Kamis, 22 September 2011

Nazaruddin, Pengakuan Lupa dengan Selaksa Makna (Pikiran Rakyat 22 Agustus 2011)

Kasus Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, tampaknya akan terus menyita perhatian publik dalam waktu yang cukup lama. Perubahan yang diperlihatkannya secara tiba-tiba, yakni diam dan mengaku lupa, di hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu wacana yang kemudian diperbincangkan publik secara luas. Bagaimana seharusnya kita membaca sikap diam dan lupa tersebut?

Dalam konteks ini, teori dramatisme yang diperkenalkan Kenneth Burke dalam salah sebuah karyanya, A Rhetoric of Motives (1950), cukup relevan. Teori ini mencoba mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama dengan memfokuskan perhatiannya pada adegan dari para pemainnya. Adegan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam menyingkap motif manusia. Sikap diam Nazaruddin tentu dilatarbelakangi oleh motif tertentu.

Menurut Burke, motif utama dari pembicara atau pelaku adegan adalah rasa bersalah (guilt). Rasa bersalah ini diartikan secara luas meliputi berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa jijik atau rasa tidak menyenangkan lainnya. Dalam hal ini, seorang pembicara akan menjadi paling sukses ketika mereka memberikan khalayaknya cara untuk menghapuskan rasa bersalahnya. Maka, boleh jadi apa yang dilakukan Nazaruddin sebagai usaha untuk menghapuskan rasa bersalahnya.

Untuk menghapuskan rasa bersalah tersebut mesti ada langkah pengorbanan (victimage) yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu mortifikasi (mortification) dan pengkambinghitaman (scapegoating). Yang pertama terkait dengan langkah meminta maaf untuk kesalahan dengan menyalahkan diri sendiri, sedangkan yang kedua berusaha melemparkan kesalahan pada orang lain. Pertanyaannya adalah mungkinkah sikap Nazaruddin di atas sebagai bentuk mortifikasi dan pada saat yang sama ia juga dijadikan sebagai kambing hitam?

Kalau melihat pernyataan Nazaruddin yang secara tegas menyebutkan siap menanggung kesalahan seorang sendiri, atau siap pasang badan, boleh jadi ia sedang melakukan mortifikasi. Dengan begitu, ia berharap akan mendapatkan simpati dari khalayak dan pada gilirannya mendapatkan pemaafan. Inilah yang dalam teori dramatisme disebut sebagai salah satu bentuk strategi retoris seorang pembicara.

Namun, kalau melihat pada surat Nazaruddin yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berarti mortifikasinya tersebut tidaklah murni, melainkan juga mengandung pengkambinghitaman. Hal ini karena pernyataannya mengandung kalimat-kalimat bersayap. Misalnya, ia siap menanggung kesalahan tanpa menyebut-nyebut partai (Demokrat) asalkan SBY berjanji tidak akan mengganggu anak dan istrinya.

Menurut penulis, penyebutan nama SBY dan Demokrat justeru memperlihatkan bahwa Nazaruddin sebenarnya ingin “menyeret” mereka secara halus. Bagaimanapun SBY, selain sebagai presiden, adalah Ketua Dewan Pembina Demokrat dan ia agaknya masih merasa dirinya sebagai orang partai. Dan kalimat “tanpa menyebut-nyebut partai” seolah-olah memberi penegasan bahwa memang ia tidak sendiri melakukan tindakan korupsinya, melainkan secara berjamaah bersama orang-orang partai seperti yang pernah ia suarakan secara lantang dalam persembunyiannya.

Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi KPK selain menyingkapkan tabir di balik itu semua melalui bukti-bukti hukum. Jangan sampai terjebak ke dalam perangkap permainan kata-kata yang diungkapkan Nazaruddin. Kalau memang ada aktor-aktor lain yang kemungkinan besar lebih powerfull dari Nazaruddin, tentu harus pula diusut secara tuntas sehingga pemberantasan korupsi bisa menyentuh akarnya.

Meminjam pernyataan Faisal Basri belum lama ini, Nazaruddin cuma kerbau kecil, sedangkan kerbau besarnya masih belum tersentuh. Sebagai institusi penegak hukum yang masih lebih dipercaya publik daripada institusi yang lainnya, setidaknya sampai saat ini, KPK harus berusaha sekuat tenaga menemukan kerbau besarnya tersebut tanpa takut apapun dan siapapun.

Tidak ada komentar: