Kamis, 22 September 2011

Tantangan (Baru) Partai Demokrat (Jurnal Nasional 22 Juli 2011)

Partai Demokrat sekarang ini benar-benar bak berada di rumah kaca. Ia seolah menjadi titik episentrum sorotan berbagai pihak terkait dengan kasus-kasus yang menderanya secara bertubi-tubi. Posisinya sebagai partai berkuasa (the ruling party) sangat memungkinnya untuk untuk menjadi sasaran tembak. Maka, tidak aneh kalau kemudian partai yang berlambang mercy ini seakan-akan seperti “pesakitan”.

Dalam suasana seperti inilah Demokrat hendak menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang akan diselenggarakan pada 23-24Juli. Pertanyaannya adalah apa sesungguhnya yang mendesak dilakukan Demokrat dalam merespons perkembangan situasi sosial-politik yang cenderung “tidak bersahabat” dengan partai tersebut?



Konsolidasi

Salah satu hal yang sangat mendesak untuk dilakukan Demokrat sekarang ini adalah konsolidasi partai. Dalam konteks ini, ada dua konsolidasi yang mesti menjadi perhatian serius. Pertama, konsolidasi organisasi. Kenyataan yang sulit dimungkiri, sekalipun berusaha ditutup-tutupi, adalah adanya perpecahan internal yang menyeruak ke permukaan.

Bahkan, perpecahan tersebut semakin jelas ketika terekam dalam acara siaran talk shaw secara live di salah sebuah stasiun televisi: satu petinggi Demokrat dengan petinggi lain saling serang secara sengit. Padahal mereka dilihat oleh ribuan bahkan jutaan pemirsa.

Kalau dilihat secara lebih jauh, perpecahan di tubuh Demokrat memiliki akarnya, yakni faksionalisme yang setidaknya dapat dirunut pada penyelenggaraan Kongres di Bandung beberapa waktu lalu. Secara sederhana, faksi tersebut dikelompokkan menjadi faksi Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan Marzuki Alie. Sekalipun Anas --sebagai ketua umum terpilih-- melakukan politik akomodasi dengan merangkul semua rivalnya, namun sesungguhnya hal tersebut belum sepenuhnya teratasi.

Celakanya faksionalisme di tubuh Demokrat berbeda dengan faksionalime di partai-partai besar lainnya. Jika di partai lain faksionalisme sebagian dilandaskan pada ideologi, misalnya di PDIP, PKS --meskipun tidak menutup kemungkinan berdasarkan orientasi pragmatis-- maka di Demokrat faksionalisme tersebut tampaknya lebih didasarkan pada orientasi pragmatisme (kekuasaan).

Akibatnya, faksionalisme semacam ini sangat cair dan mudah sekali berbelok arah. Tentu saja kalau tidak dikelola dengan baik hal semacam ini bisa sangat menyulitkan Demokrat di kemudian hari. Dalam konteks ini, keterampilan komunikasi organisasi yang mesti dimainkan ketua umum partai sangat berperan. Ia harus bisa menjembatani beragam kepentingan di tubuh partai tersebut (fungsi agregasi) tanpa terjebak dalam pusaran konflik.

Kedua, konsolidasi keanggotaan. Sebagai partai berkuasa sulit dihindari bahwa Demokrat akan selalu menjadi sorotan publik terkait dengan berbagai perilaku anggotanya. Terlepas dari itu, terkuaknya sejumlah anggota Demokrat yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi dengan tokoh utamanya, Muhammad Nazaruddin --mantan bendahara umum-- jelas akan menjadi catatan buruk bagi partai ini ke depan. Dalam konteks ini, penanganan yang berlarut-larut terhadap kasus tersebut sangat tidak menguntungkan partai.

Wacana bahwa Rakornas akan dijadikan ajang “bersih-bersih partai” harus diterima dengan baik. Bahkan mesti direalisasikan sesegera mungkin. Demokrat tidak perlu sungkan --malah bila perlu mengubah AD dan ART-- dalam kerangka tindakan ini, jika mekanisme pemberian sanksi terhadap kader-kader yang nakal, misalnya, yang ada dirasa kurang progresif atau terlalu bertele-tele. Jangan sampai kesan ke tengah publik bahwa Demokrat merupakan partai “tempat berlindung” kader-kader korup.



Tantangan

Demokrat memang merupakan partai pemenang pemilu dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina menang dengan sekali putaran. Namun sejatinya hal itu tidak mesti dijadikan patokan dan kebanggan partai. Sebab, kecenderungan sekarang justeru suara Demokrat semakin menurun. Hal itu disinyalir akibat berbagai kasus yang menderanya terutama kasus Nazaruddin.

Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, menyebutkan bahwa jika pemilu diadakan tahun ini, Demokrat --meski masih menang-- tetapi kisaran suaranya hanya 18,9 persen. Ini berarti suara Demokrat mengalami penurunan karena pada Pemilu 2009 lalu memperoleh 20,89 persen.

Betul bahwa Pemilu 2014 masih sekitar tiga tahun lagi sehingga ada kemungkinan suara publik akan berubah pula. Namun yang selalu harus diingat Demokrat adalah bahwa memori publik yang terkait dengan kasus, terutama yang buruk, memiliki daya lekat yang panjang.

Dalam proses komunikasi, Richard E. Porter dan Larry A. Samovar (1982), menyebutkan bahwa komunikasi bersifat tidak dapat ditarik kembali (irreversible). Artinya, sekali kita mengatakan sesuatu (pesan) dan seseorang telah menerima dan men-decodenya, kita tidak dapat menarik kembali pesan tersebut dan meniadakan sama sekali pengaruhnya.

SBY, misalnya, berulangkali menyatakan, dalam hal perang terhadap korupsi Sang Presiden berdiri di barisan terdepan. Maka, kalau SBY dan Demokrat tidak dapat menindak tegas kader-kadernya yang nakal, maka itulah pesan komunikasi yang kemudian ditangkap publik dan terekam di dalam memorinya. Dampak komunikasi tersebut akan sulit ditarik kembali betatapun nanti SBY dan Demokrat berusaha menegasikan pesan pertama tersebut dengan mengirim pesan-pesan berikutnya.

Inilah sesungguhnya tantangan yang harus segera dijawab oleh Demokrat melalui Rakornas jika tidak ingin kecenderungan penurunan suara akan berlanjut, terutama pada saat Pemilu 2014 nanti.

Tidak ada komentar: