Kamis, 22 September 2011

Nazaruddin dan Pertarungan Narasi (19 Agustus 2011)

Tertangkapnya Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, di Cartagena sesungguhnya merupakan babak awal dari pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan dirinya. Satu hal yang menarik untuk dicermati bahwa ada banyak narasi di seputar kasus tersebut yang dalam derajat tertentu telah berhasil menyulut kontroversi di tengah publik.

Rasionalitas Naratif
Untuk menganalisis kasus Nazaruddin dengan berbagai narasinya, pendekatan paradigma naratif Walter Fisher tampaknya cukup tepat. Pendekatan ini, seperti ditegaskan Fisher (1987) dalam karyanya, Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value, and Action, menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk pencerita. Seperti diketahui bahwa Nazaruddin, sebelum tertangkap, banyak sekali melontarkan narasi seputar kasusnya. Yang menarik, di dalam narasinya tersebut, ia tidak hanya mencoba mengelak, melainkan juga mengungkapkan keterlibatan tokoh-tokoh lain yang notabene petinggi-petinggi partainya. Antara lain, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng Angelina Sondakh.
Menurut paradigma naratif, narasi bukanlah sekadar sebuah cerita, melainkan bentuk pengaruh sosial. Artinya, sebuah narasi memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat pendengarnya. Dalam konteks ini, narasi yang telah dilontarkan Nazaruddin dari balik persembunyiannya mungkin telah memberikan pengaruh pada publik, sehingga boleh jadi ada sebagian orang yang meyakininya.
Namun, tentu saja, sebuah narasi tidak begitu saja dinilai bermakna atau mangandung kebenaran. Dalam hal ini, pendekatan paradigma naratif menyediakan satu konsep kunci yang sangat penting untuk menilai kebermaknaan tersebut, yaitu rasionalitas naratif. Konsep ini bisa digunakan sebagai metode untuk menilai narasi mana yang kita percayai dan mana yang tidak.
Untuk menilai rasionalitas naratif, ada satu prinsip yang sangat penting, yakni koherensi, yaitu konsistensi internal dari sebuah narasi. Ketika menilai koherensi narasi, pendengar akan mempertimbangkan keruntutannnya secara konsisten. Dalam hal ini ada tiga jenis koherensi: struktural (terkait alur cerita); material (kongkriuensi antara satu cerita dengan cerita lainnya); dan karakterologis (dapat dipercayanya karakter di dalam cerita).
Dari sudut koherensi ini kita bisa menilai bahwa koherensi narasi Nazaruddin bermasalah, misalnya, tuduhannya yang berbeda-beda terhadap anas. Atau ketika ia tidak lagi menyebut nama Andi dan Ibas dalam teleconference beberapa waktu lalu. Dan yang lebih bermasalah adalah pada aspek koherensi karakterologis. Sebagai orang yang menceritakan dirinya sendiri, maka Nazaruddin merupakan salah satu karakter dari narasi tersebut.
Nazaruddin ternyata tidak hanya terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlit Sea Games. Ia juga diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, antara lain, pembangunan pabrik vaksin flu burung oleh PT Anugerah Nusantara senilai Rp 700 miliar; pengadaan alat bantu belajar-mengajar dokter atau dokter spesialis pada rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan oleh PT Mahkota Negara senilai Rp 492 miliar, dan lain-lain.
Dengan karakter Nazaruddin seperti yang digambarkan di atas agaknya narasi yang beberapa kali ia lontarkan ke depan publik, baik melalui BBM, SMS, teleconference maupun skype, sulit untuk dapat meyakinkan publik akan kebenarannya. Apalagi ia dan keluarganya justeru memilih melarikan diri daripada datang secara jantan ke KPK.

Pertarungan Narasi
Masalahnya adalah sekarang ini ada banyak narasi yang berkontestasi di seputar kasus Nazaruddin. Selain narasi yang ditampilkan Nazaruddin sendiri, muncul pula narasi-narasi lain yang justeru mengandung serangan terhadap lembaga yang bertanggung jawab untuk menanganinya, yaitu KPK. Ada yang menyebutkan dugaan rekayasa dalam penanganan kasus ini karena adanya “pengistimewaan”, misalnya, penjemputan dengan pesawat carteran yang menghabiskan biaya Rp 4 miliar dan penempatan di sel Mako Brimob.
Setelah itu, muncul pula narasi yang dihembuskan terutama oleh pihak pengacara Nazaruddin bahwa ada semacam upaya untuk menghalang-halangi kunjungan kepadanya, baik dari pengacara maupun keluarga sendiri. Ketika tuduhan penghalang-halangan tersebut ditujukan pada KPK, muncul pula narasi bahwa yang tidak menghendaki pertemuan dengan pengacara dan keluarga adalah Nazaruddin sendiri. Di sini kemudian ada pernyataan bahwa Nazaruddin sebenarnya belum menunjuk pengacara yang sah.
Dari berbagai penuturan naratif di atas tampak bahwa ada pertarungan narasi yang cukup kencang di seputar kasus Nazaruddin. Sebagai publik, barangkali kita juga dilanda kebingungan untuk menentukan manakah narasi yang lebih benar. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pertimbangan yang sehat dan jernih harus dikedepankan dalam melakukan penilaian. Bagaimanapun, KPK, terlepas ada isu miring yang menerpanya, untuk saat ini merupakan lembaga yang lebih dapat dipercaya daripada institusi penegak hukum lainnya. Karenanya, adalah bijak untuk memberikan keleluasan pada lembaga ini untuk menuntaskan kasus tersebut secara transparan.
Kedua, ikut melakukan kontrol publik terhadap jalannya penuntasan kasus tersebut tanpa terburu-buru memberikan penilaian. Misalnya, manakala Nazaruddin sekarang lebih banyak diam ketimbang pada saat di persembunyiannya, itu tidak lantas harus dimaknai ada tekanan dari KPK atau pemerintah. Boleh jadi, hal itu terkait dengan rasionalitas naratif, terutama aspek koherensi narasi Nazaruddin. Tentu bernarasi di depan hukum dengan di persembunyian sangat berbeda.
Ketiga, tidak ikut memperkeruh suasana. Kunjungan sejumlah anggota Komisi III ke Mako Brimob tanpa seizin pihak berwenang tidak cukup kondusif dengan penuntasan kasus tersebut. Di mata publik, koherensi karakterologis anggota dewan tidak cukup meyakinkan untuk berhadapan dengan KPK. Mungkin publik akan lebih menilai muatan politis dari kunjungan tersebut.
Pada akhirnya sebagai publik kita dituntut untuk lebih arif dalam memberikan nilai terhadap berbagai narasi di seputar kasus Nazaruddin. Dengan pertimbangan yang sehat tentu kita bisa menentukan mana narasi yang lebih memperlihatkan koherensi, konsistensi dan kebenaran.

Tidak ada komentar: