Kamis, 22 September 2011

Kekohesifan (Semu) Partai Demokrat (Media Indonesia, 27 Juli 2011)

Edit
Kekohesifan (Semu) Partai Demokrat, Media Indonesia Rabu 27 Juli 2011
by Iding R. Hasan on Wednesday, July 27, 2011 at 5:07pm

Rapat Koordinasi Nasional (Rakernas) yang digelar Partai Demokrat pada 23 – 24 Juli di Sentul, Jawa Barat, akhirnya berakhir tanpa letupan-letupan berarti. Meskipun sebelum rakornas muncul wacana di tengah publik tentang kemungkinan bergesernya acara tersebut menjadi Kongres Luar Biasa (KLB) yang bisa melengserkan Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum menyusul serangan tajam dari Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum, namun ternyata hal itu tidak terjadi. Memang sempat muncul suara yang menghendaki penonaktifan Anas seperti yang diusung Sekretaris DPD Demokrat Jawa Tengah, tetapi itu pun kemudian tidak mendapatkan dukungan luas dari peserta rakornas.

Pertanyaannya adalah benarkah tiadanya letupan-letupan tersebut dapat menunjukkan bahwa Demokrat telah berhasil melakukan konsolidasi internal partai yang menjadi agenta utama rakornas? Ataukah hal tersebut bisa dijadikan indikasi, seperti ditegaskan teori groupthink, bahwa kader-kader Demokrat tidak berani berbeda pendapat dengan arus utama suara partai? Sebagaimana diketahui bahwa Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah menyampaikan pesan yang berisikan ketidaksetujuannya untuk tidak menggeser acara rakornas menjadi KLB.



Gejala groupthink

Di dalam ilmu ekomunikasi, teori groupthink yang biasa digunakan untuk menganalisis komunikasi kelompok (organisasi) pertama kali diintroduksikan oleh Irving Janis dalam bukunya Victims of Groupthink (1972). Secara sederhana teori ini dapat dijelaskan sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok (organisasi) ketika keinginan mereka terhadap kesepakatan melampaui motivasi mereka. Dengan kata lain, pencarian para anggota atas sebuah konsensus lebih ditekankan ketimbangkan akal sehat. Hal ini dilakukan adalah dalam rangka menjaga kekohesifan kelompok atau organsisasi mereka.

Situasi yang terjadi di dalam Rakornas Demokrat di Sentul agaknya mencerminkan kecenderungan teori di atas. Keinginan para kader Demokrat untuk melakukan konsolidasi internal partai –sebuah pencarian konsensus—telah mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Tentu saja itu semua dilakukan demi menjaga kekohesifan Partai Demokrat yang belakangan terlihat kian goyah akibat berbagai isu korupsi yang melibatkan sejumlah kadernya, terutama Nazaruddin.

Dalam perspektif groupthink, pemikiran arus utama yang umumnya diperankan oleh tokoh terpenting menjadi dominan. Dalam konteks ini, SBY sebagai tokoh paling berpengaruh di partai biru tersebut telah berhasil membuat “pagar” dengan menghadang gelindingan bola liar KLB, sehingga tidak ada satupun yang berani melintasi pagar tersebut. Bagaimana pun, SBY berpikir realistis untuk mengedepankan soliditas di kalangan kader Demokrat, ketimbang membuka ruang KLB yang tentu, tidak saja akan menghabiskan biaya yang besar dalam berbagai aspeknya, melainkan juga bisa memperparah perpecahan yang sudah mengendap.

Dari perspektif jangka pendek, apa yang dihasilkan rakornas tersebut mungkin menguntungkan Demokrat. Setidaknya, soliditas organisasi dan anggota partai yang mulai agak cerai berai bisa direkatkan kembali. Tentu saja kondisi seperti ini sangat dibutuhkan Demokrat terutama untuk menyongsong Pemilu 2014 yang tinggal menyisakan waktu kurang lebih tiga tahun.



Kekohesifan Semu?

Namun dari perspektif jangka panjang, keberhasilan rakornas dalam “meredam” gejolak internal partai bukan berarti telah selesai. Sejumlah masalah diyakini masih akan melilit Demokrat pasca rakornas yang sesungguhnya masih bersumber dari masalah yang sama. Menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa hal yang tetap akan menjadi persoalan bagi Demokrat di masa yang akan datang.

Pertama, soliditas yang ditunjukkan Demokrat ke publik melalui rakornas tersebut sebenarnya bukanlah soliditas yang utuh. Ini antara lain dapat dilihat dari munculnya suara dari arus bawah yang menentang arus utama dan ternyata mendapatkan dukungan dari elite tertentu partai yang tidak sekubu dengan Anas. Bahwa kemudian suara tersebut tidak tidak mendapatkan respons luas lebih karena penghormatan terhadap SBY yang telah lebih dahulu menyatakan ketidaksetujuannya untuk “menyelewangkan” agenda rakornas.

Pada sisi lain, pemandangan yang cukup menimbulkan tanda tanya di benak publik juga terlihat saat penutupan rakornas. SBY yang sedianya akan menyampaikan pidato penutupan ternyata tidak terlihat di forum tanpa alasan yang jelas. Selain itu, Marzuki Alie, juga tidak tampak. Akhirnya, hanya Anaslah yang memberikan pidato penutupan. Bukan tidak mungkin publik akan menilai bahwa di balik ketidakhadiran itu ada sesuatu yang disembunyikan.

Kedua, janji Demokrat bahwa rakornas akan menjadi ajang pembersihan kader-kader partai yang bermasalah ternyata tidak sepenuhnya terwujud. Demokrat hanya mendaftar beberapa kader yang terlibat dan baru akan menindaknya seusai rakornas dengan dalih lebih memprioritaskan proses hukum. Padahal ada beberapa nama kader, selain Nazaruddin, yang sudah jelas terbukti bersalah secara hukum.

Dari sudut pandang komunikasi, penyebutan secara resmi oleh partai pada ajang penting semacam rakornas justeru akan memberikan bobot yang jauh lebih besar. Jika ini yang dilakukan kemarin, Demokrat tentu akan dianggap berani bertindak tegas terhadap kader-kadernya di muka publik seperti yang kerap dijanjikannya di berbagai forum. Menunda-nunda penindakan tegas terhadap kader bermasalah ke waktu setelah rakornas justeru akan menjadi bahan “pergunjingan” baru di tengah publik. Secara internal, hal ini pun sebenarnya tidak menguntungkan, karena mereka akan terus disibukkan oleh urusan tersebut yang ujung-ujungnya bisa mempertajam perpecahan.

Dengan demikian, Demokrat sebenarnya tidak berhasil memanfaatkan rakornas sebagai momentum untuk menaikkan kembali citranya di mata publik. Soliditas internal yang berhasil direkatkan hanyalah dibangun dari kekohesifan semu yang daya tahannya barangkali tidak terlalu kuat. Faksionalisme di tubuh Demokrat yang merupakan ganjalan terhadap kekohesifan kelompok sebenarnya masih tetap ada, yang kalau tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi bom waktu yang siap meledak.

Kalau pada tingkat soliditas Demokrat masih bermasalah, maka hal itu akan berdampak ke masalah-masalah lainnya. Masalah pembinaan kader dan peningkatan kinerja, misalnya, yang juga menjadi agenda rakornas, tentu tidak bisa dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, masih banyak masalah yang melilit partai ini sekalipun rakornas telah selesai.

Tidak ada komentar: