Rabu, 05 Oktober 2011

Membubarkan atau Mendorong KPK (Harian Jurnal Nasional Rabu 5 Oktober 2011)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini tampaknya kerap mendapatkan bantu sandungan dalam menjalankan tugasnya. Selain masalah kriminalisasi yang sempat menderanya beberapa waktu yang lalu, kini lembaga tersebut menghadapi isu pembubaran. Hal ini terungkap dalam rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung pada Senin 3 Oktober kemarin. Ketika itu, Fahri Hamzah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melontarkan isu pembubaran KPK.
Argumentasi yang disajikan Fahri adalah bahwa KPK sejak didirikan telah menjadi lembaga superbody. Padahal menurutnya, dalam upaya membangun negara demokrasi tidak boleh ada konsep lembaga superbody. Agaknya bukan kali ini saja Fahri melemparkan isu pembubaran KPK tersebut ke tengah publik. Dalam sejumlah diskusi publik baik langsung maupun melalui media massa Fahri memang kerap menyentil KPK secara sinis sebagai lembaga yang terlalu jauh melampaui kewenangan yang seharusnya.



Implikasi Politik
Tak pelak lagi lontaran wacana pembubaran KPK oleh Fahri Hamzah yang notabene seorang anggota dewan menjadi isu publik yang kontroversial. Hal itu, disadari atau tidak, jelas akan membawa implikasi politik yang cukup serius, baik pada level individu maupun lembaga. Setidaknya, menurut hemat penulis, ada tiga implikasi politik yang patut dicermati.
Pertama, secara individu, wacana pembubaran KPK justeru akan menjadi bumerang bagi sang pengusung. Bukan tidak mungkin ia akan dikecam publik karena boleh jadi akan dipersepsikan sebagai orang yang berupaya menghalangi pemberantasan korupsi yang diemban KPK. Sebagai seorang politisi yang lahir pada era reformasi, tentu ia akan dianggap sebagai ironi.
Realitas ini bahkan bisa menjadi penahbis dari hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 5-10 September 2011. Menurut survei tersebut, politisi reformasi ternyata lebih buruk daripada politisi Orde Baru. Salah satu faktor buruknya citra politisi reformasi adalah banyak yang terlibat dalam kasus korupsi berjamaah. Maka, kalau ada salah seorang politisi reformasi yang seolah menjadi penghalang upaya pemberantasan korupsi, jelas hal itu kian memperburuk citra tersebut.
Kedua, secara kelembagaan, wacana pembubaran KPK oleh Fahri Hamzah sangat mungkin berdampak pada partainya, PKS. Karena posisinya sebagai salah seorang elite partai, bukan tidak mungkin publik akan menduga bahwa suaranya adalah suara partai, meskipun hal itu segera dibantah oleh PKS. Jika dugaan tersebut terus menguat, PKS akan mendapatakan getahnya, apalagi partai ini dikenal dengan slogannya “Bersih, Peduli dan Profesional.”
Posisi Fahri sebagai anggota DPR tentu juga akan berimbas pada citra lembaga ini. Apalagi sebelum rapat konsultasi, terjadi “perang dingin” antara DPR-KPK terkait dengan masalah Badan Anggaran (Banggar) DPR. KPK sampai dua kali menolak menghadiri undangan DPR karena acara tersebut akan dihadiri pula oleh anggota banggar, padahal mereka sedang menjadi saksi dalam kasus suap di kemenakertrans. KPK baru siap hadir ketika Banggar DPR tidak dilibatkan dalam acara tersebut.
Ketiga, yang paling mengkhawatirkan adalah jika lontaran Fahri tersebut justeru menjadi semacam sinyal rivalitas antar lembaga negara yang dibalut motif balas dendam. Sebagaimana diketahui, banyak anggota dewan, termasuk dari fraksi Fahri, yang telah menjadi terdakwa, sebagian bahkan telah menikmati “hotel prodeo” karena upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Sementara DPR alih-alih ikut menjadi penggerak upaya pemberantasan korupsi, justeru kerap menjadi bagian pelaku korupsi.

Mendorong KPK
KPK sebagai pengemban amanah UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya dibentuk sebagai lembaga yang diharapkan berada di garis depan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun sebenarnya, lembaga ini juga tetap harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan agung yang secara formal mengemban tugas tersebut. Hal ini, misalnya, terlihat di butir pertama dari tugas KPK, yakni “Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.”
Bahwa KPK diberikan kewenangan penyidikan bahkan penyadapan seperti halnya kepolisian dan kejaksaan agung, menurut hemat penulis, tidak perlu dipersoalkan apalagi dicap sebagai lembaga superbody. Sebab, tanpa kewenangan tersebut sulit bagi lembaga yang diharapkan mampu mengungkap berbagai korupsi dalam melakukan tugasnya. Sementara citra kepolisian dan kejaksaan agung sendiri sangat buruk di mata masyarakat, padahal kedua lembaga itulah yang seharusnya pelaksana utamanya.
Oleh karena itu, alih-alih membubarkan KPK, justeru yang lebih elegan bagi kalangan DPR adalah mendorong lembaga pemberantasan korupsi tersebut untuk lebih berani mengungkapkan berbagai kasus korupsi terutama yang kelas kakap. Mega skandal Bank Century, kasus pengemplangan pajak, lumpur Lapindo dan lain-lain adalah di antara kasus korupsi besar yang seolah-olah hilang tak tentu rimbanya.
KPK juga harus didorong untuk mampu memperlihatkan independensinya di tengah pusaran beragam kepentingan politik. Ungkapan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, bahwa KPK tidak dapat diintervensi kepentingan partai besar, sedang, kecil atau kumpulan partai kecil harus mampu dibuktikan di hadapan publik.
Terlepas dari plus-minus yang telah dilakukan KPK selama ini, sebagai publik tentu kita masih berharap bahwa lembaga ini harus terus menjalankan tugas mulianya, memberantas tindak pidana korupsi di republik ini. Apalagi dari sejumlah survei disebutkan bahwa saat ini publik masih memercayai kredibilitas KPK apalagi jika dibandingkan dengan lembaga DPR.
Labelling sebagai lembaga superbody seyogianya tidak menjadi halangan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya. Bagaimanapun dalam situasi darurat seperti pada masa transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia, keberadaan lembaga tersebut bisa dimaklumi, demi untuk kepentingan yang lebih besar. Sebab, musuh utama negeri ini adalah korupsi, dan korupsi merupakan extraordinary crime. Maka, sangat pantas kalau yang menanganinya lembaga extrordinary juga.
Tentu saja, kalau situasi sosial-politik telah berubah di mana Indonesia menapaki era demokrasi yang sebenarnya, maka kehadiran lembaga semacam KPK boleh jadi tidak diperlukan lagi. Namun, agaknya untuk menapak ke arah sana masih memerlukan perjalanan yang panjang dan berliku. Maka, biarkanlah dulu KPK “menikmati” hak-hak superiornya untuk menjalankan tugas mulianya tersebut.

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Polital Literacy Institute dan Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta.

Tidak ada komentar: