Kamis, 21 Oktober 2010

Wacana Penggantian Kapolri

Dimuat di Harian Suara Karya (Kamis 30 September 2010)

Belakangan ini wacana tentang penggantian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) baru terus menghangat di berbagai forum. Namun sayangnya wacana tersebut lebih banyak terfokus pada aspek-aspek teknis-prosedural alih-alih menukik pada persoalan yang lebih substantif.
Paling tidak ada dua aspek teknis-prosedural yang mengemuka. Pertama, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus mengajukan dua nama calon ataukah cukup satu nama saja ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua, apakah SBY harus lebih mengutamakan senioritas (angkatan) ataukah lebih mengedepankan rekam jejak dan prestasi yang bersangkutan.
Padahal kalau ditelisik lebih dalam, kedua masalah tersebut tidak perlu menjadi perdebatan panjang sehingga bisa menghabiskan energi yang tidak perlu. Misalnya pada aspek yang pertama, baik dua atau satu nama yang diajukan presiden, tidaklah berpotensi melanggar undang-undang. Barangkali yang akan muncul adalah konsekwensi bahwa kalau diajukan dua nama, DPR memiliki kesempatan untuk memilih yang terbaik dari yang ada. Pada sisi lain ada pula tafsir yang menyatakan bahwa undang-undang menghendaki DPR bukan memilih, melainkan menyetujui atau menolak. Dalam hal ini, pengajuan satu nama dianggap lebih tepat.
Mengenai senioritas, karena adanya perbedaan angkatan antara dua calon yang beredar, yaitu Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna (1978) dan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Inspektur Jenderal (baru saja dinaikkan menjadi Komisaris Jenderal) Imam Sudjarwo (1980), sebenarnya juga bukan persoalan serius. Dalam manajemen modern prinsip kepemimpinan tidak didasarkan pada usia atau angkatan melainkan pada prestasi kerja (meritokrasi). Maka, siapapun dapat meraih posisi tinggi meski usianya muda kalau memiliki prestasi yang baik. Bahwa masalah psikologis yang akan muncul jika sebuah institusi dipimpin oleh yang lebih muda, sesungguhnya bisa ditangani secara profesional dan modern.

Komitmen Reformasi
Yang agak terabaikan dari wacana penggatian Kapolri ini justeru masalah yang lebih subtantif, yakni komitmen reformasi dari calon. Padahal inilah sesungguhnya yang harus banyak disoroti publik ketimbang dua hal di atas dalam kerangka menjadikan polri sebagai institusi negara yang reformis sehingga mampu menjalankan fungsinya dengan benar.
Sejak diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di mana polri dilepaskan dari TNI, maka upaya-upaya reformasi terhadap lembaga kepolisian tersebut terus dilakukan. Setidaknya reformasi polri meliputi tiga aspek, yakni instrumental, struktural dan kultural. Pada dua aspek pertama reformasi polri boleh dikatakan cukup baik. Namun dalam hal reformasi kultural, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh polri.
Reformasi kultural, misalnya, berupaya untuk mengubah kultur pribadi (karakter) anggota polisi dengan mengacu pada fungsi Tri Brata Polri, yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Namun faktanya, pada tataran elite, misalnya, seringkali kita mendapatkan kenyataan bahwa lembaga ini acap terseret pusaran arus kekuasaan sehingga melupakan fungsinya tersebut. Dan pada tataran bawah kita juga kerap menemukan “polisi-polisi nakal” baik di tingkat daerah maupun pusat yang tentu saja menyimpang dari garis reformasi polri. Realitas ini tentu akan menjadi tanggung jawab Kapolri baru nanti.
Selain itu, Kapolri baru harus berkomitmen dengan paradigma baru polri yang sering digaungkan para anggota kepolisian itu sendiri dan bahkan banyak dipampangkan di kantor-kantor kepolisian. Salah satu butir penting dari paradigma baru tersebut adalah bahwa polri bukanlah alat kekuasaan (politik), melainkan alat negara.
Poin bahwa polri bukan merupakan alat kekuasaan agaknya harus ditekankan kuat-kuat karena akhir-akhir ini kesan bahwa polri lebih banyak bekerja demi penguasa cukut kuat. Kasus kriminalisasi KPK beberapa waktu bisa dijadikan salah contoh. Bahkan masalah penangkapan terorisme yang sempat menaikkan citra polisi kembali membuat publik bertanya-tanya ketika penyergapan yang dilakukan acap berkaitan --seolah-olah disengaja-- dengan momentum besar yang “menyulitkan” pemerintah, seperti ketika menguaknya kasus Century yang berbuntut dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) di DPR.
Ala kulli hal, siapapun yang akan terpilih menjadi Kapolri menggantikan Bambang Hendarso Danuri diharapkan akan terus menancapkan jejak-jejak reformasi yang telah ditorehkan di polri seraya terus memperbaiki hal-hal yang belum tersentuh reformasi.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: