Rabu, 31 Desember 2008

Caleg Perempuan Pasca Putusan MK

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Dengan dikabulkannya uji materi tersebut, penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut, melainkan berdasarkan suara terbanyak.
Di antara pertimbangan atas keputusan tersebut adalah bahwa ketentuan pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No. 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945.
Kalangan partai politik (parpol) tampaknya menyambut baik keputusan tersebut, apalagi yang sejak awal sudah mengusulkan diterapkannya sistem suara terbanyak pada Pemilu 2009. Namun tidak semua kalangan bersikap demikian. Kalangan perempuan, misalnya, memperlihatkan hal yang sebaliknya. Mereka mandang bahwa keputusan MK tersebut justeru akan membuat perjuangan mereka untuk semakin banyak melibatkan kaum perempuan ke dalam ranah politik seolah sia-sia.

Affirmative Action
Gerakan perempuan Indonesia selama ini terus berupaya “mensejajarkan” kaum perempuan dengan kaum laki-laki di dalam ruang-ruang publik, terutama politik. Berbagai program pengarusutamaan gender (gender mainstraiming) mereka luncurkan demi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Pendek kata, “keringat” dan “darah” telah mereka kucurkan demi perjuangan tersebut.
Melalui gerakan yang dikenal dengan affirmative action akhirnya kalangan perempuan Indonesia dalam derajat tertentu telah dipandang berhasil. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah keharusan setiap parpol untuk mengakomodasi kuota 30 persen kepengurusan parpol dan komposisi caleg-calegnya. Meskipun tidak ada sanksi tegas terhadap parpol yang tidak menerapkan ketentuan tersebut, tetapi hampir semua parpol dapat memenuhinya, bahkan ada sebagian yang melampauinya.
Memang pada awalnya ada sebagian kalangan yang mempersoalkan ketentuan tersebut, karena dianggap tidak cukup elegan di mana kaum perempuan seolah hanya ingin diberi jatah tanpa suatu perjuangan. Namun dengan logika bahwa selama kesetaraan gender di Indonesia masih sangat timpang maka sulit bagi kaum perempuan untuk berkiprah di ruang publik, akhirnya ketentuan di atas dapat diterima oleh semua pihak. Dalam konteks ini affirmative action seolah telah mendapatkan legitimasi.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kalangan gerakan perempuan bereaksi keras terhadap keputusan MK di atas. Mereka seolah-olah dihempaskan kembali ke dasar setelah perlahan-lahan merangkak naik. Dengan kata lain, mereka seakan-akan disuruh berjuang kembali dari titik nol seperti ketika gerakan affirmative action belum mendapatkan lahan persemaiannya. Tak kurang, Rieke Diah Pitaloka, caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dikenal vokal terhadap masalah ini, tampak sangat emosional menanggapi keputusan tersebut ketika dimintai komentar oleh salah seorang wartawan televisi.

Ancaman atau Tantangan?
Apakah keputusan MK tersebut pertanda “kiamat” bagi para caleg perempuan? Alih-alih meratapi keputusan yang justeru oleh sebagian besar kalangan terutama mereka yang berada pada nomor urut bawah dipandang adil tersebut, menurut hemat penulis, sebaiknya para caleg perempuan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk pertempuran yang pasti akan sangat melelahkan seraya mempertimbangkan berbagai strategi komunikasi politik yang akan menunjang keberhasilan mereka saat kampanye nanti.
Setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh para caleg perempuan terkait dengan keputusan MK tersebut. Pertama, menyangkut dengan gaya komunikasi. Selama ini kaum perempuan kerap dipandang lebih mementingkan kulit daripada isi. Penampilan mereka secara fisik jauh lebih diperhatikan daripada penampilan mereka dari segi isi kepala bahkan oleh diri mereka sendiri. Vena Melinda, seorang artis dan pelatih senam yang kini jadi salah seorang caleg, misalnya, dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa ia harus mempersiapkan dua buah koper besar untuk baju-baju khusus jika terpilih menjadi anggota legislatif. Sangat disayangkan jika yang pertama terpikir dalam kepala seorang caleg perempuan hal-hal kulit seperti itu.
Oleh karena itu, para caleg perempuan semestinya bisa mengubah citra tersebut sehingga pandangan masyarakat terhadap mereka juga ikut berubah. Mereka paling tidak menguasai berbagai isu yang berkembang di masyarakat sehingga masyarakat dapat direbut hatinya bukan karena penampilan fisiknya, melainkan karena isu-isu yang ditawarkannya. Memang tidak mudah mengubah hal tersebut. Bahkan di Amerika Serikat yang para pemilihnya dikenal sebagai pemilih rasional (rational voters), pandangan serba lahiriah terhadap politisi perempuan masih juga terjadi. Sarah Palin yang menjadi wapres John McCain pada pemilu AS yang belum lama usai kerap diperlakukan seperti itu. Kaca mata yang dipakai Palin ketika kampanye, misalnya, sempat menjadi tren di kalangan perempuan AS, demikian pula model rambutnya. Sementara isu-isu yang dikampanyekannya mungkin menguap begitu saja.
Kedua, realitas ini seyogianya dipandang oleh para caleg perempuan sebagai sebuah tantangan alih-alih sebagai ancaman. Konsekwensinyanya hal itu akan menuntut mereka bekerja lebih giat dan keras lagi. Dalam konteks ini pendekatan-pendekatan yang lebih personal dengan masyarakat perlu terus dijaga. Oleh karena itu, mereka harus menguasai berbagi persoalan yang tidak hanya terkait dengan kepentingan kaum perempuan saja, tetapi juga yang bersifat umum, yang mencakup semua segmen masyarakat sehingga tingkat elektabilitasnya juga akan lebih luas.
Last but not least keputusan MK tersebut di atas tidak perlu dipandang sebagai palu godam oleh para caleg perempuan. Justeru saatnyalah mereka membuktikan diri kepada publik bahwa mereka pun bisa eksis tanpa ada “bantuan” dari pihak lain. Toh pada Pemilu 2004 lalu, Nurul Arifin, salah seorang caleg perempuan dari Partai Golkar, telah terbukti berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Ia memang gagal melenggang ke senayan, tetapi justeru gara-gara nomor urutnya kalah kecil oleh saingannya. So, kenapa mesti resah!

Mneyoal Fatwa Haram Golput

Wacana tentang golongan putih (golput) kembali menyeruak ke dalam perpolitikan di tanah air. Adalah ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, yang memicu menghangatnya isu golput ini. Ia meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput bagi masyarakat Indonesia.

Persoalannya adalah etiskah sebuah lembaga keagamaan semacam MUI mengeluarkan sebuah fatwa politik seperti itu? Bukankah hal itu justeru akan berbahaya bagi MUI sendiri karena akan “terjebak” pada ranah politik praktis? Di samping itu, apakah model fatwa semacam itu akan efektif, dalam arti, akan diikuti oleh masyarakat Indonesia? Inilah barangkali sejumlah pertanyaan yang ingin coba dijawab dalam tulisan sederhana ini.


Politisasi Agama

Permintaan terhadap MUI yang notabene lembaga keagamaan untuk mengeluarkan sebuah fatwa politik, hemat penulis, merupakan gejala politisasi agama. Dalam konteks ini, agama yang seharusnya berada pada wilayah sakral diseret masuk ke dalam wilayah profan untuk kepentingan politik sekelompok orang. Agama, dengan demikian, telah dijadikan alat kekuasaan.

Jika agama diperlakukan seperti ini akibatnya agama akan kehilangan misi sucinya sebagai pembebasan bagi umat karena agama telah “terperangkap” dalam jebakan kepentingan kelompok. Dan ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan agama itu sendiri.

Fenomena politisasi agama bukan merupakan hal baru dalam politik Indonesia. Umat Islam Indonesia pernah, untuk tidak mengatakan sering, mengambil istilah-istilah keagamaan yang kemudian diterapkan ke dalam politik praktis. Celakanya penerapannya itu dilakukan demi tujuan-tujuan politis kelompok yang mengusung istilah tersebut. Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, misalnya, para pendukungnya yang notabene kaum nahdliyin mengangkat istilah bughat (pemberontak) yang pernah digunakan pada masa kekhilafahan Islam ke dalam politik Indonesia. Sayangnya penerapannya itu lebih bernuansa kepentingan politis karena ditujukan kepada pihak-pihak yang menghendaki Gus Dur turun dari kepresidenan.

Istilah hibah juga pernah masuk ke dalam ranah politik Indonesia. Istilah yang bermakna pemberian dari seseorang atau kelompok untuk kepentingan orang banyak (kemaslahatan), seperti untuk masjid, sekolah dan sebagainya itu “dipelintir” maknanya oleh sejumlah politisi Indonesia. Ketika ada sebagian anggota DPR yang diduga korupsi karena penghasilannya jauh melebihi dari yang seharusnya mereka cukup mengatakan bahwa kelebihannya itu adalah hibah dari seseorang. Celakanya, penyidikan pun kemudian berhenti setelah mendengar kata hibah tersebut.


Kontra Produktif

Jika pada akhirnya MUI tergoda untuk mengeluarkan fatwa yang mengharamkan golput, hemat penulis, hal itu tidak akan berlaku efektif. Selain akan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia yang plural, juga fatwa itu sendiri sesungguhnya tidak memiliki kekuatan mengikat yang bisa memaksa masyarakat untuk mau tidak mau menjalankan fatwa tersebut.

Pada sisi lain, hal tersebut dapat dipandang sebagai tindakan kontra produktif terhadap demokrasi. Bagaimana pun golput merupakan hak warga yang tidak dapat dicegah. Setiap upaya negara atau suatu kelompok yang mencoba menghalangi kebebasan warga dalam mengartikulasikan hak politiknya jelas akan dipandang sebagai tidak demokratis. Meskipun tindakan tersebut bertujuan untuk melibatkan warga dalam politik tetapi kalau sifatnya paksaan tentu akan dianggap bertentangan dengan hakikat demokrasi.

Jika kita cermati golput pada saat ini tampaknya berbeda dengan golput pada masa Orde Baru. Pada masa itu golput pada umumnya lebih dimaknai sebagai sebuah “perlawanan” terhadap status quo. Para aktivis demokrasi di Indonesia memandang bahwa pemilu-pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tidak lebih sebagai kamuflase belaka, sebab pemenangnya sudah pasti partai yang berkuasa (Golkar). Sedangkan dua partai lainnya (PDI dan PPP) dipajang sebagai “aksesoris” belaka. Maka, memberikan suara pada pemilu semacam itu jelas percuma saja, sehingga golput menjadi pilihan yang cukup strategis.

Dalam konteks politik Indonesia masa kini golput agaknya memiliki banyak dimensi. Sebagian dari masyarakat Indonesia barangkali masih ada yang memilih golput berdasarkan cara pandang di atas. Apalagi sekarang ini tingkat ketidakpercayaan politik (political distrust) masyarakat terhadap partai politik (parpol) cukup tinggi. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa banyak pula masyarakat yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan bukan karena alasan di atas, tetapi karena alasan-alasan lainnya. Ada yang bersifat teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih atau lainnya, dan ada pula karena sudah jenuh karena banyaknya pilkada.

Implikasi Negatif

Selain itu, pengharaman golput melalui fatwa bukan tidak mungkin akan berimplikasi negatif baik terhadap pengusulnya, yakni Hidayat Nur Wahid maupun MUI itu sendiri. Pertama, Hidayat akan dipandang sebagian kalangan memiliki agenda politik dengan usulannya itu. Meski ia menegaskan alasan usulannya itu sebagai respons terhadap salah seorang tokoh yang menyerukan golput, tetapi karena ia merupakan salah seorang tokoh yang dinominasikan baik sebagai capres maupun cawapres, tentu orang akan menilainya secara berbeda. Sebab jika ika fatwa itu dikeluarkan ia akan mendapatkan keuntungan politik yan besar, terutama dari suara umat Islam.

Kedua, MUI sebagai lembaga agama akan dipandang melakukan tindakan yang tidak etis karena mau diseret-seret ke dalam politik praktis yang sarat kepentingan. Padahal sejak era Orde Baru berakhir lembaga ini telah menyatakan perubahan paradigma baru, terutama dalam hal keindependenan dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, baik pemerintah maupun kelompok lainnya. Tentu saja jika lembaga ini sampai mengeluarkan fatwa pengharaman golput ia akan dipertanyakan kembali keindependenannya, dan salah-salah ia akan kehilangan nya di mata umat.

Oleh karena itu, untuk menekan angka golput sebaiknya tidak perlu menggunakan instrumen keagamaan. Memberikan literasi politik yang cerdas kepada masyarakat justeru jauh lebih elegan. Sebab dengan pemahaman yang lebih baik terhadap politik partisipasi warga dalam pemilu akan meningkat. Dan hal itu dilakukan dengan kesadaran politik yang tinggi. Itulah sejatinya yang harus diupayakan oleh para elite politik di negeri ini.

Selasa, 16 Desember 2008

Pilkada Serentak dan Partisipasi Politik

Dimuat di harian Pikiran Rakyat 16 Desember 2008

Komisi II DPR RI sebagaimana diberitakan harian Pikiran Rakyat (26/11) akan mematangkan rencana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak dan dilakukan maksimal dua kali dalam lima tahun. Tujuannya, selain efisiensi waktu, juga untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat sehingga dapat menekan tingginya angka golongan putih (golput). Sebab, diduga masyarakat sangat jenuh dengan banyaknya pilkada yang pada gilirannya mereka enggan memberikan suaranya pada saat pemilihan.

Argumentasi di atas tampaknya cukup masuk akal. Masyarakat Indonesia dewasa ini memang sangat sering ikut serta dalam pemilihan kepala daerah bahkan lebih dari satu kali pada waktu yang berdekatan. Masyarakat Kota Bandung, misalnya, yang belum lama mengikuti Pemilihan Gubernur Jawa Barat, kemudian sudah harus mengikuti pula Pemilihan Wali Kota Bandung. Tentu situasi seperti ini dialami pula oleh masyarakat lainnya di Indonesia. Bahkan pada sebagian daerah ada yang sampai harus melakukan pilkada putaran kedua seperti Pemilihan Bupati Bogor, dan Garut.

Golput

Akhir-akhir ini ada semacam kekhawatiran dari para elite politik akan meningginya angka golput seperti yang terjadi dalam sejumlah pilkada. Namun, sebenarnya golput bukan merupakan hal yang baru dalam politik Indonesia. Pada masa Orde Baru, misalnya, ketika partisipasi politik lebih bersifat partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation) di bawah rezim yang represif, fenomena golput juga sempat mengemuka. Adalah Arif Budiman, seorang sosiolog yang kini bermukim di Australia, sebagai tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor golput.

Pada masa itu, golput pada umumnya lebih dimaknai sebagai sebuah "perlawanan" terhadap status quo. Para aktivis demokrasi di Indonesia memandang bahwa pemilu-pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tidak lebih sebagai kamuflase belaka, sebab pemenangnya sudah pasti partai yang berkuasa (Golkar). Maka, memberikan suara pada pemilu semacam itu jelas percuma saja, sehingga golput menjadi pilihan yang cukup strategis.

Dalam konteks politik Indonesia masa kini golput agaknya memiliki banyak dimensi. Sebagian dari masyarakat Indonesia barangkali masih ada yang memilih golput berdasarkan cara pandang di atas. Apalagi sekarang ini tingkat ketidakpercayaan politik (political distrust) masyarakat terhadap partai politik (parpol) cukup tinggi. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa banyak pula masyarakat yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan bukan karena alasan tadi, tetapi karena alasan-alasan lainnya. Ada yang bersifat teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, ada pula karena memang sudah jenuh sehingga malas datang ke tempat pemungutan suara.

Oleh karena itu, asumsi bahwa penyelenggaraan pilkada secara serentak akan menekan angka golput atau menaikkan angka partisipasi belum tentu benar. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat partisipasi politik warganya sangat rendah, sekalipun pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak, kecuali pada pemilu kemarin yang dimenangkan Barack Obama. Bahkan, disebutkan bahwa partisipasi politik kali ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pemilu di AS.

Pilkada serentak

Tampaknya perlu ada penyamaan persepsi terhadap pemaknaan pilkada serentak yang akan dimatangkan Komisi II DPR sehingga pelaksanaannya nanti --jika telah disepakati-- tidak akan menimbulkan persoalan. Apakah makna serentak yang dimaksud meliputi pilkada termasuk pileg dan pilpres, atau hanya pilkada saja, ataukah hanya pileg dan pilpres.

Jika AS dijadikan acuan, maka yang dilakukan secara serentak itu hanya pileg dan pilpres. Pada pemilu 4 November, misalnya, rakyat AS memilih wakil rakyat sekaligus juga presiden. Ini karena dalam sistem politik AS rakyat tidak memilih presiden secara langsung, tetapi mereka memilih wakil-wakil partai (delegates) dan mereka inilah yang kemudian memilih presiden. Tentu saja, jika suatu parpol memperoleh lebih banyak delegates, maka calon presiden yang diusungnya akan menang. Itulah yang terjadi pada Barack Obama.

Kalau Indonesia ingin menerapkan model seperti itu, yaitu melakukan pileg dan pilpres secara serentak, mungkin akan menemui kesulitan. Pertama, pilpres di sini dilakukan secara langsung, artinya rakyat langsung memilih presiden sehingga sulit untuk memilih wakil rakyat pada saat yang bersamaan. Kedua, jumlah parpol yang ikut pemilu ada 38 sehingga sulit menerapkan model seperti itu, kecuali Indonesia mengubah sistem pemilunya.

Maka, yang hendak dibidik Komisi II adalah pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati, atau wali kota untuk dilakukan secara serentak. Namun jika ini disepakati akan muncul persoalan, misalnya kapan pilkada serentak harus dimulai? Pertanyan ini sangat penting karena akan terkait dengan kepentingan seorang incumbent. Jika ia misalnya baru menjabat setahun, kemudian tiba-tiba ada keputusan politik bahwa semua daerah harus melakukan pilkada secara serentak, apakah yang bersangkutan akan berlapang dada setelah "pengorbanan" habis-habisan yang telah ia lakukan demi meraih jabatannya itu?

Dengan demikian, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam mematangkan rencana penyelenggaran pilkada secara serentak ini. Memang keinginan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. Namun, seyogianya elite politik di negeri ini tidak hanya terfokus pada masalah regulasi, melainkan ini yang terpenting harus sering berintrospeksi diri atas perilaku-perilaku politik mereka yang selama ini terkesan berada di "dunia tersendiri", sedangkan rakyat berada di dunia lainnya, sehingga rakyat enggan memberikan suaranya pada mereka. Sebaliknya, jika mereka bisa "menyatu" dengan rakyat maka partisipasi rakyat sangat mungkin untuk meningkat. []

Rabu, 03 Desember 2008

Politik Islam dalam Transisi Demokrasi

Abstract
The involvement of political Islam in Indonesia inevitably undeniable in spite of it’s up and down. It was seen since the pre-independence era, Japanese occupation, revolution era, post-independence, liberal democracy, guided democracy, New Order and of course in the current time, so called the reformation era or post-New Order.
The intensity of the involvement of political Islam begun in the Japanese occupation, but it was disappeared in the guided democracy phase because of Soekarno dictatorship. In the New Order era, the Islamic politics was discharged by stigmatization of Islam. Despite of this reality, the Islamist by it’s modernist wings took another way as a new strategy, that is, to be accommodative toward the state. It was called by cultural Islam. As a result, the relation between Islam and state was in intimate situation, and it’s peak happened when ICMI established and headed by BJ Habibie, an Islamic representative.
When the New Order regime thrown away, the political Islamist was in the bitter condition because of it’s close relationship to the that regime. This is in one hand, but in another hand, due to the liberalization of almost aspects of life after reformation, the political Islamist came back to the political stage by bringing a new zeal, the struggle of Islamic politics more clearly (formally). This period was called The revitalization of Islamic politics.
One important thing that must be paid attention carefully and critically is the conflicts between the Islamic umma them selves in their political struggle. The dichotomy between political Islam and cultural Islam or between fundamentalist Islam and modernist Islam often drives the Moslems to fighting each other. Actually this dichotomy today must not be held any more by them because each of this movement has it’s own strength and weakness. So, let them do their best and take their own way and strategy without blaming another. It is not impossible that one day they will meet in one point and make a common platform in Islamic struggle.
Key words
Islam politik, Islam kultural, Islam fundamentalis, Islam modernis, transisi, liberalisasi, demokratisasi, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin.

Pendahuluan
Berbicara tentang politik Indonesia tidak akan dapat dilepaskan dari Islam. Selain sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga mempunyai peran historis yang tidak mungkin bisa diabaikan dalam membentuk dan membangun negeri pancasila ini. Pada masa pra-kemerdekaan umat Islam telah ikut berjuang memanggul senjata dalam rangka mengusir para penjajah. Banyak di antara tokoh-tokoh agama ini tampil sebagai pemimpin, baik dalam peperangan maupun perjuangan diplomasi.
Tetapi intensitas keterlibatan Islam di dalam politik jauh lebih menonjol pada masa penjajahan Jepang. Jepang tampaknya lebih memilih kalangan Islam sebagai patronnya ketimbang kaum priyayi. Ini masuk akal, karena kalangan priyayi pada masa penjajahan Jepang adalah hamba-hamba kompeni Belanda, sedangkan Jepang pada saat yang sama mengusung semangat anti Eropa/kulit putih dengan slogannya Jepang Pemimpin Asia, Pelindung Asia dan Cahaya Asia. Tentu saja, ada maksud politis lain dari pemihakan Jepang tersebut kepada Islam, yaitu agar umat Islam bersedia membantu Jepang mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh asing. Maka, dilatihlah orang-orang Islam, salah satunya tentang kemiliteran demi tujuan tersebut.[1]
Ketika Indonesia telah memasuki masa kemerdekaan, tokoh-tokoh Islam aktif berperan di dalam mempersiapkan perangkat-perangkat dasar untuk negeri yang baru merdeka ini. Mereka terlibat di dalam pembentukan Piagam Jakarta, Undang-Undang Dasar dan sebagainya.[2] Demikian pula pada masa Demokrasi Parlementer tokoh politik Islam tetap tampil. Muhammad Natsir, untuk menyebut salah satu contoh, muncul sebagai Perdana Menteri meski sering tidak berusia lama seiring dengan jatuh bangunnya kabinet saat itu. Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin yang diawali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 politik Islam tidak lagi berperan, akibat ulah Soekarno yang sangat otoriter.[3]
Sampai beberapa waktu kemudian politik Islam sulit untuk tampil ke permukaan. Bahkan ketika memasuki awal-awal orde baru di bawah Presiden Soeharto politik Islam sempat mengalami masa yang sangat pahit. Islamphobia begitu merebak di kalangan elit penguasa orba. Kasus-kasus pemberontakan yang umumnya dilakukan oleh orang-orang Islam, DI/TII di Jawa Barat pimpinan Kartosoewiryo, pemberontakan Kahar Mudzakar di Sulawesi, Pemberontakan Daud Beureh di Aceh dan sebagainya, atau yang lebih belakangan seperti Komando Jihad, dijadikan legitamasi atas kekerasan Islam vis-a-vis negara sehingga para penganut agama ini patut dicurigai.
Namun, pada era 70-an dan 80-an situasi mulai berubah. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, banyak putera-puteri Islam yang mampu sekolah sampai jenjang yang paling tinggi. Maka, lahirlah para sarjana Islam yang mempunyai semangat zaman yang berbeda dengan sebelumnya. Muncul apa yang disebut dengan “kaum modernis” yang membawa pesan bahwa Islam juga sangat mendukung modernisasi dan pembangunan. Tokoh utama kelompok ini adalah Nurcholis Madjid yang giat melakukan pembaruan keagamaan di tanah air.[4]
Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai “Islam kultural” yang mencoba melakukan perjuangan Islam tidak lagi melalui sayap politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh kelompok pendahulunya “Islam politik”. Mereka beranggapan bahwa jika perjuangan Islam sulit dilakukan lewat jalur politik, maka harus ada cara lain untuk menyalurkan perjuangan itu. Dalam kerangka inilah Cak Nur kemudian memunculkan jargon yang sangat terkenal kala itu “Islam Yes, Partai Islam No?”. Selain Cak Nur, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga laik disebut sebagai tokoh Islam kultural yang terkenal dengan gagasannya “pribumisasi Islam”.[5]
Tampaknya gagasan kaum modernis tersebut sejalan dengan rezim orba yang juga tengah menggalakkan modernisasi dan pembangunan. Sejak itu dimulailah era kemesraan antara Islam dan negara. Momentum kemesraan itu puncaknya terjadi pada tahun 90-an, ketika terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Terpilihnya Habibie sebagai Ketua Umum ICMI --seorang yang sangat dekat Soeharto dan beliau juga seorang Muslim taat meski tidak banyak terlibat dalam politik Islam—memperlihatkan simbol kemesraan tersebut. Setelah ICMI terbentuk fenomena, meminjam istilah Syafi’i Anwar, santrinisasi birokrasi atau birokratisasi santri terus menggelinding seoalah-olah tak terbendung.[6]
Namun demikian, keterlibatan politik Islam yang sudah sedemikian intens itu runtuh seiring dengan tumbangnya rezim orde baru pasca kerusuhan Mei 1998. Arus demokratisasi yang sedemikian kencang ternyata tidak dapat dibendung oleh rezim otoriter Indonesia. Apalagi persoalan-persoalan di tanah air yang cenderung memperlihatkan anti-demokrasi sangat menumpuk, sehingga teriakan-teriakan yang menuntut demokrasi, terutama dari kalangan prodemokrasi di tanah air sangat nyaring. Maka, jatuhlah Soeharto, dan mulailah Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi atau disebut juga era reformasi.
Tulisan sederhana ini akan mencoba mengawali dengan kajian yang bersifat teoritis tentang transisi menuju demokrasi yang disponsori oleh negara-negara maju dan demokratis (baca: Amerika Serikat). Kemudian pada bagian selanjutnya akan dikedepankan kasus transisi demokrasi Indonesia, dan bagaimana corak politik Islam di dalamnya setelah ikut terpuruk bersama rezim orba.

Dari Transisi, Liberalisasi, ke Demokratisasi
Pembahasan tentang demokratisasi di negara-negara Dunia Ketiga akan selalu merujuk ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Amerika Serikat yang telah mengukuhkan diri sebagai negara demokrasi berupaya keras untuk melakukan “ekspor” demokrasi ke berbagai negara, yaitu negara-negara berkembang yang dalam pandangan AS tidak demokratis, otoriter, despotik dan sebagainya. Salah satu upaya AS dalan masalah itu terlihat dalam proyek Woodrow Wilson Centre mengenai “Transisi dari Pemerintahan Otoritarian: Prospek-prospek bagi Demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Selatan.”[7]
Yayasan yang nama lengkapnya adalah The Woodrow Wilson Internasional Centre for Scholars itu didirikan dalam rangka menghormati presiden AS yang ke-20, Woodrow Wilson. Ia diingat orang tidak saja karena idealisme dan komitmennya kepada demokrasi, keilmuannya, kepemimpinan politiknya, dan kualitas wawasan internasionalnya, tetapi juga karena sikap-sikap dan tindakan-tindakan intervensionisnya terhadap Amerika Latin dan Karibia.[8] Dari sinilah riset dan penelitian mengenai transisi demokrasi bermula dan arus demokratisasi pun kemudian bergema ke pelbagai penjuru dunia.
Menurut Huntington, di zaman modern ini sejak abad ke-19 telah terjadi tiga gelombang besar demokratisasi yang kemudian mengarah pada transisi menuju demokrasi.[9] Gelombang pertama berlangsung dari tahun 1820 sampai 1926, di mana telah lahir 29 negara demokrasi di dunia. Salah satu ciri gelombang demokrasi ini adalah meluasnya hak pilih perempuan di AS. Namun pada tahun 1922 mulai timbul gelombang balik dengan naiknya Mussolini ke singgasana kekuasaan di Itali. Sejak itu sampai tahun 1942, jumlah negara demokrasi berkurang menjadi 12.
Gelombang kedua demokratisasi puncaknya terjadi pada tahun 1962. Ini ditandai oleh kemenangan tentara sekutu dalam Perang Dunia kedua terutama melawan negara-negara fasis di Jerman, Itali dan Jepang. Ketika itulah 36 negara negara di dunia diperintah secara demokratis. Tetapi perkembangan ini ternyata diikuti oleh gelombang balik kedua yang berlangsung dari tahun 1960 sampai 1975 yang membawa jumlah negara demokrasi kembali ke angka 30. Adapun gelombang ketiga demokratisasi terjadi pada tahun 70-an dan 80-an. Gelombang ketiga inilah yang disebut Huntington sebagai transisi menuju demokrasi. Namun ia sendiri masih bertanya-tanya apakah gelombang ketiga ini akan mengakhiri seluruh rezim non-demokratis sehingga menjadi demokratis semua, ataukah keadaan dunia tetap terbagi antara negara demokratis dan non-demokratis.
Sebelum melangkah lebih jauh ke masalah transisi demokrasi, terlebih dahulu akan dikemukakan arti dari kata “transisi” itu sendiri. Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter mengemukakan bahwa transisi yang dimaksudkan adalah “interval (selang waktu) antara satu rezim politik dan rezim yang lain.”[10] Transisi dibatasi, di satu sisi, oleh dimulainya proses perpecahan sebuah rezim otoritarian, dan di sisin lain, oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi. Bisa pula kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif revolusioner.
Dengan demikian, transisi tidak hanya berlaku bagi suatu rezim otoriter yang ambruk kemudian berubah menjadi rezim yang demokratis. Akan tetapi transisi juga bisa berarti berubah dari suatu rezim otoriter ke bentuk otoriter yang lainnya. Hal ini bisa dimengerti, karena faktor-faktor di berbagai negara yang dijadikan obyek penelitian, yaitu negara-negara di Amerika Latin dan Eropa Selatan, sangat beragam dan tidak sama antar satu dengan yang lain.
Transisi akan berjalan dengan mulus jika berhasil melewati suatu tahapan yang disebut dengan liberalisasi. Yang dimaksud dengan liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak tertentu yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah, yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga.[11] Proses liberalisasi, meskipun terkadang dilakukan secara sporadis dan tidak merata, merupakan suatu permulaan penting dari ditinggalkannya praktek yang biasa dilakukan oleh rezim otoriter.
Jika tahapan liberalisasi telah terlewati dengan baik, maka jalan ke arah demokrasi makin terpampang lebar. Proses ini dinamakan demokratisasi. Hubungan liberalisasi dengan demokratisasi demikian kuat. Bisa digambarkan sebagai berikut: “Tanpa jaminan bagi kebebasan kelompok dan individu yang inheren dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin akan diturunkan derajatnya menjadi sekedar formalisme belaka. Di sisi lain, tanpa pertanggungjawaban terhadap rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga di bawah demokratisasi, liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan dibatalkan demi kepentingan mereka yang duduk di pemerintahan.”[12]

Sejumlah Dilema
Transisi menuju demokrasi yang berlangsung di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Selatan serta merta membawa sejumlah dilema. Di antara dilema yang dapat dikemukakan di sini secara garis besar dibagi ke dalam tiga hal yaitu sebagai berikut :

a. Ketidakpastian
Transisi adalah suatu proses perubahan yang belum bisa dipastikan atau dijamin arahnya kepada yang diinginkan. Dalam konteks transisi menuju demokrasi, sesungguhnya belum ada kepastian apakah perubahan yang terjadi adalah transisi dari pemerintahan otoriter ke denokratis ataukah tidak. Transisi bahkan bisa beralih menuju ke arah yang tidak diinginkan, misalnya kekisruhan dan ketidakteraturan yang justeru mengundang munculnya rezim yang lebih otoriter.

b. Kultur Versus Struktur
Demokrasi yang tumbuh di masa transisi, sebagaimana terlihat di negara-negara dunia ketiga, seringkali justeru menimbulkan instabilitas dan kekacauan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Menurut Charles A. Kupchan, hal itu disebabkan karena negara-negara tersebut tidak memiliki kultur politik, praktek-praktek politik dan lembaga-lembaga yang mendukung semangat liberalisme konstitusional.[13] Tentu saja yang dimaksud liberalisme konstitusional di sini adalah demokrasi. Dengan demikian, pengaruh kultur politik begitu penting untuk pemerintahan demokratis. Secara logika, sulit bagi demokrasi untuk dapat berkembang dengan baik jika kultur politik masyarakat penyangganya tidak ada.
Selain masalah kultur, juga persoalan struktur menjadi dilema tersendiri bagi transisi menuju demokrasi. Misalnya, pada masyarakat di negara-negara otoriter yang dijadikan obyek penelitian O’Donnell dkk, ada dua kelompok yang menjadi hambatan demokratisasi. O’Donnell menyebut kelompok pertama dengan “garis keras” (Duros) dan kelompok kedua “Garis Lunak” (Blandos). Pada prakteknya, kedua kelompok tersebut meskipun dengan cara yang berbeda, sama-sama mendukung rezim otoriter. Persoalan struktur juga dapat dilihat pada istitusi militer, seperti di Chili, untuk menyebut salah satu contoh. Kelompok ini tentu saja menjadi rintangan yang tidak mudah untuk dihadapi demi lajunya transisi ke arah demokrasi.

c. Konflik
Setiap perubahan secara alamiah memunculkan pergeseran yang kadang membawa konlik atau pertentangan antar berbagai komponen, struktur dan gagasan yang ada di masyarakat. Demikianlah yang terjadi pada masyarakat transisi menuju demokrasi di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Selatan. Konflik yang menonjol di antaranya adalah antara ide ekonomi bebas dan ekonomi terkendali.
Negara-negara Barat dan Amerika Serikat dikenal sebagai negara kapitalis yang sangat menekankan ekonomi bebas (demokrasi ekonomi). Maka ketika mereka melakukan ekspor demokrasi dengan sendirinya ide ekonomi bebas pun dibawa serta. Bagi mereka, ada hubungan yang sangat erat antara demokrasi di satu pihak dengan ekonomi bebas di pihak yang lain. Tentu saja hal ini menyebabkan konflik yang tak terelakkan dengan ekonomi terkendali yang umumnya berlaku di negara-negara obyek tersebut.

Kasus Indonesia
Arus demokratisasi yang sedemikian besar itu tampaknya tidak bisa dibendung lagi oleh negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang mengawali kejatuhan suatu rezim otoriter, seperti People Power di Filipina tahun 1986 yang menjatuhkan rezim Marcos, demontrasi mahasiswa dan pembantaian di Cina tahun 1989, runtuhnya komunisme di Uni Sovyet (sekarang Rusia) dan di Eropa Timur tahun 1989 yang memperlihatkan bahwa sesuatu yang hampir mustahil terjadi ternyata terjadi, dan demostrasi prodemokrasi dan pembunuhan di Thailand tahun 1992 adalah sejumlah faktor eksternal yang memberikan andil atau inspirasi bagi kalangan prodemokrasi di Indonesia dalam melakukan aksi-aksi untuk menumbangkan rezim totaliter-otoritarian Orde Baru.[14]
Ini bukan berarti mengabaikan faktor-faktor internal yang menyebabkan keinginan untuk hidup berdemokrasi terus bergelora di negeri ini. Setidaknya ada berbagai faktor di dalam negeri yang dapat diindikasikan sebagai bibit-bibit keretakan sebelum revolusi 12 Mei, bahkan mungkin beberapa tahun sebelum itu. Semakin eksisnya kelompok pengusaha Cina yang sangat lengket dengan keluarga Soeharto, anak-anak Soeharto sendiri yang semakin bernafsu untuk berbisnis, kasus Timor Timur, Hak Azasi Manusia, seperti penculikan sejumlah aktivis, pembungkaman hak berpendapat seperti kasus pembredelan tiga media massa, Tempo, Editor dan Detik, dan kelompok Islam yang semakin naik ke dalam struktur birokrasi orde baru melalui ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) yang berdiri pada Desember 1990, tak diragukan lagi merupakan momen-momen dalam negeri yang memancing kalangan prodemokrasi untuk turun menyuarakan aspirasi rakyat agar pemerintah mau membuka kran demokratisasi, dan kalau tidak, mesti ditumbangkan.
Di antara faktor-faktor tersebut ada satu hal yang sangat menarik untuk dianalisis, yaitu bagaimana keterlibatan ICMI di dalam birokrasi negara yang kemudian menimbulkan pertentangan, baik di kalangan umat sendiri maupun dengan kalangan lain. Ada sementara pihak yang menganggap bahwa berdirinya ICMI adalah sebagai bentuk kompensasi Soeharto dari konfliknya dengan kalangan militer. Konflik Soeharto dengan kalangan militer yang paling menonjol ke permukaan adalah ketika pemilihan Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden RI. Soeharto tampaknya merasa difait accompli oleh kaum bersenjata itu, karena pencalonan Sutrisno tanpa melalui konsultasi terlebih dahulu dengan dirinya sebagai Panglima Tertinggi ABRI (saat ini TNI). Peristiwa ini disinyalir bahwa terdapat sejumlah kalangan militer yang mulai tidak loyal kepada Soeharto. Dalam konteks inilah Soeharto memerlukan kalangan lain untuk semakin memperkuat basis legitimasinya, dan itu diperolehnya dari umat Islam melalui ICMI. Tidak heran kalau kemudian yang menjadi Ketua Umum ICMI adalah BJ Habibie, pembantu presiden yang paling dekat dan merupakan anak didik politiknya.[15]
Terlepas dari benar atau tidaknya analisis di atas, ICMI pada masa-masa selanjutnya tampaknya cenderung mengarah kepada politik praktis. Beberapa posisi menteri banyak yang diisi oleh orang-orang ICMI (baca: orang-orang lingkaran dekat Habibie) sehingga ada istilah “ijo royo-royo”, Faisal Tandjung naik menjadi Panglima ABRI, padahal sebenarnya bukan jatah dia, jabatan eselon I dan II di banyak Departemen dan BUMN juga banyak diisi oleh orang-orang ICMI. Tentu saja fenomena tersebut semakin memperkuat kecenderungan politik praktis tersebut, meski ada pembelaan dari kalangan dalam ICMI bahwa orang yang terjun ke dalam politik praktis bersifat pribadi, tidak membawa bendera organisasi. Orang semacam Gus Dur yang sejak awal tidak setuju dengan berdirinya ICMI, karena dianggapnya sebagai kecenderungan politik aliran dan ekslusifisme, dipastikan menolak tegas pembelaan itu.
Saya kira, kecenderungan politik praktis yang semakin kental dilakukan ICMI apalagi setelah Habibie menjadi Wapres pada gilirannya menimbulkan kecemburuan dan bahkan ancaman yang sangat menakutkan bagi kelompok-kelompok lain, baik di kalangan dalam pemerintahan, militer, legislatif dan organisasi-organisasi non-Islam di Indonesia. Maka, bukan tidak mungkin jatuhnya rezim orba yang diawali dengan krisis ekonomi adalah karena “kecemburuan” kelompok-kelompok tersebut terhadap kedekatan ICMI dengan Soeharto yang seakan tak terbendung. Dengan logika seperti ini, krisis ekonomi sesungguhnya adalah ciptaan atau rekayasa sebagai alat untuk menggulingkan Soeharto, sehingga kalangan dekatnya pun ikut ambruk. Itulah sekarang yang dialami ICMI pasca tumbangnya Soeharto, hilang dari peredaran seolah tak berbekas.

Revitalisasi Politik Islam
Telah disinggung di atas bahwa jatuhnya rezim orba serta merta menjadikan kalangan ICMI terpuruk dari panggung politik nasional. Namun mesti diingat bahwa keterpurukan ICMI tidak menyebabkan politik Islam atau kalangan Islam politik surut, justeru sebaliknya semangat mereka untuk tampil kembali di pentas semakin kuat. Pasalnya, kalangan ICMI yang sudah sedemikian rapat dengan birokrasi orba itu sebenarnya adalah mereka yang berasal dari kelompok Islam kultural minus Gus Dur.
Jadi, tumbangnya rezim otoriter memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kalangan Islam politik untuk kembali memperjuangkan Islam melalui jalur politik. Tidak heran kalau kemudian banyak partai didirikan dengan berasaskan kepada Islam –sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada zaman orba karena kebijakan asas tunggal pancasila- seperti Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Daulat Ummah, bahkan Partai Persatuan Pembangunan selain kembali kepada asas Islam juga mengganti kembali lambang partai mereka, Ka’bah, yang pada masa orba harus diganti dengan bintang.
Kecenderungan seperti di atas tak pelak lagi dianggap banyak kalangan sebagai bentuk revitalisasi politik Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa kenyataan ini menunjukkan mengentalnya kembali kembali politik aliran.[16] Buktinya, tuntutan untuk dicantumkannya kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta muncul kembali ke permukaan. Kenyataan ini sebenarnya wajar-wajar saja, sebab setelah kurang lebih 30 tahun politik Islam tidak mendapat tempat di hati para elit politik orba, akhirnya mereka menemukan momentumnya pada era reformasi. Sebaliknya, Islam kultural untuk sementara atau seterusnya? mendapat giliran untuk hilang dari permukaan. Itulah uniknya Islam sejak masa orba, selalu ada pertentangan atau mungkin dibuat bertentangan antara kalangan Islam politik dan Islam kultural. Tetapi, tepatkah sebenarnya momen ini untuk revitalisasi politik Islam.
Bagi saya, revitalisasi politik Islam itu harus disikapi secara kritis, bukan hanya sekadar eforia semata. Sebab, ia muncul dari sebuah lompatan demokrasi atau dari demokrasi yang terjadi secara tiba-tiba. Karenanya, tidak ada persiapan untuk menuju tahapan demokrasi. Ini terjadi pada keseluruhan proses transisi menuju demokrasi di Indonesia. Salah satu kelemahan demokrasi seperti ini adalah tidak tertatanya budaya demokrasi secara baik. Begitu tuntutan untuk segera memasuki periode demokrasi tercapai, tetapi budaya demokrasi belum tumbuh, sulit dibayangkan demokratisasi berlangsung normal. Budaya kalah menang, misalnya, sangatlah sulit dipegang oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu terjadi pada politik Islam. Ketika Gus Dur dikritik bertubi-tubi oleh DPR sampai kemudian jatuh, para pendukung fanatiknya mangancam akan membuat keributan. Demikian halnya para pendukung Golkar dengan mudah mengancam akan menggoyang pemerintahan Megawati kalau PDIP menyetujui pembentukan Pansus Buloggate II.

Agenda Politik Islam
Pada masa mendatang, dalam konteks hubungan Islam dan negara kalangan politik Islam hendaknya berhati-hati dan kritis. Kasus ICMI harus menjadi pelajaran yang cukup berharga bagi masa depan politik Islam. Ketergantungan yang luar biasa terhadap elit kekuasaan jangan sampai terjadi lagi. Bagaimanapun, hubungan yang sangat mesra antara Islam di satu pihak dan negara di pihak lain berlangsung dalam situasi negara yang sangat korup, anti demokrasi dan sebagainya. Karenanya begitu Islam masuk, ia sesungguhnya telah terperangkap dalam labirin kekuasaan. Dalam keadaan seperti ini, mana mungkin mereka bisa bersikap kritis terhadap berbagai anomali kekuasaan, alih-alih mereka termasuk ke dalam anomali tersebut.
Selanjutnya menurut saya, kalangan Islam tidak perlu lagi mempersoalkan atau mempertentangkan Islam politik dan Islam kultural. Pertentangan yang cukup sengit antara kedua kelompok ini pada masa orba sungguh kontra produktif terhadap perjuangan Islam itu sendiri, dan membuat energi mereka terbuang secara sia-sia. Biarkanlah masing-masing kelompok berjuang menurut strateginya sendiri-sendiri, bahkan seharusnya saling menopang satu dengan yang lain. Ini juga berlaku bagi kalangan Islam fundamentalis yang selalu didikotomisasikan dengan Islam modernis.[17] Kelompok pertama sering diidentikkan dengan berwatak rigid, cenderung menggunakan kekerasan, sedangkan kelompok kedua sebaliknya, bersikap moderat dan akomodatif. Sesungguhnya dikotomisasi semacam itu tidak perlu lagi dipegang, sebab justeru akan terjebak pada pengkotak-kotakan umat. Masing-masing kelompok sebenarnya mempunyai kelebihan dan kekurangan yang seyogiayanya bisa saling mengisi satu dengan yang lain, bukan saling membenci dan mencurigai seperti selama ini.

Penutup
Keterlibatan politik Islam di Indonesia tidak dapat diragukan lagi kebenarannya meski mengalami pasang surut. Itu terlihat sejak zaman pra-kemerdekaan, pendudukan Jepang, masa revolusi, pasca-kemerdekaan, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru dan sekarang orde reformasi.
Intensitas keterlibatan politik Islam mulai terjadi pada masa pendudukan Jepang, tetapi kemudian hilang pada zaman demokrasi terpimpin seiring dengan kediktatoran Soekarno. Pada masa orde baru kalangan politik Islam tersingkir atau disingkirkan melalui stigmaisasi Islam. Tetapi kaum Islam, melalui kelompok modernis melakukan strategi lain untuk mencoba bersifat akomodatif terhadap negara. Inilah yang disebut Islam kultural. Sejak saat itu hubungan Islam dan negara sangat mesra, dan puncaknya terjadi ketika ICMI dibentuk dengan Habibie sebagai Ketua Umumnya.
Ketika rezim Soeharto tumbang kelompok Islam ini ikut terpuruk. Tetapi, di sisi lain karena situasi sosial politik yang sudah sangat bebas, kalangan Islam politik muncul kembali ke permukaan dengan semangat perjuangan politik Islam. Masa inilah yang sering disebut revitalisasi politik Islam atau politik aliran. Hal ini sebenarnya wajar saja karena sekian lama mereka tertekan oleh kebijakan pemerintah yang represif.
Yang perlu disikapi secara kritis adalah konflik-konflik yang acap terjadi di kalangan umat Islam sendiri di dalam perjuangan politiknya. Dikotomi yang hitam putih antara Islam politik dan Islam kultural atau antara Islam fundamentalis dan Islam modernis tidak perlu lagi dipegang, sebab masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Biarlah mereka berjalan sesuai strateginya sendiri-sendiri tanpa harus saling menjelekkan. Bukan tidak mungkin di antara mereka akan ketemu sebuah platform perjuangan bersama walaupun jalannya berbeda.






DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986
Ali, Fachry, “Revitalisasi Politik Aliran” dalam Transisi Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: LSAF, 1999
Anwar, M. Syafi’i, Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru: Studi Tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim Orde Baru 1988-1999, Tesis Master, Universitas Indonesia, 1994.
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1982, Cet. Kedua.
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesiam, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Effendy, Bahtiar, Repolitisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan, 2000
Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, Cet. Kedua.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dan Politik Islam Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina, 1999.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Pers, 1987
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Jakarta: LP3ES, 1993.
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Amerika latin, Jakarta: LP3ES, 1993
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993
O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: LP3ES, 1993
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, Cet. Kedua.
[1] Tentang pembahasan politik Islam di bawah penjajahan Jepang secara panjang lebar lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985, Cet. Kedua.
[2] Keterlibatan para tokoh politik Islam dalam perdebatan mengenai dasar negara, misalnya, diulas secara mendetail oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985
[3] Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Lihat juga Deliar Noer, “Demokrasi Terpimpin 1957-1965”, dalam Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Pers, 1987
[4] Ulasan lengkap tentang masalah ini dapat dibaca dalam buku Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Pemikiran Islam:Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1982. Sebagai perbandingan lihat B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985.
[5] Mengenai pembagian Islam menjadi politik dan kultural tampaknya ada juga dari kalangan Islam yang tidak menyetujuinya secara tegas. Bahtiar Effendy, misalnya, mengatakan bahwa Islam kultural sesungguhnya adalah kegiatan politik dalam langgam dan irama yang lain. Lihat, Bahtiar Effendy, Islam Kultural, Islam Politik, dalam Repolitisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik, Bandung: Mizan, 2000, hal. 191
[6] Lihat M. Syafi’i Anwar, Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru: Studi Tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim Orde Baru 1988-1999, Tesis Master Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1994.
[7] Lihat Kata Pengantar Abraham F. lowenthal, dalam Transisi Menuju Demokrsi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Guillermo O’Donnell dan Philip C. Schmitter, Jakarta: LP3ES, 1993.
[8] Ibid.
[9] Lihat Samuel P. Huutington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, Cet. Kedua, hal. 16-27
[10] Lihat Kata Pengantar Abraham F. Lowental, op. cit., hal. 6
[11] Ibid. hal 7
[12] Ibid. hal.10
[13] Charles A. Kupchan, Democracy First, makalah
[14] Tentang pengaruh-pengaruh eksternal arus demokratisasi di Indonesia, lihat Anders Uhlim, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, Cet. Kedua, hal. 188-190
[15] Analisis semacam ini dibantah tegas oleh Bahtiar Effendy dalam disertasi doktornya, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. Bagi Bahtiar alasan tersebut terlalu sederhana atau mungkin malah naif, sebab Soeharto sebenarnya tidak perlu mencari legitimasi lagi, kalau sekedar untuk mempertahankan kekuasaan. Ia lebih setuju untuk menilai bahwa fenomena ICMI sesungguhnya merupakan konsekwensi logis dari arus hubungan Islam dan negara yang semakin mesra dan saling akomodatif. Pernyataan-pernyataan senada bisa juga dibaca dalam tesis Syafi’i Anwar, salah seorang juru bicara dan aktivis ICMI, berjudul Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru: Studi Pemikiran dan Perilaku Cendekiawan Muslim Orde Baru 1988-1999, Universitas Indonesia, 1994. Adapun mengenai analisis yang menampilkan ICMI sebagai suatu organisasi yang cukup menyimpan potensi konflik, lihat Adam Schwarz, Bangsa Yang Sedang Menungguh (Nation in Waiting). Dalam analisis yang merupakan hasil wawancaranya dengan sejumlah tokoh baik yang pro maupun kontra ICMI, Schwarz menyimpulkan bahwa ICMI terdiri dari tiga kelompok. Pertama, birokrat dan teknolog, yaitu orang-orang yang berada di lingkaran dekat Habibie. Kedua, pemikir Islam moderat seperti Nurcholis Madjid, Emil Salim,dan Sutjipto Rahardjo. Ketiga, kelompok Islam modern yang sedang mencari penyaluran politik, seperti Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas dan Dawam Rahardjo. Masing-masing kelompok tersebut mempunyai agenda yang berlainan, bahkan bertentangan satu dengan yang lain, sehingga rentan terhadap konflik.
[16] Lihat tulisan Fachry Ali, Revitalisasi Politik Aliran, dalam Indonesia Dalam Ttansisi Menuju Demokrasi, Jakarta: LSAF, 1999, hal. 121.
[17] Pembahasan lengkap tentang fundamentalisme dan modernisme di dalam politik Islam bisa dibaca dalam buku yang berasal dari disertasi doktor, Yusril Ihja Mahendra, Modernisme dan Fundametalisme dalam Politik Islam Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina, 1999

Kamis, 20 November 2008

Haji dan Komunikasi Transendental

Kompas Jabar Selasa 18 November 2008

Dalam pandangan ilmu komunikasi, ibadah haji merupakan sebuah peristiwa komunikasi yang sangat menarik. Ia adalah ritual yang paling masif dalam agama Islam. Ia tidak saja melibatkan orang dalam jumlah sangat besar, baik jemaah haji maupun penyelenggara, tetapi juga berbagai fasilitas, seperti akomodasi, transportasi, dan pelayanan kesehatan.
Ritual ini juga mengharuskan jemaah melakukan persiapan prima dalam segala hal, baik fisik, mental, maupun spiritual. Tidak mengherankan, ibadah ini hanya diwajibkan kepada umat Islam yang mampu dan cukup dilakukan sekali selama hidupnya.
Komunikasi transendental
Dalam khazanah ilmu komunikasi, komunikasi transendental merupakan salah satu bentuk komunikasi di samping komunikasi antarpersona, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Namun, komunikasi transendental tidak pernah dibahas luas. Cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dan Tuhan.
Meskipun komunikasi ini paling sedikit dibicarakan, justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di akhirat (Deddy Mulyana: 2005).
Komunikasi adalah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol atau tanda. Dalam komunikasi transendental, partisipannya adalah manusia dan Allah. Ritual ibadah haji, sebagaimana diketahui, kaya dengan simbol atau tanda. Berpakaian ihram, tawaf, sai, tahalul, dan melempar jamarat sesungguhnya merupakan simbol.
Oleh karena itu, yang terpenting bagi jemaah haji adalah pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut. Makna, menurut ilmu komunikasi, berada di kepala peserta komunikasi, dalam hal ini jemaah haji, bukan pada simbol-simbol itu sendiri.
Pakaian ihram yang terdiri dari dua helai pakaian putih tanpa jahit, misalnya, tentulah sekadar simbol. Maknanya adalah bahwa apa pun bentuk perbedaan, ras, warna kulit, suku, dan identitas kultural lainnya tidak lagi berlaku. Semua menyatu dalam satu kesatuan. Pada sisi lain, simbolisasi pakaian ihram juga menunjukkan suatu proses pemindahan dari dataran kehidupan profan pada kesucian (ihram).
Proses penyucian diri tersebut tidak hanya mencakup penyucian fisik, membersihkan diri dari kotoran dan najis, tetapi juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial yang disimbolkan oleh pakaian dan atribut keduniaan lainnya (Azra: 1999).
Dalam konteks tawaf (mengelilingi Kabah tujuh putaran), ada uraian yang sangat menarik dari Ali Syari'ati, seorang intelektual Muslim Iran. Ia, misalnya, menggambarkan bagaimana tawaf memiliki makna sedemikian dalam. Dengan Kabah berada di tengah, jemaah mengelilinginya dalam sebuah lingkaran sirkular. Kabah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah, sedangkan jemaah melambangkan aktivitas dan transisi makhluk ciptaan-Nya yang berlangsung terus-menerus (2002).
Gerakan tawaf seolah-olah dilakukan oleh satu unit atau satu kelompok manusia karena di dalamnya tidak ada identifikasi individual. Kita tidak dapat membedakan yang laki-laki dari yang perempuan dan yang berkulit hitam dari yang berkulit putih. Inilah, kata Syari'ati, transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua "aku" bersatu menjadi "kita", yang merupakan umat dengan tujuan menghampiri Allah.
Demikian halnya dengan sai, yaitu berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Dalam ritual ini terlihat persatuan yang sesungguhnya karena dalam melakukan sai segala bentuk, pola, warna, derajat, kepribadian, batas, perbedaan, dan jarak dihancurkan. Kecuali keyakinan, kepercayaan, dan aksi, tak ada sesuatu pun yang menonjol.
Ketika melakukan sai, jemaah berperan sebagai Hajar, seorang budak perempuan dari Etiopia yang hina dan menghamba kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim. Dia berlari-lari antara kedua bukit tersebut untuk mencari air. Sahaya perempuan ini mempunyai hubungan akrab dengan Allah. Dialah ibu dari para nabi-Nya yang besar dan wakil dari makhluk-Nya yang cantik jelita. Maka, sai berarti sebuah pencarian atau gerakan yang mempunyai tujuan.
Pasca transendensi
Meski demikian, yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana jemaah haji-setelah melakukan transendensi menuju Allah di rumah-Nya-mampu membumi kembali, hidup di tengah masyarakat dengan mengejawantahkan nilai-nilai yang telah diperoleh selama beribadah haji. Inilah yang akan mengantarkan mereka pada predikat haji mabrur atau sebaliknya, haji mardud. Jadi, haji mabrur akan diraih seseorang bukan di Tanah Suci, melainkan setelah kembali ke masyarakat.
Kata mabrur sendiri secara harfiah berarti orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, sebagaimana diungkapkan Nurcholis Madjid (alm), haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik (1997). Tentulah menjadi baik itu berlaku untuk segala perbuatan. Hal itu akan terlihat jelas di mata masyarakat, antara perilaku yang bersangkutan sebelum dan sesudah beribadah haji.
Di sinilah tantangan sebenarnya yang mesti dihadapi para haji. Sayang, banyak sekali di antara mereka yang terjebak pada simbolisme, yaitu lebih mementingkan pakaian ketimbang isi. Celakanya, masyarakat juga kerap memperlihatkan perilaku yang sama. Mereka biasanya lebih menghormati seorang haji yang berpakaian formal kehajian, seperti peci putih, daripada seorang haji yang berpakaian biasa meskipun belum tentu perilaku keseharian yang pertama lebih saleh daripada yang terakhir. Jika seperti ini, haji tidak lebih dari peristiwa simbolik belaka

Jumat, 07 November 2008

Belajar dari Debat Obama Vs McCain

Tribun Jabar, Kamis 06 November 2008

LUAR biasa. Itulah barangkali kata yang tepat untuk dialamatkan kepada Pansus RUU Pilpres Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait keputusannya menetapkan debat calon presiden (capres) sebanyak lima kali untuk pilpres 2009. Bahkan di negara Amerika Serikat yang disebut-sebut kampiun demokrasi pun debat capres diselenggarakan tiga kali saja seperti yang telah disaksikan antara Barrack Obama (Partai Demokrat) dan dari John McCain (Partai Republik). Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia selangkah lebih maju dari AS dalam hal kehidupan berdemokrasi? Tentu tidak sesederhana itu penilaian yang laik diberikan terhadap kehidupan demokrasi sebuah negara.
Jika menggunakan perspektif komunikasi Harold Lasswell (1948) yang terkenal dengan ungkapannya who say what in which channel to whom with what effect (siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dan akibatnya apa), maka debat capres merupakan hal yang sangat penting, karena tidak hanya terkait dengan komunikator (capres), pesan (isu atau program), dan komunikate (khalayak) -tiga aspek yang biasanya selalu ada dalam proses komunikasi-, melainkan juga terkait media (televisi, radio, surat kabar, dan lain-lain), serta akibat atau efek debat tersebut. Dalam debat, para capres, misalnya, dituntut mampu mengemas sebaik mungkin program atau isu-isu mereka sebagai pesan politik mereka, dengan memanfaatkan media seperti televisi atau radio untuk memengaruhi opini publik sebagai khalayak. Kepiawaian dan kecerdasan capres memilih dan mengemas isu akan sangat berperan penting. Sehingga efek atau pengaruh debat sesuai dengan yang diharapkan capres. Jika medium yang digunakan adalah televisi, tentu para capres harus mempersiapkan diri lebih cermat lagi, karena khalayak media elektronik jauh lebih banyak dan tidak terbatas seperti radio atau surat kabar. Oleh karena itu, para capres dituntut mampu menampilkan performance sesempurna mungkin baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Yang pertama terkait dengan bagaimana, misalnya, seorang capres mengemukakan argumen, pola interaksinya termasuk ketika menangkis dan menyerang balik rivalnya, juga gaya bahasanya. Sedangkan yang kedua berhubungan dengan bagaimana penampilan capres ketika di-shot oleh kamera, gerak-gerik tubuh, mimik muka, dan lain sebagainya. Adakalanya komunikasi nonverbal dalam debat capres bisa mengalahkankomunikasi verbal. Di negara AS yang notabene masyarakatnya merupakan pemberi suara yang rasional (rational voters) hal seperti ini juga pernah terjadi. Demikianlah, misalnya, masyarakat Amerika yang menyaksikan langsung perdebatan John F Kennedy dan Richard Nixon di televisi mengatakan,Kennedy adalah pemenang dalam perdebatan mereka tahun 1960. Sedangkan masyarakat yang mendengarkan lewat radio mengatakan Nixon lah pemenangnya. Dalam hal ini performance nonverbal Kennedy, antara lain wajahnya yang ganteng dan masih muda, mampu memukau publik Amerika yang menyaksikannya. Lalu, bagaimana dengan aspek yang terakhir dari taksonomi Lasswell di atas, yaitu efek atau akibat dari debat capres? Menurut Mitchell S. McKinney dan Diana B. Carlin dalam Political Campaign Debates (Lynda Kaid: 2004), efek debat bagi publik ada empat: efek perilaku (behavioral effects), efek kognitif (cognitive effects), evaluasi citra capres (candidate image evaluation) dan efek laten (latent effect). Efek perilaku terkait dengan apakah pilihan suara publik akan berubah setelah menyaksikan acara debat capres. Dalam konteks ini penampilan yang meyakinkan dari seorang capres akan berpengaruh besar. Kita, bisa belajar dari debat Obama versus McCain. Obama yang sebelumnya sempat mengalami penurunan dalam perolehan suara pada jajak pendapat ternyata kembali merangkak naik setelah acara debat pertama. Ini artinya, Obama telah berhasil mengubah perilaku publik untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Efek kognitif berhubungan dengan pesan-pesan atau isu-isu yang diangkat capres, sehingga acara debat bisa menjadi sumber informasi yang kaya bagi publik. Dalam hal ini para capres dituntut untuk mengedepankan isu-isu yang bersentuhan dengan publik dan mengemasnya sebaik mungkin. Penguasaan capres terhadap isu-isu tersebut akan memiliki pengaruh sangat besar terhadap keberhasilannya dalam debat. Tentu kita berharap bahwa para capres yang akan maju pada pilpres 2009 nanti adalah mereka-mereka yang memahami dan menguasai berbagai persoalan yang tengah menimpa bangsa ini. Evaluasi citra capres terkait dengan persepsi publik yang menyaksikan acara debat terhadap karakter capres. Dalam konteks ini para capres harus memerhatikan betul baik aspek verbal maupun nonverbal. Saat seorang capres menyampaikan sebuah isu; atau saat memberikan kritik; mimik muka dan gerak-gerik tubuh ketika dicecar berbagai pertanyaan yang, misalnya, agak menyudutkannya akan dilihat dan dinilai langsung oleh publik. Dari karakter capres ketika berdebat itulah orang dapat menilai bagaimana karakter yang bersangkutan jika ia memerintah nanti. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Megawati pada pilpres 2004 sedikit banyak dipengaruhi oleh performance SBY pada debat capres. Oleh karena itu, para capres yang akan bersaing pada pilpres 2009 nanti hendaknya memersiapkan diri sebaik mungkin dalam acara debat capres tersebut. Sekali-kali janganlah berpikir bahwa debat itu tidak akan berpengaruh banyak terhadap perolehan suara capres pada pemilu. Ingatlah bahwa sekarang ini rakyat Indonesia sudah cukup cerdas untuk menilai calon-calon pemimpin mereka di masa depan dengan kriteria-kriteria mereka sendiri. Bukan merupakan hal yang aneh jika masyarakat akar rumput (grassroot), yang berada di pedesaan sekalipun sering kali berbincang-bincang di saat-saat senggang mereka tentang persoalan-persoalan politik aktual yang terjadi di tanah air. (*)

Haji Mabrur

Republika, Kamis 06 November 2008

Istilah 'mabrur' secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam। Namun, istilah ini paling sering digunakan untuk ibadah haji.Kata 'mabrur' secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata 'mabrur' artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.Ada ayat dalam Alquran yang mengandung kata birrun dan tampaknya sangat relevan dengan makna dari haji mabrur, yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Penggalan dari ayat ini berbunyi, ''Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.''Memberikan sesuatu yang kita cintai kepada orang lain merupakan perbuatan yang luar biasa berat. Andaikan kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, apalagi masih baru, pastilah kita merasa enggan memberikannya kepada orang lain. Barangkali, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.Ayat ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mempunyai komitmen sosial yang tinggi. Dan, mabrur yang dilekatkan pada haji itu berkaitan erat dengan komitmen sosial tersebut.Seorang haji mabrur, dengan demikian, adalah seorang haji yang memiliki komitmen sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya sepulangnya dari Tanah Suci. Jadi, predikat haji mabrur tidak diperoleh seorang haji ketika berada di Makkah dan Madinah, tapi justru ketika sudah kembali hidup di tengah masyarakat.Berbagai ritual ibadah haji seperti ihram, thawaf, sai, lempar jumrah, tahallul, dan sebagainya, meskipun memperlihatkan sebuah perjalanan transendental menuju Allah, sesungguhnya sarat dengan makna komitmen sosial. Benar pula kalau dikatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah prosesi kepulangan kepada Allah dalam bingkai spiritual. Artinya, setelah itu, kita akan kembali kepada masyarakat dan mengejewantahkan kepulangan kepada Allah itu dalam kehidupan sosial kita.Inilah tantangan yang dihadapi para haji tatkala selesai menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Keberhasilannya memperoleh gelar haji mabrur jelas sangat bergantung kepada sejauh mana komitmen sosialnya ketika berada kembali di tengah-tengah masyarakat.Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. Anda para calon haji, semoga mampu meraihnya. Amin.
Istilah 'mabrur' secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam। Namun, istilah ini paling sering digunakan untuk ibadah haji.Kata 'mabrur' secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata 'mabrur' artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.Ada ayat dalam Alquran yang mengandung kata birrun dan tampaknya sangat relevan dengan makna dari haji mabrur, yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Penggalan dari ayat ini berbunyi, ''Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.''Memberikan sesuatu yang kita cintai kepada orang lain merupakan perbuatan yang luar biasa berat. Andaikan kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, apalagi masih baru, pastilah kita merasa enggan memberikannya kepada orang lain. Barangkali, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.Ayat ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mempunyai komitmen sosial yang tinggi. Dan, mabrur yang dilekatkan pada haji itu berkaitan erat dengan komitmen sosial tersebut.Seorang haji mabrur, dengan demikian, adalah seorang haji yang memiliki komitmen sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya sepulangnya dari Tanah Suci. Jadi, predikat haji mabrur tidak diperoleh seorang haji ketika berada di Makkah dan Madinah, tapi justru ketika sudah kembali hidup di tengah masyarakat.Berbagai ritual ibadah haji seperti ihram, thawaf, sai, lempar jumrah, tahallul, dan sebagainya, meskipun memperlihatkan sebuah perjalanan transendental menuju Allah, sesungguhnya sarat dengan makna komitmen sosial. Benar pula kalau dikatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah prosesi kepulangan kepada Allah dalam bingkai spiritual. Artinya, setelah itu, kita akan kembali kepada masyarakat dan mengejewantahkan kepulangan kepada Allah itu dalam kehidupan sosial kita.Inilah tantangan yang dihadapi para haji tatkala selesai menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Keberhasilannya memperoleh gelar haji mabrur jelas sangat bergantung kepada sejauh mana komitmen sosialnya ketika berada kembali di tengah-tengah masyarakat.Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. Anda para calon haji, semoga mampu meraihnya. Amin.
Istilah 'mabrur' secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam। Namun, istilah ini paling sering digunakan untuk ibadah haji.Kata 'mabrur' secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata 'mabrur' artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.Ada ayat dalam Alquran yang mengandung kata birrun dan tampaknya sangat relevan dengan makna dari haji mabrur, yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Penggalan dari ayat ini berbunyi, ''Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.''Memberikan sesuatu yang kita cintai kepada orang lain merupakan perbuatan yang luar biasa berat. Andaikan kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, apalagi masih baru, pastilah kita merasa enggan memberikannya kepada orang lain. Barangkali, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.Ayat ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mempunyai komitmen sosial yang tinggi. Dan, mabrur yang dilekatkan pada haji itu berkaitan erat dengan komitmen sosial tersebut.Seorang haji mabrur, dengan demikian, adalah seorang haji yang memiliki komitmen sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya sepulangnya dari Tanah Suci. Jadi, predikat haji mabrur tidak diperoleh seorang haji ketika berada di Makkah dan Madinah, tapi justru ketika sudah kembali hidup di tengah masyarakat.Berbagai ritual ibadah haji seperti ihram, thawaf, sai, lempar jumrah, tahallul, dan sebagainya, meskipun memperlihatkan sebuah perjalanan transendental menuju Allah, sesungguhnya sarat dengan makna komitmen sosial. Benar pula kalau dikatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah prosesi kepulangan kepada Allah dalam bingkai spiritual. Artinya, setelah itu, kita akan kembali kepada masyarakat dan mengejewantahkan kepulangan kepada Allah itu dalam kehidupan sosial kita.Inilah tantangan yang dihadapi para haji tatkala selesai menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Keberhasilannya memperoleh gelar haji mabrur jelas sangat bergantung kepada sejauh mana komitmen sosialnya ketika berada kembali di tengah-tengah masyarakat.Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. Anda para calon haji, semoga mampu meraihnya. Amin.

Etika Politik Calon Legislatif

Pikiran Rakyat Senin, 03 November 2008

SEJATINYA para calon legislatif (caleg) adalah orang-orang yang mampu memberikan teladan politik di hadapan publik. Mereka termasuk di antara sekian gelintir orang dari jutaan anggota masyarakat yang mendapatkan kesempatan sekaligus kehormatan untuk duduk di lembaga yang terhormat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika mereka berhasil memasuki lembaga termasuk, mereka boleh dikatakan sebagai "orang-orang pilihan".
Akan tetapi, terkuaknya sejumlah kasus pelanggaran yang melibatkan beberapa caleg memperlihatkan kepada kita semua betapa mereka sesungguhnya belum siap menjadi "orang-orang pilihan" tersebut. Kasus ijazah bermasalah yang melibatkan Sukmawati Soekarnoputri, Agustina Nasution, dan Uki Widyastuti, juga Wulan Guritno (sertifikatnya tidak layak), yang berbuntut pada pencoretan keempatnya dari daftar caleg oleh KPU adalah bukti yang jelas. Deretan ini akan bertambah panjang jika dimasukkan pula kasus pelanggaran lain seperti pendaftaran ganda di dua parpol yang berbeda, caleg yang masih berstatus PNS, dan mereka yang dilaporkan sebagai politisi busuk karena diduga terlibat dalam kasus-kasus hukum.
Kasus di atas tentu dapat mengundang sejumlah pertanyaan bagi kita semua, apakah para caleg tersebut benar-benar memahami etika politik sebelum mereka memutuskan terjun ke dunia politik? Ataukah memang tujuan mereka berpolitik sebenarnya hanyalah untuk mencari keuntungan an sich, terutama yang bersifat material, tanpa memedulikan nilai-nilai etis dari politik? Apakah kredo the end justifies the means ala Machiaveli yang kesohor itu telah menjadi spirit dari perilaku politik mereka?

Etika politik
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Politis dalam konteks ini adalah berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan. Sebuah tindakan disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. Maka, politisi adalah orang yang mempunyai profesi yang mengenai masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya (Franz Magnis-Suseno: 2001).
Inti dari permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan. Ia berkaitan dengan hak moral seseorang atau sekelompok orang untuk memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki. Pada sisi lain, betapa pun besar kekuasaan seseorang, ia selalu dapat dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Maka, ketika pertanggungjawaban itu tidak dapat diberikan, kekuasaan itu tidak lagi dianggap sah.
Berkaca dari pernyataan di atas, beberapa pelanggaran yang telah dilakukan sejumlah calon legislatif jelas telah mengandung cacat moral yang akan berujung pada tidak terlegitimasinya mereka dalam kekuasaan politik। Seandainya berhasil memasuki ranah kekuasaan sebagai anggota legislatif, mereka tetap akan dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di hadapan publik. Tentu hal itu akan mendelegitimasi kekuasaan mereka. Oleh karena itu, dihapusnya nama mereka dari daftar calon tetap oleh KPU terkait penggunaan ijazah bermasalah sesungguhnya harus dipandang sebagai upaya "penyelamatan" mereka dari kehidupan lebih buruk yang akan menimpa mereka di kemudian hari, yakni aib politik yang boleh jadi akan ditanggungnya sepanjang masa.

Moral vs hukum
Dalam sejumlah kasus, kita kerap menemukan adanya beberapa caleg yang disebut sebagai politisi busuk oleh masyarakat. Sayangnya, KPU sebagai pihak yang memberikan akses kepada publik untuk memberikan laporan dan pengaduan tentang perilaku caleg hanya bisa menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada parpol untuk menilai laik tidaknya caleg tersebut untuk terus maju sebagai caleg. KPU tampaknya hanya bertindak pada tataran administrasi belaka.
Ada satu hal yang perlu digarisbawahi di sini bahwa parpol sebagai lembaga yang paling berwenang terhadap nasib politik para calegnya selalu melandaskan pandangan dan sikap politiknya pada keputusan hukum. Para elite parpol senantiasa berdalih bahwa selama belum ada keputusan hukum tetap terhadap caleg yang dilaporkan sebagai yang bermasalah itu, mereka tidak memiliki kewenangan untuk mencoretnya. Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang menerapkan asas praduga tak bersalah.
Memang keputusan hukum tidak diragukan lagi bersifat mengikat. Namun yang perlu disadari sepenuhnya oleh para elite parpol adalah bahwa moralitas dalam politik sesungguhnya sangat menentukan legitimasi etis para caleg dalam kehidupan politik mereka. Komitmen terhadap hal tersebut merupakan conditio sine qua non jika mereka benar-benar menginginkan kekuasaan yang dipegang dan dipergunakannya itu mendapatkan legitimasi etis. Sebab tanpa legitimasi etis, pertanggungjawaban yang akan diberikan kepada publik menjadi tidak bermakna.
Di negara-negara yang tradisi demokrasinya sudah maju, persoalan moralitas dalam politik merupakan hal yang sangat menentukan karier seorang politisi. Mereka yang diduga terlibat pelanggaran moral, apa pun bentuknya, lebih memilih mundur dari arena pertarungan politik meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, pejabat politik yang sedang berkuasa pun akan melakukan hal yang sama jika terlibat kasus pelanggaran moral. Hal itu karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa pelanggaran moral merupakan aib politik yang akan mendegradasi legitimasi etis mereka pada level yang sangat rendah. Mengapa kesadaran seperti itu tidak terdapat pada diri para caleg kita khususnya dan politisi pada umumnya di negeri yang berdasarkan Pancasila ini?***
Penulis, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Magister Ilmu Politik UI।

Pemuda Indonesia dan Jebakan Pragmatisme

Tribun Jabar, Jumat , 24 Oktober 2008
Pemuda Indonesia dan Jebakan Pragmatisme
I
BERIKAN kepadaku sepuluh pemuda..." adalah sepenggal kata-kata yang pernah diungkapkan oleh presiden pertama kita, Soekarno, pada zaman perjuangan kemerdekaan। Kata-kata tersebut tentu bukan sekadar retorika kosong, sebab pemuda dengan semangatnya yang menggelora memang kekuatan yang sangat dahsyat।

Pemuda, di belahan mana pun di dunia ini, adalah generasi yang akan menjadi tulang punggung bangsa dan negaranya di masa depan. Pada diri mereka harapan segenap bangsa disandarkan; pada semangat dan keberanian mereka suara dan kehendak rakyat disemayamkan. Pendek kata, pemuda, sebagaimana ungkapan yang sering disitir orang, adalah harapan bangsa.
Secara historis, peran pemuda di negara Indonesia tidak dapat dibantah। Soekarno, Hatta, Sjahrir, tanpa bermaksud mengabaikan tokoh-tokoh lain yang tidak tercantumkan di sini, adalah representasi kaum muda Indonesia ketika itu. Mereka berjuang dengan segenap jiwa dan raga demi meraih kemerdekaan dari kaum penjajah sehingga berdirilah Republik Indonesia yang diakui dunia sampai hari ini.

Ideologi yang रपुह
Jika di masa lalu peran pemuda Indonesia begitu besar, apakah pemuda-pemuda Indonesia hari ini dapat melakukan hal yang sama, atau setidaknya mewarisi semangat perjuangan mereka? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu tidak cukup bijak kalau diajukan secara sederhana atau secara hitam-putih, misalnya ya atau tidak। Tetapi penulis berusaha mengedepankan bagaimana kondisi kekinian yang menimpa para pemuda di negara kita।

Di antara kondisi kekinian yang ingin penulis kemukakan di sini adalah problem kultural yang menghinggapi banyak pemuda Indonesia. Masalah kultural sebenarnya bisa mencakup banyak hal, seperti cara berpikir, bertutur, bersikap, berperilaku, gaya hidup (lifestyle) dan sebagainya. Tetapi penulis akan menekankan di sini pada aspek ideologi yang agaknya kurang dijadikan elan vital oleh pemuda masa kini.
Di tengah gencarnya arus globalisasi--kadang ada yang memelesetkan dengan gombalisasi--yang sulit dibendung, problem kultural di atas kian parah. Godaan gaya hidup hedonistis-kapitalistik yang notabene buah dari globalisasi di kalangan para pemuda luar biasa kuat. Parahnya, hal ini tidak saja terjadi di kalangan pemuda kota, tapi juga di kalangan pemuda desa karena adanya televisi. Iklan-iklan gaya hidup yang menawarkan kenyamanan dan kenikmatan hidup di media elektronik ini demikian gencar dan massif sehingga mampu meruntuhkan sendi-sendi pertahanan para pemuda tersebut.
Oleh karena itu, para pemuda yang tidak mempunyai bekal ideologi yang kuat akan dengan mudah terseret arus tersebut। Persoalannya adalah generasi muda masa kini, berbeda dengan generasi muda masa dahulu, pada umumnya mempunyai ideologi yang rapuh. Jika di masa lalu "ideologi perjuangan" mampu menjadi elan vital para pemuda dalam mengenyahkan penjajah, maka ideologi apakah yang dipegang para pemuda masa kini untuk menyingkirkan godaan-godaan gaya hidup hedonistik-kapitalistik tersebut?

Jebakan प्रगामातिसमे
Salah satu musuh besar dari para aktivis muda sejak zaman dahulu sampai sekarang adalah pragmatisme. Akbar Tanjung, Fahmi Idris, dan angkatan 66 lainnya pernah dituding sebagai aktivis-aktivis muda pragmatis ketika memasuki dunia birokrasi. Pasalnya, pragmatisme biasanya berorientasi pada tujuan politik sesaat atau jangka pendek sehingga pada gilirannya akan memudarkan sikap independensi dan kekritisan pemuda, dua hal yang merupakan karakteristik pemuda.
Pada masa sekarang jebakan pragmatisme justru jauh lebih kuat. Godaan pragmatisme yang sangat kuat akhir-akhir ini adalah berasal dari partai politik (parpol). Sejumlah 38 parpol yang telah dinyatakan sah dan berhak ikut bersaing dalam pemilu 2009 sangat gencar mendekati kalangan pemuda untuk dijadikan caleg-caleg mereka. Bahkan hampir semua parpol menjadikan kalangan pemuda dalam kerangka membangun citra (image buiding) yang baik ketika wacana kepemimpinan kaum muda mencuat dalam berbagai perbincangan nasional akhir-akhir ini.
Akibatnya, banyak sekali sekarang ini caleg-caleg dari kaum muda yang menyambut tawaran parpol tersebut secara taken for granted tanpa disikapi secara kritis. Alih-alih, mereka justru menjadikan hal tersebut sebagai peluang emas untuk meraih karier politik. Celakanya, hal ini seringkali tidak dibarengi kemampuan politik yang memadai sehingga pada saat memasuki dunia politik yang sesungguhnya mereka akan gamang. (*)

Sosialisasi Gemar Membaca Buku

Harian GalamediaJumat 24 Oktober 2008
DALAM sebuah perjalanan, penulis pernah transit di Bandara Frankfurt, Jerman, selama kurang lebih enam jam untuk menunggu pesawat berikutnya. Ketika penulis duduk-duduk sambil membaca buku yang telah dipersiapkan sebelum penerbangan, penulis melihat dua kelompok remaja dengan karakteristik berbeda, bahkan bertolak belakang. Yang pertama anak-anak Jerman dan yang kedua anak-anak keturunan Turki.Pada kelompok yang pertama, penulis melihat sesuatu yang mengagumkan. Mereka asyik membaca buku, bahkan ketika ada dua orang di antara mereka bermain catur, mereka tetap memegang buku. Sedangkan pada kelompok yang kedua, penulis melihat sesuatu yang merupakan kebiasaan anak-anak muda di Indonesia, bernyanyi-nyanyi, berteriak-teriak, tidak peduli pada orang-orang sekitar. Tidak ada satu pun dari mereka yang memegang buku. Lalu penulis membatin dalam hati, "Inilah potret yang merepresentasikan dua dunia yang berbeda: dunia maju dan dunia berkembang".Dari pengalaman di atas, penulis ingin mengatakan bahwa kebiasaan atau budaya membaca di kalangan masyarakat kita, bahkan dalam dunia pendidikan kita sekalipun, boleh dikatakan masih sangat jauh dari menggembirakan. Sedikit di antara anak-anak didik, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang gemar membaca.Karena itu, acara yang diselenggarakan Badan Perpustakaan Daerah (Bapusda) Provinsi Jawa Barat, yaitu "Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca", serta Peresmian dan Pengembangan Gedung Badan Daerah (Bapusda) Provinsi Jawa Barat yang dihadiri Gubernur Ahmad Heryawan (गलामेडिया,, 22 Oktober 2008) patut mendapat apresiasi yang tinggi dari semua pihak।Dalam sebuah kesempatan, budayawan Emha Ainun Najib pernah mengatakan, di Indonesia terdapat "kekeliruan" tahapan budaya yang berakibat cukup fatal. Yang dimaksud tahapan budaya di sini adalah dari budaya membaca ke budaya elektronik (televisi dan sejenisnya). Pada saat budaya membaca belum terbangun dengan kokoh di negara kita, masuklah budaya elektronik secara gencar dan masif. Akibatnya budaya membaca yang masih tertatih-tatih itu tergerus tanpa ampun oleh budaya elektronik.Sangat masuk akal jika budaya membaca itu mampu dikalahkan secara telak oleh budaya elektronik. Pasalnya, budaya yang terakhir ini menawarkan sesuatu yang menyenangkan karena fungsinya memang untuk menghibur. Sekalipun budaya elektronik ini bisa juga digunakan untuk media pendidikan, tetapi praktiknya sangat minim. Salah satu televisi kita yang dengan tegas-tegas menyatakan "televisi pendidikan" pun ternyata tidak ajeg (konsisten) dalam pelaksanaannya. Sementara itu budaya membaca yang membutuhkan keseriusan dan ketekunan itu tentu kian ditinggalkan masyarakat dan anak didik kita. Kalau kita mencoba ingin membuktikan tesis di atas pada anak didik, misalnya, maka kita dengan mudah dapat melakukannya. Kita cukup melihat anak-anak kita di rumah ketika pulang dari sekolah. Apakah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku atau menonton televisi? Jawabannya hampir bisa dipastikan bahwa yang terakhir itulah yang paling sering dilakukan. Sistem pengajaranDalam ranah pendidikan, hemat penulis, sistem pengajaran yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan negara kita pada semua jenjang belum mendorong budaya membaca di kalangan anak didik. Para pengajar, baik guru ataupun dosen, masih banyak yang memandang anak didik/mahasiswa sebagai objek belaka. Mereka diibaratkan seperti "botol kosong" yang siap diisi sepenuhnya oleh para pengajar. Pada saat yang sama guru atau dosen jarang sekali memberikan tugas kepada anak didik/mahasiswa untuk membaca sejumlah buku sebelum masuk kelas. Bukan sekadar membaca, tentu saja, tetapi juga meresumenya, bahkan jika mampu memberikan komentar atau kritik terhadap isi bahan bacaan tersebut. Sehingga ketika mereka masuk kelas, mereka sudah siap bertanya jawab dengan pengajar. Anak didik/mahasiswa kita umumnya sangat santai di luar kelas, sementara di AS mereka sangat sibuk belajar dan mengerjakan tugas jika ingin berhasil. Ruang perpustakaan benar-benar dimanfaatkan mereka untuk keperluan belajar dan mengerjakan tugas tersebut. Bandingkan dengan ruang-ruang perpustakaan di sini yang acapkali sepi pengunjung. Sosialisasi sejak dini Dari paparan di atas, penulis berkesimpulan, untuk mengembangkan kegemaran membaca, terutama di kalangan anak didik, yang pada gilirannya akan mampu menumbuhkan budaya membaca, kita mesti mulai menyosialisasikannya sejak dini. Artinya kita tidak cukup hanya berharap pada lembaga pendidikan, baik formal, nonformal maupun informal, apalagi kondisi lembaga pendidikan kita masih belum banyak mendorong kegemaran membaca di kalangan anak. Dalam konteks ini, peran keluarga menjadi sangat penting. Kedua orangtualah yang pertama-tama harus menumbuhkan kegemaran membaca pada anak-anak sejak usia balita. Kita bisa memulainya dari menyediakan buku-buku anak-anak di rumah kita. Sediakan pula mainan-mainan yang dapat merangsang anak untuk membaca, seperti alfabet dari kayu, huruf-huruf dari plastik, puzzle berbentuk abjad, dan sebagainya.Tetapi yang jauh lebih penting dari menyediakan bahan-bahan tersebut adalah bagaimana kita dapat memanfaatkannya bersama-sama dengan anak-anak kita. Artinya, orangtua tidak sekadar membelikan buku dan peralatan lainnya, tetapi bagaimana mereka sendiri harus memberikan contoh kepada anak-anak dalam hal membaca. Anak-anak yang terbiasa melihat orangtuanya atau orang dewasa di sekitar mereka membaca buku akan tertarik menirunya. Ingatlah, anak-anak paling suka meniru segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka. Sosialisasi gemar membaca sejak dini menjadi keharusan bagi kita semua jika kita ingin budaya membaca benar-benar tumbuh di kalangan anak-anak kita.

Menyoal Penghargaan terhadap Buku

Membaca berita "PR" (Sabtu-4/10) dengan judul "21 Ton Buku Pesanan Dijual ke Tukang Loak" terasa sangat memilukan. Betapa tidak, buku yang belum pernah dibaca sama sekali alias masih baru itu, bernasib seperti barang-barang rongsokan, dijual dengan harga yang sangat jauh dari kewajaran. Adalah CV Geger Sunten, salah satu percetakan buku di Tasikmalaya yang terpaksa menjual buku paket murah pesanan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya, mulai dari jenjang SD sampai SMA. Alasannya, sudah tiga tahun, pihak pemesan tidak mengambil atau membayar buku paket tersebut.
Tulisan sederhana ini tidak ingin membahas persoalan-persoalan teknis terkait dengan penerbitan buku tersebut, seperti kontrak kerja dan semacamnya, apalagi berpretensi untuk menghakimi pihak mana yang bersalah. Alih-alih penulis ingin mencoba melihatnya kepada hal yang jauh lebih esensial, yakni persoalan yang menimpa dunia perbukuan, atau secara lebih umum, dunia baca tulis dalam ranah pendidikan kita. Minimnya apresiasi pemerintah dan tradisi baca tulis yang masih rendah adalah dua hal yang ingin disorot dalam masalah ini.
Minim apresiasi
Apa yang dapat kita tangkap dari kasus di atas? Menurut hemat penulis, inilah potret dari minimnya apresiasi pemerintah dan pihak-pihak terkait, terhadap dunia perbukuan di negeri kita. Dunia perbukuan yang merupakan salah satu bentuk representasi dari baca tulis tersebut, tampaknya belum dianggap sebagai bagian integral dari peradaban negeri kita. Ia dipandang sebagai marjinal, seolah hidup di dunia antah berantah. Keberadaannya dipandang sebelah mata. Kepala Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya, ketika menanggapi kasus ini mengatakan, "Percetakan buku tidak lebih atau seperti pembuat kerupuk yang dijual bebas ke masyarakat. Jika tidak ada yang beli, hal itu merupakan risiko dari usaha pihak percetakan." ("PR", 7/10). Sebegitu tidak berhargakah buku di hadapan aparat pemerintah?
Padahal, kita mengetahui dari sejarah bangsa-bangsa di dunia bahwa peradaban satu bangsa pastilah ditopang oleh hasil karya dari anak-anak bangsa tersebut. Peradaban Yunani tidak mungkin dihargai dunia di masa lalu, jika tidak mempunyai karya-karya besar dalam bidang filsafat yang banyak mengilhami para pemikir di berbagai belahan dunia. Siapa di antara kita yang tidak mengenal tokoh-tokoh filsafat Yunani seperti Plato, Aristoteles, Sokrates, dan sebagainya?
Demikian pula dalam sejarah Islam, kita mengetahui bahwa puncak peradaban Islam itu terjadi pada masa dua khalifah terkemuka dari Kekhalifahan Abbasiyah, Harun al-Rasyid dan al-Ma`mun. Pada masa itu ada lembaga bernama "Baitul Hikmah" didukung sepenuhnya Khalifah, yang begitu giat dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran filsafat, sastra, dan sebagainya, melalui penerjemahan sejumlah buku dari Yunani, Persia, dan lain-lain.
Maka, muncullah para pemikir Muslim ketika itu yang karya-karyanya sangat dikagumi dunia, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Rusyd (Averoes), Ibnu Khaldun, Nasiruddin al-Thusi, dan sebagainya. Yang menarik mereka tidak sekadar mengadopsi begitu saja pemikiran dari para filosof Yunani, tetapi justru mengkajinya secara mendalam, mengadaptasikannya dengan tradisi Islam, dan bahkan melakukan kritik yang tajam. Al-Farabi, misalnya, terkenal dengan kritiknya yang tajam terhadap Logika Aristoteles dan itu diakui para pemikir dunia berikutnya. Banyak pihak yang tidak meragukan bahwa kemajuan peradaban Barat yang dapat kita saksikan sampai hari ini sangat dipengaruhi pemikiran tokoh-tokoh Muslim tersebut.
Dari paparan historis di atas jelaslah bahwa dukungan pemerintah (baca: Khalifah) terhadap kegiatan baca tulis anak bangsanya sangat penting. Tanpa ada dukungan pemerintah melalui pembentukan lembaga tersebut, barangkali peradaban Islam tidak akan secemerlang seperti yang kita kenal. Maka, membaca berita tentang "kurang responsif"-nya sejumlah pihak, termasuk pemerintah atas kasus yang menimpa CV Geger Sunten, sungguh sangat ironis. Bukankah buku-buku tersebut sangat diperlukan oleh pihak sekolah, karena muatannya yang memang sudah disesuaikan dengan kebutuhan anak didik di sana? Dan bukankah buku-buku itu adalah hasil karya dari para pendidik di kalangan mereka sendiri?
Andai buku-buku itu diselamatkan, maka banyak pihak yang akan terselamatkan. Anak-anak didik tentu akan dapat mengaksesnya dengan harga yang relatif terjangkau, karena merupakan buku paket murah. Sementara itu, bagi para pendidik yang menulis buku-buku tersebut, selain ada honorarium, tentu yang lebih penting adalah tumbuhnya pada diri mereka kecintaan untuk membaca dan menulis, sehingga gairah mereka dalam dunia bacatulis akan menyala-nyala.
Tradisi baca tulis
Selain minimnya apresiasi pemerintah terhadap dunia perbukuan, tradisi baca tulis juga perlu dibahas di sini. Sebenarnya, pembuatan buku-buku paket murah di sekolah-sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya, telah memberikan harapan besar untuk menguatnya tradisi baca tulis dalam dunia pendidikan kita. Sayangnya, harapan itu kini "diempaskan" kembali. Yang paling ditakutkan adalah kejadian di atas bisa "membunuh" gairah para pendidik dalam dunia baca tulis.
Padahal, secara umum di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia mulai jenjang SD sampai PT, tradisi baca tulisnya jauh dari menggembirakan. Hal itu, ditambah oleh sistem birokrasinya yang tidak menjunjung tinggi meritokrasi, yakni penghargaan terhadap guru atau dosen yang didasarkan pada prestasi, antara lain menerbitkan karya tulis. Padahal, di negara-negara maju seperti sering dikatakan Prof. Deddy Mulyana (2008), sistem meritokrasi itu begitu ajeg diterapkan. Ada ungkapan dari kalangan mereka yang sangat relevan dalam hal ini, to publish or to perish (menerbitkan atau hilang sama sekali).
Di dunia PT, misalnya seorang Guru Besar akan dihormati kalau ia sudah berhasil menerbitkan karya tulisnya, baik berbentuk makalah dalam jurnal maupun buku. Kebiasaan mereka untuk saling menukar karya tulis jika bertemu adalah hal yang lazim terjadi. Sebaliknya, seorang Guru Besar yang tidak mampu menerbitkan karyanya, akan dengan "sadar diri" mengundurkan diri dari lingkungannya itu. Sebab, tanpa mengundurkan diri pun, lambat laun ia akan tersisih. Inilah yang agaknya sulit sekali (atau "mustahil"?) terjadi dalam dunia PT Kita.
Pada saat yang sama sistem pengajaran dalam dunia pendidikan kita, tidak dapat menumbuhkan budaya baca apalagi tulis. Jarang kita mendengar ada seorang guru/dosen yang memberikan tugas membaca sekian buku kepada para siswa/mahasiswa--sebagaimana lazimnya di negara-negara maju--dan membuatkan resume atau komentar atau bahkan kritik terhadap bahan bacaan tersebut. Alih-alih sistem pengajaran kita masih bertumpu pada model ceramah, di mana anak didik dianggap sebagai botol kosong yang siap diisi.
Ala kulli hal, dari kasus di atas setidaknya kita dapat mengambil "ibrah" bahwa dunia pendidikan di negeri Indonesia, termasuk masalah dunia baca tulis, seperti yang terepresentasikan dalam perbukuan kita, masih menyimpan sejumlah persoalan yang serius, untuk tidak mengatakan berada dalam "ruang gawat darurat"। Kepada pemerintah dan semua pihak yang terkait, yakinlah bahwa tindakan penyelamatan terhadap kasus di atas, apa pun bentuknya, pastilah tidak akan merugi. Apalagi kita baru saja merayakan Idulfitri, sehingga peluang untuk terus "menabung" pahala terbentang di hadapan kita. (Iding R. Hasan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung)***
Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 13 Oktober 2008