Kamis, 27 Oktober 2011

Pemuda dan Kohesivitas yang Retak (Suara Tangsel 28 Oktober 2011)

Sumpah pemuda pada 28 Oktober 83 tahun silam telah menorehkan tinta emas dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Sumpah Pemuda adalah sebuah ikrar politik yang mampu menggetarkan segenap elemen bangsa ketika itu, sehingga semuanya tergerak untuk bersama-sama berjuang melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Ideologi perjuangan para pemuda Indonesia jelas memainkan peranan yang sangat vital.
Tidak dapat dimungkiri bahwa eksistensi kaum pemuda pada masa perjuangan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah republik ini. Berbagai peristiwa heroik yang melibatkan mereka merupakan pertanda betapa pentingnya kaum pemuda Indonesia kala itu dalam mewujudkan kemerdekaan di bumi pertiwi ini. Tanpa kehadiran mereka barangkali nasib negeri ini belum tentu seperti sekarang.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana keberadaan kaum pemuda pada zaman sekarang, setelah terentang waktu delapan puluh tiga tahun dari peristiwa Sumpah Pemuda yang bersejarah itu?
Salah satu hal yang menjadikan kaum muda bersatu dan menjadi pelopor dalam berbagai gerakan adalah ideologi. Secara fungsional ideologi dapat diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan secara struktural ideologi adalah sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
Baik menurut pemaknaan secara fungsional maupun struktural ideologi merupakan hal yang sangat penting bagi para penganutnya. Ia menjadi kekuatan pendorong yang sangat kuat atas berbagai tindakan yang mereka lakukan. Ia menjadi ruh yang mampu mengikat kebersamaan dan pada saat yang sama mengeliminasi perbedaan di antara mereka.
Berbagai aksi kaum pemuda pada masa perjuangan kemerdekaan, tak pelak lagi, didasari dan disemangati oleh sebuah ideologi yang sangat kuat, yaitu anti-kolonialisme dan imperialism. Mereka menghendaki sebuah masyarakat dan negara (Indonesia) yang merdeka, karenanya mereka berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Ideologi itu menjadi sistem pembenaran atas tindakan mereka dan menjadi kekuatan yang memersatukan mereka. Perbedaan suku, bahasa, agama dan sebagainya tidak lagi menjadi penghalang.
Sementara pada diri kaum pemuda masa kini kita sulit menemukan sebuah ideologi yang mampu menjadi semanagat kebersamaan (esprit de corps) dalam kiprah mereka di tengah masyarakat. Alih-alih, mereka justeru tergagap-gagap atau gamang dalam menghadapi berbagai ideologi dunia yang menyergap mereka. Era globalisasi yang memungkinkan berbagai hal bisa memasuki relung-relung kehidupan manusia di belahan dunia manapun tanpa dapat dicegah kian memperparah kondisi itu.
Salah satu dampak globalisasi yang menghinggapi kaum pemuda masa kini adalah gaya hidup hedonistik-konsumeristik-kapitalistik. Inilah ideologi dunia yang jika dibiarkan akan membawa kaum pemuda ke dalam jurang kehidupan yang dalam. Sebab, ideologi ini akan membuat mereka terlena dengan kehidupan yang serba nikmat, nyaman, dan berbagai kemewahan lainnya. Akibatnya, mereka akan lupa terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sesungguhnya memerlukan sentuhan tangan kaum pemuda.

Kohesivitas yang retak
Selain tren gaya hidup hedonistik, hal lain yang dihadapi kaum muda dewasa ini cukup banyak. Salah satunya adalah masalah kohesivitas di antara mereka dalam menghadapi berbagai persoalan sosial-politik yang mendera mereka. Kohesivitas, seperti ditegaskan Irving Janis dalam bukunya Victims of Groupthink (1972), adalah batasan hingga di mana anggota-anggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja sama. Dengan kata lain, kohesivitas merupakan rasa kebersamaan dari kelompok tersebut.
Pemuda sebagai salah satu kelompok dalam masyarakat sesungguhnya diharapkan mampu memperteguh kohesivitas di kalangan mereka seperti hanya para pemuda zaman kemerdekaan. Frasa yang begitu terkenal hingga saat ini, yaitu “Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa” adalah cermin dari kohesivitas yang kuat di kalangan mereka.
Kalau kita saksikan sekarang ada beberapa kecenderungan dari kalangan pemuda masa kini yang memperlihatkan dengan jelas lemahnya kohesivitas. Pertama, lunturnya ideologi kebangsaan di antara mereka karena kuatnya godaan gaya hidup hedonistik. Akibatnya, mereka cenderung tidak memedulikan persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang sesungguhnya begitu berjibun di negeri ini. Sebaliknya, mereka justeru lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat instant, cepat memerolah kekuasaan, kekayaan dan sebagainya.
Kedua, kecenderungan primordialisme di kalangan pemuda masa kini juga cukup kentara. Bahkan dalam derajat tertentu, kaum muda tidak segan-segan untuk diperalat demi mendukung orang atau kelompok tertentu. Dengan demikian, alih-alih mengeliminasi perbedaan seperti halnya kaum muda dulu, mereka justeru mempertebal perbedaan tersebut.
Ketiga, kaum muda masa kini juga seringkali menjadi bagian dari masalah yang dihadapi di negeri ini. Berbagai aksi kekerasan horisontal yang belakangan marak terjadi di negeri ini justeru melibatkan banyak kaum muda. Jadi, bagaimana mungkin kaum muda masa kini akan menjadi pelopor perjuangan jika mereka sendiri malah acap menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan para pemuda masa kini jika ingin dipandang dan dikenang seperti para pemuda di zaman dulu adalah merevitalisasi nilai-nilai sumpah pemuda. Revitalisasi tidak mesti berbentuk ikrar verbal, tetapi lebih pada komitmen bersama untuk mengisi kemerdekaan dengan berbagai aksi nyata seperti pengentasan kemisikinan, pencerdasan bangsa dan sebagainya. Komitmen seperti ini pada gilirannya akan menjadi nilai bersama yang akan menjadi penguat kohesivitas di kalangan kaum muda.

*Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta

Tidak ada komentar: