Selasa, 10 Februari 2009

Persaingan Yes, Permusuhan No

Belum lama ini mantan Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meminta kepada Presiden incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Calon Presiden Megawati Soekarnoputri untuk berdamai. Permintaan ini tampaknya didasarkan kepada perseteruan keduanya yang kian hari kian sengit yang berlangsung di dalam ruang-ruang publik.
Megawati, misalnya, pada acara rakernas PDIP di Solo (27-29 Januari) menyebut kebijakan pemerintahan SBY, antara lain menurunkan harga BBM seperti bermain yoyo. Sebaliknya SBY membalas bahwa pihak yang mengkritik –maksudnya Megawati—sebaiknya berkaca dulu sebelum melontarkan kritikan. PDIP sebagai pengusung Megawati memasang iklan politik dengan mendaftar empat hal yang dianggapnya tidak benar. Dan Partai Demokrat sebagai pengusung SBY segera membalasnya dengan memberikan daftar keberhasilan pemerintahan SBY dengan jumlah yang berlipat-lipat dari daftar kritikan PDIP. Tampaknya saling mengkritik antar kedua kubu tersebut akan terus berlangsung sampai digelarnya Pemilu 2009.

Kampanye Menyerang
Bolehkah sebenarnya seorang capres melancarkan kampanye menyerang (attacking campaign) terhadap capres lainnya? Dalam berbagai literatur komunikasi politik disebutkan bahwa kampanye menyerang itu bukan hanya sekadar boleh, tetapi juga sudah dipandang sebagai semacam “keharusan”, baik bagi incumbent apalagi oposisi. Pengertian “menyerang” dalam konteks ini adalah memberikan kritikan terhadap kebijakan-kebijakan yang ditempuh lawan politiknya.
Bahkan istilah kampanye menyerang (attacking campaign) di dalam komunikasi politik disamakan dengan kampanye negatif (negative campaign) seperti yang ditegaskan Lynda Lee Kaid dalam Handbook of Political Communication Research (2004). Menurutnya, istilah negatif dalam kampanye tersebut adalah negatif bagi lawan politik. Jadi, ketika seorang capres, seperti Megawati, menyerang kebijakan SBY sebagai lawan politiknya, maka kampanye itu bersifat negatif bagi SBY. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, saling serang antar Megawati dan SBY, baik yang disampaikan secara langsung di berbagai forum ataupun melalui iklan politik, dilihat dari perspektif komunikasi politik merupakan hal yang lumrah dan biasa saja. Yang tidak boleh dilakukan adalah apabila kampanye tersebut sudah memburuk-burukkan pribadi lawan politik, melancarkan tuduhan tanpa bukti, memfitnah dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan kampanye hitam (black campaign). Sejauh ini saling mengkritik antar keduanya belum mengarah kepada kampanye hitam.


Persaingan Bukan Permusuhan
Yang menjadi masalah, hemat penulis, justeru budaya politik (political culture) dari elite-elite politik itu sendiri. Dalam budaya politik Indonesia yang didominasi oleh budaya Jawa, yang telah dilanggengkan secara koersif selama kurang lebih 32 tahun pada masa Orde Baru, istilah persaingan atau kompetensi dalam berbagai bidang terutama politik ditabukan. Budaya Jawa yang sangat menekankan harmoni dan keseimbangan hidup sangat anti dengan yang namanya persaingan.
Oleh karena itu, persaingan dalam konteks ini akan dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan dan memiliki potensi untuk perpecahan dan permusuhan. Cara pandang seperti ini terus terwariskan hingga hari ini terutama di kalangan elite-elite politik di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada pandangan bahwa jika orang sudah memutuskan untuk bersaing dengan pihak lain, maka ia telah menjadi musuh dari pihak tersebut dalam semua hal baik urusan publik maupun pribadi.
Akibatnya, persaingan politik antar calon-calon pemimpin di republik ini sering terbawa ke dalam persoalan-persoalan pribadi. Yang seharusnya persaingan tersebut berhenti pada domain politik, tetapi kemudian merembet ke domain pribadi sehingga terjadilan permusuhan. Jika sudah seperti itu untuk duduk satu meja pun terasa begitu sulit dilakukan. Itulah kenapa Megawati tidak pernah bersedia duduk bersama dengan SBY sejak ia dikalahkan SBY pada Pemilu 2004, sesuatu yang tentu saja sangat disayangkan.
Dalam hal ini para calon pemimpin kita seharusnya belajar dari calon-calon pemimpin Amerika Serikat yang telah mempertontonkan perilaku terpuji berkaitan dengan persaingan politik yang melibatkan mereka. Bagi mereka persaingan itu hanya terjadi pada domain politik, sedangkan pada domain pribadi mereka tetap berkawan, saling menghormati dan seterusnya.
Itulah kenapa Barack Obama yang ketika kampanye demikian pedas mengkritik kebijakan George W. Bush, tetapi setelah terpilih sebagai Presiden AS ia dijamu oleh Bush di Gedung Putih dengan tangan terbuka. Keduanya terlibat dalam obrolan yang tidak mengesankan kecanggungan sedikitpun, Sebaliknya, setelah inaugurasi pada 20 Januari lalu Obama dengan senang hati mengantar Bush bahkan sampai ke pesawat Helikopter yang siap mengantarkan Bush ke kediamannya.
Jika para calon pemimpin kita dapat menerapkan model persaingan seperti itu, maka pastilah tidak akan ada permusuhan di antara mereka setelah Pemilu 2009 nanti. Sebagai publik kita berharap bahwa persaingan yang kian memanas antara Megawati dan SBY hanyalah berlangsung dalam domain politik. Sementara pada domain pribadi mereka tetap berkawan. Dengan kata lain, persaingan yes, permusuhan no.

Tidak ada komentar: