Sabtu, 21 Februari 2009

Hillary Clinton dan Misi AS

Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Hillary Rodham Clinton ke Indonesia merupakan sebuah momentum yang sangat penting bagi AS maupun Indonesia. Bagi AS, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis terkait dengan kebijakan baru Presiden Barack Obama yang lebih mengedepankan soft diplomacy dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara di kawasan Asia.

Sedangkan bagi Indonesia, AS sebagai negara adi daya tentu merupakan mitra yang sangat penting guna meningkatkan pencapaian-pencapaian Indonesia dalam berbagai bidang. Masalah-masalah yang dibicarakan Hillary baik dengan Menlu Hassan Wirajuda maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti perdagangan, investasi, pendidikan, kesehatan, dan perubahan iklim (climate change) mengindikasikan betapa pentingnya AS bagi Indonesia.

Komitmen demokrasi

Amerika Serikat tampaknya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap perkembangan demokrasi yang cukup baik di Indonesia. Itulah kenapa Indonesia dipilih menjadi salah satu negara Asia, selain Jepang, Korea Selatan, dan Cina yang dikunjungi Hillary. Indonesia pascareformasi, terlepas dari berbagai problem yang menderanya, telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS itu sendiri.

Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi mempunyai misi menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke seluruh dunia. Inilah yang oleh O’Donnell dan Schmitter (1993) disebut praktik "ekspor" demokrasi oleh AS ke berbagai negara di dunia. Indonesia yang berpenduduk keempat terbesar di dunia memiliki posisi strategis di kawasan Asia untuk mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi ala Amerika (Barat). Keberhasilan Indonesia dalam konteks ini akan dipandang keberhasilan AS pula.

Kondisi ini, di satu sisi, merupakan hal yang positif bagi Indonesia. Indonesia akan terdorong untuk semakin meningkatkan kualitas demokrasi yang tengah berjalan. Namun, di sisi lain, hal ini juga salah-salah bisa menjadi batu sandungan dalam hubungan Indonesia-AS. Bagaimanapun kita harus mengakui, sekalipun Indonesia dipandang cukup berhasil dalam mengembangkan demokrasi, masih banyak persoalan yang terkait dengan HAM dan hak politik lainnya di negeri ini yang belum menggembirakan. Penyelesaian kasus Munir merupakan salah satu yang kerap disorot oleh media-media AS. Tampaknya bukanlah tanpa maksud kalau istri almarhum Munir, Suciwati, hadir dalam acara penyambutan Hillary.

Islam Moderat

Salah satu yang membedakan makna kunjungan Hillary ke Indonesia dari negara–negara Asia lainnya yang dikunjungi adalah realitas bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Akan tetapi, yang jauh lebih menarik bagi AS adalah karakteristik Islam moderat yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, yang membedakannya dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim laimnya, terutama di Timur Tengah. Islam dan demokrasi di Indonesia mampu berjalan beriringan dengan damai.

Karakteristik Islam moderat inilah yang tampaknya sangat mengesankan bagi AS. Hillary Clinton mengatakan bahwa Indonesia dengan beragam suku, ras, dan agama mampu hidup berdampingan secara harmonis. Bahkan, ia tegas mengatakan, jika orang ingin belajar tentang toleransi, ia harus datang ke Indonesia. Tentu kita berharap, ini bukan sekadar basa-basi politik belaka.

Memang ada sedikit ganjalan dalam konteks citra Islam moderat Indonesia dengan munculnya sejumlah organisasi Islam yang kerap menyuarakan sentimen anti-AS. Akan tetapi, sejauh ini hal tersebut tidaklah menurunkan citra Islam moderat Indonesia karena jumlahnya yang minoritas atau bukan merupakan mainstream. Indonesia, di mata AS, tetapi dipandang sebagai representasi Islam moderat.

Citra Islam moderat di Indonesia juga tidak terlepas dari upaya pemerintah. Pada beberapa tahun terakhir, Deplu melibatkan banyak tokoh cendekiawan Islam Indonesia yang berhaluan moderat seperti Azyumardi Azra, Komariddin Hidayat -- keduanya hadir dalam penyambutan Hillary -- dan lain-lain guna menjelaskan Islam Indonesia di berbagai forum internasional. Upaya ini tampaknya cukup berhasil sehingga citra Islam moderat Indonesia semakin kuat di mata internasional.

Tidaklah mengherankan kalau Indonesia akan dijadikan entry point bagi AS ke dunia Islam. Jika AS menjalin hubungan baik dengan Indonesia maka AS akan menjalin hubungan baik pula dengan dunia Islam secara keseluruhan. Hal ini penting dilakukan AS untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah di Timur Tengah, seperti konflik Palestina-Israel, Irak, Afganistan dan hubungannya yang kurang harmonis dengan Iran.

Indonesia, dengan demikian, memiliki kesempatan sangat baik untuk memanfaatkan peluang emas tersebut, misalnya, dengan meningkatkan kiprahnya di panggung dunia. Dalam kasus konflik Palestina-Israel, misalnya, Indonesia semestinya lebih aktif mengajukan berbagai inisiatif perdamaian sehingga tidak lagi sekadar menjadi "penggembira" di forum-forum internasional. Permintaan SBY kepada Hillary agar AS memberikan perhatian besar terhadap penyelesaian konflik di Palestina merupakan hal yang positif. Namun, hal itu harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang lebih konkret.

Namun, dengan modal demokrasi yang semakin baik dan Islam moderat yang telah menjadi trade mark, Indonesia tetap harus bersikap hati-hati dan kritis terhadap AS. Bagaimanapun, kepentingan nasional AS akan menjadi pertimbangan utama pemerintahan AS dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain termasuk Indonesia. Oleh karena itu, dalam melakukan hubungan dengan AS, Indonesia mesti mendasarkan pertimbangan kebijakannya pada asas penghargaan dan kepentingan timbal balik, dua hal yang juga menjadi komitmen utama Presiden Obama dalam menjalin hubungan dengan dunia Islam. Oleh karena itu, kekhawatiran akan terjadinya ekspansi AS ke Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi, tidak akan terjadi. ***

Selasa, 10 Februari 2009

Iklan Politik dan Keterlibatan Publik

Panggung politik Indonesia kian riuh rendah dengan pertarungan citra antar calon presiden (capres) melalui iklan-iklan politik. Kondisi seperti ini tampaknya akan terus berlangsung sampai digelarnya Pemilu 2009. Tentu publik Indonesia akan disuguhi berbagai parade iklan politik dengan aneka variasinya.
Yang menarik adalah bahwa pertarungan citra melalui iklan politik tersebut mengerucut antar dua capres: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai incumbent dan Megawati Soekarnoputri sebagai oposisi. Antar keduanya terjadi saling berjawab iklan politik, sesuatu yang sebenarnya positif dalam kultur demokrasi. Inilah masalah yang ingin coba diangkat dalam tulisan ini.

Kegamangan
Harus diakui bahwa tradisi berjawab iklan politik melalui media massa merupakan hal yang relatif baru di negara Indonesia, baik bagi kalangan elite politik itu sendiri maupun publik. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau iklan-iklan politik yang ditampilkan ke hadapan publik baik dari kalangan oposisi yang menyerang maupun dari pemerintah yang menjawabnya masih terasa gamang.
Inilah yang terjadi antara kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Megawati sebagai capresnya dan Partai Demokrat (PD) yang mendukung SBY. Kubu PDIP menayangkan iklan yang menyerang kebijakan pemerintahan SBY dengan mendaftar empat hal yang dianggapnya sebagai pembohongan publik, termasuknya di dalamnya kebijakan untuk menurunkan harga BBM. Sementara kubu Demokrat menjawabnya dengan mendafar sejumlah keberhasilan pemerintahan SBY berlipat-lipat dari daftar kritikan kubu PDIP.
Apa yang dapat dibaca dari kedua iklan tersebut? Tentu ada banyak persepsi yang dapat diberikan. Salah satunya barangkali adalah bahwa orang mungkin akan melihat adanya semacam kepanikan di kedua belah pihak. Kubu PDIP panik karena melihat kebijakan SBY akhir-akhir ini semakin pro publik sehingga simpati publik akan meningkat, maka segera mendaftar sejumlah “kegagalan” SBY. Sementara kubu Demokrat panik melihat daftar yang ditampilkan lawan, karena takut akan menurunkan citra SBY, maka segera menjawabnya dengan daftar keberhasilan yang jauh lebih banyak jumlanya.

Efektivitas
Apakah iklan politik dari kedua pihak yang berseteru tersebut efektif? Kalau melihat dari model iklan PDIP yang mendaftar sejumlah kegagalan pemerintahan SBY sebagai incumbent agaknya kurang efektif. Dalam sejumlah literatur komunikasi politik disebutkan bahwa ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh tim-tim sukses seorang capres dalam membuat iklan.
Pertama, kesederhanaan (Simplicity). Kesederhanaan yang dimaksud di sini adalah bahwa isu yang ditampilkan dalam iklan tersebut harus yang mudah dimengerti publik sehingga publik akan merasa terlibat terhadap isu tersebut. Oleh karena itu, cukup satu isu saja yang ditampilkan ke publik sehingga perhatian publik akan terfokus pada isu itu. Dan incumbent biasanya juga akan menjawab kritikan lawan terhadap isu itu, sehingga terjadi saling berjawab iklan politik secara terfokus. Dari situ publik akan melihat dan menilai kubu mana yang lebih laik diberikan dukungan.
Hal ini sulit terjadi jika isu yang ditampilkan baik kubu oposisi maupun incumbent jumlahnya banyak seperti yang terjadi antara kubu PDIP dan Demokrat. Publik pun akan merasa malas membacanya, jangankan rakyat biasa, mungkin kaum terdidik pun juga demikian.
Kedua, relevansi (relevancy). Relevansi terkait dengan apakah isu yang ditampilkan ke publik betul-betul menjadi perhatian publik ataukah tidak. Iklan politik yang cerdas selalu memperhatikan aspek ini, karenanya survei mesti dilakukan terlebih dahulu sebelum dibuat iklan. Dalam hal ini, kita dapat mengajukan pertanyaan, tepatkah kebijakan pemerintahan SBY untuk menurunkan harga BBM itu dijadikan isu dalam iklan politik PDIP, bahkan dikatakan sebagai kebijakan “yoyo”?
Kalau kita cermati pembicaraan di kalangan publik, terutama pada tingkat rakyat kebanyakan, kita akan menemukan bahwa penurunan harga BBM tersebut disambut dengan sangat antusias secara taken for granted. Bagi rakyat, tidaklah penting kebijakan penurunan tersebut sebagai kebijakan politis menjelang pemilu ataukah tidak. Biarlah itu menjadi urusan para elite politik, yang penting mereka bisa bernafas kembali setelah sekian lama tercekik.
Bandingkan dengan kampanye Barack Obama beberapa waktu yang lalu ketika bersaing dengan Mc Cain menuju Gedung Putih. Kubu Obama, misalnya, menampilkan isu tentang penarikan pasukan AS dari Irak sebagai bentuk kampanye menyerang (attacking campaign) terhadap kebijakan George W. Bush yang sebaliknya ingin mempertahankan keberadaan pasukan AS di sana. Pada kenyataannya, publik AS, seperti terlihat dalam berbagai jajak pendapat, sudah muak dengan kebijakan Bush tersebut. Dengan demikian, serangan kubu Obama sangat tepat momentumnya.
Ketiga, konsistensi (consistency). Konsistensi dalam konteks ini adalah bahwa sebaiknya kubu oposisi konsisten menyuarakan isu yang telah dipilihnya secara matang, sehingga publik akan menilai bahwa memang itulah yang dijadikan concern utama kampanye mereka. Sebenarnya PDIP, hemat penulis, telah memilih isu yang tepat karena momentumnya pas, yakni “sembako murah”. Seharusnya kubu PDIP fokus dan terus menerus menyuarakan masalah sembako murah ke hadapan publik, sehingga publik akan menilai PDIP konsisten dengan isu tersebut. Dan itu, tentu saja, merupakan kredit yang sangat menguntungkan untuk pemilu nanti.
Ala kulli hal, dalam menampilkan sebuah iklan politik, publik harus dijadikan perhatian utama. Keterlibatan publik terhadap isu yang ditayangkan dalam iklan politik tersebut menjadi tolak ukur keberhasilan. Tanpa keterlibatan publik iklan politik tentu akan terasa sia-sia. Bukankah tujuan utama iklan politik adalah meraih simpati publik sebanyak-banyaknya?

Persaingan Yes, Permusuhan No

Belum lama ini mantan Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meminta kepada Presiden incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Calon Presiden Megawati Soekarnoputri untuk berdamai. Permintaan ini tampaknya didasarkan kepada perseteruan keduanya yang kian hari kian sengit yang berlangsung di dalam ruang-ruang publik.
Megawati, misalnya, pada acara rakernas PDIP di Solo (27-29 Januari) menyebut kebijakan pemerintahan SBY, antara lain menurunkan harga BBM seperti bermain yoyo. Sebaliknya SBY membalas bahwa pihak yang mengkritik –maksudnya Megawati—sebaiknya berkaca dulu sebelum melontarkan kritikan. PDIP sebagai pengusung Megawati memasang iklan politik dengan mendaftar empat hal yang dianggapnya tidak benar. Dan Partai Demokrat sebagai pengusung SBY segera membalasnya dengan memberikan daftar keberhasilan pemerintahan SBY dengan jumlah yang berlipat-lipat dari daftar kritikan PDIP. Tampaknya saling mengkritik antar kedua kubu tersebut akan terus berlangsung sampai digelarnya Pemilu 2009.

Kampanye Menyerang
Bolehkah sebenarnya seorang capres melancarkan kampanye menyerang (attacking campaign) terhadap capres lainnya? Dalam berbagai literatur komunikasi politik disebutkan bahwa kampanye menyerang itu bukan hanya sekadar boleh, tetapi juga sudah dipandang sebagai semacam “keharusan”, baik bagi incumbent apalagi oposisi. Pengertian “menyerang” dalam konteks ini adalah memberikan kritikan terhadap kebijakan-kebijakan yang ditempuh lawan politiknya.
Bahkan istilah kampanye menyerang (attacking campaign) di dalam komunikasi politik disamakan dengan kampanye negatif (negative campaign) seperti yang ditegaskan Lynda Lee Kaid dalam Handbook of Political Communication Research (2004). Menurutnya, istilah negatif dalam kampanye tersebut adalah negatif bagi lawan politik. Jadi, ketika seorang capres, seperti Megawati, menyerang kebijakan SBY sebagai lawan politiknya, maka kampanye itu bersifat negatif bagi SBY. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, saling serang antar Megawati dan SBY, baik yang disampaikan secara langsung di berbagai forum ataupun melalui iklan politik, dilihat dari perspektif komunikasi politik merupakan hal yang lumrah dan biasa saja. Yang tidak boleh dilakukan adalah apabila kampanye tersebut sudah memburuk-burukkan pribadi lawan politik, melancarkan tuduhan tanpa bukti, memfitnah dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan kampanye hitam (black campaign). Sejauh ini saling mengkritik antar keduanya belum mengarah kepada kampanye hitam.


Persaingan Bukan Permusuhan
Yang menjadi masalah, hemat penulis, justeru budaya politik (political culture) dari elite-elite politik itu sendiri. Dalam budaya politik Indonesia yang didominasi oleh budaya Jawa, yang telah dilanggengkan secara koersif selama kurang lebih 32 tahun pada masa Orde Baru, istilah persaingan atau kompetensi dalam berbagai bidang terutama politik ditabukan. Budaya Jawa yang sangat menekankan harmoni dan keseimbangan hidup sangat anti dengan yang namanya persaingan.
Oleh karena itu, persaingan dalam konteks ini akan dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan dan memiliki potensi untuk perpecahan dan permusuhan. Cara pandang seperti ini terus terwariskan hingga hari ini terutama di kalangan elite-elite politik di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada pandangan bahwa jika orang sudah memutuskan untuk bersaing dengan pihak lain, maka ia telah menjadi musuh dari pihak tersebut dalam semua hal baik urusan publik maupun pribadi.
Akibatnya, persaingan politik antar calon-calon pemimpin di republik ini sering terbawa ke dalam persoalan-persoalan pribadi. Yang seharusnya persaingan tersebut berhenti pada domain politik, tetapi kemudian merembet ke domain pribadi sehingga terjadilan permusuhan. Jika sudah seperti itu untuk duduk satu meja pun terasa begitu sulit dilakukan. Itulah kenapa Megawati tidak pernah bersedia duduk bersama dengan SBY sejak ia dikalahkan SBY pada Pemilu 2004, sesuatu yang tentu saja sangat disayangkan.
Dalam hal ini para calon pemimpin kita seharusnya belajar dari calon-calon pemimpin Amerika Serikat yang telah mempertontonkan perilaku terpuji berkaitan dengan persaingan politik yang melibatkan mereka. Bagi mereka persaingan itu hanya terjadi pada domain politik, sedangkan pada domain pribadi mereka tetap berkawan, saling menghormati dan seterusnya.
Itulah kenapa Barack Obama yang ketika kampanye demikian pedas mengkritik kebijakan George W. Bush, tetapi setelah terpilih sebagai Presiden AS ia dijamu oleh Bush di Gedung Putih dengan tangan terbuka. Keduanya terlibat dalam obrolan yang tidak mengesankan kecanggungan sedikitpun, Sebaliknya, setelah inaugurasi pada 20 Januari lalu Obama dengan senang hati mengantar Bush bahkan sampai ke pesawat Helikopter yang siap mengantarkan Bush ke kediamannya.
Jika para calon pemimpin kita dapat menerapkan model persaingan seperti itu, maka pastilah tidak akan ada permusuhan di antara mereka setelah Pemilu 2009 nanti. Sebagai publik kita berharap bahwa persaingan yang kian memanas antara Megawati dan SBY hanyalah berlangsung dalam domain politik. Sementara pada domain pribadi mereka tetap berkawan. Dengan kata lain, persaingan yes, permusuhan no.