Senin, 25 November 2013

Elektabilitas Capres, Koran Jakarta 26/11/2013

Elektabilitas Capres Iding R. Hasan* Salah satu kecenderungan yang menarik dalam politik Indonesia adalah bahwa elektabilitas partai politik tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas tokoh-tokohnya. PDIP yang diprediksi bakal unggul pada Pemilu 2014 seperti dilansir sejumlah lembaga survei ternyata tidak menjadikan Megawati Soekarnoputri yang masih mungkin diusung sebagai capresnya berada di urutan teratas. Demikian pula Golkar yang bahkan telah menetapkan secara resmi Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon presiden (capres)nya. Dalam konteks ini, tampaknya, penyelenggaraan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar pada 22-23 Nopember lalu tidak lepas dari dinamika politik khususnya di kalangan internal. Rapimnas dilaksanakan pada bulan Oktober bertepatan dengan momentum ulang tahun partai beringin. Tetapi kemudian DPP memutuskan untuk menundanya sampai bulan Nopember. Bukan tidak mungkin bahwa keputusan penundaan tersebut terkait dengan dinamika politik internal tersebut. Meskipun Golkar sudah secara resmi menetapkan Aburizal (Ical) sebagai capres namun ternyata suara-suara yang menghendaki peninjauan ulang juga tetap berhembus. Beberapa waktu yang lalu salah seorang pengurus DPP, Yorris Raweyai misalnya, pernah melontarkan hal tersebut ke publik. Bahkan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tanjung, yang notabene merupakan tokoh senior, beberapa kali mengungkapkan perlunya partai ini untuk meninjau ulang pencapresan ARB. Meskipun Akbar belakang melunak dengan menyatakan bahwa tidak ada agenda pembicaraan mengenai peninjauan pencapresan ARB di rapimnas, namun pada saat bersamaan ia juga mengungkapkan tentang perlu dilibatkannya kalangan DPD II Golkar. Maklum kaki politik Akbar di kalangan DPD II masih cukup kuat. Memang kemudian DPP Golkar memutuskan untuk tidak melibatkan kalangan DPD II dalam rapimnas. Dinamika internal partai kuning ini sebenarnya bermuara pada masalah utama yang membelitnya, yakni stagnannya perolehan suara Ical dalam berbagai survei. Selama ini posisinya selalu berada di papan tengah dan hanya sedikit naik. Menurut salah satu lembaga survei, yaitu Lembaga Klimatologi Politik (LKP), yang dilakukan pada September kemarin Ical hanya memperoleh 7,3 persen. Angka ini berada di bawah perolehan Jokowi, Wiranto, Prabowo bahkan Jusuf Kalla. Tak Signifikan Memang ada berbagai upaya yang dilakukan Golkar untuk mencoba menaikkan level elektabilitas Ical seperti sosialisasi langsung dengan berkeliling ke berbagai daerah. Atau yang paling gencar adalah melalui iklan politik yang banyak ditayangkan di stasiun-stasiun televisi miliknya sendiri. Namun sejauh ini upaya-upaya tersebut agaknya tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan. Elektabilitas naik tidak signifikan. Bahkan terlalu gencarnya upaya Golkar mengerek elektabilitas ARB seperti melalui iklan politik di televisi justeru bisa menjadi bumerang bagi partai ini. Pasalnya iklan politik yang notabene termasuk kategori kampanye melalui media massa sebenarnya belum diperbolehkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan kata lain, apa yang dilakukan Golkar mengandung potensi pelanggaran kampanye yang tentu saja berpotensi merugikan capresnya. Padahal kalau kita cermati secara saksama, pengaruh televisi sebenarnya tidaklah sekuat seperti yang dibayangkan. Memang salah satu teori dalam media massa seperti teori jarum hipodermik (hypodermic niddle theory) menegaskan bahwa khalayak bersifat pasif sehingga apapun informasi yang disuntikkan media akan diterimanya. Namun sesungguhnya khalayak tidaklah sepasif yang digambarkan apalagi dalam konteks masyarakat yang hidup di negara demokrasi. Yang menentukan adanya orang lain yang berpengaruh (the significant others) atau yang biasa disebut juga sebagai pemuka pendapat (opinion leader). Mereka inilah yang sebenarnya didengarkan pendapatnya oleh khalayak sehingga mampu memengaruhi perilaku pemilih. Tampaknya Golkar terlalu mengandalkan iklan politik tetapi kurang banyak menghadirkan pemuka-pemuka pendapat yang menyokongnya. Pada sisi lain, kehadiran Jusuf Kalla (JK) yang kerap disebut sebagai capres potensial bahkan kini telah melakukan pendekatan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membuat posisi Ical kian sulit. Artinya, kalau sampai PKB benar-benar mengusung JK sebagai capres atau “sekadar” cawapres sekalipun pada Pemilu 2014, jelas potensi pengeroposan suara ARB sangat besar. Besar kemungkinan suara Golkar akan terpecah-pecah. Bagaimanapun juga di tubuh Golkar terdapat terdapat faksi-faksi politik. Selain faksi ARB dan Akbar Tanjung, faksi JK juga diyakini masih cukup kuat. Apalagi JK dikenal memiliki basis pemilih yang kuat terutama di daerah Sulawesi Selatan yang merupakan tempat kelahirannya. Data pada Pemilu 2009 yang lalu saat JK berpasangan dengan Wiranto, misalnya, suara yang diperolehnya di daerah ini sebesar 64,41 persen mengalahkan pasangan SBY-Boediono yang meraup 31,62 persen suara. Dengan demikian, kehadiran JK sebagai salah seorang capres, jika nanti ada yang benar-benar mengusungnya, jelas akan menggerus perolehan suara ARB. Hal ini tentu kian membuat posisi Golkar semakin sulit. Meskipun beberapa tokoh Golkar menegaskan bahwa pencapresan JK tidak berpengaruh banyak, tetapi suara-suara sebagian mereka yang meminta JK “berpamitan” jika ingin maju dari partai lain, jelas merupakan refleksi kekhawatiran Hasil Rapimpnas sendiri, Golkar telah membangun suatu grand design dalam pembangunan Indonesia mendatang sebagai visi negara kesejahteraan 2045. Ini sebagai bahan acuan para kader partai di masa depan. Kondisi di dalam partai beringin masih akan tetap dinamis. Masih ada waktu guna memantapkan capresnya atau perlu evaluasi. Perhitungan harus matang. Di satu sisi melanjutkan pencapresan Ical dengan kemungkinan bisa sulit bersaing di 2014 atau mendengarkan aspirasi perubahan.

Tidak ada komentar: