Rabu, 28 September 2011

Agama, Politik dan Kekerasan

Misi utama agama manapun di dunia ini adalah menyelamatkan umat manusia baik di dunia maupun di hari akhir kelak. Oleh karena itu, setiap aksi yang bertentangan dengan semangat penyelamatan manusia jelas bertentangan secara diametral dengan misi suci agama tersebut. Peledakan bom ataupun bom bunuh diri, apapun motifnya, jelas tidak dapat dibenarkan oleh agama karena mengandung semangat desktruktif.
Namun sayangnya, di negeri ini, di mana enam agama hidup berdampingan secara damai, kerap dikeruhkan oleh berbagai aksi kekerasan atas nama agama. Kasus penyerangan terhadap kelompok Islam tertentu masih sering terjadi, demikian pula aksi-aksi peledakan bom. Yang terkini adalah aksi bom bunuh diri di depan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah pada Minggu 25/9 kemarin. Meskipun tidak mengakibatkan banyak korban jiwa, tetapi aksi tersebut jelas merupakan teror yang menakutkan.
Jika kita melihat apa yang terjadi di negeri ini, kita menemukan dengan jelas bahwa ada disparitas yang begitu tajam antara idealitas agama sebagai penyelamat umat manusia dengan realitas destruktif yang dilakukan oleh sebagian pemeluknya. Tentu ini mengundang pertanyaan banyak pihak, mengapa agama seolah tidak mampu mengemban misi sucinya.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua cara pandang untuk memahami realitas tersebut. Pertama, dari aspek internal pemeluk agama. Tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat sebagian pemeluk agama (Islam) yang cenderung memahami doktrin agama secara skripturalis-literalistik. Model pemahaman kelompok ini sangat rigid, keras dan hitam-putih. Inilah yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai kelompok Islam radikal.
Pasca runtuhnya rejim Orde Baru ketika liberalisasi politik begitu menguat kelompok ini tidak lagi bergerak di bawah tanah seperti pada masa sebelumnya. Seolah mendapatkan peluang besar, mereka tampil secara terang-terangan melakukan penyebaran ideologinya.
Salah satu konsep yang dipahami secara skripturalis-literalistik adalah jihad. Jihad lebih dimaknai oleh kelompok ini sebagai berjuang mengangkat senjata di jalan Allah seperti yang pernah dilakukan Nabi Muhammad ketika memerangi kaum kafir Quraisy. Bagi kelompok ini, aksi peledakan bom ataupun bom bunuh diri dipandang sebagai cara jihad di jalan Allah untuk meraih tiket surga.
Kedua, terkait dengan kepentingan eksternal. Ini kerap terjadi ketika terdapat “perselingkuhan” antara agama dan politik. Dalam situasi seperti ini yang dominan terjadi adalah politisasi agama atau agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh orang atau kelompok tertentu. Kasus penyerangan terhadap penganut sebuah aliran di negeri ini beberapa waktu lalu, yang diduga “ditunggangi” kepentingan politik merupakan bukti nyata.
Kecenderungan seperti ini mudah terjadi di Indonesia karena didukung oleh budaya politik patron-client yang sampai hari ini masih terus berlangsung. Patron biasa merujuk pada kalangan berkuasa yang memiliki berbagai sumber daya: kekuasaan, perlindungan, finansial dan sebagainya, sedangkan client umumnya merujuk pada masyarakat atau rakyat yang membutuhkan semua sumber daya tersebut. Dalam sejumlah kasus kita bisa menyaksikan sebuah kelompok agama tertentu seolah “dibiarkan” begitu bebas melakukan berbagai aksi kekerasan.
Tentu sangatlah ironis seandainya kecenderungan budaya politik patron-client terjadi pada kelompok-kelompok yang melakukan berbagai aksi terorisme seperti peledakan bom. Dugaan ini mungkin saja terjadi ketika kita melihat bahwa sejumlah aksi peledakan bom terjadi bersamaan dengan berkembangnya situasi sosial-politik yang sedang tidak bersahabat dengan penguasa. Pemberitaannya yang dilakukan secara masif dan intensif pada gilirannya bisa membuat rakyat lupa terhadap persoalan yang sebenarnya sedang disorot publik
Tentu kita berharap dugaan di atas keliru. Karena itu, pemerintah dan aparat keamanan harus mengungkapkan secara cermat dan jelas aksi-aksi terorisme tersebut tanpa kecolongan lagi.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: