Selasa, 26 November 2013

Reposisi Peran Parpol Islam, Koran Sindo Rabu 27/11

Reposisi Peran Parpol Islam Iding R. Hasan* Hampir semua partai-partai politik (parpol) Islam atau berbasis massa Islam menolak dikotomi antara Islam versus nasionalis dalam konteks politik Indonesia masa kini. Dikotomisasi inilah yang sebenarnya telah mereduksi Islam, karena seolah-olah parpol yang berlabel Islam tidak nasionalis, dan begitu pula sebaliknya. Padahal dalam kenyataannya kalangan nasionalis justeru banyak lahir dari rahim Islam. Tokoh-tokoh Islam sendiri tersebar di banyak parpol lain, seperti Demokrat, Golkar, PDIP dan lain-lain. Dengan kian cairnya sekat ideologis antar parpol Islam dan nasionalis, maka menjadi tidak relevan lagi dalam konteks sekarang untuk mewacanakan koalisi antar parpol Islam. Selain PPP, parpol-parpol Islam lainnya seperti PKS, PKB bahkan PBB bahkan menolak tegas koalisi tersebut karena pada gilirannya justeru akan mengentalkan kembali dikotomisasi Islam-nasionalis. Padahal para pemilih hari ini tidak lagi tertarik untuk melihat partai dari identitas ideologisnya. Seorang petinggi PKS, Fachri Hamzah, dalam seminar tentang Prospek Parpol Islam di Pemilu 2014 di UIN Jakarta (22/11), misalnya, menegaskan bahwa kian cairnya perbedaan ideologis tersebut menuntut kita untuk meredefinisi parpol Islam. Pendefinisian Islam yang kental dengan ideologis di masa lalu terjadi karena memang pada saat itu parpol Islam berhadapan vis a vis dengan parpol-parpol yang secara jelas menonjolkan ideologinya seperti PKI dan PNI. Dengan demikian, tidak selayaknya parpol Islam sekarang dipandang secara kaku seperti dulu. Pada kenyataannya parpol-parpol yang ada saat ini tidak lagi menonjolkan sisi ideologis dalam konteks seperti di atas. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa identitas kepartaian (party identity) di Indonesia semakin tidak jelas atau sangat cair. Orang makin tidak dapat mengidentifikasi lagi mana pendukung partai A atau B karena cairnya identitas kepartaian tersebut. Dalam konteks ini, pengentalan ideologis parpol-parpol menjadi hal yang kontraproduktif. Reposisi Peran Membangun koalisi antar parpol Islam saat ini, seperti ditegaskan Marwan Ja’far, salah seorang elite PKB, selain bisa mengentalkan kembali dikotomi Islam-nasionalis, juga bukan tidak mungkin kian memperburuk citra politik Islam itu sendiri. Bagaimanapun sejarah parpol Islam sering diwarnai dengan konflik dan perpecahan internal. Keluarnya NU dari Masyumi, yang ketika itu sebagai wadah aspirasi politik Islam, dan kemudian NU menjadi partai tersendiri merupakann salah satu contoh nyata yang tak terbantahkan. Pada masa Orde Baru ketika partai-partai Islam berfusi menjadi PPP juga tidak pernah lepas dari konflik internal apalagi fusi itu dilakukan secara “terpaksa” akibat politik penyederhanaan partai oleh pemerintah. Faksi-faksi yang terdapat di dalam partai berlambang Ka’bah seperti NU, MI dan lainnya kerap berselisih dalam sejumlah hal. Di awal reformasi ketika parpol-parpol kembali ke jati dirinya masing-masing akibat liberalisasi politik juga tidak sepi dari konflik. Memang pada Pemilu 1999 sempat melakukan gebrakan dengan membuat koalisi poros tengah yang cukup berhasil, tetapi pada akhirnya juga melahirkan konflik baru. Sampai saat ini PKB yang merasa dikhianati poros tengah agaknya belum dapat melupakannya. Karena itu, alih-alih membangun koalisi yang memperlihat rekam jejak (track record) kurang menguntungkan di masa lalu, justeru yang mesti dilakukan parpol-parpol Islam sekarang adalah bagaimana menjalankan fungs-fungsi kepartaian dengan baik. Harus diakui bahwa fungsi-fungsi parpol mulai dari rekrutmen, agregasi, sosialisasi, komunikasi politik dan sebagainya di kalangan parpol-parpol Islam masih kalah jauh dari parpol-parpol besar. Tidak ada figur-figur menonjol di kalangan parpol Islam yang cukup marketable untuk bersaing di Pemilu 2014, yang notabene merupakan salah satu faktor rendahnya perolehan suara parpol Islam dalam berbagai hasil survei belakangan ini, dapat ditutupi apabila fungsi kepartain berjalan secara maksimal. Dengan kata lain, institusionalisasi kepartaian harus mendapatkan prioritas utama dalam mengatasi kemandegan parpol Islam. Dalam konteks ini, menurut hemat penulis, parpol-parpol Islam harus berani melakukan reposisi perannya sebagai parpol. Maksudnya adalah dalam melakukan peran dan fungsi kepartaiannya di tengah-tengah masyarakat, parpol-parpol Islam tidak mesti terbatasi pada hal-hal yang bernuansa kepentingan Islam. Membangunkan masjid, misalnya, tentu tidak ada yang menolak kalau itu merupakan perbuatan baik, tetapi hendaknya parpol Islam tidak hanya terfokus pada masalah itu saja. Tampaknya apa yang dilakukan PKS cukup berhasil dalam upayanya melakukan reposisi peran tersebut. Baru-baru ini, misalnya, kader PKS yang berada di kementerian sosial menyumbangkan bantuan berupa bibit babi kepada masyarakat non-Islam di daerah Bali. Boleh jadi sebagian orang Islam heran dengan tindakan tersebut terutama karena melihat babinya yang notabene merupakan hewan yang diharamkan dalam agama Islam. Tetapi justeru dengan terobosan ini PKS berusaha keluar dari peran kepartaian Islam yang sempit, dan ini boleh jadi akan menjadi nilai lebih bagi PKS di masa yang akan datang. Pada saat yang sama parpol-parpol Islam juga harus piawai dan cerdas dalam merespons isu ke tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, isu-isu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan ril masyarakat secara umum, baik muslim maupun non-muslim, harus menjadi prioritas perhatian mereka. Sangat disayangkan hingga saat ini jarang sekali elit-elite parpol Islam yang kerap berbicara ke publik, misalnya, tentang isu HAM, ekonomi kerakyatan, masalah kesejahteraan kaum buruh, nasib para TKI di luar negeri dan sebagainya. Karena itu, parpol-parpol Islam harus berani keluar dari perannya sebagai penyuara kepentingan Islam an sich, melainkan kepentingan rakyat dan bangsa secara keseluruhan. Jika langkah ini yang terus dilakukan, optimisme pun dapat disematkan di tubuh parpol Islam. Setidaknya pada Pemilu 2014 parpol-parpol Islam tidak akan tenggelam. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute,

Senin, 25 November 2013

Elektabilitas Capres, Koran Jakarta 26/11/2013

Elektabilitas Capres Iding R. Hasan* Salah satu kecenderungan yang menarik dalam politik Indonesia adalah bahwa elektabilitas partai politik tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas tokoh-tokohnya. PDIP yang diprediksi bakal unggul pada Pemilu 2014 seperti dilansir sejumlah lembaga survei ternyata tidak menjadikan Megawati Soekarnoputri yang masih mungkin diusung sebagai capresnya berada di urutan teratas. Demikian pula Golkar yang bahkan telah menetapkan secara resmi Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon presiden (capres)nya. Dalam konteks ini, tampaknya, penyelenggaraan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar pada 22-23 Nopember lalu tidak lepas dari dinamika politik khususnya di kalangan internal. Rapimnas dilaksanakan pada bulan Oktober bertepatan dengan momentum ulang tahun partai beringin. Tetapi kemudian DPP memutuskan untuk menundanya sampai bulan Nopember. Bukan tidak mungkin bahwa keputusan penundaan tersebut terkait dengan dinamika politik internal tersebut. Meskipun Golkar sudah secara resmi menetapkan Aburizal (Ical) sebagai capres namun ternyata suara-suara yang menghendaki peninjauan ulang juga tetap berhembus. Beberapa waktu yang lalu salah seorang pengurus DPP, Yorris Raweyai misalnya, pernah melontarkan hal tersebut ke publik. Bahkan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tanjung, yang notabene merupakan tokoh senior, beberapa kali mengungkapkan perlunya partai ini untuk meninjau ulang pencapresan ARB. Meskipun Akbar belakang melunak dengan menyatakan bahwa tidak ada agenda pembicaraan mengenai peninjauan pencapresan ARB di rapimnas, namun pada saat bersamaan ia juga mengungkapkan tentang perlu dilibatkannya kalangan DPD II Golkar. Maklum kaki politik Akbar di kalangan DPD II masih cukup kuat. Memang kemudian DPP Golkar memutuskan untuk tidak melibatkan kalangan DPD II dalam rapimnas. Dinamika internal partai kuning ini sebenarnya bermuara pada masalah utama yang membelitnya, yakni stagnannya perolehan suara Ical dalam berbagai survei. Selama ini posisinya selalu berada di papan tengah dan hanya sedikit naik. Menurut salah satu lembaga survei, yaitu Lembaga Klimatologi Politik (LKP), yang dilakukan pada September kemarin Ical hanya memperoleh 7,3 persen. Angka ini berada di bawah perolehan Jokowi, Wiranto, Prabowo bahkan Jusuf Kalla. Tak Signifikan Memang ada berbagai upaya yang dilakukan Golkar untuk mencoba menaikkan level elektabilitas Ical seperti sosialisasi langsung dengan berkeliling ke berbagai daerah. Atau yang paling gencar adalah melalui iklan politik yang banyak ditayangkan di stasiun-stasiun televisi miliknya sendiri. Namun sejauh ini upaya-upaya tersebut agaknya tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan. Elektabilitas naik tidak signifikan. Bahkan terlalu gencarnya upaya Golkar mengerek elektabilitas ARB seperti melalui iklan politik di televisi justeru bisa menjadi bumerang bagi partai ini. Pasalnya iklan politik yang notabene termasuk kategori kampanye melalui media massa sebenarnya belum diperbolehkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan kata lain, apa yang dilakukan Golkar mengandung potensi pelanggaran kampanye yang tentu saja berpotensi merugikan capresnya. Padahal kalau kita cermati secara saksama, pengaruh televisi sebenarnya tidaklah sekuat seperti yang dibayangkan. Memang salah satu teori dalam media massa seperti teori jarum hipodermik (hypodermic niddle theory) menegaskan bahwa khalayak bersifat pasif sehingga apapun informasi yang disuntikkan media akan diterimanya. Namun sesungguhnya khalayak tidaklah sepasif yang digambarkan apalagi dalam konteks masyarakat yang hidup di negara demokrasi. Yang menentukan adanya orang lain yang berpengaruh (the significant others) atau yang biasa disebut juga sebagai pemuka pendapat (opinion leader). Mereka inilah yang sebenarnya didengarkan pendapatnya oleh khalayak sehingga mampu memengaruhi perilaku pemilih. Tampaknya Golkar terlalu mengandalkan iklan politik tetapi kurang banyak menghadirkan pemuka-pemuka pendapat yang menyokongnya. Pada sisi lain, kehadiran Jusuf Kalla (JK) yang kerap disebut sebagai capres potensial bahkan kini telah melakukan pendekatan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membuat posisi Ical kian sulit. Artinya, kalau sampai PKB benar-benar mengusung JK sebagai capres atau “sekadar” cawapres sekalipun pada Pemilu 2014, jelas potensi pengeroposan suara ARB sangat besar. Besar kemungkinan suara Golkar akan terpecah-pecah. Bagaimanapun juga di tubuh Golkar terdapat terdapat faksi-faksi politik. Selain faksi ARB dan Akbar Tanjung, faksi JK juga diyakini masih cukup kuat. Apalagi JK dikenal memiliki basis pemilih yang kuat terutama di daerah Sulawesi Selatan yang merupakan tempat kelahirannya. Data pada Pemilu 2009 yang lalu saat JK berpasangan dengan Wiranto, misalnya, suara yang diperolehnya di daerah ini sebesar 64,41 persen mengalahkan pasangan SBY-Boediono yang meraup 31,62 persen suara. Dengan demikian, kehadiran JK sebagai salah seorang capres, jika nanti ada yang benar-benar mengusungnya, jelas akan menggerus perolehan suara ARB. Hal ini tentu kian membuat posisi Golkar semakin sulit. Meskipun beberapa tokoh Golkar menegaskan bahwa pencapresan JK tidak berpengaruh banyak, tetapi suara-suara sebagian mereka yang meminta JK “berpamitan” jika ingin maju dari partai lain, jelas merupakan refleksi kekhawatiran Hasil Rapimpnas sendiri, Golkar telah membangun suatu grand design dalam pembangunan Indonesia mendatang sebagai visi negara kesejahteraan 2045. Ini sebagai bahan acuan para kader partai di masa depan. Kondisi di dalam partai beringin masih akan tetap dinamis. Masih ada waktu guna memantapkan capresnya atau perlu evaluasi. Perhitungan harus matang. Di satu sisi melanjutkan pencapresan Ical dengan kemungkinan bisa sulit bersaing di 2014 atau mendengarkan aspirasi perubahan.

Minggu, 10 November 2013

UU "Ramah" Korupsi (PR Senin, 11/11/13)

Baru-baru ini publik Tanah Air dikejutkan oleh pemberitaan tentang rencana diberikannya uang pensiun bagi kalangan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang lebih mengherankan lagi adalah mereka yang terlibat kasus korupsipun bahkan yang sudah menjadi terpidana seperti Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh tetap mendapatkan uang pensiun. Wajar saja jika reaksi publik kemudian sangat keras terhadap keinginan lembaga legislatif tersebut. Hampir semua kalangan mengungkapkan bahwa sangatlah tidak layak seorang pejabat negara yang hanya beberapa saat saja bekerja lalu mendapatkan uang pensiun selama hidupnya. Apalagi jika sang pejabat tersebut selama dalam pekerjaannya terbukti melakukan korupsi untuk memperkaya dirinya. Sayangnya, para wakil rakyat tersebut tampaknya tetap bergeming dengan keinginannya itu. Terlalu Legalistik Alasan DPR untuk memberikan uang pensiun bagi anggota-anggotanya adalah karena ada aturan mengenai hal tersebut. Seperti diketahui bahwa aturan tentang uang pensiun anggota DPR tertera dalam Pasal 12 hingga 21 UU No 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Atas dasar inilah semua mantan anggota DPR termasuk yang sudah menjadi terpidana sekalipun mendapatkan uang pensiun. Apalagi sampai saat ini tidak ada UU yang mengatur secara khusus mengenai pemberian sanksi misalnya dengan melarang pemberian uang pensiun bagi angota DPR yang jelas-jelas terpidana korupsi. Bahkan dalam UU No 27 Tahun 2009 atau yang dikenal UU MD3 juga tidak terdapat pelarangan tersebut. Namun sebenarnya jika para anggota DPR peka terhadap aspirasi dan memiliki empati terhadap kehidupan mereka, tidak semestinya para wakil rakyat yang terhormat itu terlalu mengedepankan aspek prosedural atau legalistik dalam kasus ini. Betul bahwa secara legal formal dimungkinkan bagi mereka termasuk terpidana korupsi untuk mendapatkan uang pensiun, tetapi apakah hal ini tidak menciderai rasa keadilan masyarakat. Ini yang tampaknya tidak dijadikan pertimbangan oleh mereka. Menurut hemat penulis, seyogianya para anggota DPR mengedepankan keadilan subtantif setiap kali menangani kasus-kasus seperti ini bahkan kasus hukum secara keseluruhan. Secara substantif, orang yang sudah nyata-nyata melakukan tindak pidana korupsi apalagi ia pejabat negara seperti anggota DPR, maka ia telah mengkhianati konstitusi sekaligus menodai amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Tentu saja sangat tidak pantas kalau orang seperti ini tetap diberikan uang pensiun. Bahkan bila perlu ia harus mengembalikan uang yang diterima dari negara selama ini. Revisi UU Oleh karena itu, satu hal yang mendesak untuk segera dilakukan adalah merevisi UU yang jelas-jelas sangat ramah terhadap praktik korupsi di negeri ini. Bahkan pemberian uang pensiun bagi mantan anggota DPR sekalipun tidak terlibat tindak pidana korupsi sebenarnya dianggap banyak kalangan sebagai hal yang tidak tepat. Beberapa waktu lalu hal ini pernah juga menjadi perdebatan publik, tetapi karena para anggota DPR seperti biasanya sangat ngotot untuk urusan kesejahteraan diri mereka, aturan tersebut tetap berjalan. Padahal sebagai pejabat negara yang bertugas dalam waktu yang singkat bahkan ada yang hanya separuh dari masa tugasnya yang lima tahun karena di-PAW-kan oleh fraksinya, sungguh tidak masuk akal jika kemudian mendapatkan uang pensiun yang bakal diterimanya sepanjang hidupnya. Sementara gaji dan fasilitas yang mereka terima selama masa tugasnya sangat besar. Bandingkan dengan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sangat lama masa tugasnya dengan gaji dan fasilitas yang secukupnya. Tetapi karena para anggota DPR lebih mengedepankan aspek legal-formal ketimbang aspek substantif, maka satu-satunya cara adalah dengan merevisi UU No 12 Tahun 1980 dan UU No 27 Tahun 2009. Yang pertama terkait dengan pemberian uang pensiun. Dalam hal ini, negara harus berani mengubahnya sehingga tidak lagi mantan pejabat negara seperti anggota DPR mendapatkan pensiun. Sedang pada yang kedua harus ditegaskan bahwa pejabat negara yang terpidana korupsi harus dicabut semua haknya. Dengan merevisi UU tersebut kecenderungan anggota DPR untuk selalu berlindung di balik aspek legalistik dan mengakal-akali hukum tidak dapat lagi dilakukan secara leluasa. Dalam konteks ini, kritisisme publik sangat diperlukan mengingat sedemikian bebalnya watak para politisi Senayan tersebut dalam urusan kesejahteraan diri mereka sendiri. Dan yang terpenting dari revisi UU tersebut di atas bahwa keinginan segelintir anggota DPR untuk mencoba-coba melakukan tindak pidana korupsi sedikit demi sedikit terhalangi. Dengan kata lain, UU tersebut menjadi UU yang tidak lagi ramah terhadap praktik korupsi seperti sekarang. *Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Doktor Komunikasi Unpad

Kamis, 07 November 2013

Selebriti di Panggung Politik, Gatra 7-13 Nop 2013

Jelang Pemilu 2014, alih-alih berkurang, kehadiran selebriti di panggung politik Indonesia justeru kian bertambah. Selain yang sudah lawas seperti Tantowi Yahya,dan Dedi Gumelar, kini muncul nama-nama baru: Anang Hermansyah, Ayu Azhari, Angel Lelga, Irwansyah, Ridho Rhoma dan lain-lain. Sejak reformasi, entah karena ingin ikut menyuarakan aspirasi rakyat atau sekadar berpindah panggung, dari layar kaca ke ruang politik, eskalasi mobilitas selebriti ke dalam politik menemukan momentumnya. Dalam konteks ini, peran partai politik yang cenderung pragmatis jelas sangat besar. Jika dulu para selebriti hanya dijadikan sebagai pendulang suara (vote getter), kini mereka benar-benar ditampilkan sebagai aktor politik. Faktor popularitas dan juga finansial agaknya merupakan pertimbangan penting. Hampir semua parpol membuka pintunya lebar-lebar bagi kaum selebriti untuk menjadi caleg-calegnya. Siapa sesungguhnya selebriti? Salah satu definisi selebriti menyebutkan, mereka yang dikenal secara luas dalam sebuah masyarakat atau budaya yang biasanya mendapatkan perhatian dari media massa (Lynda Lee Kaid & Christina Holtz-Bacha, 2008: 90). Mengacu definisi ini, siapapun bisa menjadi selebriti. Tetapi dalam tulisan ini, selebriti politik dibatasi pada mereka yang berasal dunia seni hiburan (entertainment) seperti artis, penyanyi, pelawak, atau olahragawan yang kerap diliput media massa dan sekarang menjadi politisi. Khusus di lembaga legislatif, terdapat 18 selebriti yang lolos pada Pemilu 2009. Jika diklasifikasi, ada yang sudah pernah terpilih sebelumnya seperti Adjie Massaid (alm), Angelina Sondakh dan Nurul Qomar; ada yang baru tetapi sudah memiliki pengalaman politik sebelumnya seperti Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka dan Dedi Gumelar; dan yang terbanyak justeru muka-muka baru semisal Eko Patrio, Rachel Maryam, Okky Asokawati dan lain-lain. Perspektif Dramaturgis Komunikasi politik di panggung politik merupakan kajian yang sangat menarik terutama jika dilihat dari perspektif dramaturgis Erving Goffman, khususnya tentang presentasi diri (self-presentation) seperti dijelaskan dalam karyanya The Presentation of Self in Eevryday Life (1959). Konsep ini erat kaitannya dengan pengelolaan kesan (impression management). Dalam pengelolaan kesan orang berusaha untuk menampilkan dirinya sebaik mungkin untuk mendapatkan kesan yang baik dari orang lain. Seorang komunikator yang mendapatkan kesan baik dari khalayak tentu akan mudah menyampaikan pesan-pesannya, dan demikian sebaliknya. Penampilan diri komunikator terutama dilakukan di wilayah depan yang oleh Goffman disebut panggung depan (front stage), yakni apa yang dapat disaksikan oleh penonton. Dalam konteks ini, para selebriti politik tampaknya berusaha menampilkan diri mereka sebaik mungkin baik di ruang-ruang persidangan maupun di ruang-ruang publik secara umum seperti media massa. Berbagai cara atau teknik mereka persiapkan untuk keperluan tersebut. Pada kenyataannya sebagian selebriti cukup berhasil melakukan presentasi diri yang baik di panggung depan sehingga mendapatkan kesan yang baik pula dari publik. Mereka yang berpengalaman sebelumnya atau yang baru tetapi sudah memiliki pengalaman politik dapat dimasukkan ke dalam ketegori ini. Sebagian lain ada yang berusaha sebatas supaya “diangap serius” tetapi sebegitu jauh kurang maksimal dalam melakukannya. Dan yang sebagian besar justeru tenggelam oleh politisi-politisi lainnya karena tidak mampu memaksimalkan panggung depan baik di ruang komisi, paripura maupun ruang publik lainnya. Yang cukup memprihatinkan adalah ketika ada di antara selebriti yang seolah tidak menyadari akan presentasi dirinya di panggung depan sehingga tidak memperhitungkan penilaian publik. Misalnya, beberapa kali seorang angota legislatif selebriti yang berlatar belakang komedian tampil di acara-acara reality show di televisi yang berbau komedi. Celakanya statusnya sebagai wakil rakyat kerap menjadi bahan “olok-olokan” rekan-rekan komedian lainnya. Dari sisi presentasi diri, hal ini, disadari atau tidak, sangat merusak citra dirinya sebagai politisi. Penampilan diri berkaitan dengan konsep diri (self-concept) dari George Herbert Mead (1934), yakni seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri inilah yang kemudian memberikan motif yang penting untuk perilaku orang. Menurut Mead, karena memiliki konsep diri orang memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Para selebriti di panggung politik bagaimanapun telah memiliki konsep diri yang baru berdasarkan pandangan orang lain terhadap diri mereka, bahwa kini mereka adalah politisi, yang oleh Dan Nimmo (1995) dimasukkan ke dalam kategori komunikator politik. Oleh karena itu, seharusnya mereka berperilaku sebagaimana layaknya seorang politisi, tidak lagi seperti selebriti biasa. Mau tidak mau mereka harus fokus dalam bekerja sebagai politisi. Sayangnya, ada di antara mereka yang masih tetap tergoda untuk tampil di dunia hiburan, bahkan sampai sekarang tetap main sinetron. Kenyataan ini jelas dapat menodai konsep diri baru mereka sebagai politisi. Kredibilitas Efektivitas komunikasi akan mudah tercapai ketika kredibilitas komunikator dianggap baik oleh khalayak. Demikian pula komunikasi politik para selebriti di panggung politik. Kredibilitas biasanya didasarkan pada sejumlah aspek seperti keahlian (expertise) atau penguasaan terhadap masalah, kedapatdipercayaan (trustworthiness), kekuasaan (power), yakni kemampuan memengaruhi orang lain dan daya tarik (attractiveness). Dalam konteks daya tarik, tidak dapat dimungkiri, para selebriti dapat memaksimalkannya secara baik. Apalagi konsep daya tarik, meski tidak selalu, sangat berkaitan dengan penampilan fisik komunikator. Para selebriti yang secara umum berpenampilan menarik, ganteng dan cantik, jelas memiliki daya tarik di mata khalayak. Apalagi kalau kemudian ditunjang oleh kemampuan komunikasinya yang piawai seperti yang terlihat pada sebagian selebriti. Sayangnya pada aspek yang bersifat lebih substansial, yakni keahlian, kedapatdipercayaan dan kekuasaan sebagian besar selebriti politik belum mampu memperlihatkannya dengan baik, kecuali satu dua orang. Bahkan sebagian ada yang justeru terganggu kredibilitasnya, misalnya terlibat kasus korupsi seperti Angelina Sondakh, tersangkut masalah keretakan rumah tangga seperti Rachel Maryam, Venna Melinda dan Tere (sudah mundur). Hal ini, terutama kasus korupsi jelas merusak kredibilitas. Untuk kasus kedua juga bisa memperlihatkan kesan bahwa mereka tidak mampu mengelola persoalan internal sendiri. Yang dikhawatirkan munculnya anggapan publik: bagaimana mampu mengelola urusan rakyat, sesuatu yang banyak dituntut dari politisi, jika persoalan rumah tangga sendiri terbengkalai. Setali tiga uang, persoalan keahlian dan kekuasaan selebriti politik juga kerap mendapatkan masalah. Jarang sekali selebriti yang mampu memerankan kedua aspek tersebut dengan baik. Barangkali hanya segelintir selebriti yang mampu melakukannya. Nuruf Arifin, misalnya, bahkan mendapatkan posisi penting di partai sehingga kerap menjadi juru bicara. Demikian pula Rieke yang sering tampil menyuarakan hal-hal berkaitan dengan urusan publik, baik di forum DPR maupun di ruang-ruang publik lainnya. Di forum seperti paripurna kedua selebriti ini sering berbicara sementara yang lain ada yang sesekali bahkan ada yang tidak pernah berbicara sama sekali. Kecenderungan serupa juga bisa ditemukan di panggung politik lainnya, eksekutif. Selebriti yang berhasil menjadi pemimpin daerah umumnya tampil sebagai “ban serep” saja setelah sebelumnya dijadikan vote getter dalam kampanye seperti kasus Rano Karno. Akibatnya, kehadiran mereka, meminjam istilah dalam bahasa Arab, wujuduhu kaadamihi, keberadaannya tidak dianggap. Bahkan ada yang kemudian terpental seperti yang dialami Dicky Chandra sewaktu menjadi Wakil Bupati Garut. Realitas ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi para selebriti politik jika ingin tetap bertahan. Meskipun masyarakat Indonesia, meminjam istilah Rocky Gerung, sebagai masyarakat sinetronik yang menyukai tontonan, tetapi harus disadari bahwa tingkat kritisisme publik juga semakin baik. Jika kredibilitas mereka semakin buruk, besar kemungkinan publik tidak lagi memberikan kepercayaan pada mereka. *Penulis disertasi “Komunikasi Politik Selebritis di Unpad Bandung, 2013. Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute

Senin, 09 September 2013

Langkah Taktis PDI Perjuangan (Suara Pembaruan, 9/9/2013)

Meskipun tidak ada pendeklarasian secara resmi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atas pencapresan Joko Widodo (Jokowi) untuk Pemilu 2014, namun sinyal-sinyal ke arah itu tampaknya cukup kuat. Inilah yang terlihat dari hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP yang diselenggarakan pada 6-8 September kemarin. Agenda rakernas sendiri memang sejak awal tidak ditargetkan untuk mendeklarasikan capres. Dalam pidatonya sebagai ketua umum pada pembukaan Rakernas Megawati Soekarnoputri, misalnya, menyebut-nyebut Jokowi sebagai generasi yang lahir dari rahim cinta kasih PDIP. Selain itu, Mega juga memercayakan Gubernur DKI Jakarta itu untuk membacakan "dedication of life" Bung Karno di hadapan ribuan kader partai kepala banteng tersebut. Belum lagi pernyataan-pernyataan Mega yang menegaskan bahwa ia selalu memerhatikan aspirasi dari arus bawah Dalam dunia komunikasi apa yang diperlihatkan oleh Mega tersebut termasuk ke dalam kategori apa yang disebut William Gudykunts sebagai komunikasi konteks tinggi (high context communication). Komunikasi jenis ini kerap tidak mengedepankan pesan verbal yang terang benderang seperti halnya komunikasi konteks rendah (low context communication), melainkan banyak menggunakan pesan nonverbal yang tersembunyi. Dari perspektif ini publik sebenarnya dapat membaca sinyal persetujuan Mega atas pencapresan Jokowi. Langkah Taktis Persoalannya adalah mengapa Mega sebagai orang yang paling otoritatif untuk menentukan capres PDIP tidak segera saja mendeklarasikan Jokowi sebagai capresnya? Menurut hemat penulis, ada beberapa pertimbangan yang dilakukan Mega. Pertama, Mega tampaknya menyadari bahwa sekalipun sebagian besar perwakilan DPD PDIP menyuarakan nama Jokowi, tetapi ada juga sebagian yang menyuarakan nama-nama lain seperti Puan Maharani dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, di internal partai moncong putih tsendiri masih terdapat dua kubu, yakni antara yang mendukung Jokowi dan yang tetap menginginkan trah Soekarno sebagai capres PDIP. Tentu jika Mega langsung menetapkan Jokowi sebagai capres akan menimbulkan kekecewaan pada kubu Soekarnois yang dalam derajat tertentu bisa menimbulkan perpecahan. Jelas Mega tidak ingin hal itu terjadi apalagi target PDIP menjadi pemenang Pemilu 2014. Kedua, dengan tidak langsung mendeklarasikan Jokowi sebagai capres PDIP pada Rakernas III kemarin Mega terlepas dari perasaan ketersinggungan atau bahkan kehilangan muka. Bagaimanapun, sesuai amanat Kongres Bali, yang berhak menentukan capres PDIP adalah Mega sendiri sebagai ketua umum. Maka, jika Rakernas dijadikan forum untuk pendeklarasian capres, dianggap melangkahi forum yang lebih besar, yakni kongres atau lebih parah lagi dipandang mengenyampingkan Mega sebagai yang telah diberi mandat Ketiga, Mega juga tampaknya masih menunggu momentum yang tepat untuk pendeklarasian capres PDIP. Saat ini meskipun hampir semua pihak, baik kalangan internal maupun eksternal partai, memandang positif untuk mengusung Jokowi sebagai capres secara resmi, namun dari segi timing belum dianggap tepat. Oleh karena itu, ada sebagian usulan yang menghendaki agar pendeklarasian dilakukan berbarengan dengan hari ulang tahun PDIP yakni bulan Januari. Usulan tersebut tampaknya cukup tepat, meskipun ada pula yang menghendaki agar pendeklarasian dilakukan setelah pemilu legislatif (pileg). Menurut penulis, jika dilakukan setelag pileg jelas terlalu terlambat. Memang ada keuntungan jika dilakukan setelah pileg karena sudah tau perolehan suara partai, namun yang harus diingat bahwa penentuan capres juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap elektabilitas partai. Keempat, Mega tidak segera menetapkan Jokowi sebagai capres tampaknya supaya PDIP lebih fokus pada upaya konsolidasi partai untuk memenangkan pemilu dengan mengajak semua kadernya bekerja keras. Dalam salah satu pernyataannya Mega, misalnya, menegaskan bahwa PDIP harus memiliki kesabaran revolusioner untuk mendapatkan kemenangan. Kesabaran revolusioner itu hanya dapat dilakukan dengan bekerja keras. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dapat dipahami mengapa Mega tidak segera mendeklarasikan Jokowi sebagai capres PDIP. Dalam derajat tertentu tindakan yang dipilih Mega di atas bisa dipandang sebagai sebagai langkah taktis dan bijak. Atau bisa pula dianggap sebagai langkah kompromistis terhadap dua arus yang berseberangan di internal PDIP. Realistis Masih adanya suara-suara yang tetap menghendaki agar orang yang memiliki trah Soekarno saja yang diusung PDIP sebagai capres pada Pemilu PDIP tentu merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Mega. Meskipun secara personal Mega tidak memiliki persoalan karena dia sendiri agaknya tidak akan maju lagi sebagai capres, tetapi bagaimanapun masih ada Puan Maharani yang notabene puteri kandungnya. Nama Puan juga disebut-sebut sebagai capres oleh sejumlah DPD di Rakernas kemarin. Dalam hal ini, Mega harus mempertimbangkan antara keinginan untuk tetap mengedepankan trah ayahnya atau bersikap legowo untuk mempersilahkan orang lain yang diusung sebagai capres PDIP. Tentu Mega harus melakukan kalkulasi politik yang matang untuk mengambil keputusan tersebut terutama dengan memperhitungkan kans untuk meraih kemenangan. Dan agaknya sinyal dari Mega untuk memilih bersikap legowo cukup kuat. Sebenarnya, kalau mau berpikir jernih, meskipun pada akhirnya PDIP memilih untuk mengusung Jokowi sebagai capres, hal itu tidak serta merta menghilangkan trah Soekarno dari PDIP. Bagaimanapun, jika nanti Jokowi terpilih menjadi presiden, kendali partai masih tetap ada di Mega dan bisa diteruskan pada keturuannya. Sedangkan Jokowi hanyalah kader yang kebetulan sedang diberikan tugas partai untuk mengelola negara. Dengan demikian, itulah pilihan paling realistis bagi Mega. Bahwa kemudian masih ada kelompok yang tidak menghendaki Jokowi maju sebagai capres, dengan kemampuan dan pengalamannya menyatukan partai selama ini, tidak sulit bagi Mega mengatasinya dengan baik. Mega hanya perlu menjelaskan kepada mereka agar bersama-sama mendahulukan kepentingan partai daripada individu dan kelompok sebagai yang selalu didengungkan Bung Karno. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute,

Jumat, 16 Agustus 2013

Spirit Idul Fitri dan Proklamasi (Koran Sindo 17/08/13)

Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang jatuh pada setiap tanggal 17 Agustus tahun ini tidak berjauhan dengan perayaan Hari Idul Fitri. Kedua perayaan tersebut sesungguhnya memiliki pertalian yang sangat erat. Secara historis kita mengetahui bahwa proklamasi kemerdekaan negara ini terjadi pada bulan Ramadhan. Dekatnya jarak perayaan Hari Kemerdekaan dengan Idul Fitri seyogianya kita maknai secara positif. Keduanya memiliki kesamaan nilai yang patut dipegang teguh oleh segenap rakyat Indonesia. Idul fitri merupakan puncak dari ritual ibadah puasa yang berporos pada proses pembebasan (liberasi) umat manusia. Ungkapan sebuah hadis bahwa sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagai pembebasan dari api neraka (itqan min an-nar) menunjukkan hal tersebut. Pembebasan dalam konteks ini bisa diinterpretasikan sebagai pembebasan umat manusia dari berbagai belenggu dan ikatan yang dapat merendahkan derajat kemanusiaannya seperti nafsu syahwat, egoisme pribadi, keserakahan menumpuk harta dan sebagainya. Pada sisi lain, proklamasi kemerdekaan RI yang dibacakan Soekarno-Hatta juga sejatinya merupakan manifestasi pembebasan seluruh rakyat Indonesia. Bukan saja pembebasan dari penjajahan bangsa asing, seperi Belanda dan Jepang, melainkan juga dari berbagai belenggu dan ikatan yang dapat mengerdilkan jiwa dan mentalitas manusia Indonesia seperti belenggu kesukuan, ras, agama dan sebagainya. Dengan kata lain, proklamasi melahirkan manusia-manusia Indonesia yang mencintai satu tanah air, nusa dan bangsa bernama Indonesia. Dengan demikian, baik idul fitri maupun proklamasi kemerdekaan memiliki titik temu, yakni sama-sama menjadikan manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka, baik jiwa maupun raganya. Hanya manusia-manusia bebas dan merdekalah yang mendapatkan nilai dan hikmah dari perayaan idul fitri dan proklamsi kemerdekaan dalam makna yang sesungguhnya. Inilah sebenarnya nilai yang terpenting dari setiap kali waktu perayaan hari kemerdekaan tiba. Yaitu bagaimana kita bisa menjadi manusia yang benar-benar merdeka, bisa menentukan nasib hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, dan tanpa adanya rasa takut akan tekanan bahkan ancaman dari pihak lain. Namun sayangnya, seperti yang kerap kita saksikan, perayaan hari kemerdekaan lebih banyak didominasi oleh beragam acara yang bersifat seremonial dan hiburan. Tanpa dibarengi dengan suatu perenungan dan penghayatan yang mendalam terhadap makna proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Pembacaan teks proklamasi yang berkumandang pada waktu upacara baik di sekolah maupun instansi pemerintah seolah berlalu begitu saja. Sedikit sekali di antara kita yang mencoba menggalinya secara lebih mendalam dan mengkontekstualisasikannya dalam konteks kehidupan kekinian. The Living Text Salah satu cara untuk dapat menangkap spirit proklamsi setiap kali kita merayakan hari kemerdekaan adalah dengan senantiasa mengkaji teks proklamasi itu sendiri secara dinamis dan progresif. Teks proklamasi kemerdekaan sejatinya menandai sebuah tekad dan semangat rakyat Indonesia ketika itu yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan yang selama ratusan tahun direnggut dari kehidupan mereka sudah saatnya direbut dan dinikmati sebab kemerdekaan adalah fitrah setiap manusia di mana pun ia berada. Oleh karena itu, teks proklamasi menjadi semacam jiwa perjuangan. Bahasa yang digunakan dalam teks proklamasi tersebut sederhana tetapi sangat jelas menyiratkan sebuah cita-cita kemanusiaan yang luhur. Untaian kata-katanya memiliki daya magis yang memesona sehingga kata-kata tersebut senantiasa terngiang-ngiang di telingi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun sudah berlalu selama puluhan tahun, tetapi seolah-olah ia sedang terjadi sekarang. Suara Bung Karno yang begitu berwibawa bahkan terasa begitu nyata. Bagi kita yang hidup di masa kini, yang paling penting adalah bagaimana kita menjadikan teks proklamasi kemerdekaan tersebut sebagai urat nadi dan nafas kehidupan kenegaraan dan kebangsaan kita. Denggan kata lain, teks proklamasi tersebut semestinya dijadikan sebagai the living text. Dalam konteks ini, misalnya, kita dapat mengajukan pertanyaan, sudahkah kita meraih pembebasan diri dan kemerdekaan. Ataukah kita hanya secara fisik merdeka dari penjajahan, tetapi sesungguhnya masih terbelenggu dalam penjajahan bentuk lain yang jauh lebih berbahaya, baik secara ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Pada sisi lain, kita juga tidak perlu ragu untuk menganggap teks proklamasi sebagai teks yang terbuka. Ungkapan “dan lain-lain” dalam kalimat Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain…sebenarnya mengindikasikan bahwa teks ini memberikan ruang yang luas untuk interpretasi bagi generasi penerus. Masalah pemindahan kekuasaan hanyalah sekadar gerbang menuju kemerdekaan, tetapi bagaimana mengisi kemerdekaan itu dengan model kehidupan kenegaraan dan kebangsaan yang relevan dengan jati diri bangsa Indonesia, itulah yang senantiasa dicari dan terus dicari oleh bangsa Indonesia hingga hari ini. Relevansi Bagi kita yang hidup pada masa kini, baik spirit idul fitri maupun proklamsi jelas sangat relevan untuk diejawantahkan dalam berbagai dimensi kehidupan sekarang. Berbagai kecenderungan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita dalam kurun waktu terakhir sungguh menohok jantung kemanusiaan kita. Pluralisme yang terkoyak dengan sejumlah kasus konflik horisontal berbau SARA, misalnya, sungguh sangat bertentangan dengan spirit proklamasi. Betapa ironisnya, di negeri yang dilahirkan oleh spirit proklamasi ini ada sekelompok penganut agama yang tidak dapat melaksanakan ibadah di tempat sucinya. Ada pula sekelompok penganut keyakinan suatu aliran yang dianiaya dan diusir dari kampung halamannya bahkan kemudian dipaksa “bertobat.” Dan masih banyak contoh kasus lain yang kesemuannya memperlihatkan betapa proses pembebasan dan kemerdekaan rakyat Indonesia masih menghadapi kerikil-kerikil tajam. Di sinilah pentingnya spirit idul fitri dan proklamasi kemerdekaan untuk terus digaungkan di republik ini.

Rabu, 07 Agustus 2013

Idul Fitri dan Politik Humanis (Republika, 7 Agustus 2013)

Bagi umat Islam, idul fitri merupakan momen yang paling penting setelah menjalani ritual puasa selama kurang lebih sebulan. Ia merepresentasikan sebuah kemenangan dan terutama kesucian diri laiknya fitrah manusia seperti tercermin dalam ungkapan minal aidin al-faizin. Dengan idul fitri manusia seolah ditempa kembali menjadi orang yang benar-benar terbebas dari semua noda dan dosa bagaikan bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, tidak heran kalau umat Islam di seluruh dunia menyambut tibanya hari idul fitri tersebut dengan penuh suka cita. Berbagai hal mereka persiapkan untuk menyambutnya dari yang bersifat fisik-lahiriah sampai psikis-batiniah. Meski kerap muncul perbedaan dalam menetapkan hari tersebut di kalangan umat Islam, seperti halnya juga dalam penentuan awal ramadhan, tetapi tidak menghilangkan keagungan dan kesakralan momentum idul fitri. Namun sayangnya ada satu fenomena yang cukup ironis jika melihat praktik pemaknaan umat Islam di negeri terhadap idul fitri. Yakni kecenderungan untuk menjadikan momentum idul fitri sebagai puncak dari semua bentuk ritual selama bulan Ramadhan. Idul fitri seolah-olah merupakan terminal akhir di mana perjalanan manusia berhenti. Dengan kata lain, setelah sampai pada hari idul fitri, di mana sejak itu umat Islam mulai berbuka puasa, pola dan gaya hidup mereka cenderung kembali ke masa sebelum puasa. Seolah berbagai pelajaran dan hikmah yang ditawarkan ibadah puasa selama bulan Ramadhan tidak berbekas sama sekali di dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, ada mata rantai yang terputus (missing link) antara praktik kehidupan mereka selama bulan Ramadhan dengan bulan-bulan setelahnya. Seperti yang secara kasat mata terlihat dengan jelas bahwa selama bulan Ramadhan umat Islam berlomba-lomba untuk menampilkan diri mereka sepantas dan sesesuai mungkin dengan momentum puasa. Menjauhi tempat-tempat maksiat, kecenderungan untuk menutup aurat bagi sebagian perempuan seperti diperlihatkan sejumlah selebritas dan berbagai perbuatan baik lainnya menjadi hal yang lazim di bulan tersebut. Tetapi semua itu berhenti ketika idul fitri berlalu. Padahal seharusnya ada semacam kontinuitas yang mesti dilakukan umat Islam setelah mereka sampai pada hari idul fitri dan kehidupan sesudahnya. Ia bukanlah puncak, bukan pula terminal akhir dari sebuah perjalanan. Ia justeru merupakan langkah awal, kawah candradimuka sebagai tempat penempaan umat Islam sehingga menjadi pribadi yang bersih dan suci. Justeru setelah menjadi pribadi-pribadi yang sucilah umat Islam diharapkan mampu mempraktikkan semua pelajaran dan hikmah yang diperolehnya selama bulan Ramadhan tersebut pada bulan-bulan berikutnya. Nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran dan kepedulian akan sesama seyogianya menjadi nilai-nilai yang akan terus memayungi denyut nadi kehidupan umat Islam di sepanjang waktu. Politik Humanis Sebegitu agungnya makna idul fitri maka seharusnya bisa menyentuh semua aspek kehidupan manusia termasuk politik. Sudah selayaknya bagi para elite politik di republik ini untuk menjadikan idul fitri sebagai momentum humanisasi politik. Meski kerap menampilkan berbagai hal yang buruk: intrik, kepalsuan, kecurangan dan sebagainya, tetapi politik sebenarnya tidak harus tampil seperti itu. Politik juga bisa tampil berwajah humanis, mengedepankan kepedulian dan kebersamaan sosial. Filsup Plato sendiri menekankan politik pada aspek kebaikan bersama (common goodness). Dalam bahasa agama (Islam) sesuai dengan makna kemaslahatan bersama (al-maslahah al-ammah). Dengan demikian, politik semestinya diorientasikan untuk kebaikan bersama Oleh karena itu, idul fitri sebagai akhir dari ritual puasa yang membawa nilai-nilai kebaikan bersama itu seyogianya menjadi momentum untuk menampilkan politik secara lebih humanis dan manusiawi. Kedisiplinan, kejujuran dan kepedulian akan sesama yang terpancar dari ibadah puasa semestinya juga terejewantahkan dalam praktik-praktik politik di negeri ini. Seperti yang dapat kita saksikan bersama, pada saat bulan Ramadhan kemarin ada kecenderungan dari para politisi atau calon-calon politisi (baca: caleg) memanfaatkan momentum Ramadhan untuk memperlihatkan kepedulian mereka akan sesama. Sebagaian ada yang menyelenggarakan mudik bersama secara gratis dengan menggunakan puluhan bus, ada pula yang membangun posko-posko bantuan di sepanjang perjalanan untuk membantu para pemudik dan sebagainya. Tentu saja semua itu merupakan perbuatan baik karena jelas-jelas menunjukkan kepedulian para politisi terhadap nasib sesama. Masalahnya adalah apakah mereka melakukan itu hanya sekadar meraih simpati publik sehingga apa yang mereka lakukan tersebut bersifat temporer. Ataukah memang merupakan nafas kehidupan politik mereka yang ditujukan untuk mengabdi pada kepentingan bersama. Jika pilihan kedua yang terjadi, tentu merupakan kabar baik bagi dunia politik di Indonesia. Bagaimanapun yang paling menentukan dalam politik adalah siapa yang menggunakannya (man behind the gun). Sedangkan politik itu sendiri hanyalah sebuah cara (means). Maka, kalau yang melakukan praktik-praktik politik adalah pribadi-pribadi fitri yang telah lulus dari proses penggodokan puasa, jelas politik akan berwajah humanis. Inilah hal terpenting dari momentum idul fitri bagi kehidupan politik di republik ini.

Sabtu, 27 Juli 2013

Konvensi Demokrat, Pikiran Rakyat, 27/07/2013

Gelaran konvensi Partai Demokrat tinggal menyisakan beberapa waktu lagi. Di internal tubuh partai segi tiga biru ini pun suasana sudah mulai memanas. Dukung mendukung terhadap tokoh-tokoh yang akan berkontestasi untuk menjadi calon presiden (capres) yang akan diusung partai tersebut kian terlihat dengan jelas. Bahkan saling sindir antar para pendukung masing-masing kontestan kerap tersajikan ke ruang publik. Namun demikian, ada satu pertanyaan besar terhadap rencana konvensi partai penguasa tersebut. Masihkah konvensi Demokrat relevan diselenggarakan untuk memunculkan capres yang akan mampu bersaing apalagi menggeser posisi capres-capres yang selama ini sudah beredar luas di publik? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat nama-nama yang sekarang diunggulkan adalah mereka yang jarang muncul di publik sebagai capres terutama yang disebut dalam berbagai survei. Seperti diketahui bahwa ada beberapa nama yang telah dicuatkan ke publik oleh Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk menjadi kontestan konvensi. Ketiganya adalah Pramono Edhi Wibowo, mantan KASAD yang kini menjadi anggota Dewan Pembina Demokrat, Gita Wiryawan, menteri perdagangan, Irman Gusman, Ketua DPD RI dan Dino Patti Djalal, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat. Memang di luar keempat nama tersebut terdapat nama-nama lain yang juga disebut-sebut layak menjadi kontestan konvensi baik dari kalangan internal maupun eksternal. Dari internal ada nama Marzuki Alie, Ketua DPR RI yang juga Wakil Ketua Majelis Tinggi Demokrat. Sementara dari kalangan eksternal yang banyak disuarakan ke publik antara lain Jusuf Kalla, mantan wapres dan Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun nama-nama tersebut memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi pemenang konvensi Demokrat, namun karena belum disebut-sebut oleh SBY, maka sementara ini peluang mereka tergeser oleh keempat tokoh di atas. Masalahnya adalah keempat nama tersebut tidak cukup menjanjik dalam hasil survei sejumlah lembaga baik sebagai capres maupun cawapres. Pramono, misalnya, dalam survey capres yang dirilis Pusat Data Bersatu (PDB) pada 17/7/2013 hanya menempati urutan 13 dengan 0,09%. Sedangkan Gita Wiryawan yang masuk dalam survey cawapres berada di urutan 13 dengan 0,6%. Oleh karena itu, kalau dilihat dari segi elektabilitas, maka jelas nama-nama yang diunggulkan tersebut tidak cukup potensial untuk dapat bersaing dengan capres-capres lainnya, terutama capres yang namanya kerap mengisi urutan teratas dalam berbagai survei seperti Prabowo Subianto, Megawati Sukarnoputeri, Wiranto dan Aburizal Bakrie. Ini di luar nama Joko Widodo (Jokowi) yang bahkan selalu unggul dengan selisih yang cukup jauh di semua survey belakangan ini. Siasat Demokrat Menurut hemat penulis, perhelatan konvensi Demokrat yang rencananya akan diselenggarakan pada September 2013 tersebut tampaknya akan lebih diarahkan untuk menahbiskan tokoh yang sebenarnya memang sudah dimiliki partai ini untuk diusung sebagai capres pada Pemilu 2014. Tokoh tersebut tidak lain adalah kerabat SBY sendiri, yakni Pramono Edhi Wibowo yang notabene adik kandung Ani Yudhoyono. Tokoh ini tentu diharapkan akan melanggengkan trah Cikeas di Demokrat. Situasi memanas di internal partai yang kini muncul pun tak lebih sebagai riak kamuflatif belaka. Gelagat bahwa konvensi tidak lebih sebagai forum legitimasi bagi pencapresan Pramono oleh Demokrat terlihat dari beberapa hal. Pertama, momentum penyelenggaraan konvensi boleh jadi disesuaikan dengan masa pensiunnya Pramono sebagai KASAD sehingga pencalonannya dapat berjalan tanpa halangan apapun. Kedua, Pramono agaknya disengaja oleh SBY disandingkan dengan tokoh-tokoh yang tidak cukup mengakar di tubuh Demokrat seperti Gita, Irman dan Dino yang notabene orang luar partai. Dalam konteks ini, tidaklah mengherankan mengapa Marzuki Alie sampai saat ini tidak disebutkan sebagai kontestan konvensi oleh SBY. Sebagai elite partai yang memiliki banyak pendukung di internal Demokrat, Marzuki jelas sangat potensial untuk menjadi batu sandungan bagi pencalonan Pramono. Dengan tidak adanya tokoh yang mengakar di partai, tentu saja langkah Pramono semakin mulus. Ketiga, begitu masuk Demokrat selepas pensiun Pramono langsung ditarik menjadi anggota Dewan Pembina Demokrat, sebuah posisi yang sangat penting. Sedangkan ketiga pesaingnya, sampai saat ini bahkan belum memiliki KTA Demokrat. Selain itu, Pramono mulai pula disosialisasikan oleh elite partai baik di kalangan anggota partai maupun publik seperti dilibatkannya dalam program safari Ramadhan Demokrat oleh Edhi Baskoro Yudhono belum lama ini. Jika sampai penyelenggaraan konvensi Marzuki tidak masuk sebagai kontestan, sulit dimungkiri bahwa memang konvenai tidak lebih dari ajang pelegitimasian Pramono sebagai capres Demokrat. Dengan kata lain,ini hanya sekadar upaya “menyiasati” publik bahwa SBY tidak hendak semena-mena menentukan sendiri capres yang akan diusung Demokrat, melainkan kehendak semua anggota dan kader partai. SBY seolah ingin mengesankan penentuan capres Demokrat secara demokratis melalui konvensi, padahal publik dapat membaca dengan jelas bagaimana siasat tersebut.

Meminimalisasi Biaya Politik, Jurnal Nasional 08/05/2013

Satu fakta yang tidak dapat dimungkiri bahwa biaya politik di Indonesia kini sangat mahal. Dalam hajatan pemilihan legislatif (pileg), misalnya, setiap caleg mesti memersiapkan modal finansial yang sangat besar agar bisa sukses melenggang ke lembaga legislatif. Menurut perkiraan pada Pemilu 2014, untuk tingkat DPRD II saja seorang caleg harus memiliki 100-200 juta, untuk tingkat DPRD I antara 500 juta sampai 1 milyar dan untuk DPR di atas 1 milyar. Kisaran angka ini hanyalah taksiran minimal, boleh jadi di kota-kota tertentu angka riilnya lebih besar. Dana besar yang akan dikeluarkan para caleg tersebut tentu saja membuat kita sebagai masyarakat kian miris. Pasalnya, hal ini bisa menjadi faktor pendorong bagi para caleg untuk melakukan hal-hal tidak terpuji di lembaga legislative ketika mereka sudah terpilih. Bukan mustahil mereka akan berusaha dengan segala cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. Inilah yang kemudian memunculkan praktik politik transaksional seperti halnya dalam dunia bisnis: modal yang dikeluarkan harus kembali bahkan dengan nilai yang jauh lebih banyak. Mahalnya biaya politik tersebut tentu diakibatkan oleh sejumlah faktor. Pertama, diterapkannya sistem pemilihan proporsional terbuka. Berbeda dengan system proporsional tertutup yang mengutamakan nomor urut, sistem ini mengasumsikan bahwa suara mayoritas merupakan penentu utama lolosnya seorang caleg menjadi anggota legislatif. Meskipun berada di nomor sepatu atau bawah, tetapi jika memeroleh suara paling banyak, maka caleg bisa melenggang dengan aman. Oleh karena peroleh suara yang paling menentukan, maka setiap caleg berlomba-lomba untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Dalam situasi seperti inilah para caleg berupaya keras misalnya untuk melakukan sosialisasi diri mereka agar dikenal luas oleh masyarakat. Iklan di media massa, baliho, spanduk, poster, pamflet dan sebagainya menjadi alat sosialisasi tersebut. Di sinilah kemudian mereka harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang sangat besar. Kedua, waktu penyelenggaraan kampanye untuk Pemilu 2014 lebih panjang daripada waktu kampanye pada Pemilu 2009. Jika pada 2009 waktunya hanya beberapa bulan saja, maka untuk 2014 waktunya sampai satu tahun. Tentu saja dengan lamanya waktu penyelenggaraan kampanye dana yang harus dikeluarkan para caleg akan terus membengkak. Apalagi kalau kampanye yang dilakukan para caleg tersebut melalui media massa seperti iklan politik baik di media cetak maupun elektronik. Ketiga, biaya politik mahal juga diakibatkan oleh kemalasan partai politik untuk menyelenggarakan program-program partai termasuk dalam rangka mendekatkan kader-kadernya di tengah masyarakat. Partai seolah berjarak dengan masyarakat sehingga masyarakat banyak yang tidak mengetahui program partai dan kader-kadernya. Partai asyik dengan dunianya sendiri. Akibatnya, tidak heran kalau kemudian banyak kadernya yang tidak dikenal luas oleh masyarakat. Karena tidak dikenal itulah pada akhirnya kader partai harus melakukan sosialisasi dari awal. Jelas lebih membutuhkan biaya besar ketimbang jika mereka sejak jauh-jauh hari sudah sering terjun di tengah masyarakat melaksanakan program partai. Keempat, ada salah kaprah dalam program pendidikan politik yang dilakukan partai-partai politik di Indonesia selama ini. Dalam konteks ini, partai justeru kerap menjadi “guru” bagi masyarakat untuk terciptanya politik uang. Partailah yang mengajarkan bahwa uang adalah segala-galanya untuk meraih tujuan politik. Politik transaksional yang sudah demikian mewabah malah diawali di partai itu sendiri. Bahkan pada tahap perekrutan kader pun politik transaksional tampak terlihat. Penentuan nomor urut meski sudah tidak menentukan lagi dan penentuan daerah pemilihan (dapil), misalnya, juga tidak lepas dari kecenderungan transaksional. Tanpa disadari hal ini memberikan pendidikan politik yang keliru kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang melihat praktik tersebut pada gilirannya menilai bahwa uang memang segala-galanya dan mereka pun pada akhirnya mau berpartisipasi politik, misalnya memberikan suara, asalkan mendapatkan uang. Itulah yang kemudian menjadikan para caleg harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Dalam situasi seperti inilah praktik politik uang (voter buying) tidak dapat dihindarkan. Maka, politik pun kian mahal harganya.

Jumat, 26 April 2013

Artis dan Amputasi Parpol Modern, Suara Pembaruan, 26/04/2013

Artis dan Amputasi Parpol Modern Iding R. Hasan* Kehadiran artis dalam dunia politik Indonesia tampaknya masih dianggap sebagai magnet yang mampu menyedot perhatian publik. Dalam daftar calon caleg sementara (DCS) yang telah diajukan partai-partai politik nasional kontestan Pemilu 2014 baru-baru ini terdapat sejumlah nama dari kalangan artis yang sudah tidak asing lagi. Selain nama-nama yang sudah lebih dulu masuk legislatif, kini muncul nama-nama baru. Meskipun banyak kritik yang dialamatkan kepada para artis yang telah berkiprah di dunia politik terkait dengan kapasitas dan kapabilitas politiknya, namun partai-partai politik agaknya tetap bergeming untuk terus merekrut kalangan artis. Memang terdapat hubungan simbiosis-mutualistis antara partai politik dan artis. Partai politik jelas akan diuntungkan oleh kehadiran artis, karena dengan modal popularitas dan finansial, artis lebih berpotensi daripada caleg-caleg lainnya untuk meraih dukungan suara. Sementara bagi artis sendiri, partai memberikannya kendaraan untuk masuk ke dalam dunia politik tanpa harus melewati tahapan-tahapan politik seperti halnya kader-kader partai. Faktor lain yang membuat partai politik masih menjadikan para artis sebagai tumpuan harapan adalah diterapkannya sistem pemilihan proporsional terbuka sejak Pemilu 2009. Dalam sistem seperti ini, suara terbanyak merupakan faktor kunci melenggangnya seorang caleg ke lembaga legislatif. Dalam situasi seperti ini tentu saja para artis mendapatkan keuntungan karena tidak terlalu repot, misalnya dalam melakukan kampanye khususnya melalui iklan politik di media massa. Dalam pekerjaannya mereka kerap wara-wiri di layar kaca sehingga publik mudah mengenali. “Vote Getter”? Banyak kalangan menilai bahwa perekrutan artis sebagai caleg oleh partai politik dilakukan atas dasar pertimbangan, mereka dijadikan pendulang suara (vote getter). Tetapi benarkah artis masih layak dianggap sebagai pendulang suara untuk saat ini? Sebenarnya istilah pendulang suara sudah tidak relevan lagi kalau diterapkan dalam konteks politik Indonesia kontemporer. Istilah pendulang suara atau vote getter pada awalnya disematkan kepada orang-orang terkenal seperti para artis atau tokoh-tokoh masyarakat ketika sistem pemilihan yang diterapkan adalah sistem proporsional tertutup. Dalam sistem proporsional tertutup masyarakat memilih partai bukan orang, dan kemudian partailah yang menentukan siapa yang berhak menjadi anggota legislatif. Biasanya partai sudah menentukan nomor urut caleg dan inilah yang paling menentukan. Karena itu, ada istilah nomor urut jadi yang berada di hitungan awal atau atas dan ada nomor urut sepatu atau bawah. Caleg yang berada di nomor urut atas tentu saja memiliki peluang yang paling besar. Seorang vote getter seperti dari kalangan artis biasanya tidak ditempatkan pada nomor urut jadi, melainkan nomor urut sepatu atau bawah. Hal ini karena fungsi mereka hanyalah untuk mendulang suara bagi kepentingan partai politik yang mengusungnya, bukan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, istilah vote getter tersebut lebih tepat ditujukan pada orang-orang yang memang dipasang hanya untuk mengumpulkan suara bagi kepentingan partai politik. Dalam konteks sistem pemilihan sekarang di mana yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka istilah vote getter bagi kalangan artis sebenarnya tidaklah tepat. Dalam sistem proporsional terbuka di mana yang paling menentukan adalah suara terbanyak, nomor urut tidak lagi memainkan peranan penting. Caleg yang mendapatkan nomor urut terbawah pun memiliki peluang keterpilihan yang sama dengan caleg di urutan atas. Para artis yang kemudian ikut berkompetisi dalam sistem pemilihan proporsional terbuka tidak lagi berfungsi sebagai pendulang suara bagi partainya, melainkan bagi dirinya sendiri. Perekrutan para artis atau para pesohor lainnya sebagai caleg, meskipun di satu sisi menguntungkan bagi partai politik dalam hal perolehan suara, tetapi pada sisi lain, juga bisa menjadi penyakit yang kalau dibiarkan akan terus menggerogoti eksistensi partai politik. Dalam hal ini adalah keharusan partai-partai politik di Indonesia untuk menjadi partai modern, yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi. Bagaimanapun masa transisi Indonesia menuju negara demokrasi harus disokong oleh partai-partai politik modern. Salah satu variabel dari partai politik modern yang relevan dalam konteks ini adalah adanya kaderisasi yang berjenjang. Kaderisasi yang seharusnya dilakukan partai politik modern pada umumnya melalui tiga tahapan penting. Pertama, tahap rekrutmen anggota partai. Tentu saja perekrutan anggota partai dilakukan melalui proses seleksi yang ketat dan profesional, tidak asal merekrut orang secara sembarangan seperti berdasarkan kekerabatan, kekuatan modal atau popularitas. Kedua, tahap pembinaan anggota-anggota menjadi kader-kader partai loyalis yang memahami betul platform dan ideologi partai. Inilah orang-orang yang oleh Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media (1999) disebut sebagai politisi-politisi ideolog yang di kemudian hari bisa menjadi penggerak utama utama partai politik. Mereka adalah politisi-politisi yang lahir dari rahim ideologi partai. Oleh karena itu, tahap kedua ini merupakan tahap yang paling penting dalam kaderisasi partai politik. Ketiga, distribusi sumber-sumber daya politik ke dalam pos-pos kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif. Setelah para kader dibina menjadi loyalis-loyalis partai barulah mereka diikutkan dalam kompetisi politik seperti dalam pemilihan legislatif yang tidak lama lagi akan berlangsung di negeri ini. Kader-kader semacam inilah yang sebenarnya paling siap untuk berkompetisi secara sehat. Dengan demikian, dari sudut pandang ini perekrutan para artis oleh partai-partai politik di Indonesia dapat dianggap sebagai pengamputasian tahapan partai untuk menjadi partai politik modern. Hal ini karena para artis melompat dari tahap pertama ke tahap ketiga. Mereka tidak melalui tahap kedua yang sebenarnya merupakan tahap yang paling penting. Tidak heran kalau para artis yang kemudian berhasil lolos menjadi anggota legislatif tidak mampu menampilkan performa politiknya yang memadai. *Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Senin, 15 April 2013

Menakar Urgensi Konvensi (Sindo, 16 April 2013)

Menakar Urgensi Konvensi Oleh : Iding R. Hasan Gagasan yang digulirkan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelenggarakan konvensi pemilhan calon presiden Demokrat menarik untuk disimak. Gagasan konvensi tersebut kini mulai direspons oleh partai-partai politik lainnya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, telah mengeluarkan pernyataan akan menyelenggaraan konvensi juga. Sedangkan Partai Nasional Demokrat (NasDem) tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan hal yang sama. Ada sejumlah pertanyaan relevan yang terkait dengan rencana penyelenggaraan konvensi oleh ketiga partai politik tersebut. Apakah sebenarnya target yang ingin diraih oleh partai-partai politik yang hendakan menyelenggarakan konvensi? Dan benarkah konvensi tersebut dilakukan dalam rangka mencari sosok calon presiden (capres) yang akan diusung partai penyelenggara ataukah hanya sekadar forum penahbisan bagi capres yang sebenarnya telah mereka kantongi namanya? Krisis Calon Pemimpin Dari pernyataan yang dikeluarkan para pentinggi partai penyelenggara konvensi, yakni Demokrat dan PPP memang tampak berbeda. Demokrat menegaskan bahwa latar belakang dilaksanakan konvensi adalah untuk membuka partisipasi politik yang seluas-luasnya kepada siapapun untuk menjadi capres Demokrat. Sementara PPP berdalih bahwa konvensi dimaksudkan untuk memfasilitasi capres-capres independen yang sampai saat ini belum diakomodasi dalam Undang-Undang (UU) Pilpres. Namun demikian, ada satu benang merah yang dapat ditarik dari alasan penyelenggaraan konvensi, yaitu bahwa kedua partai tersebut sebenarnya tengah mencari sosok capres yang tepat untuk berkontestasi pada Pemilu 2014. Dengan kata lain, ada krisis calon pemimpin yang tengah melanda partai-partai politik. Seperti diketahui bahwa baik Demokrat maupun PPP sampai saat ini masih belum menentukan siapa capres yang akan diusungnya. Sementara banyak partai politik lainnya telah lebih dulu melakukannya. Golkar dengan Aburizal Bakrie, PAN dengan Hatta Radjasa, Gerindra dengan Prabowo Subianto dan Hanura dengan Wiranto. Tentu saja faktor-faktor penyebab minimnya stok capres di dalam sebuah partai politik berbeda-beda antar satu dengan yang lain. Pada kasus Demokrat problem utamanya terkait dengan kasus-kasus korupsi yang melilitnya. Mantan Ketua Umum partai berlambang mercy ini, yakni Anas Urbaningrum pada awalnya digadang-gadang sebagai capres Demokrat paling potensial. Tipikal gaya politiknya hampir sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): santun, tidak emosional dan sebagainya ditambah dengan usianya yang masih muda. Namun sayangnya, Anas diduga terlibat dalam kasus korupsi pembangunan sarana olahraga di Hambalang. Bahkan saat ini Anas telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlepas dari pro kontra proses penetapannya. Sebelumnya Andi Mallarangeng, manta Menpora yang juga kader Demokrat potensial sebagai capres mengalami nasib serupa, bahkan lebih dulu dijadikan tersangka. Praktis kedua kader muda partai berkuasa (the ruling party) tersebut telah kehilangan kesempatan dan momentum untuk diusung Demokrat menjadi capres. Pada saat yang sama Demokrat belum memiliki kader-kader lain yang potensial untuk diusung sebagai capres. Nama Ani Yudhoyono yang notabene isteri SBY dan Pramono Edhi Wibowo yang juga ipar SBY, kemudian disebut-sebut sebagai kader Demokrat yang layak dijadikan capres. Namun problemnya, relasi kekeluargaan dengan SBY bisa menjadi batu sandungan karena dianggap melanggengkan politik dinasti bak kerajaan. Bukan tidak mungkin realitas ini akan dijadikan bulan-bulanan serangan politik oleh rival-rivalnya. Sementara PPP, meskipun tidak dilanda kasus korupsi, selama ini memang tidak memiliki stok capres yang mampu dijual (marketable) ke publik. Bahkan ketua umunya sendiri, Suryadharma Ali (SDA), jarang sekali ada yang menyebut-nyebutnya sebagai tokoh yang layak diusung sebagai capres sekalipun dari kalangan internal. Tokoh-tokoh politik di kalangan partai-partai Islam pada kenyataannya memang tidak populer di mata publik kalah dari tokoh-tokoh partai nasionalis. Konsistensi Tidak dapat dimungkiri bahwa dari perspektif partisipasi politik penyelenggaraan konvensi partai politik untuk mencari seorang capres cukup tetap. Konvensi, bagaimanapun, mampu membuka peluang yang sama kepada siapapun, baik dari kalangan internal maupun eksternal partai, untuk berkontestasi menjadi capres dari partai politik penyelenggara. Dengan kata lain, Inilah salah satu bentuk pengejawantahan dari partisipasi politik. Dengan demikian, penyelenggaraan konvensi tentu akan memberikan nilai positif di mata publik bagi partai politik penyelenggara. Partai Golkar di bawah pimpinan Ketua Umum Akbar Tandjung yang notabene partai pertama penyelenggara konvensi di Indonesia mendapatkan kredit poin yang tinggi dari publik usai melaksanakan konvensi. Terlepas dari hasilnya yang kurang memuaskan dan tidak ditradisikan oleh pengurus-pengurus berikutnya, namun konvensi tersebut menjadi catatan bersejarah bagi partai beringin. Oleh karena itu, penyelenggaraan konvensi baik oleh Demokrat maupun partai politik lainnya harus benar-benar dilakukan secara konsisten atau sesuai dengan tujuan, yakni mencari capres secara terbuka dan transparan. Salah satunya harus dibuat mekanisme atau aturan yang jelas, misalnya siapapun dapat berkontestasi untuk menjadi capres. Jangan sampai ada kecenderungan bahwa konvensi hanya sekadar dijadikan sebagai forum penahbisan bagi capres yang sebenarnya sudah dipersiapkan. Tujuannya tentu untuk memopulerkan capres tersebut. Meskipun begitu, tetap harus ada kriteria-kriteria yang jelas dan tegas, misalnya terkait dengan rekam jejak (track record) dari kontestan. Tentu tidak elok kalau ada tokoh yang sebenarnya punya rekam jejak buruk, misalnya terkait kaus korupsi atau pelanggaran HAM, dapat lolos sebagai capres dalam konvensi karena memiliki kekuatan finansial dan jaringan yang kuat. Sebab, inilah yang kemudian bisa menyebabkan fenomena politik uang (voter buying), padahal politik uang merupakan hal paling banyak disorot dalam kasus konvensi terdahulu.. Yang tidak kalah penting juga adalah konsistensi setelah konvensi. Capres yang telah dihasilkan konvensi yang terbuka dan transparan harus didukung sepenuhnya oleh partai politik terkait pada saat pencapresan nanti. Jangan sampai terjadi seperti kasus Golkar di mana Wiranto yang terpilih ketika itu ternyata tidak didukung sepenuhnya oleh Golkar. Akibatnya, bukan hanya capres Golkar tersebut mengalami kekalahan yang cukup telak pada pemilu, tetapi yang lebih parah menjadikan konvensi tidak berguna. Oleh karena itu, konvensi capres jika nanti benar-benar dilaksanakan, harus dipersiapkan sematang mungkin, dari mulai mekanisme, aturan bahkan bila perlu sanksi jika ada tendensi pelanggaran seperti politik uang oleh kontestan. Hanya dengan cara seperti itulah konvensi akan memberikan manfaat bagi partai politik terkait dan pada saat yang sama memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. *Penulis, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute,

Senin, 01 April 2013

Demokrat yang Tidak Demokrat (Pikiran Rakyat, 02/04/2013)

Seperti yang telah diduga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum pada Kongres Luar Biasa (KLB) 30-31 Maret 2013. Maka, semua jabatan penting di partai berlambang mercy tersebut sekarang dipegang sendiri oleh SBY, mulai dari Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan dan yang paling terakhir Ketua Umum Demokrat. Nama SBY muncul sebagai calon ketua umum pada saat pertemuan Majelis Tinggi dengan para pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di Cikeas pada Minggu 24/03 yang lalu. Praktis sejak saat itu nama SBY terus bergulir kencang menggerus nama-nama elite Demokrat lainnya yang sebelumnya sudah santer disebut-sebut sebagai calon ketua umum. Mereka adalah Marzuki Alie, Saan Mustopa, Edhie Baskoro (Ibas), Ani Yudhoyono, Tri Dianto dan lain-lain. Satu hal yang menarik dianalisis dari kesediaan SBY untuk menjadi Ketua Umum Demokrat adalah terkait cara atau mekanismenya. Tampak betul bahwa SBY ingin pencalonannya berjalan mulus tanpa ada riak-riak internal yang bisa membuatnya kehilangan muka. Itulah mengapa SBY cukup geram sampai mengirimkan SMS pada Marzuki Alie yang secara diam-diam mengumpulkan 99 pengurus DPC di salah sebuah hotel di Jakarta. Marzuki agaknya dianggap sebagai ancaman yang bisa merusak jalan mulus SBY. Apalagi sejak awal sudah ada skenario agar pemilihan dilakukan secara aklamasi, sehingga hal-hal yang berpotensi mengarah pada pemilihan terbuka dipadamkan sesegera mungkin. Dari perspektif demokrasi, kecenderungan seperti ini bukanlah praktik yang sehat. Mengedepankan argumentasi bahwa situasi yang dihadapi Demokra merupakan kondisi "darurat" sehingga memerlukan tindakan yang luar biasa, juga agak sulit diterima akal sehat. Pasalnya, Kongres Luas Biasa (KLB) sebenarnya merupakan mekanisme yang sangat biasa terjadi dalam partai politik. Disebut luar biasa antara lain karena terjadi di luar jadwal yang semestinya. Karena itu, tidak perlu disikapi secara paranoid seperti yang dilakukan SBY dan orang-orang di lingkaran dekatnya. Pada sisi lain, mendaulat SBY sebagai Ketua Umum Demokrat juga dipandang sebagai upaya menegasikan faksionalisme di tubuh Demokrat. Para elite Demokrat tampaknya sangat ketakutan dengan persaingan antar faksi yang bisa membuat turbulensi politik di internal. Maka, dengan naiknya SBY pada posisi ketua umum kecenderungan itu akan sirna karena SBY mampu merekatkan semua faksi tersebut. Tetapi sebenarnya hal tersebut hanya sesaat saja. Bagaimanapun keberadaan faksi dalam sebuah partai merupakan keniscayaan. Tidak ada partai yang tidak memiliki faksi politik. Masalahnya adalah bagaimana menerapkan manajemen konflik yang tepat dalam mengatasi faksionalisme tersebut. Dari sini jelas sekali bahwa Demokrat belum mampu melakukan manajemen konflik dalam menghadapi situasi yang sulit seperti sekarang ini. Para elite Demokrat justeru lebih nyaman berlindung di balik figur SBY. Pendidikan yang Buruk Apa yang telah disajikan Demokrat melalui KLB tersebut tentu tidak memberikan pendidikan politik yang baik rakyat. Kesediaan SBY yang notabene adalah Presiden RI untuk menjadi Ketua Umum Demokrat, secanggih apapun argumentasinya, tetap saja dianggap bukan contoh perilaku politik yang baik. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak setuju atas langkah SBY tersebut seperti terlihat dalam rilis hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN) belum lama ini, yakni sebanyak 77,4 persen. Satu hal yang menjadi sorotan publik, misalnya, terkait dengan konsistensi politik SBY. Dalam sejumlah kesempatan SBY kerap meminta menteri-menterinya yang berasal dari partai politik untuk lebih fokus mengurusi kementerian ketimbang partainya. Kini justeru SBY sendiri yang menjadi ketua umum partai di saat masih menjabat Presiden RI. Meskipun SBY berkilah bahwa ia tetap akan lebih fokus pada urusan negara dengan menyerahkan urusan partai pada ketua harian, namun tidak berarti SBY dapat lepas tangan begitu saja. Pada praktiknya, ketua harian akan sering berkoordinasi dan berkonsultasi kepada SBY terkait dengan kebijakan-kebijakan partai apalagi ketergantungan pengurus pada sosok SBY sangat tinggi. Dengan demikian, waktu untuk mengurus negara akan terbagi-bagi dengan urusan partai. Lebih berbahaya lagi jika urusan partai bisa mengalahkan urusan negara. Pada sisi lain, sikap kenegarawanan SBY besar kemungkinan akan dipertanyakan publik terkait kesediaannya untuk menjadi ketua umum. Di saat tokoh-tokoh nasional sekaliber SBY dituntut untuk menjadi seorang guru bangsa, yang diharapkan bisa memberikan kontribusi pemikiran demi kepentingan bangsa dan negara, justeru SBY "menceburkan" diri dalam urusan-urusan politik yang bisa membuatnya semakin partisan. Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa apa yang telah dilakukan SBY dan para elite Demokrat sesungguhnya sebuah pertunjukan betapa Demokrat merupakan partai yang masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dengan kata lain, Demokrat bukanlah partai demokrat yang sebenarnya.

Rabu, 27 Maret 2013

Andai SBY Ketum Demokrat (Suara Pembaruan, 27/03/13)

Ada perkembangan yang cukup menarik dari rencana perhelatan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat pada 30-31 Maret 2013 yang akan datang. Menurut Wakil Ketua Umum Demokrat, Jhonny Allen Marbun, mayoritas pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan hamper semua pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) telah mengajukan usulan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Ketua Umum Demokrat. Usulan tersebut tampaknya cukup mengejutkan karena selama ini sudah banyak beredar beberapa nama yang akan maju sebagai calon ketua umum yang telah ditinggalkan Anas Urbaningrum, baik dari kalangan internal maupun eksternal partai, Dari kalangan internal terdapat nama-nama seperti Marzuki Alie, Saan Mustopa, Hadi Utomom, Edhie Baskoro (Ibas) bahkan istri SBY, Ani Yudhoyono. Sementara dari eksternal mencuat sejumlah nama seperti Pramono Edhie Wibowo, Kasad yang akan segera memasuki masa pensiun, Menko Polhukam Joko Suyanto, dan Menteri Perindustrian Gita Wiryawan, bahkan nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfudz MD juga sempat disebut-sebut. Mengapa SBY? Mengapa menjelang pelaksanaan KLB tiba-tiba SBY diusulkan menjadi ketum? Bukankah dia sudah menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Kehormatan Partai Demokrat? Apakah usulan ini benar-benar merupakan usulan yang tulus dan serius dari para kader di daerah ataukah lebih merupakan setingan dari kalangan elite tertentu? Pertanyaan tersebut menjadi penting karena pemunculan nama SBY sebagai calon ketua umum begitu tiba-tiba dan setelah banyak elite partai yang siap dicalonkan. Menurut hemat penulis, apabila SBY benar-benar bersedia didaulat menjadi ketum, maka pertimbangannya kira-kira sebagai berikut. Pertama, konflik internal yang ada di tubuh partai berlambang mercy tersebut sebenarnya masih ada meskipun selalu ditutup-tutupi oleh para elite Demokrat. Selepas ditinggalkan Anas Urbaningrum pasca ditetapkannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus penerimaan gratifikasi pada pembangunan sarana olahraga di Hambalang, partai ini menyisakan banyak persoalan internal termasuk konflik antar elite (faksionalisme). Pendukung Anas Urbaningrum yang selama masa kepemimpinannya rajin turun ke bawah diyakini masih cukup kuat terutama di kalangan DPC dan DPD. Demikian pula pendukung Marzuki Alie yang pada Kongres Bandung 2010 merupakan pesaing Anas juga cukup banyak, karena hanya kalah tipis. Barangkali hanya pendukung Andi Mallarangeng, elite Demokrat yang telah lebih dulu jadi tersangka oleh KPK, yang tidak dianggap persoalan karena jelas merupakan pendukung Cikeas. Dalam peta kekuatan seperti ini, tentu cukup riskan kalau pada saat KLB nanti calon-calon yang muncul adalah elite-elite yang merepresentasikan faksionalisme tersebut seperti Marzuki Alie atau Saan Mustopa. Bisa-bisa kasus seperti Kongres Bandung akan terulang kembali. Sekarang pun situasi panas akibat rivalitas antar calon sudah terasakan. Dalam konteks seperti ini SBY memang dibutuhkan sebagai tokoh yang mampu mempersatukan semua faksi tersebut. Tampaknya tidak ada elite lain di Demokrat yang dapat memainkan peran pemersatu selain SBY sendiri. Kedua, waktu yang tersisa untuk menghadapi Pemilu 2014 kurang lebih tinggal satu setengah tahun. Tentu saja waktu tersebut terlalu singkat bagi pengurus baru DPP untuk melakukan konsolidasi, sosialiasi dan program pemenangan pemilu. Kalau ketua umum terpilih pada KLB dari salah satu faksi, misalnya, bukan tidak mungkin akan meninggalkan residu konflik yang dapat mengganggu persiapan program-program pemenangan pemilu tersebut. Maka, kehadiran SBY sebagai ketum jelas akan mengeliminasi residu tersebut karena praktis tidak ada yang menolaknya, sehingga semua pengurus bisa segera fokus pada tugas. Ketiga, jika benar-benar SBY yang terpilih menjadi ketum partai segi tiga biru ini pada KLB nanti, maka hal tersebut juga bisa dibaca sebagai bukti bahwa kekuatan SBY masih sangat kuat dan tidak tertandingi oleh semua elite Demokrat lainnya. Jika Anas selama ini diduga didukung mayoritas DPC dan DPD, maka hal tersebut bisa terbantahkan. Apalagi jika SBY dipilih secara bulat (aklamasi) atau musyawarah mufakat seperti yang disuarakan para elite Demokrat pendukung Cikeas. Persepsi Negatif Namun demikian, usulan agar SBY menjadi Ketua Umum Demokrat pada sisi lain juga bisa menimbulkan persepsi negatif di mata publik. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, posisi ketua umum partai bagi SBY sebenarnya dapat mengerdilkan perannya. Bagaimanapun saat SBY menjadi ketum, berarti dia telah masuk ke dalam pusaran konflik elite partai. Padahal selama ini keberadaan SBY melampaui semua elite partai penguasa (the ruling party) tersebut termasuk ketua umum, sehingga dia bisa menyelesaikan semua persoalan internal, termasuk menyangkut konflik faksional. SBY sebenarnya tipikal pemimpin politik yang lebih menyukai peran-peran simbolik ketimbang berperan secara langsung. Dengan posisinya tersebut dia bisa menjadi tokoh penyelamat atau pemersatu ketika terjadi kekisruhan internal partainya tanpa menjadi bagian dari pihak yang berkonflik. Hal ini terlihat dalam kasus-kasus kekisruhan yang selama ini mendera Demokrat. Beberapa kali SBY diminta para elite Demokrat untuk “turun gunung” menyelamatkan partai. Tentu saja hal tersebut akan lebih sulit dilakukan jika SBY beralih peran menjadi ketua umum. Kedua, SBY akan semakin disibukkan oleh urusan-urusan partai yang boleh jadi menyita banyak perhatiannya, sehingga waktu untuk urusan negara akan terkurangi. Betul bahwa SBY akan lebih memainkan peran administratif seperti penandatangan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif dari Demokrat, sebagaimana ditegaskan salah seorang elite Demokrat, namun dalam praktiknya tugas ketua umum jelas bukan hanya seperti itu. Pasti aka nada banyak pekerjaan partai yang mau tidak mau harus dia tangani sebagai ketua umum. Ketiga, bukan tidak mungkin pula akan timbul persepsi negatif di kalangan publik bahwa SBY seolah haus kekuasaan. Semua jabatan penting di Demokrat di atas ketua umum telah dipimpin oleh SBY, seperti majelis tinggi, majelis kehormatan dan dewan pembina, dan kini jabatan ketua umum. Dengan demikian, semua posisi kunci partai sekarang berada di tangan SBY. Keempat, didaulatnya SBY sebagai ketua umum yang baru dapat juga dibaca sebagai cermin dari kegagalan kaderisasi di tubuh partai bentukan SBY tersebut. Partai ini seolah-olah tidak memiliki kader-kader lain yang berkualitas setingkat Anas atau bahkan yang lebih baik. Tentu saja semua ini berpulang kepada SBY sendiri, apakah dia benar-benar bersedia didaulat menjadi Ketua Umum Demokrat dengan segala konsekwensinya ataukah tetap merasa nyaman dengan posisinya sekarang.

Kamis, 07 Maret 2013

Pilgub Jabar dan Kemenangan Figur (Pikiran Rakyat, 03/03/2013

Berdasarkan hitung cepat (quick count) dari berbagai lembaga survei pasangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar akhirnya tampil sebagai pemenang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat (Jabar). Meskipun masih harus menunggu penghitungan secara manual (real count) oleh KPUD, tetapi biasanya hasil hitug cepat tidak meleset seperti yang diperlihatkan pada beberapa pilkada lainnya. Kemenangan pasangan Aher yang notabene merupakan petahana (incumbent) dengan Deddy Mizwar agaknya sudah bisa diduga. Berbagai hasil survei menjelang diselenggarakannya pilgub, perolehan suara pasangan ini terus mengalami tren kenaikan sehingga berkejar-kejaran dengan pasangan Dede Yusuf Macan Efendy dan Leks Laksamana. Pasangan terakhir ini yang biasanya berada di posisi teratas dalam survey-survei sebelumnya sempat disalip pasangan Aher-Deddy. Faktor Figur Satu faktor yang sangat dominan dalam kemenangan pasangan Aher-Deddy adalah figur atau ketokohan Deddy Mizwar. Sejak Aher menjatuhkan pilihan pada Deddy Mizwar sebagai pendampingnya, perolehan suara pasangan ini langsung melonjak. Dengan kata lain, keberadaan Deddy Mizwar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perolehan suara pasangan ini. Hal ini berbeda dengan pasangan Dede-Leks yang mengalami nasib berbeda. Pilihan Dede untuk mendapatkan pendamping dari kalangan mantan birokrat yang terdapat pada diri Leks Laksamana, mantan Seksda Provinsi Jabar, ternyata justeru membuat perolehan suaranya menurun. Meskipun alasannya cukup rasional bahwa Dede memerlukan orang yang sangat paham administrasi sehingga bias melengkapi dirinya, tetapi ternyata publik Jabar tidak menghendakinya. Barangkali di sinilah letak kejelian Aher atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai pengusung utamanya. Ketika rival yang dihadapinya dari kalangan selebritis yang tentu mempunyai popularitas tinggi, yaitu Dede Yusuf dan Rieke Diah Pitaloka, maka pilihan pada orang dari kalangan yang sama, yakni selebritis, menjadi alternatif yang tepat. Sosok Deddy Mizwar yang notabene merupakan aktor senior dalam dunia perfilman dikenal luas masyarakat Indonesia terutama ketika memainkan peran Naga Bonar. Namun belakangan, Deddy lebih sering memainkan peran tokoh agama yang bijak dan berpandangan luas, seperti terlihat dalam peran yang dimainkannya dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat. Demikian pula peran Deddy sebagai Bang Jack dalam sinetron religi berbalut komedi, Para Pencari Tuhan, sangat populer di kalangan masyarakat luas. Hal ini tampaknya berbanding lurus dengan tipologi masyarakat Jabar yang religius, di mana mereka cenderung menyukai symbol-simbol keagamaan, sehingga sosok yang diperankan Deddy sangat berkesan di mata mereka. Boleh jadi sebagian masyarakat Jabar menghendaki agar sosok Deddy Mizwar yang berperan dalam sinetron-sinetron tersebut benar-benar bisa direalisasikan dalam kehidupan nyata. Keuntungan Petahana Faktor kemenangan pasangan Aher-Deddy yang lainnya adalah terkait dengan posisinya sebagai petahana. Meskipun Dede Yusuf juga petahana tetapi posisinya yang hanya sebagai wakil gubernur (wagub) tentu tidak seleluasa Ahmad Heryawan sebagai gubernur. Satu hal yang kerap dilakukan para petahana adalah melakukan kampanye terselubung. Mereka melakukan kampanye di sela-sela acara-acara resmi sebagai gubernur, seperti kunjungan ke berbagai daerah, pemberian bantuan dari provinsi untuk daerah-daerah yang terkena musibah dan sebagainya. Belakangan Aher bahkan sangat royal menyalurkan dana bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat Jabar. Modus seperti ini sama seperti yang pernah dilakukan mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo (Foke) pada Pilgub DKI 2012. Sebagai petahana dia banyak mengeluarkan dana-dana bantuan sosial menjelang pilgub. Tetapi karena masyarakat Jakarta relatif rasional dan kritis, banyak yang kemudian mencurigai "kebaikan" mendadak yang dilakukan Foke. Ditambah dengan kemunculan penantang yang kuat, yaitu Joko Widodo (Jokowi), maka Foke tidak mampu menuai kemenangan. Tetapi masyarakat Jabar tampaknya berbeda dengan masyarakat DKI. Tipologi sebagian besar warga Jabar sebagai pemilih yang tidak rasional dan tradisional, agaknya tidak cukup membuat mereka berpikir kritis terhadap apa yang dilakukan Ahmad Heryawan. Tipologi masyarakat seperti ini cenderung permisif dan pemaaf manakala kandidat mampu menampilkan dirinya sebagai senang “berbuat baik” , religious dan sebagainya. Namun demikian, sebagai pemenang, pasangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar jangan lantas jumawa, apalagi perolehan suaranya dengan posisi kedua, yaitu pasangan Rieke-Teten cukup tipis. Dengan kata lain, dukungan yang mereka peroleh dari masyarakat Jabar tidaklah mutlak. Oleh karena itu, pasangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar harus benar-benar mampu membuktikan janjin-janjinya selama kampanye sesegera mungkin jika ingin mendapatkan dukungan dari masyarakat Jabar.

Jumat, 01 Februari 2013

PKS di Bawah Nakhoda Baru (Jurnal Nasional, 2 Pebruari 2013)

Akhirnya Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi menunjuk Anis Matta sebagai presiden baru menggantikan Lutfhi Hasan Ishaaq (LHI). Sebagaimana diketahui, LHI telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus penerimaan suap kebijakan impor daging sapi. LHI bahkan telah ditahan KPK di Rutan Guntur untuk menjalani proses penyidikan. LHI pun kemudian mengajukan pengunduran diri dari jabatan presiden partai. Untuk mengisi kekosongan jabatan itulah Majelis Syuro di bawah kepemimpinan Hilmi Aminuddin mengadakan pertemuan untuk menentukan pengganti LHI yang kemudian memilih Anis yang sebelumnya menjabat sekretaris jenderal PKS. Sebelum Anis Matta yang ditetapkan, beberapa nama kader PKS lainnya sempat disebut-sebut sebagai pengganti LHI seperti Al-Muzammil Yusuf, Mahfudz Shiddiq dan mantan presiden PKS Hidayat Nur Wahid. Adapun jabatan sekretaris jenderal yang ditinggalkan Anis Matta diisi oleh Muhammad Taufik Ridho. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua Bidang Generasi Muda dan Profesi DPP PKS periode 2010-2015. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua DPW Jawa Barat periode 2005-2010. Dengan demikian, kepengurusan DPP PKS telah kembali terisi penuh di bawah nakhoda baru Anis Matta. Mengembalikan Citra Kini Anis Matta telah ditetapkan sebagai presiden baru partai kader tersebut. Tentu saja ada tugas yang sangat berat menanti sang nakhoda baru, yakni bagaimana Anis mampu mengangkat kembali citra PKS yang sekarang hancur lebur akibat penetapan LHI sebagai tersangka kasus penerimaan suap tersebut. Bagi partai yang selalu menampilkan dirinya sebagai partai bersih dan berkomitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi, terungkapnya kasus LHI jelas merupakan pukulan yang sangat telak. Jika dibandingkan dengan partai-partai politik lainnya yang juga kerap mengalami kasus serupa, kasus yang membelit PKS tentu jauh lebih dahsyat dampaknya di mata publik. Setidaknya ada tiga argumentasi yang bisa menjelaskan hal tersebut. Pertama, PKS selama ini dikenal sebagai partai yang selalu mengedepankan aspek moralitas di dalam politiknya. Karena itu, begitu PKS ini ditimpa kasus yang benar-benar mencoreng moralitas, jelas pandangan publik akan sangat miring. Kedua, jika partai-partai politik lain yang terbelit kasus korupsi paling jauh melibatkan kader-kader yang duduk di level ketua bidang, sekretaris atau bendahara dan ke bawahnya, kasus korupsi PKS sangat berbeda. Justeru yang diduga terlibat kasus korupsi adalah pucuk pimpinannya sendiri padahal pimpinan partai adalah simbolisasi dari moralitas partai. Tentu saja gaungnya jauh lebih kencang jika, misalnya, yang terlibat itu hanyalah salah seorang ketua DPP atau pengurus di bawahnya. Ketiga, diakui atau tidak PKS merupakan repesentasi dari partai Islam di Indonesia, apalagi partai ini jelas-jelas mencantum Islam sebagai dasar partainya. Dan Islam sebagai agama sangat tegas melarang para pemeluknya untuk menjauhi tindakan-tindakan koruptif seperti suap atau sogok. Seperti ditegaskan dalam salah satu hadis Nabi bahwa baik yang menyogok maupun disogok sama-sama akan dimasukkan ke dalam neraka. Tentu saja jika pentolan-pentolan PKS yang notabene pentolan Islam melakukan tindakan korupsi, maka label negatif yang diberikan masyarakat akan jauh lebih kuat dan kencang. Berdasarkan tiga argumentasi di atas jelas sangat berat bagi Presiden PKS yang baru untuk mengembalikan citra partai seperti sedia kala, bahkan hamper-hampir bisa dikatakan mustahil. Meminjam istilah sebuah judul film Holywood, presiden baru tersebut mengemban misi yang mustahil (mission imposible). Namun tentu saja pergerakan di dalam dunia politik selalu dinamis, sehingga apapun bisa terjadi. Karena itu, segala kemungkinan masih dapat dilakukan termasuk mengembalikan citra asalkan presiden baru dan segenap pengurus mau bekerja dengan sangat keras. Upaya Bersih-Bersih Tugas berat lainnya yang harus dihadapi presiden baru PKS adalah membangun soliditas partai pasca terungkapnya kasus suap penerimaan suap yang melibatkan LHI. Meskipun LHI belum dinyatakan sebagai benar-benar terbukti bersalah karena harus menjalani proses hukum yang lama, tetapi dampaknya bagi partai sudah sangat terasa. Berbagai pemberitaan miring seputar LHI dan PKS terus saja diekspos oleh media-media dan menjadi headline, sehingga benak publik Indonesia kian dipenuhi oleh berita-berita bernada miring tersebut. Salah satu dampak yang mungkin timbul akibat pemberitaan-pemberitaan tersebut adalah menguatnya persepsi negatif bukan hanya di kalangan eksternal, melainkan juga di kalangan internal partai, yakni para kader dan simpatisan PKS. Besar kemungkinan akan banyak kader dan simpatisan yang merasa sangat kecewa dengan yang menimpa partai ini sekarang, apalagi jika kemudian kasus yang dituduhkan tersebut benar-benar terbukti secara hukum. Memang benar karakteristik kader PKS bersifat militan dan ideologis sehingga cenderung ingin membela partai apapun yang terjadi. Namun hal itu tidak dapat menjamin bahwa tidak ada potensi kekecewaan di kalangan mereka Jika mereka semakin sering menemukan disparitas antara idealitas partai yang ingin menjalankan misi dakwah dengan realitas yang terjadi di mana perilaku elitenya tidak jauh berbeda dengan partai lain, maka para kader di bawah bisa sangat kecewa dan kemudian meninggalkan partai. Salah satu hal yang harus dilakukan nakhoda baru PKS untuk menguatkan soliditas tersebut adalah melakukan upaya bersih-bersih secara internal. Pemimpin baru harus berani menindak tegas kader-kader lain yang juga diduga ikut terlibat di dalam kasus suap LHI juga kasus-kasus korupsi yang lain. Tentu langkah pengunduran diri LHI sudah merupakan pilihan yang tepat, tetapi langkah ini harus pula dibarengi oleh penindakan tegas terhadap kader-kader lain sebelum nanti kedahuluan oleh KPK. Dengan kata lain, PKS di bawah nakhoda baru harus lebih memprioritaskan evaluasi internal daripada sibuk melontarkan berbagai tuduhan ke pihak-pihak lain. Sebab salah-salah PKS akan balik mendapatkan serangan sebagai menyebarkan fitnah karena melontarkan tuduhan hanya berdasarkan asumsi. Jika ini yang terjadi jelas akan semakin mempersulit PKS untuk mengembalikan citranya di mata publik.

Langkah Bijak PKS (Republika, 2 Pebruari 2013)

Tidak dapat dimungkiri bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kini mengalami situasi yang tidak mengenakan karena tengah menjadi sorotan miring publik Indonesia. Hal ini terkait dengan ditetapkannya Presiden PKS, Lutfhi Hasan Ishaaq (LHI), sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat dalam kasus penerimaan suap kebijakan impor daging sapi. LHI bahkan langsung ditahan KPK dengan proses yang sangat cepat. Realitas tersebut tentu saja menimbulkan reaksi yang cukup keras dari para elite dan kader PKS di seluruh Indonesia. Persoalannya adalah bagaimanakah seharusnya PKS menghadapi kasus seperti ini dan bagaimana sikap yang seharusnya diberikan oleh mereka? Inilah yang barangkali akan menjadi pembahasan utama dari tulisan yang sederhana ini. Tidak Reaksional Satu hal yang perlu disadari terutama oleh para petinggi partai dakwah tersebut adalah bahwa penetapan LHI sebagai tersangka merupakan kenyataan yang sudah terjadi. Oleh karena itu, yang jauh lebih penting dilakukan oleh mereka adalah mengawal proses hukum terhadap pemimpinnya itu supaya benar-benar berjalan sesuai dengan koredor hokum yang seharusnya. Bersikap reaktif dengan melemparkan tuduhan akan adanya pihak lain yang melakukan skenario politik untuk menjatuhkan PKS jelang Pemilu 2014 sebenarnya bukan sikap yang tepat. Seperti diketahui bahwa hampir semua elite partai kader tersebut menengarai bahwa ditangkapnya LHI ada sangkut pautnya dengan memanasnya suhu politik pada 2013 sebagai bentuk politik saling sandera. Mantan Presiden PKS, seperti Hidayat Nur Wahid dan Tifatul Sembiring, misalnya, sama-sama melemparkan kecurigaan tersebut. Namun demikian, hemat penulis, sekalipun mungkin ada nuansa politis di balik kasus tersebut, tetapi mengambil sikap reaksional tidaklah menguntungkan karena sejumlah alasan. Pertama, sikap reaksional para elite PKS bukan tidak mungkin akan dibaca publik sebagai bentuk kengototan mereka untuk membela siapapun kadernya secara membabi buta. Boleh jadi publik malah curiga kenapa mereka lebih keras menyalahkan pihak lain ketimbang melakukan evaluasi ke dalam. Kedua, bukan tidak mungkin sikap reaksional para elite PKS akan dipandang publik sebagai bentuk ketidakmatangan politik mereka dalam menghadapi berbagai persoalan yang menderanya. Jika ini yang terjadi, maka sebenarnya berbahaya bagi para elite PKS itu sendiri. Bagaimanapun publik menilai atau memberikan kesan pada suatu fenomena berdasarkan apa yang mereka saksikan terutama pada saat pertama kali. Dalam perspektif salah satu teori dalam ilmu komunikasi, yakni teori penjulukan (labeling theory) dikenal istilah prediksi yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy). Artinya, sikap dan perilaku seseorang akan dinilai orang yang lain berdasarkan apa yang diliihatnya. Orang pemarah, misalnya, akan dicap berwatak seperti itu oleh orang-orang sekitarnya, meskipun ia tidak sedang dalam keadaan marah. Tentu ini bukan sesuatu yang menyenangkan bagi yang bersangkutan. Karena itulah para elite PKS harus lebih berhati-hati dalam menampilkan sikapnya di hadapan publik, betapa pun masalah yang dihadapi mereka sangat menyudutkan dan merugikan citra partainya. Ketiga, pada gilirannya sikap reaksional yang diperlihatkan para elite PKS justeru akan berdampak pada menurunnya simpati publik, apalagi kalau sampai orang yang mereka bela secara mati-matian itu ternyata terbukti bersalah. Tentu simpati publik bukan hanya akan menurun melainkan sirna sama sekali. Sebaliknya, jika para elite PKS lebih bersikap tenang dalam masalah tersebut, justeru simpati publik akan mengalir. Apalagi kalau nanti ternyata tidak terbukti tuduhan yang diberikan pada LHI, maka simpati publik akan meningkat tajam. Langkah Bijak Proses hukum yang akan ditempuh LHI sampai benar-benar terbukti bersalah atau tidak jelas akan memakan waktu yang panjang. Selama proses itu tentu berbagai pemberitaan di media baik cetak, elektronik maupun media sosial seperti facebook dan twiter, akan terus menerus dilakukan secara masif. Dan satu hal yang sulit dihindari bahwa kecenderungan berita-berita tersebut adalah mengangkat berita buruk (bad news), baik pada kehidupan personal LHI maupun PKS. Bukan tidak mungkin berbagai pemberitaan negatif tersebut juga akan berdampak pada persepsi negatif pula di kalangan kader-kader PKS di seluruh Indonesia. Misalnya, kader-kader partai di daerah yang selama ini benar-benar berjuang demi membesarkan partai dengan menempuh hidup yang sederhana mungkin akan merasa “tertipu” dengan perilaku elite politiknya di pusat yang hidup serba berkecukupan bahkan mewah. Dan kenyataannya ada pula satu dua orang elite partai ini di Senayan yang penampilannya cukup perlente seperti anggota-anggota partai lain. Bukanlah hal yang aneh jika realitas tersebut pada gilirannya akan menimbulkan kekecewaan di sebagian kader PKS. Meskipun hal tersebut tidak akan sampai berimbas pada aksi meninggalkan partai karena mereka dikenal sebagai kader-kader ideologis dan militan, kecuali para simpatisan, tetapi tetap saja berpotensi menimbulkan keretakan internal. Keretakan itu bahayanya bisa menjurus pada hilangnya ghirah untuk berjuang membesarkan partai. Oleh karena itu, hemat penulis, ketimbang bersikap reaksional dan cenderung melemparkan tuduhan terhadap pihak-pihak lain, para elite PKS sebaiknya lebih melihat ke dalam atau internal partai. Mereka harus memberikan keyakinan pada kader-kader tersebut bahwa apa yang mereka alami itu semata-mata ujian yang pasti akan dialami oleh semua makhluk Tuhan. Dan mereka harus dapat lulus dari ujian tersebut. Dalam hal ini, langkah LHI untuk mengundurkan diri dari posisi presiden partai patut diberikan apresiasi yang tinggi. Tindakan ini tentu semakin mempermudah para elite PKS untuk memberikan keyakinan pada kader-kadernya di seluruh negeri ini. Inilah antara lain langkah bijak yang diambil PKS dalam situasi yang sulit ini.

Minggu, 27 Januari 2013

Jalan Terjal Nasdem (Seputar Indonesia, 28 Februari 2013)

Seperti telah diduga Surya Paloh (SP) akhirnya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) dalam Kongres I di Gedung Jakarta Convention Centre (JCC) pada Sabtu malam (26/01?) kemarin. Tanpa ada perlawanan, karena memang tidak ada satupun pesaingnya, SP yang sebelumnya menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai kini seolah telah mengambil-alih posisi pimpinan partai dari tangan Rio Capella, ketua umum sebelumnya. Satu hal yang menarik adalah bahwa justeru naiknya SP sebagai orang nomor satu di tubuh satu-satunya partai yang lolos sebagai kontestan Pemilu 2014 inilah yang kemudian menjadi akar dari kekisruhan internal yang meramaikan jagat perpolitikan tanah air. Betapa tidak, persoalan ini berbuntut mundurnya salah seorang tokoh partai yang sangat berpengaruh selain SP, yaitu Hary Tanoesoedibjo (HT), dan orang-orang terdekatnya dari Nasdem, seperti sekjen dan wakilnya. Belakangan kader-kader Nasdem banyak yang menyatakan mundur dari partai karena merasa sudah tidak sejalan cara yang dilakukan SP. Sampai saat ini yang sudah menyatakan mundur secara terang-terangan antara lain Ketua DPW DKI Jakarta, Ketua DPW Jawa Barat, Ketua DPW Maluku dan pengurus Dewan Pimpinan Luar Negeri Hongkong. Bahkan diberitakan pula bahwa ratusan ribu kader Nasdem ikut pula keluar dari partai. Pekerjaan Rumah Melihat situasi yang menghantarkan penyelenggaraan Kongres I NasDem tersebut, maka sebenarnya ada banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan SP terutama untuk menghadapi pemilu yang menyisakan waktu kurang lebih satu tahun. Pertama, masalah konsolidasi internal. Meskipun terpilih secara aklamasi, tetapi cara bagaimana SP menjadi ketua umum yang lebih menyerupai pengambil-alihan, malah ada yang menyebutnya kudeta, bisa menyisakan persoalan. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan kader-kader NasDem yang pada gilirannya dapat menimbulkan friksi di tubuh partai. Memang beberapa orang yang tidak puas secara gambling menyatakan ke publik dan kemudian mundur dari partai. Tetapi bukan tidak mungkin banyak pula kader yang sesungguhnya merasa tidak puas tetapi tidak berani menyatakan terus terang dan lebih memilih arus kebanyakan orang lain. Dari perspektif teori spiral keheningan (the spiral of silence) seperti yang dikemukakan Elizabeth Noelle-Neumann (1984), kecenderungan di atas dapat dijelaskan. Teori ini menegaskan bahwa ketika opini mayoritas telah terbentuk, ada dua kemungkinan pilihan yang dilakukan minoritas, yakni diam atau ikut suara mayoritas. Dari sisi ini, boleh jadi banyak yang sebenarnya tidak setuju dengan cara pengambil-alihan SP, tetapi mereka lebih memilih mengikuti suara mayoritas yang mendukung SP karena merasa lebih aman. Kedua, persoalan lain yang menjadi tugas berat SP adalah mendapatkan kepercayaan publik khususnya terkait dengan citra personalnya yang cukup terganggu dengan kekisruhan yang diciptakannya. Sangat mungkin publik menganggap SP sebagai memaksakan diri untuk menjadi ketua umum padahal tanpa posisi itupun dia masih bisa menjadi the king maker di partai yang digagasnya itu. Akibatnya, publik akan beranggapan bahwa SP adalah orang yang sangat ambisius dan haus kekuasaan. SP juga bisa dianggap tidak konsisten dengan ucapannya. Pada saat-saat sebelumnya, dia pernah berjanji bahwa Ormas NasDem yang digagasnya tidak akan dijadikan partai, tetapi apa yang terjadi sekarang ternyata bertolak belakang. Hal ini jelas bisa menimbulkan persepsi negatif di kalangan publik. Selain itu, publik juga bisa menilai SP sebagai orang yang hanya “memanfaatkan” orang lain, termasuk HT, yang telah bersusah-payah meloloskan partai, tetapi kemudian dia ambil alih sendiri. Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang. Pada sisi kaum muda, naiknya SP menjadi ketua umum jelas dapat menimbulkan anggapan akan ketidakpekaannya terhadap kecenderungan politik Indonesia kontemporer di mana kalangan muda tengah mendapatkan momentumnya. Tentu saja realitas ini menjadi catatan yang kurang menguntungkan bagi NasDem padahal sekarang partai ini mulai banyak digandrungi kalangan muda di berbagai daerah. Ketiga, persoalan logistik dan iklan di televisi merupakan hal yang harus dipersiapkan SP. Hengkangnya HT yang memiliki kedua sumber tersebut tentu saja kehilangan yang sangat besar. Apalagi selama ini naiknya citra NasDem di mata publik Indonesia banyak disokong oleh iklan dan publikasi politik yang dilakukan jaringan media pimpinan HT. Meskipun infrastruktur partai telah terbangun di semua provinsi di Indonesia, tetapi tanpa losgistik dan sosialisasi lewa saluran udara yang memadai, jelas akan menjadi persoalan berat. Kian Sulit Bersaing Untuk bisa berhasil pada Pemilu 2014, NasDem tentu harus mampu mengalahkan partai-partai yang secara langsung berhadapan vis-à-vis dengannya, yakni dari kalangan nasionalis seperti Demokrat, Golkar dan PDIP. Sebab ceruk itulah yang paling mungkin dapat diambil oleh NasDem. Namun demikian, perjalanan NasDem untuk berhadapan dengan ketiga partai tersebut kian berat, karena publik makin sulit menemukan perbedaan yang signifikan antar partai tersebut. Memang sebelumnya NasDem yang mengusung gagasan restorasi dan perubahan mulai mendapatkan tempat di hati publik Indonesia. Hal ini antara lain karena sebagai partai baru, publik melihatnya relatif belum terkontaminasi oleh polusi-polusi politik seperti korupsi, sehingga bisa menjadi alternatif yang menjanjikan. Namun dengan kekisruhan yang terjadi di NasDem sekarang, yang memperlihatkan betapa watak elite-elite politik di dalamnya sama saja dengan di partai lain, citra baik yang telah terbangun pun bisa runtuh. Publik bahkan kemudian bertanya-tanya, bagaimana NasDem mau melakukan restorasi dan perubahan guna mengatasi berbagai carut marut perpolitikan di negeri ini, jika mengatur dirinya sendiri saja belum bisa. Pertanyaan ini jelas sangat menohok bagi para elite politik NasDem. Dan ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsunga partai ini ke depan. Pendek kata, jalan terjal siap menghadap NasDem.