Kamis, 22 September 2011

"Lampu Kuning" Reformasi (Suara Karya, 25 Mei 2011)

Hasil survei yang dilakukan Indo Barometer belum lama ini yang mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai rejim Orde Baru daripada Orde Reformasi agaknya telah menohok publik. Disebutkan bahwa sebanyak 40,9 persen dari total 1200 responden di 33 provinsi yang menyukai Orde Baru. Sementara yang menyukai kondisi saat ini sebesar 22,8 persen. Khusus bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, hasil survei tersebut jelas merupakan tamparan yang cukup keras.

Hasil survei juga menyebutkan bahwa dari enam Presiden Indonesia, rakyat ternyata lebih menyukai mantan Presiden Soeharto dengan angka sebesar 36,5 persen. Presiden SBY sendiri hanya berada di urutan kedua dengan 20,9 persen, berikutnya Soekarno 9,8 persen, Megawati 9,2 persen, BJ Habibie 4,4 persen dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 4,3 persen. Kalau ditarik garis, maka terdapat korelasi positif antara pemerintahan yang disukai yakni Orde Baru dan presiden yang disukai yaitu Soeharto.



Kegagalan Reformasi?

Pertanyaan penting dalam konteks ini, terlepas dari kelemahan survei terutama terkait metode pembandingan antar orde yang kurang tepat dengan responden yang tidak merasakan keseluruhan orde itu, adalah apakah hasil survei Indo Barometer di atas bisa dijadikan tolak ukur bahwa reformasi yang telah dijalankan bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga belas tahun sejak jatuhnya rejim Orde Baru dianggap gagal? Kalau demikian, apakah hal ini akan dijadikan pintu masuk bagi sebagian rakyat Indonesia untuk merindukan kembali model kehidupan Orde Baru?

Harus diakui bahwa gerakan reformasi selama masa transisi demokrasi di republik ini masih jauh dari harapan. Tiga tahapan yang mesti dilalui masa transisi untuk menuju negara demokrasi, sebagaimana yang diungkapkan Guillermo 0’Donnel dan Philip C. Schmitter dalam Transisi Menuju Demokrasi (1993), yakni liberalisasi -proses pengefektifan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok dari tindakan sewenang-wenang negara-, konsolidasi dan pelembagaan demokrasi agaknya masih mengandung banyak problem.

Pada tahapan liberalisasi, yakni Indonesia boleh dikatakan cukup berhasil. Namun pada dua tahapan berikutnya, yakni konsolidasi dan pelembagaan demokrasi masih banyak problem. Masalah design kenegaraan antara presidensialisme dan parlementarisme, misalnya, sampai saat ini masih belum jelas. Meski menganut sistem presidensial, tetapi praktik parlementer justeru sangat menonjol sehingga menimbulkan berbagai kerumitan konstitusional. Begitu juga dengan kehidupan kepartaian dan politik secara umum yang dicengkeram virus oligarki, kartelisasi, elitisme politik sehingga kian menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) rakyat. Kondisi inilah yang justeru menjadi penghalang upaya-upaya pemberantasan korupsi yang sesungguhnya paling dituntut dari Orde Reformasi.

Dengan torehan prestasi Orde Reformasi yang belum membanggakan tersebut, maka tidaklah mengherankan kalau kemudian rakyat Indonesia kurang memberikan apresiasi. Hanya aspek hukum sajalah yang agaknya masih diberikan apresiasi positif oleh rakyat yang barangkali disebabkan oleh dibongkarnya kasus-kasus hukum yang melibatkan sejumlah tokoh. Namun inipun sebenarnya kalau dicermati secara lebih jauh, pembongkaran beberapa kasus tersebut masih bersifat pinggiran atau kelas teri. Justeru kasus-kasus besar menguap begitu saja, seperti kasus Century, rekening gendut polisi, IPO Krakatau Steel dan sebagainya.



Romantisme Historis

Yang dikhawatirkan dari pencapaian reformasi yang masih memprihatinkan tersebut adalah adanya kerinduan dari sebagian rakyat Indonesia terhadap kehidupan masa Orde Baru sehingga menghendaki agar model kehidupan seperti itu dipraktikkan lagi untuk konteks sekarang. Namun yang lebih dikhawatirkan lagi adalah jika realitas ini dijadikan momentum oleh partai politik pengusung roh Orde Baru untuk terus menerus dikampanyekan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Orde Baru lebih baik dari Orde Reformasi.

Akibatnya, bukan tidak mungkin akan muncul sikap romantisme historis di kalangan rakyat Indonesia. Yaitu sikap yang hanya mengagung-agungkan kejayaan masa lalu, dalam konteks ini Orde Baru, tanpa melakukan sikap kritis terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukannya. Pembungkaman suara rakyat, penahanan tanpa proses pengadilan, penculikan aktivis, pembunuhan warga dan sebagainya akan diabaikan. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika memandang berbagai problem saat ini bukan warisan dari Orde Baru. Sikap seperti ini tentu sangat berbahaya jika menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, munculnya suara-suara yang mendambakan kehidupan ala Orde Baru seperti yang diperlihatkan hasil survei tersebut jelas harus dijadikan sebagai peringatan atau bahkan lampu kuning bagi pemerintahan sekarang untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam rangka memenuhi tuntutan rakyat. Kalau saja pemerintahan fokus pada upaya pemberantasan korupsi secara konkrit, bukan hanya pada janji yang rajin diumbar SBY, apresiasi rakyat terhadap pemerintah pasti akan tinggi, sebab korupsi telah menjadi musuh nomor satu bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar: