Kamis, 27 Oktober 2011

PKS Pasca Reshuffle

Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah selesai digelar pada 14 – 15 Oktober kemarin. Rapimnas ini menjadi penting karena diselenggarakan bersamaan dengan momentum perombakan (reshuffle) kabinet yang tengah digodok oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apalagi ada isu yang beredar di tengah publik bahwa salah seorang menteri yang berasal dari PKS akan dicopot.
Pertanyaannya adalah mengapa PKS begitu “kalang kabut” menghadapi persoalan perombakan kabinet sementara partai-partai lain di dalam koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediona terkesan adem ayem saja? Apakah hal tersebut menunjukkan bahwa PKS sudah tidak nyaman berada di dalam koalisi pendukung pemerintahan ataukah hanya sekadar manuver politik untuk menaikkan bargaining position di hadapan SBY?


Merusak Pencitraan
Sejak wacana perombakan kabinet mencuat ke tengah publik selama kurang lebih tiga mingguan PKS merupakan satu-satunya partai di dalam koalisi yang paling banyak melakukan manuver politik. Salah seorang petinggi PKS, misalnya, mengatakan bahwa perombakan kabinet tidak perlu dilakukan karena orientasinya lebih pada penumpukan modal untuk Pemilu 2014. Lalu ketika muncul isu bahwa salah seorang menteri dari PKS akan dicopot, elite partai ini mengancam akan membeberkan kontrak politik khusus antara PKS dengan SBY dan bahkan akan menarik semua kadernya dari pemerintahan. Dengan kata lain, partai kader ini akan keluar dari barisan koalisi pendukung pemerintahan.
Bukan tidak mungkin bahwa apa yang dilakukan para elite PKS tersebut didasarkan pada pemahaman mereka terhadap psikologi politik SBY. SBY selama ini dianggap sebagai orang yang cenderung lebih mementingkan harmoni dan tidak berani melakukan tindakan frontal terhadap kawan koalisinya. Dalam pemikiran para elite PKS, SBY tidak akan benar-benar berani “mendepak” mereka dari koalisi sekeras apapun sikap mereka, karena SBY akan lebih mementingkan stabilitas pemerintahan.
Namun demikian, yang boleh jadi tidak disadari oleh para elite PKS adalah bahwa model komunikasi politik yang mengancam dan menakut-nakuti seperti yang dipertontonkannya sesungguhnya justeru bisa menjadi “blunder” politik bagi partai ini ke depan, terutama terkait dengan pencitraan partai. Ada beberapa hal yang dapat dibaca oleh publik terkait dengan perilaku politik PKS di atas.
Pertama, sikap ngotot PKS untuk tetap mempertahankan menterinya di kabinet bahkan dengan cara mengancam justeru memperlihatkan ke publik betapa partai ini –tak ubahnya seperti partai-partai lainnya—kemaruk terhadap kekuasaan. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan pencitraan partai yang selama ini kerap digambarkan sebagai partai dakwah yang tujuan politiknya bukanlah kekuasaan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika sebagian publik pada akhirnya melihat sikap politik PKS tersebut sebagai sebuah bentuk kemunafikan. Dalam perspektif teori dramaturgi Erving Goffman, apa yang diperlihatkan para elite PKS di panggung depan (front stage) ternyata jauh berbeda dengan apa yang terjadi di panggung belakang (back stage). Partai yang kerap menampilkan dirinya di hadapan publik sebagai partai bersih, peduli dan profesional ternyata tidak seindah seperti yang digambarkan di dalam kenyataannya.
Kedua, tudingan PKS bahwa perombakan kabinet yang akan dilakukan SBY berkaitan dengan upaya penumpukan modal untuk Pemilu 2014 justeru akan menjadi bumerang politik karena bisa berbalik pada dirinya. Sebab, dengan ngototnya partai ini untuk mempertahankan menterinya di kabinet malah membuktikan bahwa partai ini juga tengah melakukan hal yang serupa. Sudah bukan rahasia lagi di negeri ini bahwa jabatan menteri selalu dijadikan lahan yang gemuk bagi partai untuk mendapatkan “gizi” politik. Dengan demikian, boleh jadi publik akan menilai bahwa sikap PKS tersebut memperlihatkan seolah-olah mereka tidak rela “penggemukan” partai yang selama ini sedang dilakukan menjadi terganggu dengan perombakan kabinet.
Ketiga, manuver politik PKS boleh jadi juga akan dipandang sebagai tindakan yang overacting dan kekanak-kanakan. Mereka tidak ubahnya seperti anak-anak yang tengah asyik bermain, lalu mainannya tiba-tiba ada yang merebut, sehingga mereka menangis meraung-raung, melemparkan segala sesuatu yang ada didekatnya kepada orang yang merebutnya dan seterusnya. Mereka hanya bisa berhenti ketika mainannya itu dikembalikan. Sikap seperti jelas akan merugikan partai ini di masa depan.

Dilema Politik
Banyak kalangan menilai bahwa manuver politik PKS tersebut sesungguhnya hanya dilakukan setengah hati, dan pada akhirnya mereka tetap akan “menyerah” kepada SBY. Memang waktu rampinas kemarin sempat ada suara yang menghendaki agar partai ini keluar dari koalisi bahkan suaranya cukup berimbang dengan mereka yang menginginkan tetap berada di dalam koalisi. Namun, di akhir rapimnas PKS memutuskan untu tetap berada di dalam koalisi.
Tampaknya PKS menghadapi dilema dalam mengambilkan sikap politik yang tegas untuk benar-benar keluar dari koalisi. Ada beberapa hal yang mereka pertimbangkan. Pertama, agaknya mereka menyadari benar bahwa akses ekonomi dan politik yang sedang mereka nikmati saat ini jelas sulit untuk diperoleh jika mereka tidak berada di dalam koalisi, sementara pemilu hanya tinggal kurang dari tiga tahun. Tentu kondisi ini tidak akan menguntungkan buat persiapan partai apabila memutuskan keluar dari koalisi.
Kedua, akses untuk memberikan pengaruh pada pemerintahan atau SBY secara khusus tentu saja tidak bisa dilakukan kalau mereka berbalik menjadi partai oposisi. Dalam derajat tertentu, PKS cukup berhasil dalam hal ini sehingga mereka merasa nyaman bergandengan dengan SBY. Oleh karena itu, mereka pasti akan merasa kehilangan sekali jika hal tersebut kemudian dilepaskan begitu saja.
Ketiga, untuk mengambil sikap politik oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampaknya PKS tidak siap. Selain karena mereka tidak memiliki kultur oposisi sehingga tidak akan mampu bertahan lama kalau harus memaksakan diri keluar dari barisan koalisi, juga biaya sosial dan politik yang harus mereka keluarkan akan sangat banyak.
Alhasil PKS akan tetap memilih berada di dalam koalisi sekalipun harus merelakan salah seorang menterinya dicopot. Agaknya prinsip lebih baik kehilangan satu daripada kehilangan semuanya menjadi pilihan PKS.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta.

Tidak ada komentar: