Selasa, 26 November 2013

Reposisi Peran Parpol Islam, Koran Sindo Rabu 27/11

Reposisi Peran Parpol Islam Iding R. Hasan* Hampir semua partai-partai politik (parpol) Islam atau berbasis massa Islam menolak dikotomi antara Islam versus nasionalis dalam konteks politik Indonesia masa kini. Dikotomisasi inilah yang sebenarnya telah mereduksi Islam, karena seolah-olah parpol yang berlabel Islam tidak nasionalis, dan begitu pula sebaliknya. Padahal dalam kenyataannya kalangan nasionalis justeru banyak lahir dari rahim Islam. Tokoh-tokoh Islam sendiri tersebar di banyak parpol lain, seperti Demokrat, Golkar, PDIP dan lain-lain. Dengan kian cairnya sekat ideologis antar parpol Islam dan nasionalis, maka menjadi tidak relevan lagi dalam konteks sekarang untuk mewacanakan koalisi antar parpol Islam. Selain PPP, parpol-parpol Islam lainnya seperti PKS, PKB bahkan PBB bahkan menolak tegas koalisi tersebut karena pada gilirannya justeru akan mengentalkan kembali dikotomisasi Islam-nasionalis. Padahal para pemilih hari ini tidak lagi tertarik untuk melihat partai dari identitas ideologisnya. Seorang petinggi PKS, Fachri Hamzah, dalam seminar tentang Prospek Parpol Islam di Pemilu 2014 di UIN Jakarta (22/11), misalnya, menegaskan bahwa kian cairnya perbedaan ideologis tersebut menuntut kita untuk meredefinisi parpol Islam. Pendefinisian Islam yang kental dengan ideologis di masa lalu terjadi karena memang pada saat itu parpol Islam berhadapan vis a vis dengan parpol-parpol yang secara jelas menonjolkan ideologinya seperti PKI dan PNI. Dengan demikian, tidak selayaknya parpol Islam sekarang dipandang secara kaku seperti dulu. Pada kenyataannya parpol-parpol yang ada saat ini tidak lagi menonjolkan sisi ideologis dalam konteks seperti di atas. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa identitas kepartaian (party identity) di Indonesia semakin tidak jelas atau sangat cair. Orang makin tidak dapat mengidentifikasi lagi mana pendukung partai A atau B karena cairnya identitas kepartaian tersebut. Dalam konteks ini, pengentalan ideologis parpol-parpol menjadi hal yang kontraproduktif. Reposisi Peran Membangun koalisi antar parpol Islam saat ini, seperti ditegaskan Marwan Ja’far, salah seorang elite PKB, selain bisa mengentalkan kembali dikotomi Islam-nasionalis, juga bukan tidak mungkin kian memperburuk citra politik Islam itu sendiri. Bagaimanapun sejarah parpol Islam sering diwarnai dengan konflik dan perpecahan internal. Keluarnya NU dari Masyumi, yang ketika itu sebagai wadah aspirasi politik Islam, dan kemudian NU menjadi partai tersendiri merupakann salah satu contoh nyata yang tak terbantahkan. Pada masa Orde Baru ketika partai-partai Islam berfusi menjadi PPP juga tidak pernah lepas dari konflik internal apalagi fusi itu dilakukan secara “terpaksa” akibat politik penyederhanaan partai oleh pemerintah. Faksi-faksi yang terdapat di dalam partai berlambang Ka’bah seperti NU, MI dan lainnya kerap berselisih dalam sejumlah hal. Di awal reformasi ketika parpol-parpol kembali ke jati dirinya masing-masing akibat liberalisasi politik juga tidak sepi dari konflik. Memang pada Pemilu 1999 sempat melakukan gebrakan dengan membuat koalisi poros tengah yang cukup berhasil, tetapi pada akhirnya juga melahirkan konflik baru. Sampai saat ini PKB yang merasa dikhianati poros tengah agaknya belum dapat melupakannya. Karena itu, alih-alih membangun koalisi yang memperlihat rekam jejak (track record) kurang menguntungkan di masa lalu, justeru yang mesti dilakukan parpol-parpol Islam sekarang adalah bagaimana menjalankan fungs-fungsi kepartaian dengan baik. Harus diakui bahwa fungsi-fungsi parpol mulai dari rekrutmen, agregasi, sosialisasi, komunikasi politik dan sebagainya di kalangan parpol-parpol Islam masih kalah jauh dari parpol-parpol besar. Tidak ada figur-figur menonjol di kalangan parpol Islam yang cukup marketable untuk bersaing di Pemilu 2014, yang notabene merupakan salah satu faktor rendahnya perolehan suara parpol Islam dalam berbagai hasil survei belakangan ini, dapat ditutupi apabila fungsi kepartain berjalan secara maksimal. Dengan kata lain, institusionalisasi kepartaian harus mendapatkan prioritas utama dalam mengatasi kemandegan parpol Islam. Dalam konteks ini, menurut hemat penulis, parpol-parpol Islam harus berani melakukan reposisi perannya sebagai parpol. Maksudnya adalah dalam melakukan peran dan fungsi kepartaiannya di tengah-tengah masyarakat, parpol-parpol Islam tidak mesti terbatasi pada hal-hal yang bernuansa kepentingan Islam. Membangunkan masjid, misalnya, tentu tidak ada yang menolak kalau itu merupakan perbuatan baik, tetapi hendaknya parpol Islam tidak hanya terfokus pada masalah itu saja. Tampaknya apa yang dilakukan PKS cukup berhasil dalam upayanya melakukan reposisi peran tersebut. Baru-baru ini, misalnya, kader PKS yang berada di kementerian sosial menyumbangkan bantuan berupa bibit babi kepada masyarakat non-Islam di daerah Bali. Boleh jadi sebagian orang Islam heran dengan tindakan tersebut terutama karena melihat babinya yang notabene merupakan hewan yang diharamkan dalam agama Islam. Tetapi justeru dengan terobosan ini PKS berusaha keluar dari peran kepartaian Islam yang sempit, dan ini boleh jadi akan menjadi nilai lebih bagi PKS di masa yang akan datang. Pada saat yang sama parpol-parpol Islam juga harus piawai dan cerdas dalam merespons isu ke tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, isu-isu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan ril masyarakat secara umum, baik muslim maupun non-muslim, harus menjadi prioritas perhatian mereka. Sangat disayangkan hingga saat ini jarang sekali elit-elite parpol Islam yang kerap berbicara ke publik, misalnya, tentang isu HAM, ekonomi kerakyatan, masalah kesejahteraan kaum buruh, nasib para TKI di luar negeri dan sebagainya. Karena itu, parpol-parpol Islam harus berani keluar dari perannya sebagai penyuara kepentingan Islam an sich, melainkan kepentingan rakyat dan bangsa secara keseluruhan. Jika langkah ini yang terus dilakukan, optimisme pun dapat disematkan di tubuh parpol Islam. Setidaknya pada Pemilu 2014 parpol-parpol Islam tidak akan tenggelam. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute,

Senin, 25 November 2013

Elektabilitas Capres, Koran Jakarta 26/11/2013

Elektabilitas Capres Iding R. Hasan* Salah satu kecenderungan yang menarik dalam politik Indonesia adalah bahwa elektabilitas partai politik tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas tokoh-tokohnya. PDIP yang diprediksi bakal unggul pada Pemilu 2014 seperti dilansir sejumlah lembaga survei ternyata tidak menjadikan Megawati Soekarnoputri yang masih mungkin diusung sebagai capresnya berada di urutan teratas. Demikian pula Golkar yang bahkan telah menetapkan secara resmi Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon presiden (capres)nya. Dalam konteks ini, tampaknya, penyelenggaraan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar pada 22-23 Nopember lalu tidak lepas dari dinamika politik khususnya di kalangan internal. Rapimnas dilaksanakan pada bulan Oktober bertepatan dengan momentum ulang tahun partai beringin. Tetapi kemudian DPP memutuskan untuk menundanya sampai bulan Nopember. Bukan tidak mungkin bahwa keputusan penundaan tersebut terkait dengan dinamika politik internal tersebut. Meskipun Golkar sudah secara resmi menetapkan Aburizal (Ical) sebagai capres namun ternyata suara-suara yang menghendaki peninjauan ulang juga tetap berhembus. Beberapa waktu yang lalu salah seorang pengurus DPP, Yorris Raweyai misalnya, pernah melontarkan hal tersebut ke publik. Bahkan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tanjung, yang notabene merupakan tokoh senior, beberapa kali mengungkapkan perlunya partai ini untuk meninjau ulang pencapresan ARB. Meskipun Akbar belakang melunak dengan menyatakan bahwa tidak ada agenda pembicaraan mengenai peninjauan pencapresan ARB di rapimnas, namun pada saat bersamaan ia juga mengungkapkan tentang perlu dilibatkannya kalangan DPD II Golkar. Maklum kaki politik Akbar di kalangan DPD II masih cukup kuat. Memang kemudian DPP Golkar memutuskan untuk tidak melibatkan kalangan DPD II dalam rapimnas. Dinamika internal partai kuning ini sebenarnya bermuara pada masalah utama yang membelitnya, yakni stagnannya perolehan suara Ical dalam berbagai survei. Selama ini posisinya selalu berada di papan tengah dan hanya sedikit naik. Menurut salah satu lembaga survei, yaitu Lembaga Klimatologi Politik (LKP), yang dilakukan pada September kemarin Ical hanya memperoleh 7,3 persen. Angka ini berada di bawah perolehan Jokowi, Wiranto, Prabowo bahkan Jusuf Kalla. Tak Signifikan Memang ada berbagai upaya yang dilakukan Golkar untuk mencoba menaikkan level elektabilitas Ical seperti sosialisasi langsung dengan berkeliling ke berbagai daerah. Atau yang paling gencar adalah melalui iklan politik yang banyak ditayangkan di stasiun-stasiun televisi miliknya sendiri. Namun sejauh ini upaya-upaya tersebut agaknya tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan. Elektabilitas naik tidak signifikan. Bahkan terlalu gencarnya upaya Golkar mengerek elektabilitas ARB seperti melalui iklan politik di televisi justeru bisa menjadi bumerang bagi partai ini. Pasalnya iklan politik yang notabene termasuk kategori kampanye melalui media massa sebenarnya belum diperbolehkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan kata lain, apa yang dilakukan Golkar mengandung potensi pelanggaran kampanye yang tentu saja berpotensi merugikan capresnya. Padahal kalau kita cermati secara saksama, pengaruh televisi sebenarnya tidaklah sekuat seperti yang dibayangkan. Memang salah satu teori dalam media massa seperti teori jarum hipodermik (hypodermic niddle theory) menegaskan bahwa khalayak bersifat pasif sehingga apapun informasi yang disuntikkan media akan diterimanya. Namun sesungguhnya khalayak tidaklah sepasif yang digambarkan apalagi dalam konteks masyarakat yang hidup di negara demokrasi. Yang menentukan adanya orang lain yang berpengaruh (the significant others) atau yang biasa disebut juga sebagai pemuka pendapat (opinion leader). Mereka inilah yang sebenarnya didengarkan pendapatnya oleh khalayak sehingga mampu memengaruhi perilaku pemilih. Tampaknya Golkar terlalu mengandalkan iklan politik tetapi kurang banyak menghadirkan pemuka-pemuka pendapat yang menyokongnya. Pada sisi lain, kehadiran Jusuf Kalla (JK) yang kerap disebut sebagai capres potensial bahkan kini telah melakukan pendekatan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membuat posisi Ical kian sulit. Artinya, kalau sampai PKB benar-benar mengusung JK sebagai capres atau “sekadar” cawapres sekalipun pada Pemilu 2014, jelas potensi pengeroposan suara ARB sangat besar. Besar kemungkinan suara Golkar akan terpecah-pecah. Bagaimanapun juga di tubuh Golkar terdapat terdapat faksi-faksi politik. Selain faksi ARB dan Akbar Tanjung, faksi JK juga diyakini masih cukup kuat. Apalagi JK dikenal memiliki basis pemilih yang kuat terutama di daerah Sulawesi Selatan yang merupakan tempat kelahirannya. Data pada Pemilu 2009 yang lalu saat JK berpasangan dengan Wiranto, misalnya, suara yang diperolehnya di daerah ini sebesar 64,41 persen mengalahkan pasangan SBY-Boediono yang meraup 31,62 persen suara. Dengan demikian, kehadiran JK sebagai salah seorang capres, jika nanti ada yang benar-benar mengusungnya, jelas akan menggerus perolehan suara ARB. Hal ini tentu kian membuat posisi Golkar semakin sulit. Meskipun beberapa tokoh Golkar menegaskan bahwa pencapresan JK tidak berpengaruh banyak, tetapi suara-suara sebagian mereka yang meminta JK “berpamitan” jika ingin maju dari partai lain, jelas merupakan refleksi kekhawatiran Hasil Rapimpnas sendiri, Golkar telah membangun suatu grand design dalam pembangunan Indonesia mendatang sebagai visi negara kesejahteraan 2045. Ini sebagai bahan acuan para kader partai di masa depan. Kondisi di dalam partai beringin masih akan tetap dinamis. Masih ada waktu guna memantapkan capresnya atau perlu evaluasi. Perhitungan harus matang. Di satu sisi melanjutkan pencapresan Ical dengan kemungkinan bisa sulit bersaing di 2014 atau mendengarkan aspirasi perubahan.

Minggu, 10 November 2013

UU "Ramah" Korupsi (PR Senin, 11/11/13)

Baru-baru ini publik Tanah Air dikejutkan oleh pemberitaan tentang rencana diberikannya uang pensiun bagi kalangan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang lebih mengherankan lagi adalah mereka yang terlibat kasus korupsipun bahkan yang sudah menjadi terpidana seperti Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh tetap mendapatkan uang pensiun. Wajar saja jika reaksi publik kemudian sangat keras terhadap keinginan lembaga legislatif tersebut. Hampir semua kalangan mengungkapkan bahwa sangatlah tidak layak seorang pejabat negara yang hanya beberapa saat saja bekerja lalu mendapatkan uang pensiun selama hidupnya. Apalagi jika sang pejabat tersebut selama dalam pekerjaannya terbukti melakukan korupsi untuk memperkaya dirinya. Sayangnya, para wakil rakyat tersebut tampaknya tetap bergeming dengan keinginannya itu. Terlalu Legalistik Alasan DPR untuk memberikan uang pensiun bagi anggota-anggotanya adalah karena ada aturan mengenai hal tersebut. Seperti diketahui bahwa aturan tentang uang pensiun anggota DPR tertera dalam Pasal 12 hingga 21 UU No 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Atas dasar inilah semua mantan anggota DPR termasuk yang sudah menjadi terpidana sekalipun mendapatkan uang pensiun. Apalagi sampai saat ini tidak ada UU yang mengatur secara khusus mengenai pemberian sanksi misalnya dengan melarang pemberian uang pensiun bagi angota DPR yang jelas-jelas terpidana korupsi. Bahkan dalam UU No 27 Tahun 2009 atau yang dikenal UU MD3 juga tidak terdapat pelarangan tersebut. Namun sebenarnya jika para anggota DPR peka terhadap aspirasi dan memiliki empati terhadap kehidupan mereka, tidak semestinya para wakil rakyat yang terhormat itu terlalu mengedepankan aspek prosedural atau legalistik dalam kasus ini. Betul bahwa secara legal formal dimungkinkan bagi mereka termasuk terpidana korupsi untuk mendapatkan uang pensiun, tetapi apakah hal ini tidak menciderai rasa keadilan masyarakat. Ini yang tampaknya tidak dijadikan pertimbangan oleh mereka. Menurut hemat penulis, seyogianya para anggota DPR mengedepankan keadilan subtantif setiap kali menangani kasus-kasus seperti ini bahkan kasus hukum secara keseluruhan. Secara substantif, orang yang sudah nyata-nyata melakukan tindak pidana korupsi apalagi ia pejabat negara seperti anggota DPR, maka ia telah mengkhianati konstitusi sekaligus menodai amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Tentu saja sangat tidak pantas kalau orang seperti ini tetap diberikan uang pensiun. Bahkan bila perlu ia harus mengembalikan uang yang diterima dari negara selama ini. Revisi UU Oleh karena itu, satu hal yang mendesak untuk segera dilakukan adalah merevisi UU yang jelas-jelas sangat ramah terhadap praktik korupsi di negeri ini. Bahkan pemberian uang pensiun bagi mantan anggota DPR sekalipun tidak terlibat tindak pidana korupsi sebenarnya dianggap banyak kalangan sebagai hal yang tidak tepat. Beberapa waktu lalu hal ini pernah juga menjadi perdebatan publik, tetapi karena para anggota DPR seperti biasanya sangat ngotot untuk urusan kesejahteraan diri mereka, aturan tersebut tetap berjalan. Padahal sebagai pejabat negara yang bertugas dalam waktu yang singkat bahkan ada yang hanya separuh dari masa tugasnya yang lima tahun karena di-PAW-kan oleh fraksinya, sungguh tidak masuk akal jika kemudian mendapatkan uang pensiun yang bakal diterimanya sepanjang hidupnya. Sementara gaji dan fasilitas yang mereka terima selama masa tugasnya sangat besar. Bandingkan dengan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sangat lama masa tugasnya dengan gaji dan fasilitas yang secukupnya. Tetapi karena para anggota DPR lebih mengedepankan aspek legal-formal ketimbang aspek substantif, maka satu-satunya cara adalah dengan merevisi UU No 12 Tahun 1980 dan UU No 27 Tahun 2009. Yang pertama terkait dengan pemberian uang pensiun. Dalam hal ini, negara harus berani mengubahnya sehingga tidak lagi mantan pejabat negara seperti anggota DPR mendapatkan pensiun. Sedang pada yang kedua harus ditegaskan bahwa pejabat negara yang terpidana korupsi harus dicabut semua haknya. Dengan merevisi UU tersebut kecenderungan anggota DPR untuk selalu berlindung di balik aspek legalistik dan mengakal-akali hukum tidak dapat lagi dilakukan secara leluasa. Dalam konteks ini, kritisisme publik sangat diperlukan mengingat sedemikian bebalnya watak para politisi Senayan tersebut dalam urusan kesejahteraan diri mereka sendiri. Dan yang terpenting dari revisi UU tersebut di atas bahwa keinginan segelintir anggota DPR untuk mencoba-coba melakukan tindak pidana korupsi sedikit demi sedikit terhalangi. Dengan kata lain, UU tersebut menjadi UU yang tidak lagi ramah terhadap praktik korupsi seperti sekarang. *Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Doktor Komunikasi Unpad

Kamis, 07 November 2013

Selebriti di Panggung Politik, Gatra 7-13 Nop 2013

Jelang Pemilu 2014, alih-alih berkurang, kehadiran selebriti di panggung politik Indonesia justeru kian bertambah. Selain yang sudah lawas seperti Tantowi Yahya,dan Dedi Gumelar, kini muncul nama-nama baru: Anang Hermansyah, Ayu Azhari, Angel Lelga, Irwansyah, Ridho Rhoma dan lain-lain. Sejak reformasi, entah karena ingin ikut menyuarakan aspirasi rakyat atau sekadar berpindah panggung, dari layar kaca ke ruang politik, eskalasi mobilitas selebriti ke dalam politik menemukan momentumnya. Dalam konteks ini, peran partai politik yang cenderung pragmatis jelas sangat besar. Jika dulu para selebriti hanya dijadikan sebagai pendulang suara (vote getter), kini mereka benar-benar ditampilkan sebagai aktor politik. Faktor popularitas dan juga finansial agaknya merupakan pertimbangan penting. Hampir semua parpol membuka pintunya lebar-lebar bagi kaum selebriti untuk menjadi caleg-calegnya. Siapa sesungguhnya selebriti? Salah satu definisi selebriti menyebutkan, mereka yang dikenal secara luas dalam sebuah masyarakat atau budaya yang biasanya mendapatkan perhatian dari media massa (Lynda Lee Kaid & Christina Holtz-Bacha, 2008: 90). Mengacu definisi ini, siapapun bisa menjadi selebriti. Tetapi dalam tulisan ini, selebriti politik dibatasi pada mereka yang berasal dunia seni hiburan (entertainment) seperti artis, penyanyi, pelawak, atau olahragawan yang kerap diliput media massa dan sekarang menjadi politisi. Khusus di lembaga legislatif, terdapat 18 selebriti yang lolos pada Pemilu 2009. Jika diklasifikasi, ada yang sudah pernah terpilih sebelumnya seperti Adjie Massaid (alm), Angelina Sondakh dan Nurul Qomar; ada yang baru tetapi sudah memiliki pengalaman politik sebelumnya seperti Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka dan Dedi Gumelar; dan yang terbanyak justeru muka-muka baru semisal Eko Patrio, Rachel Maryam, Okky Asokawati dan lain-lain. Perspektif Dramaturgis Komunikasi politik di panggung politik merupakan kajian yang sangat menarik terutama jika dilihat dari perspektif dramaturgis Erving Goffman, khususnya tentang presentasi diri (self-presentation) seperti dijelaskan dalam karyanya The Presentation of Self in Eevryday Life (1959). Konsep ini erat kaitannya dengan pengelolaan kesan (impression management). Dalam pengelolaan kesan orang berusaha untuk menampilkan dirinya sebaik mungkin untuk mendapatkan kesan yang baik dari orang lain. Seorang komunikator yang mendapatkan kesan baik dari khalayak tentu akan mudah menyampaikan pesan-pesannya, dan demikian sebaliknya. Penampilan diri komunikator terutama dilakukan di wilayah depan yang oleh Goffman disebut panggung depan (front stage), yakni apa yang dapat disaksikan oleh penonton. Dalam konteks ini, para selebriti politik tampaknya berusaha menampilkan diri mereka sebaik mungkin baik di ruang-ruang persidangan maupun di ruang-ruang publik secara umum seperti media massa. Berbagai cara atau teknik mereka persiapkan untuk keperluan tersebut. Pada kenyataannya sebagian selebriti cukup berhasil melakukan presentasi diri yang baik di panggung depan sehingga mendapatkan kesan yang baik pula dari publik. Mereka yang berpengalaman sebelumnya atau yang baru tetapi sudah memiliki pengalaman politik dapat dimasukkan ke dalam ketegori ini. Sebagian lain ada yang berusaha sebatas supaya “diangap serius” tetapi sebegitu jauh kurang maksimal dalam melakukannya. Dan yang sebagian besar justeru tenggelam oleh politisi-politisi lainnya karena tidak mampu memaksimalkan panggung depan baik di ruang komisi, paripura maupun ruang publik lainnya. Yang cukup memprihatinkan adalah ketika ada di antara selebriti yang seolah tidak menyadari akan presentasi dirinya di panggung depan sehingga tidak memperhitungkan penilaian publik. Misalnya, beberapa kali seorang angota legislatif selebriti yang berlatar belakang komedian tampil di acara-acara reality show di televisi yang berbau komedi. Celakanya statusnya sebagai wakil rakyat kerap menjadi bahan “olok-olokan” rekan-rekan komedian lainnya. Dari sisi presentasi diri, hal ini, disadari atau tidak, sangat merusak citra dirinya sebagai politisi. Penampilan diri berkaitan dengan konsep diri (self-concept) dari George Herbert Mead (1934), yakni seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri inilah yang kemudian memberikan motif yang penting untuk perilaku orang. Menurut Mead, karena memiliki konsep diri orang memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Para selebriti di panggung politik bagaimanapun telah memiliki konsep diri yang baru berdasarkan pandangan orang lain terhadap diri mereka, bahwa kini mereka adalah politisi, yang oleh Dan Nimmo (1995) dimasukkan ke dalam kategori komunikator politik. Oleh karena itu, seharusnya mereka berperilaku sebagaimana layaknya seorang politisi, tidak lagi seperti selebriti biasa. Mau tidak mau mereka harus fokus dalam bekerja sebagai politisi. Sayangnya, ada di antara mereka yang masih tetap tergoda untuk tampil di dunia hiburan, bahkan sampai sekarang tetap main sinetron. Kenyataan ini jelas dapat menodai konsep diri baru mereka sebagai politisi. Kredibilitas Efektivitas komunikasi akan mudah tercapai ketika kredibilitas komunikator dianggap baik oleh khalayak. Demikian pula komunikasi politik para selebriti di panggung politik. Kredibilitas biasanya didasarkan pada sejumlah aspek seperti keahlian (expertise) atau penguasaan terhadap masalah, kedapatdipercayaan (trustworthiness), kekuasaan (power), yakni kemampuan memengaruhi orang lain dan daya tarik (attractiveness). Dalam konteks daya tarik, tidak dapat dimungkiri, para selebriti dapat memaksimalkannya secara baik. Apalagi konsep daya tarik, meski tidak selalu, sangat berkaitan dengan penampilan fisik komunikator. Para selebriti yang secara umum berpenampilan menarik, ganteng dan cantik, jelas memiliki daya tarik di mata khalayak. Apalagi kalau kemudian ditunjang oleh kemampuan komunikasinya yang piawai seperti yang terlihat pada sebagian selebriti. Sayangnya pada aspek yang bersifat lebih substansial, yakni keahlian, kedapatdipercayaan dan kekuasaan sebagian besar selebriti politik belum mampu memperlihatkannya dengan baik, kecuali satu dua orang. Bahkan sebagian ada yang justeru terganggu kredibilitasnya, misalnya terlibat kasus korupsi seperti Angelina Sondakh, tersangkut masalah keretakan rumah tangga seperti Rachel Maryam, Venna Melinda dan Tere (sudah mundur). Hal ini, terutama kasus korupsi jelas merusak kredibilitas. Untuk kasus kedua juga bisa memperlihatkan kesan bahwa mereka tidak mampu mengelola persoalan internal sendiri. Yang dikhawatirkan munculnya anggapan publik: bagaimana mampu mengelola urusan rakyat, sesuatu yang banyak dituntut dari politisi, jika persoalan rumah tangga sendiri terbengkalai. Setali tiga uang, persoalan keahlian dan kekuasaan selebriti politik juga kerap mendapatkan masalah. Jarang sekali selebriti yang mampu memerankan kedua aspek tersebut dengan baik. Barangkali hanya segelintir selebriti yang mampu melakukannya. Nuruf Arifin, misalnya, bahkan mendapatkan posisi penting di partai sehingga kerap menjadi juru bicara. Demikian pula Rieke yang sering tampil menyuarakan hal-hal berkaitan dengan urusan publik, baik di forum DPR maupun di ruang-ruang publik lainnya. Di forum seperti paripurna kedua selebriti ini sering berbicara sementara yang lain ada yang sesekali bahkan ada yang tidak pernah berbicara sama sekali. Kecenderungan serupa juga bisa ditemukan di panggung politik lainnya, eksekutif. Selebriti yang berhasil menjadi pemimpin daerah umumnya tampil sebagai “ban serep” saja setelah sebelumnya dijadikan vote getter dalam kampanye seperti kasus Rano Karno. Akibatnya, kehadiran mereka, meminjam istilah dalam bahasa Arab, wujuduhu kaadamihi, keberadaannya tidak dianggap. Bahkan ada yang kemudian terpental seperti yang dialami Dicky Chandra sewaktu menjadi Wakil Bupati Garut. Realitas ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi para selebriti politik jika ingin tetap bertahan. Meskipun masyarakat Indonesia, meminjam istilah Rocky Gerung, sebagai masyarakat sinetronik yang menyukai tontonan, tetapi harus disadari bahwa tingkat kritisisme publik juga semakin baik. Jika kredibilitas mereka semakin buruk, besar kemungkinan publik tidak lagi memberikan kepercayaan pada mereka. *Penulis disertasi “Komunikasi Politik Selebritis di Unpad Bandung, 2013. Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute