Selasa, 11 Januari 2011

Wacana Presidential Treshold

Harian Jurnal Nasional, Rabu 12 Januari 2011

Setelah isu ambang batas parlemen (parliamentary treshold) menjadi perdebatan alot di kalangan partai-partai politik yang hingga sekarang masih juga belum dicapai titik temu, kini muncul wacana tentang ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold). Jika pada isu pertama kecenderungan yang ada ingin meningkatkan angkanya, maka pada isu yang kedua justeru sebaliknya.
Adalah Partai Golkar yang pertama memunculkan isu ambang batas pengajuan calon presiden. Baru-baru ini Tim kajian paket UU Politik Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar revisi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden memberikan kemudahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Golkar menawarkan usulan agar partai-partai yang berhasil melewati ambang batas parlemen secara otomatis boleh mengajukan pasangan capres dan cawapres.
Usulan yang ditawarkan partai beringin di atas tentu mengundang pertanyaan. Mengapa Golkar hendak merendahkan persyaratan pengajuan capres dan cawapres sementara pada saat yang sama berupaya keras menaikkan ambang batas parlemen? Apakah target politik yang hendak dibidik partai pimpinan Aburizal Bakrie (Ical) tersebut?

Aroma Politis
Kalau diteliti secara seksama bahwa pembahasan berbagai undang-undang politik di parlemen yang bermuara pada enam paket UU Politik tampaknya tidak terlepas dari persaingan beragam kepentingan partai politik. Usulan-usulan yang berbeda-beda antar satu partai dengan partai lainnya memperlihatkan dengan jelas betapa masing-masing ingin menyelamatkan kepentingan partainya. Pembahasan tentang ambang batas parlemen barangkali dapat dijadikan bukti sahih.
Kecenderungan yang sama juga terlihat dari usulan Golkar mengenai ambang batas pengajuan capres dan cawapres. Meskipun tampak bahwa partai ini seolah-olah ingin membuka peluang sebanyak-banyaknya kepada semua elemen masyarakat untuk bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres, namun bukan tidak mungkin ada target politik yang sesungguhnya ingin diraih Golkar.
Golkar tampaknya ingin menjadikan persaingan untuk menjadi orang nomor satu dan dua di republik ini berkisar di antara partai-partai besar saja seperti Demokrat, PDIP dan Golkar sendiri. Tetapi juga membuka peluang pada partai-partai menengah bahkan kecil untuk ikut meramaikan persaingan tersebut. Kalau itu terjadi, maka persaingan akan menjadi semarak sekaligus sengit sehingga rawan terjadinya polarisasi politik. Dalam situasi seperti ini politisi-politisi yang cerdik dan lihai punya peluang untuk bermain di dalamnya. Golkar yang diisi oleh para politisi yang sangat berpengalaman dinilai akan mampu memainkan peranan tersebut.
Pada sisi lain, dengan mengajukan usulan yang memudahkan persyaratan pengajuan capres dan cawapres tersebut Golkar juga tampaknya hendak meraih simpati dari partai-partai lain khususnya menengah dan kecil terutama yang berada di luar parlemen.
Sebagaimana diketahui bahwa Golkar selama ini cukup mendapatkan antipati dari partai-partai politik, khususnya non-parlemen. Hal ini terkait dengan usulan Golkar mengenai angka kenaikan ambang batas parlemen yang mencapai tujuh persen. Padahal partai-partai besar lainnya tidak sebesar itu. PDIP hanya mengajukan angka lima persen, sedangkan Demokrat sebagai partai pemenang pemilu hanya mengajukan kisaran angka antara empat sampai lima persen.

Kemunduran
Dari perspektif kehendak untuk melakukan penyederhanaan partai politik seperti yang diinginkan oleh berbagai kalangan usulan yang ditawarkan Golkar tersebut sesungguhnya bisa dikatakan sebagai sebuah kemunduran. Sejak diberlakukannya ambang batas pengajuan capres dan cawapres selalu ada keinginan untuk dilakukan perbaikan antara lain dengan menaikkan persyaratan besaran dukungan.
Pada Pemilu 2004, misalnya, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 pasangan capres dan cawapres minimal diusulkan dengan dukungan tiga persen kursi di DPR atau lima persen suara sah nasional. Sedangkan pada Pemilu 2009, syaratnya diperberat menjadi minimal dukungan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara suara sah nasional. Maka, kalau untuk Pemilu 2014 nanti usulan Golkar diterima, tidak akan ada lagi persyaratan tersebut.
Pada sisi lain, usulan Golkar tersebut dapat dinilai sebagai sebuah bentuk ketidakkonsistenan partai ini terutama dalam kaitannya dengan masalah penyederhanaan partai politik demi memperkuat sistem presidensialisme. Di satu pihak Golkar mematok angka yang paling tinggi dalam menaikkan angka ambang batas parlemen, tetapi di pihak lain justeru sangat mempermudah ambang batas pengajuan capres dan cawapres.
Maka, dilihat dari perspektif di atas tawaran yang diajukan partai pemenang kedua pada Pemilu 2009 kemarin ini tampaknya lebih menonjolkan kepentingan politik partainya ketimbang kepentingan negara yang lebih luas, yakni terbentuknya sistem pemerintahan yang kuat.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad Bandung.

Mungkinkah Koalisi Poros Tengah?

Harian Pikiran Rakyat, Senin 03 Januari 2011

Isu koalisi poros tengah kembali muncul dalam perpolitikan nasional yang diinisiasi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Yang menarik adalah bahwa PKS merupakan anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) di DPR sebagai wadah koalisi pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono.
Pada 1999 isu poros tengah eksis dalam perpolitikan Indonesia dan bahkan telah berhasil memecahkan kebekuan politik ketika itu antara kubu BJ Habibie dan kubu Megawati Soekarnoputri. Poros tengah kemudian berhasil menjadikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai orang yang diterima kedua belah pihak sehingga terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia.
Akankah isu koalisi poros tengah sekarang ini akan mengkristal dan kemudian menjadi alternatif politik di tengah dominasi dua partai besar, yakni Demokrat dan Golkar? PKS sendiri sebagai penggagas kemudian mengajak partai-partai menengah lainnya di Setgab untuk bergabung, bahkan berkomunikasi pula dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang notabene partai oposisi.
Apa yang dilakukan PKS di atas setidaknya menyiratkan dua hal. Pertama, situasi tersebut agaknya dilatarbelakangi oleh adanya kekecewaan di kalangan partai anggota Setgab khususnya partai-partai menengah. Salah satu faktor kekecewaan tersebut, seperti yang ditegaskan salah seorang elite PKS, adalah adanya dominasi Demokrat dan Golkar dalam menyikapi berbagai kebijakan.
Dalam ungkapan lain, Setgab dikerdilkan fungsinya oleh kedua partai tersebut menjadi hanya sebagai stempel kebijakan pemerintah. Sementara partai-partai menengah jarang sekali dilibatkan. Seringkali Setgab memutuskan suatu kebijakan secara tertutup dengan hanya melibatkan Demokrat dan Golkar. Dalam situasi seperti ini, partai-partai menengah hanya diminta menyetujui saja. Ini, misalnya, terjadi pada kasus RUU DIY di mana anggota Setgab diminta mendukung usulan pemerintah itu.
Kedua, fenomena ini memperlihatkan bahwa koalisi partai pendukung SBY-Boediono memang sangat rentan karena lebih banyak didasarkan pada kepentingan politik pragmatis. Koalisi yang kuat sesungguhnya harus didasarkan pada kesamaan idelogis dan program, sehingga kohesivitas yang dibangun betul-betul rekat dan tidak mudah goyah.
Sayangnya orientasi kekuasaan jauh lebih menonjol di dalam koalisi pendukung SBY-Boediono. Maka, ketika persoalan kekuasaan tersebut mendapat ancaman, pihak-pihak yang terancam akan segera bereaksi keras. Bagaimanapun isu perombakan kabinet (reshuffle) sampai saat ini belum mereda sehingga cukup menghantui partai-partai menengah di dalam Setgab. Apalagi sejumlah menteri dari partai-partai tersebut dipandang berbagai kalangan tidak lagi layak mendampingi SBY sampai 2014.
Namun, memprediksi bahwa fenomena di atas akan berakhir dengan munculnya koalisi poros tengah mungkin terlalu jauh. Menurut hemat penulis, agaknya keinginan itu sulit terwujud. Apa yang dilakukan PKS sesungguhnya lebih merupakan manuver politik dalam rangka menaikkan daya tawarnya di hadapan Demokrat. Lagi-lagi orientasi kekuasaan yang menjadi pertimbangan utamanya.
Hal ini, misalnya, terlihat dari respons balik yang diberikan PKS kepada Demokrat yang menanggapi gagasan dibentuknya koalisi poros tengah. Ketika Demokrat mengatakan bahwa seharusnya PKS keluar dari Setgab dan menarik menteri-menterinya dari kabinet sebagai konsekwensi atas gagasannya, PKS menjawabnya dengan mengatakan bahwa Demokrat arogan. Ini jelas memperlihatkan bahwa PKS tidak serius dengan gagasannya tersebut.
Apalagi ketika PDIP yang diajak bergabung membentuk koalisi poros tengah juga meminta syarat yang senada. Sebagaimana ditegaskan salah seorang elite PDIP, Tjahyo Kumolo, bahwa PKS harus keluar terlebih dahulu dari barisan koalisi pendukung pemerintahan jika ingin menggandeng PDIP pada Pemilu 2014. Kalau tidak, PDIP tidak akan bersedia. Sementara di kalangan internal sendiri baru elite PPP yang sudah memberikan respons positif.
Dari paparan di atas jelas bahwa koalisi poros tengah yang digagas PKS akan sulit terwujud karena bukan merupakan wacana yang serius. Bahkan dalam derajat tertentu, lebih merupakan keluhan untuk tidak mengatakan kecemburuan politik terhadap Demokrat dan Golkar yang kian menunjukkan kemesraannya.
*Penulis, Deputi Direktur the Political Literacy Institute.