Kamis, 30 Agustus 2012

Kekerasan Politik dan Politik Kekerasan (Pikiran Rakyat, Kamis 30 Agustus 2012

Kekerasan demi kekerasan tampaknya kian akrab di tanah yang konon para penduduknya dijuluki sebagai bangsa yang religius dan cinta damai. Sebuah ironi memang. Tetapi itulah yang kerap terjadi. Sampai-sampai para pakar, baik dari kalangan dalam maupun luar negeri, mencoba menyelami akar permasalahan tersebut secara mendalam: mengapa tidak terdapat paralelisme antara keramahan dengan sikap-sikap yang toleran dan bijak? Salah satu akar persoalan yang menjadi faktor penyebab munculnya aksi kekerasan di Indonesia adalah politik dan kekuasaan. Karena itu, kekerasan demi kekerasan yang terpampang di negeri ini laik disebut sebagai kekerasan politik meskipun berbajukan agama. Dalam konteks ini, agama hanya dijadikan semacam pemantik api atau sumbu yang dapat membakar massa dengan mudah karena wataknya yang sangat sensitif. Dengan kata lain, agama sebenarnya hanya diseret-seret oleh oknum tertentu ke dalam ranah politik untuk kepentingan mereka sendiri. Tragedi yang menimpa komunitas Syi’ah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran Kabupaten Sampang, Madura, baru-baru ini yang telah menelan korban, baik yang meninggal maupun luka-luka, disinyalir memiliki motif politik. Hal ini terkait dengan kepentingan politik kelompok tertentu dalam rangka meraih dukungan massa mayoritas jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Kecenderungan seperti ini ternyata tidak hanya khas Madura, namun juga kerap terjadi di daerah-daerah yang lain. Jika analisis ini benar, maka kekerasan politik yang tersuguhkan di republik ini kian mendapatkan justifikasinya yang kuat. Implikasinya tentu sangat mengkhawatirkan terutama terhadap kehidupan politik dan demokrasi yang sedang berjalan secara perlahan-lahan di Indonesia. Ini di satu sisi, pada sisi lain, kehidupan agama juga menjadi sangat terancam. Agama, misalnya, akan kehilangan nilai profetiknya jika diseret masuk ke dalam politik praktis yang “kotor” tersebut. Politik Kekerasan Namun sayangnya, sejumlah aksi kekerasan yang berkali-kali terjadi di depan mata kita, bukan hanya sulit diatasi tetapi justeru memiliki penyokongnya tersendiri. Dengan kata lain, masih ada (atau malah banyak) kelompok di negeri ini yang lebih mengedepankan cara-cara kekerasan ketimbang cara-cara persuasif dalam menyelesaikan persoalan. Parahnya lagi, mereka mencari legitimasi dari ayat-ayat Kitab Suci untuk memuluskan caranya tersebut. Tentu dengan metode penafsiran mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak di antara mereka yang berlindung di balik firman-firman Tuhan saat melakukan aksi-aksi yang sebenarnya sudah di luar prikemanusiaan: pembunuhan, pembakaran fasilitas umum, penganiayaan dan sebagainya. Celakanya, kelompok-kelompok semacam ini kerap berkolaborasi dengan elite-elite politik tertentu sehingga terjadingan hubungan yang bersifat simbiosis-mutualistis dalam konteks yang negatif. Pada gilirannya cara-cara kekerasan tersebut kian mendapatkan legitimasi untuk terus dilakukan. Politik kekerasan pun seolah dianggap menjadi sesuatu yang absah. Demikianlah, kekerasan politik dan politik kekerasan seakan mendapatkan tali pertemanan yang kokoh. Tentu saja sebagai publik kita berharap bahwa kecenderungan yang seperti ini harus segera diakhiri atau paling tidak diminalisasi. Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam konteks pencegahan atau pengikisan aksi-aksi kekerasan. Pertama, soft means, yaitu cara-cara yang mengedepankan persuasi dalam mengatasi persoalan konflik. Dialog menjadi satu-satu metode yang tepat. Kurangnya dialog, seperti yang disinggung Menag Suryadharma Ali, merupakan salah satu pemicu meledaknya konflik. Dalam konteks ini, pemerintah mesti melibatkan kaum ulama secara intensif, jangan sekadar dijadikan tambal sulam atau pemadam kebakaran saja, dalam upaya memberikan pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan terbuka terhadap umat. Banyak tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok umat yang memang didasari oleh sempitnya pemahaman keagamaan mereka, sehingga membunuh orang yang tidak sealiran seolah-olah tidak berdosan atau malah dianggap jihad. Kedua, hard means, yakni cara-cara yang bersifat reaktif. Sebagai pihak yang berwenang pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan harus berani menindak tegas siapapun pelaku kekerasan sekalipun berasal dari kalangan mayoritas. Prinsip menegakkan keadilan harus lebih diutamakan. Jangan sampai sinyalemen yang menyebutkan bahwa aparat keamanan selama ini bertindak berat sebelah benar-benar terjadi di lapangan. Ala kulli hal, apapun motifnya dan siapapun pelakunya, aksi-aksi kekerasan tetaplah merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Dan setiap aksi kekerasan selalu membuka kesempatan untuk aksi kekerasan balasannya. Sehingga alih-alih dapat menyelesaikan masalah kekerasan justeru selalu menciptakan masalah baru.

Tidak ada komentar: