Minggu, 09 Oktober 2011

Menonton "Sinetron" Reshuffle Kabinet (Harian Pikiran Rakyat Senin, 10 Oktober 2011)

Menonton "Sinetron" Reshuffle Kabinet
Oleh: Iding R. Hasan

Perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Jilid II yang ditargetkan selesai sebelum tanggal 20 Oktober hampir mendekati detik-detik akhir. Ibarat sebuah sinetron, episode demi episode telah ditayangkan di layar besar seluruh negeri dengan pelakon utamanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mana hampir seluruh rakyat menontonnya.
Pertanyaannya adalah mengapa perombakan kabinet tersebut dibuat sedemikian dramatis? Bukankah SBY, dengan hak prerogratifnya, sebenarnya bisa langsung menunjuk calon-calon menteri baru di jajaran pemerintahannya tanpa harus menimbulkan hiruk pikuk di tengah publik?

Pendekatan Dramatisme
Untuk menganalisis model perombakan kabinet ala SBY pendekatan dramatisme Kenneth Burke tampaknya cukup tepat. Pendekatan ini, sebagaimana dijelaskan Burke dalam salah satu karyanya A Rhetoric of Motives (1950), mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama dengan memfokuskan perhatiannya pada adegan dari para pemainnya. Adegan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam menyingkap motif manusia atau pelaku adegan. Di antara sekian banyak motif, Burke menyebut motif rasa bersalah (guilty) yang utama. Tujuannya justeru untuk menebus rasa bersalah tersebut sehingga kemudian mendapatkan pemaafan publik. Sayangnya, seringpula terjadi, untuk menampilkan dirinya bebas dari kesalahan justeru dengan menyalahkan pihak lain.
Apa yang disajikan SBY di Cikeas belakangan ini tampaknya bisa dilihat sebagai bentuk upaya SBY untuk “membersihkan diri”. Bahwa dirinya bukanlah pihak yang harus disalahkan jika apa yang telah dilakukan KIB II selama ini belum sesuai dengan harapan publik. Akan tetapi, para pembantunyalah yang mesti dianggap kurang capable dalam menjabarkan dan menjalankan apa yang telah diinstruksikannya. Maka, mengganti menteri, berdasarkan cara pandang seperti in, merupakan sesuatu yang logis.
Padahal sesungguhnya, dalam prinsip kepemimpinan, tidak berjalannya suatu organisasi, baik dalam lingkup yang kecil maupun besar, merupakan tanggung jawab pemimpin. Dengan kata lain, pemimpinlah seharusnya yang mesti menanggung kesalahan, tanpa menimpakannya kepada bawahannya. Tindakan “cuci tangan” bagi seorang pemimpin bukanlah hal yang patut. Dalam konteks ini, SBY seolah Cuma ingin cuci tangan atas segala kekurangan pemerintahannya.
Pada sisi lain, dengan mekanisme perombakan kabinet yang bak sinetron tersebut, SBY agaknya ingin memperlihatkan pada publik bahwa ia merupakan orang yang sangat hati-hati, mendengarkan aspirasi publik dan sebagainya. Bahkan dengan menjadikan Cikeas yang notabene kediaman pribadi, sebagai pusat penggodokan penggantian menteri, SBY seolah-olah ingin dikesankan sebagai pekerja keras, yang tidak mengenal lelah dan waktu.
Namun, yang kurang disadari oleh SBY adalah bahwa publik saat ini merupakan penonton-penonton kritis yang tidak mudah dikelabui oleh alur cerita sebuah sinetron. Publik tampaknya sudah memahami bahwa “kesemarakan” Cikeas akhir-akhir ini tidak lebih dari sebuah sandiwara belaka di mana tujuan utamanya adalah tidak jauh dari pencitraan. Sebagian besar publik barangkali sudah bisa menebak episode akhir dari “sinetron” perombakan kabinet tersebut.
Publik yakin bahwa SBY pada akhirnya tidak akan bisa melepaskan dari “kerangkeng” politik (koalisi). Bukan saja karena SBY tidak mampu melepaskannya, melainkan ia seolah-olah membiarkan dirinya “terkerangkeng” oleh kepentingan politik tersebut. Isu adanya koalisi spesial antara partai-partai di dalam koalisi pendukung pemerintahan (Sekretariat Gabungan) memperlihatkan dengan jelas kecenderungan tersebut.
Bahwa di langkah awal perombakan kabinet SBY terlebih dahulu berdiskusi dengan Wapres Boediono dan Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto sebagai bentuk langkah profesional, tetapi hal tersebut tidak menjadi jaminan utama. Masalahnya setelah itu SBY juga bertemu dengan pimpinan parpol koalisi yang tentu saja memiliki peluang untuk membuyarkan hasil diskusi sebelumnya. Pengalaman sebelumnya, SBY agaknya tidak berdaya menghadapi “tekanan” parpol koalisi, terutama parpol besar.
Jika ini yang terjadi, tidak berlebihan kalau perombakan kabinet ala SBY disebut sebagai sinetron. Maka, siap-siaplah para penonton untuk tidak puas dengan sinetron tersebut.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: