Kamis, 22 September 2011

Reformasi Koalisi dan Ketegasan SBY (Pikiran Rakyat, 10 Maret 2011)

“Jika Anda tidak melemparkan dadu, maka Anda tidak pernah akan mendapatkan angka enam.” Kalimat ini merupakan filosofi yang banyak digunakan di dalam dunia bisnis yang menekankan masalah keberanian dalam mengambil sebuah tindakan dengan segala resikonya. Artinya, kalau kita mengharapkan angka enam, maka kita harus berani melemparkan dadu itu sekalipun kemungkinan yang keluar adalah angka satu, dua dan seterusnya karena itu adalah resikonya.

Filosofi bisnis di atas agaknya tepat pula digunakan di dalam dunia politik Indonesia sekarang ini, terutama bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Wacana reformulasi koalisi pendukung pemerintah di DPR yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) dan perombakan kabinet (reshuffle) akhir-akhir ini terus digaungkan ke publik. Namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda kepastian kecuali sinyal-sinyal kecil baik yang diungkapkan SBY maupun para petinggi Demokrat.

Padahal kalau melihat kasus yang melatarbelakangi adanya kekisruhan di dalam koalisi, jelas hal itu perlu segera ada tindakan konkrit. Sebagaimana diketahui koalisi terbelah pada saat pengajuan hak angket mafia pajak di mana Golkar dan PKS berseberangan dengan anggota koalisi lainnya. Dalam kasus-kasus lain pun, hal seperti ini juga kerap terjadi seperti dalam kasus Bank Century, deponeering kasus kriminalisasi ketua KPK dan lain-lain.

Berbagai kasus di atas sebenarnya sudah sangat jelas dapat dijadikan alasan bagi SBY untuk mengambil sebuah tindakan politik. Bagaimanapun dari segi fatsun politik, tindakan Golkar dan PKS tersebut tidak dapat dibenarkan sekalipun dengan alasan membela kepentingan rakyat dan sebagainya. Maka, sudah saatnya SBY memberikan punishment bagi kedua partai tersebut tanpa harus takut dengan resiko politik yang mungkin timbul.

Namun demikian, agaknya kita masih akan dibuat gemas oleh SBY karena tidak kunjung berani mengambil tindakan tegas. Bahkan sinyal terakhir memperlihatkan bahwa SBY dan Golkar kembali melakukan rekonsiliasi setelah adanya pertemuan empat mata antara SBY dan Ketum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) di Istana Negara pada Selasa sore kemarin. Setelah pertemuan Ical menyatakan bahwa Golkar akan tetap berada di dalam koalisi.

Sikap SBY yang tetap mengakomodasi Golkar tampaknya didasari oleh kalkulasi politik. Sebagai pemain yang selalu mencari aman (safety player) SBY tentu tidak berani menendang Golkar dari koalisi karena belum mendapatkan garansi politik dari PDIP yang sampai saat ini belum memberikan sinyal untuk bersedia bergabung ke dalam koalis. Dalam situasi seperti itu, tentu SBY tidak berani melepaskan Golkar sebagai partai terbesar kedua di DPR dari gengamannya.

Padahal sebenarnya SBY tidak perlu melakukan kalkulasi politik secara matematis seperti di atas. Bagaimanapun ia terpilih sebagai presiden secara langsung dengan mendapatkan dukungan rakyat di atas 60 persen. Seharusnya ini dapat dijadikan modal politik baginya untuk berani bersikap tegas. Tentu dengan catatan bahwa ia harus menyelesaikan 3,5 tahun sisa waktunya untuk bekerja sekuat-kutatnya demi memenuhi harapan rakyat.

Oleh karena itu, pilihan yang paling tepat bagi SBY seharusnya berani mendepak Golkar dan PKS. Kalau tindakan ini yang diambil justeru akan memberikan keuntungan bagi SBY. Pertama, ia bisa mereformulasi orientasi koalisi pendukungnya secara lebih tegas lagi. Misalnya SBY bisa meminta para anggota koalisi untuk bersama-sama menyukseskan program-program yang pro-rakyat alih-alih sekadar bagi-bagi kekuasaan.

Kedua, pada saat yang sama SBY juga akan dinilai publik sebagai orang yang berani bersikap tegas dalam mengambil tindakan, tidak lagi peragu dan plin-plan seperti yang sering digambarkan selama ini. Dengan kata lain, kasus ini sebenarnya dapat dijadikan momentum bagi SBY untuk memperbaiki citra dirinya yang esensial, bukan yang artifisial yang biasa dilakukannya.

Namun sayang, SBY ternyata tetap merupakan tipikal pemimpin yang tidak mau mengambil resiko. Momentum yang sesungguhnya sangat baik untuk meningkatkan citra kepemimpinannya itu dilewatkan begitu saja.



*Penulis, Deputi Direktur the Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Tidak ada komentar: