Minggu, 27 Januari 2013

Jalan Terjal Nasdem (Seputar Indonesia, 28 Februari 2013)

Seperti telah diduga Surya Paloh (SP) akhirnya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) dalam Kongres I di Gedung Jakarta Convention Centre (JCC) pada Sabtu malam (26/01?) kemarin. Tanpa ada perlawanan, karena memang tidak ada satupun pesaingnya, SP yang sebelumnya menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai kini seolah telah mengambil-alih posisi pimpinan partai dari tangan Rio Capella, ketua umum sebelumnya. Satu hal yang menarik adalah bahwa justeru naiknya SP sebagai orang nomor satu di tubuh satu-satunya partai yang lolos sebagai kontestan Pemilu 2014 inilah yang kemudian menjadi akar dari kekisruhan internal yang meramaikan jagat perpolitikan tanah air. Betapa tidak, persoalan ini berbuntut mundurnya salah seorang tokoh partai yang sangat berpengaruh selain SP, yaitu Hary Tanoesoedibjo (HT), dan orang-orang terdekatnya dari Nasdem, seperti sekjen dan wakilnya. Belakangan kader-kader Nasdem banyak yang menyatakan mundur dari partai karena merasa sudah tidak sejalan cara yang dilakukan SP. Sampai saat ini yang sudah menyatakan mundur secara terang-terangan antara lain Ketua DPW DKI Jakarta, Ketua DPW Jawa Barat, Ketua DPW Maluku dan pengurus Dewan Pimpinan Luar Negeri Hongkong. Bahkan diberitakan pula bahwa ratusan ribu kader Nasdem ikut pula keluar dari partai. Pekerjaan Rumah Melihat situasi yang menghantarkan penyelenggaraan Kongres I NasDem tersebut, maka sebenarnya ada banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan SP terutama untuk menghadapi pemilu yang menyisakan waktu kurang lebih satu tahun. Pertama, masalah konsolidasi internal. Meskipun terpilih secara aklamasi, tetapi cara bagaimana SP menjadi ketua umum yang lebih menyerupai pengambil-alihan, malah ada yang menyebutnya kudeta, bisa menyisakan persoalan. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan kader-kader NasDem yang pada gilirannya dapat menimbulkan friksi di tubuh partai. Memang beberapa orang yang tidak puas secara gambling menyatakan ke publik dan kemudian mundur dari partai. Tetapi bukan tidak mungkin banyak pula kader yang sesungguhnya merasa tidak puas tetapi tidak berani menyatakan terus terang dan lebih memilih arus kebanyakan orang lain. Dari perspektif teori spiral keheningan (the spiral of silence) seperti yang dikemukakan Elizabeth Noelle-Neumann (1984), kecenderungan di atas dapat dijelaskan. Teori ini menegaskan bahwa ketika opini mayoritas telah terbentuk, ada dua kemungkinan pilihan yang dilakukan minoritas, yakni diam atau ikut suara mayoritas. Dari sisi ini, boleh jadi banyak yang sebenarnya tidak setuju dengan cara pengambil-alihan SP, tetapi mereka lebih memilih mengikuti suara mayoritas yang mendukung SP karena merasa lebih aman. Kedua, persoalan lain yang menjadi tugas berat SP adalah mendapatkan kepercayaan publik khususnya terkait dengan citra personalnya yang cukup terganggu dengan kekisruhan yang diciptakannya. Sangat mungkin publik menganggap SP sebagai memaksakan diri untuk menjadi ketua umum padahal tanpa posisi itupun dia masih bisa menjadi the king maker di partai yang digagasnya itu. Akibatnya, publik akan beranggapan bahwa SP adalah orang yang sangat ambisius dan haus kekuasaan. SP juga bisa dianggap tidak konsisten dengan ucapannya. Pada saat-saat sebelumnya, dia pernah berjanji bahwa Ormas NasDem yang digagasnya tidak akan dijadikan partai, tetapi apa yang terjadi sekarang ternyata bertolak belakang. Hal ini jelas bisa menimbulkan persepsi negatif di kalangan publik. Selain itu, publik juga bisa menilai SP sebagai orang yang hanya “memanfaatkan” orang lain, termasuk HT, yang telah bersusah-payah meloloskan partai, tetapi kemudian dia ambil alih sendiri. Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang. Pada sisi kaum muda, naiknya SP menjadi ketua umum jelas dapat menimbulkan anggapan akan ketidakpekaannya terhadap kecenderungan politik Indonesia kontemporer di mana kalangan muda tengah mendapatkan momentumnya. Tentu saja realitas ini menjadi catatan yang kurang menguntungkan bagi NasDem padahal sekarang partai ini mulai banyak digandrungi kalangan muda di berbagai daerah. Ketiga, persoalan logistik dan iklan di televisi merupakan hal yang harus dipersiapkan SP. Hengkangnya HT yang memiliki kedua sumber tersebut tentu saja kehilangan yang sangat besar. Apalagi selama ini naiknya citra NasDem di mata publik Indonesia banyak disokong oleh iklan dan publikasi politik yang dilakukan jaringan media pimpinan HT. Meskipun infrastruktur partai telah terbangun di semua provinsi di Indonesia, tetapi tanpa losgistik dan sosialisasi lewa saluran udara yang memadai, jelas akan menjadi persoalan berat. Kian Sulit Bersaing Untuk bisa berhasil pada Pemilu 2014, NasDem tentu harus mampu mengalahkan partai-partai yang secara langsung berhadapan vis-à-vis dengannya, yakni dari kalangan nasionalis seperti Demokrat, Golkar dan PDIP. Sebab ceruk itulah yang paling mungkin dapat diambil oleh NasDem. Namun demikian, perjalanan NasDem untuk berhadapan dengan ketiga partai tersebut kian berat, karena publik makin sulit menemukan perbedaan yang signifikan antar partai tersebut. Memang sebelumnya NasDem yang mengusung gagasan restorasi dan perubahan mulai mendapatkan tempat di hati publik Indonesia. Hal ini antara lain karena sebagai partai baru, publik melihatnya relatif belum terkontaminasi oleh polusi-polusi politik seperti korupsi, sehingga bisa menjadi alternatif yang menjanjikan. Namun dengan kekisruhan yang terjadi di NasDem sekarang, yang memperlihatkan betapa watak elite-elite politik di dalamnya sama saja dengan di partai lain, citra baik yang telah terbangun pun bisa runtuh. Publik bahkan kemudian bertanya-tanya, bagaimana NasDem mau melakukan restorasi dan perubahan guna mengatasi berbagai carut marut perpolitikan di negeri ini, jika mengatur dirinya sendiri saja belum bisa. Pertanyaan ini jelas sangat menohok bagi para elite politik NasDem. Dan ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsunga partai ini ke depan. Pendek kata, jalan terjal siap menghadap NasDem.

Senin, 21 Januari 2013

Konfederasi Partai Politik (Pikiran Rakyat, 22/01/2013

Verifikasi faktual partai politik (parpol) peserta pemilu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan sepuluh parpol yang lolos sebagai kontestan Pemilu 2014. Sembilan parpol notabene merupakan pemain lama yang kini berada di parlemen dan hanya satu parpol pendatang baru, yakni Partai Nasional Demokrat (NasDem). Keputusan KPU tersebut ternyata banyak menuai protes dari kalangan parpol yang tidak lolos verifikasi. Bahkan saat putusan tersebut dibacakan dalam Rapat Pleno KPU yang dilakukan secara terbuka, sejumlah pengurus parpol yang tidak lolos verifikasi melakukan unjuk rasa di depan kantor KPU. Mereka juga siap melakukan gugatan hukum baik ke Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Konfederasi Terlepas dari hasil verifikasi faktual KPU dan reaksi keras parpol-parpol yang dinyatakan tidak lolos, sebenarnya ada satu hal yang menarik untuk dikemukakan dalam konteks ini, yang sekaligus juga bisa dijadikan salah satu alternatif solusi bagi parpol-parpol tersebut. Yaitu gagasan tentang konfederasi yang beberapa waktu lalu pernah diwacanakan oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Pada awalnya penggunaan istilah konfederasi dalam bidang politik dan kenegaraan ditujukan pada pembagian bentuk-bentuk negara. Dalam perspektif ilmu negara, misalnya, kita mengenal bentuk-bentuk negara: negara kesatuan (eenheidsstaat) seperti negara Indonesia, negara serikat atau federal (bondstaat) seperti negara Amerika Serikat (AS) dan negara konfederasi (statenbond) seperti Yugoslavia sebelum terpecah-pecah dan Swiss, negara yang hingga saat ini masih menerapkan model konfederasi. Secara sederhana negara konfederasi dapat diartikan sebagai gabungan beberapa negara yang memiliki konstitusi sendiri-sendiri tetapi bersepakat untuk melakukan perhimpunan yang longgar. Kata kuncinya adalah bahwa kedaulatan tetap dimiliki oleh setiap negara yang bergabung tersebut, tetapi pemerintahannya yang berdaulat itu bersepakat untuk duduk satu meja membicarakan berbagai kemungkinan kerjasama dan sebagainya. Dengan demikian, dalam konteks parpol konfederasi dapat diartikan sebagai penggabungan dua parpol atau lebih secara longgar di mana-mana masing-masing parpol tetap memiliki platform dan idelologi kepartaiannya, tetapi mereka bersepakat untuk membicarakan berbagai hal sebagai kerjasama. Intinya, jati diri kepartaian setiap parpol peserta konfederasi tidak hilang dan lebur seperti halnya fusi. Konfederasi parpol diyakini bisa menjadi solusi yang cukup tepat dan banyak diterapkan di negara demokratis. Di AS, misalnya, sebenarnya terdapat parpol-parpol kecil, tetapi kemudian berkonfederasi dengan dua parpol besar, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Mungkin banyak orang yang tidak mengetahui sehingga di negeri Paman Sam itu seolah-olah hanya terdapat dua parpol besar tersebut. Sebenarnya ada sejumlah keuntungan politik yang akan didapat parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi faktual jika berkonfederasi dengan parpol lain. Pertama, jelas mereka bisa ikut berpartisipasi politik karena menjadi kontestan pemilu. Hal ini tentu lebih menguntungkan ketimbang mereka sama sekali tidak dapat berpartisipasi dalam perhelatan politik. Kedua, para kader parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi faktual juga memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota legislatif. Bahkan bukan tidak mungkin banyak kader potensial terdapat di parpol-parpol tersebut yang boleh jadi bisa mengalahkan kader-kader parpol induknya. Apalagi sistem pemilihan di Indonesia sekarang sangat menekankan kualifikasi individual. Ketiga, yang terpenting dari kesedian parpol-parpol tersebut untuk berkonfederasi adalah semakin memudahkan jalan untuk proses penyederhanaan parpol. Salah satu problem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini diterapkannya sistem multipartai sementara sistem pemerintahannya tetap menganut sistem presidensialisme. Kita sudah terlalu sering menemukan praktik anomali dalam kehidupan politik di negeri ini akibat ketidakjelasan desain konstitusional tersebut. Semangat parlementarianisme yang ditopang sistem multipartai kerap membuat kegaduhan politik. Oleh karena itu, jika proses penyederhanaan bisa berjalan dengan baik melalui konfederasi besar kemungkinan potensi-potensi tersebut dapat diminimalisasi sedemikian rupa. Apalagi jika konfederasi itu tidak hanya dilakukan parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi, melainkan juga oleh parpol-parpol yang lolos terutama yang berada di level kecil dan menengah. Ideologis Namun demikian, terkait dengan gagasan konfederasi tersebut, ada satu hal yang perlu dicermati secara serius. Yaitu kecenderungan parpol-parpol di Indonesia untuk melakukan koalisi pragmatis. Jika konfederasi parpol juga dilakukan secara pragmatis, yakni hanya demi meraih kekuasaan, maka konfederasi yang dibangun mungkin tidak akan kokoh atau rapuh. Memang meraih kekuasaan bukanlah hal tabu, melainkan hal yang sangat biasa di dalam kehidupan politik praktis. Namun menjadikan kekuasaan sebagai motif utama dalam berpolitik, termasuk dalam berkonfederasi, akan membuat politik kehilangan substansinya. Karena itu, basis ideologislah yang semestinya dijadikan motif utama dalam berkonfederasi. Konfederasi yang didasarkan atas kesamaan ideologis tentu akan lebih kuat dan bertahan lama. Sebaliknya, konfederasi yang lebih didorong oleh motif kekuasaan an sich sangat rentan mengalami keretakan. Dengan demikian, alih-alih bereaksi keras terhadap keputusan KPU, lebih baik bagi parpol-parpol yang tidak lolos verifikasi faktual untuk melakukan konfederasi dengan parpol lain.

Mengantisipasi Kegaduhan Politik (Jurnal Nasional, 30/12/2012

Hampir semua kalangan menengarai bahwa pada tahun 2013 akan terjadi kegaduhan politik di Indonesia yang bukan tidak mungkin akan mengarah pada instabilitas politik. Prediksi ini sulit dibantah mengingat pada saat itu dipastikan semua partai politik akan menumpahkan segala tenaga dan pikirannya demi meraih kemenangan pada Pemilu 2014. Karena masing-masing mengingingkan kesuksesan, tentu saja bakal rawan terjadi benturan kepentingan di antara mereka: saling sikut, saling jegal, saling menjatuhkan mungkin akan menjadi bumbu dalam politik Indonesia. Intra dan Antar Partai Kalau kita cermati bahwa kegaduhan politik yang sangat mungkin terlihat pada 2013 boleh jadi akan berlangsung pada dua wilayah, yakni intra partai, yaitu adanya gejolak di kalangan internal partai politik (parpol) dan antar partai, yakni pergesekan antar satu partai dengan partai lainnya. Dalam konteks internal partai, ada dua hal yang cukup rawan untuk terjadinya konflik internal. Pertama, masalah pencalegan. Saat ini semua parpol di Indonesia sedang melakukan proses penjaringan caleg untuk dikontestasikan pada Pemilu Legislatif 2014. Masalah pencalegan bagi sebuah partai tidak bisa disikapi secara sembarangan dan asal-asalan, karena caleg-caleg inilah yang nanti bakal menentukan sukses tidaknya partai. Oleh karena itu, partai harus benar-benar mempertimbangkan kualifikasi-kualifikasi yang ideal dari para caleg yang dipilihnya tersebut. Namun sayangnya, justeru dalam pencalegan inilah yang kerap terjadi masalah. Partai terkadang tidak mempertimbangkan aspek kualitas caleg, melainkan lebih melihat pada aspek-aspek lainnya, seperti relasi keluarga, modal finansial dan popularitas. Tidak sedikit kader-kader ideology partai yang potensial justeru tersingkirkan dari pencalegan karena tidak memiliki ketiga aspek tersebut. Akibatnya, tidak mustahil jika pola penjaringan caleg seperti ini akan meninggalkan luka dan sakit hati bagi mereka yang terpinggirkan. Kedua, penentuan nomor urut caleg. Masalah ini seringkali menimbulkan pertikaian di dalam internal partai karena semua caleg pastik menginginkan nomor urut atas atau nomor urut jadi. Meskipun sistem pemilihan pada pileg nanti kemungkinan besar masih menggunakan suara mayoritas, namun tetap saja masalah nomor urut akan diperebutkan para caleg, karena masih menentukan. Pada kenyataannya sangat sedikit, untuk tidak mengatakan, tidak ada sama sekali caleg yang berhasil memeroleh suara sesuai dengan alokasi yang ditetapkan bagi setiap caleg. Sementara itu, dalam konteks antar partai, kegaduhan politik akan terlihat setidaknya pada dua hal. Pertama, ada kecenderungan bahwa antar satu partai dengan partai lainnya saling sandera masalah karena masing-masing memiliki kartu as yang bisa dimainkan. Model buka tutup kasus, terutama kasus-kasus besar, misalnya, kerap dilakukan atas dasar kepentingan politik, bukan pertimbangan hukum. Sekarang saja publik sudah dapat menilai, banyak kasus besar di negeri ini dibuka lebih karena pertimbangan politik. Kedua, kecenderungan saling serang bahkan saling menegasikan antar satu partai dengan partai lain juga sangat mungkin terjadi pada 2013. Sistem multipartai yang diterapkan di sini dan ketidakjelasan perbedaan (diferensiasi) atar satu dengan lainnya akan mudah menjadi faktor pemicu (trigger factor) dari kecenderungan tersebut. Pada level akar rumput (grass root) pertarungan mungkin bisa berlangsung lebih konkret karena biasanya melibatkan fisik. Langkah Antisipasitif Sebagai publik tentu kita berharap bahwa kegaduhan politik tersebut tidak akan berlangsung secara ekstrim sehingga tidak menimbulkan instabilitas politik di negeri ini. Dalam konteks ini, hemat penulis, perlu ada berbagai upaya yang mesti dilakukan, terutama oleh partai-partai politik yang akan berkontestasi pada Pemilu 2014. Tanpa ada upaya antisipatif yang bersifat preventif, kegaduhan politik jelas akan sulit dikontrol. Dalam situasi seperti ini, partai-partai politik setidaknya harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, terkait dengan persoalan pencalegan dan penentuan nomor urut, partai hendaknya mengedepankan aspek proporsionalitas. Artinya, jikapun partai sulit menghindar dari tekenan untuk menggunakan aspek relasi keluarga, uang dan popularitas dalam penentuan caleg, maka seyogianya dilakukan secara proporsional. Hal ini bisa diwujudkan antara lain dengan membuat kesepakatan internal partai bahwa caleg-caleg yang memiliki popularitas tinggi seperti caleg dari kaum selebritas, misalnya, ditempatkan pada nomor urut sepatu atau bawah. Sementara kader-kader ideolog partai yang potensial diberikan nomor urut atas. Pada sisi lain, caleg-caleg yang terjaring karena ketiga aspek di atas juga harus diperhitungkan aspek kualifikasi politiknya sehingga bisa meminimalisasi potensi konflik. Di DPR sekarang ada beberapa anggota yang notabene orangtuanya elite partai, tetapi tidak dapat memperlihatkan kapabilitas politiknya. Hal yang seperti ini mestinya tidak boleh terjadi lagi di masa depan. Kedua, partai harus berusaha keras menemukan aspek diferensiasi dengan partai-partai lainnya sehingga publik lebih mudah untuk menentukan pilihannya. Hal ini akan sangat berguna baik pada saat sosialisasi maupun kampanye nanti. Faktor diferensiasi tidak hanya dalam bentuk tagline, melainkan juga termanifestasikan di dalam visi, misi dan program-program yang ditawarkan. Hari ini publik Indonesia masih kebingungan, misalnya, ketika harus membedakan antara Partai Golkar, Partai Demokrat dan pendatang baru Nasional Demokrat (Nasdem). Ketiganya merupakan partai nasionalis dan sama-sama berkomitmen terhadap kerakyatan. Hal yang sama juga terlihat antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN), di luar hubungan dekatnya dengan ormas Islam. Publik kesulitan untuk membedakan antara keduanya. Dalam konteks inilah pentingnya partai menemukan terobosan-terobosan untuk menemukan faktor diferensiasi tersebut sehingga publik akan mudah melakukan identifikasi diri terhadap partai. Sebab, kalau publik sudah dapat melakukan hal tersebut partai akan relatif mudah menjaga mereka sehingga tidak mudah tergiur oleh bujuk rayu partai lain. Padahal bujuk rayu partai inilah yang berpotensi menimbulkan gesekan kepentingan antar partai dan pada akhirnya juga bisa menjurus ke konflik. Alhasil, partai politik tidak dapat berpangku tangan saja untuk menghadapi tahun kegaduhan politik tersebut, karena partailah yang menjadi aktor pemeran utamanya. Saatnya kedewasaan dan kematangan politik partai ditunjukkan ke publik, sehingga publik dengan senang hati akan mengikutinya.