Kamis, 22 September 2011

Pekerjaan Rumah PPP (Jurnal Nasional 7 Juli 2011)

Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya calon incumbent Suryadharma Ali (SDA) akhirnya memenangkan kembali perebutan kursi nomor satu di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam Muktamarn PPP ke-VII yang diselenggarakan di Bandung dari 3 – 6 Juli 2011 tersebut SDA berhasil mengalahkan Ahmad Muqowam dan Ahmad Yani. Hasil akhir penghitungan menunjukkan bahwa SDA memperoleh 859 suara, Ahmad Muqowam 281 suara dan Ahmad Yani 39 suara.

Kini perhelatan besar muktamar telah usai. Namun tidak berarti permasalahan yang akan dihadapi ketua umum terpilih sirna. Justeru setiap kali sebuah perhelatan seperti muktamar digelar berbagai persoalan kemudian muncul baik secara internal maupun eksternal yang menuntut penanganan secara serius. Inilah sebenarnya pekerjaan pertama yang harus dihadapi SDA pasca terpilihnya kembali untuk jabatan ketua umum PPP periode 2011-2016..





Langkah Ke Depan

SDA yang terpilih untuk yang kedua kalinya tentu tidak bisa bersantai pasca muktamar karena ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera ditanganinya. Ada beberapa hal yang menuntut perhatian SDA secara serius. Pertama, konsolidasi internal partai. Setiap kontestasi kekuasaan senantiasa meninggalkan residu yang tidak dapat diabaikan begitu saja, yang kalau tidak disikapi dengan bijak bisa menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu siap meledak.

Dalam konteks ini, PPP barangkali cukup diuntungkan karena konflik-konflik internal yang terjadi selama ini tidak setajam seperti yang terjadi di partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP yang berakhir dengan keluar dari partai. Kecil kemungkinan bahwa konflik pasca muktamar akan berimbas pada kekecewaan yang berakhir dengan pengunduran diri dari partai. Namun meskipun begitu SDA tetap harus menyikapinya secara bijak sehingga potensi perpecahan bisa ditekan seminimal mungkin, misalnya dengan politik akomodatif sehingga bisa merangkul semua pihak.

Kedua, reposisi partai di dalam koalisi. Sudahnya saatnya PPP mereposisi keikutsertaannya di dalam barisan koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan (Setgab). Selama ini keberadaan partai yang berlambang Kabah ini tampaknya tidak terlalu menonjol di legislatif, bahkan ia “tenggelam” di antara partai anggota koalisi lainnya. Suara partai ini nyaris tak terdengar padahal berbagai isu bermunculan terkait dengan keberadaan setgab.

Realitas tersebut secara tegas memperlihatkan betapa PPP tidak memiliki daya tawar (bargaining position) yang kuat. Publik Indonesia yang kritis tentu akan menangkap bahwa orientasi partai ini hanyalah pragmatisme kekuasaan semata, sesuatu yang tidak sejalan dengan karakter keislaman yang seharusnya menjadi modal dasar partai ini. Kalau ini dibiarkan berlanjut bukan tidak mungkin akan menjadi semacam investasi politik yang tidak menguntungkan di masa mendatang setidaknya untuk Pemilu 2014.

Ketiga, identifikasi kepartaian. PPP yang tetap mempertahankan asas keislaman partai di tengah kerumunan partai-partai baik yang berasaskan Islam maupun yang berbasiskan massa Islam, tentu akan terbantu kalau memiliki karakter keislaman yang jelas. Ini diperlukan untuk menjadi faktor pembeda (diferensiasi) dari partai-partai yang berpolakan serupa. Kalau tidak, umat Islam di negeri ini tidak merasa harus berpaling ke PPP.

Kegamangan PPP dalam menghadapi perkembangan situasi sosial-politik di Indonesia menjadikan partai ini tidak memiliki karakter yang jelas seperti dimaksud. Akibatnya, partai menjadi seolah kehilangan orientasi untuk menampilkan isu-isu yang menarik bagi umat Islam. Pilihan untuk mengedepankan masalah syariat Islam, misalnya, tampaknya lebih dilatarbelakangi oleh adanya kegamangan tersebut, bukan merupakan manifestasi dari karakter tersebut.

Sebenarnya kalau pengurus PPP berpikir serius banyak isu yang bersifat umum tetapi bisa diolah secara kreatif dari perspektif keislaman. Dengan kata lain, tanpa perlu melepaskan identitas keislamannya, partai ini bisa mengemas berbagai isu tersebut secara lebih menarik. Misalnya, tentang korupsi yang kini menjadi musuh nomor satu di republik ini, seharusnya bisa diolah PPP menjadi isu yang sangat menarik sekaligus menjadi komitmennya.

Problem

Namun demikian, ada problem yang dihadapi SDA dalam membawa PPP ke jajaran partai-partai besar. Salah satu problem tersebut justeru berasal dari personalitas SDA itu sendiri. Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua problem atau kelemahan yang dimiliki SDA dalam konteks tersebut.

Pertama, oportunistik-pragmatis. Kesan yang diperlihatkan SDA dalam memimpin PPP selama ini sangat kental dengan oportunistik-pragmatis. Orientasi kekuasaan pada diri SDA, seperti menduduki jabatan menteri, sangat menonjol sehingga dalam berbagai kesempatan ia lebih kerap menampilkan dirinya sebagai safety player tanpa memerhatikan secara seksama reaksi konstituen partai. Dengan kata lain, ia lebih memilih berada di zona nyaman ketimbang berjibaku membesarkan partai.

Kedua, minus kreativitas. Harus diakui bahwa PPP di bawah kepemimpinan SDA sangat minim dengan kreativitas dibandingkan dengan partai-partai lain, padahal kreativitas sangat penting untuk mencari berbagai terobosan dan sekaligus juga bisa dijadikan investasi politik di masa depan. Ketika PAN, misalnya, mengintroduksi gagasan tentang konfederasi partai dalam rangka merespons ide penyederhanaan partai politik, partai lain mengajukan alternatif seperti fusi (Golkar) dan asimilasi (demokrat). Sementara PPP praktis diam saja. Padahal terobosan-terobosan pemikiran semacam ini akan mendapatkan respons positif dari publik.

Tidak ada komentar: