Kamis, 22 September 2011

Politik Romantisme Tommy (Pikiran Rakyat, 9 Mei 2011)

Setelah kurang lebih tiga belas tahun usia reformasi di negeri ini, tahapan transisi menuju demokrasi, yakni liberasi, konsolidasi dan pelembagaan demokrasi, tampaknya masih jauh dari harapan. Sekalipun tahapan liberasi politik sudah banyak dirasakan rakyat Indonesia, namun konsolidasi dan pelembagaan demokrasi masih menuai banyak masalah. Akibatnya, demokrasi yang dicita-citakan segenap rakyat belum menampakkan wajah substantifnya, kecuali sebatas demokrasi prosedural.
Gejala oligarki dan kartelisasi politik, yang jelas-jelas merupakan ancaman demokrasi, alih-alih mengendur, justeru kian mengental di dalam praktik perpolitikan Tanah Air. Kencenderungan ini kian diperparah dengan maraknya model politik transaksional. Realitas ini secara jelas memperlihtakan bahwa ada masalah dalam tahapan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik yang sejatinya banyak berperan di dalam tahapan tersebut justeru menjadi bagian dari pusaran anomali demokrasi tersebut.
Bagi sebagian kalangan, apa yang digambarkan di atas dianggap sebagai bukti bahwa reformasi tidak berhasil. Karenanya, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak dari mereka yang merindukan kembali kehidupan di masa-masa Orde Baru di mana pertumbuhan ekonomi terjadi dan stabilitas politik terjaga. Suara-suara kerinduan tersebut bukan tidak mungkin akan terus bertumbuh jika demokrasi yang hendak ditegakkan di masa reformasi ini tak kunjung berhasil.
Tampaknya dalam konteks seperti inilah kita bisa memahami kemunculan Partai Nasional Republik (Nasrep) yang mengusung nama putera bungsu mantan Presiden Soeharto, Tommy Hutomo Mandala Putera, sebagai capres 2014. Trah Soeharto bagi sebagian rakyat Indonesia jelas masih memiliki magnet yang cukup besar atau masih layak jual dalam politik. Namun seberapa besar Tommy dan Nasrep dapat meraih simpati publik Indonesia setidaknya untuk tiga tahun ke depan, inilah barangkali yang perlu dicermati.
Di satu sisi, Tommy memang memiliki kelebihan yang patut dipertimbangkan terutama oleh rival-rival politiknya. Selain mewakili trah cendana yang telah begitu lama berkuasa, Tommy juga memiliki faktor finansial yang kuat. Dengan kecenderungan politik transaksional, kekuatan finansial tersebut jelas bisa dijadikan alat politik yang ampuh bagi Tommy. Namun masalahnya, cukupkah dua faktor yang dimiliki Tommy tersebut untuk bersaing di tengah banyaknya partai dan tokoh politik di negeri ini?
Menurut penulis, perjalanan politik Tommy akan menghadapi kendala berat. Di luar dua kelebihan di atas, kekurangan atau faktor negatif Tommy agaknya tidak kalah banyak. Pertama, pengalaman politik Tommy masih sangat kurang. Selama ini ia lebih banyak bergelut di dunia bisnis sehingga ia lebih dikenal sebagai pebisnis ketimbang politisi. Pada saat pemilihan Ketua Umum Golkar beberapa waktu yang lalu, misalnya, Tommy yang sempat digadang-gadang dapat meraup dukungan, justeru tidak mendapatkan suara sama sekali. Ini memperlihatkan betapa awamnya Tommy dalam politik.
Kedua, Tommy juga memiliki persoalan yang terkait dengan citra personalitas dirinya yang sangat mungkin bisa dijadikan sasaran serangan rival politiknya. Kasus pembunuhan seorang hakim yang sempat menyeret Tommy ke balik sel penjara tentu dapat menjadi ganjalan yang tidak ringan. Belum lagi citra buruknya sebagai orang yang suka gonta-ganti pasangan. Mbak Tutut yang lebih baik citra personalnya saja ternyata tidak mampu bersaing melalui partai PKPB baik di Pemilu 2004 maupun 2009.
Ketiga, mengandalkan ketrahcendanaan tampaknya juga tidak akan berarti banyak. Bahwa ada sebagian masyarakat Indonesia yang memang merindukan kehidupan di masa-masa Orde Baru memang tidak bisa disangkal, namun seberapa banyak kelompok masyarakat yang berpikir seperti itu, mungkin agaknya perlu dianalisis lagi. Dan satu hal yang mesti dicermati, boleh jadi suara-suara kerinduan tersebut pada akhirnya terjebak pada romantisisme historis belaka. Yakni sikap yang hanya mengagungkan masa kejayaan Orde Baru tanpa dibarengi pemikiran kritis terhadap berbagai praktik penyimpangannya. Jika ini dicoba dieksploitasi Nasrep dengan mengusung Tommy, maka kemungkinan besar akan sia-sia belaka.

Tidak ada komentar: