan ada perubahan peta kekuatan politik di lembaga legislatif dengan mencuatnya kedua peristiwa tersebut. Dalam konteks Golkar, misalnya, betatapun suara ketidakpuasan dan tuntutan agar keluar dari Setgab cukup keras bahkan disuarakan beberapa tokoh teras seperti Firman Subagyo dan Yorrys Raweyai, namun Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua umum segera meredamnya seperti yang ia sampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) kesatu Partai Golkar.
Bagi Golkar, agaknya masih sulit untuk lepas dari tradisinya sebagai partai berkuasa sehingga pilihan untuk keluar dari Setgab sulit dilakukan. Hal ini ditambah dengan adanya jalinan kedekatan personal Ical-SBY yang telah terbangun sekian lama sehingga tidak akan mudah pecah. Dari perspektif ini dapat dibaca bahwa apa yang dilakukan Golkar sesungguhnya lebih merupakan strategi untuk menaikkan daya tawar politik (bargaining position) di hadapan SBY jika penggantian kabinet benar-benar dilakukan.
Di pihak lain, SBY sendiri juga tampaknya lebih suka kalau Golkar tetap berada dalam barisan koalisi pendukungnya. Pengalaman dan sumber daya manusia di Golkar tentu akan banyak membantu Demokrat seperti yang diperolehnya selama ini di Setgab. Apalagi dengan munculnya isu penggulingan pemerintahan, SBY merasa perlu mendapatkan sokongan dari partai-partai koalisi. Dan Golkar dengan tegas telah mengatakan siap mengawal pemerintahan SBY sampai akhir masa jabatannya.
Adapun kecenderungan PDIP untuk merapat kepada Demokrat juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ada beberapa alasan bagi partai moncong putih ini untuk bermesraan dengan Demokrat. Pertama, statusnya sebagai partai oposisi, meski tidak tegas disebutkan seperti itu, ternyata tidak cukup memberikan citra yang baik di mata publik. Meski pernah menang dalam Pemilu 1999, tetapi dalam dua pemilu setelahnya, 2004 dan 2009 mengalami kekalahan. PDIP juga agaknya kesulitan untuk mendapatkan sumber daya keuangan dengan posisinya tersebut.
Kedua, di dalam tubuh PDIP terdapat masalah-masalah yang cukup pelik, antara lain jeratan kasus hukum yang tengah menimpa para tokohnya. Kasus paling jelas adalah isu penerimaan suap saat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda S. Goeltom. Sampai saat ini kasus tersebut masih terus diselidiki dan tentu akan menjadi ganjalan besar bagi PDIP.
Sebaliknya, bagi pihak Demokrat, keinginan PDIP untuk merapat jelas merupakan keuntungan politik yang besar. Demokrat tentu akan merasa senang dan tenang menghadapi berbagai isu termasu wacana penggulingan pemerintahan SBY. Selain itu, di masa-masa yang akan datang berbagai kebijakan pemerintah pun dapat dengan mudah diamankan di DPR.
Berdasarkan pemaparan di atas bukan tidak mungkin kita akan melihat ada perubahan peta kekuatan politik di lembaga legislatif. Jika itu terjadi, maka sebenarnya yang menang adalah Demokrat, tetapi demokrasi di sisi lain menjadi kehilangan rohnya karena tidak akan ada lagi kekuatan penyeimbang.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Tidak ada komentar: