Jumat, 31 Juli 2015

SBY (tidak) Sama dengan SBY, Pikiran Rakyat 13 Mei 2015

SBY (Tidak) Sama dengan Mega
Oleh: Iding Rosyidin
Description: C:\Documents and Settings\lenovo\Local Settings\Temporary Internet Files\Content.Word\DSCN0833.jpg
            Jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersedia kembali dicalonkan untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres di Surabaya bulan Mei ini, maka hampir pasti tidak akan terbendung. SBY jelas masih merupakan simbol dan ikon dari partai yang berlambang logo mobil merci tersebut yang sulit ditandingi. Dengan kata lain, tanpa harus bersusah-payah pun SBY akan dengan mudah menjadi ketua umum.
            Sebagai pendiri Partai Demokrat SBY telah menjadi tokoh paling penting dari partai politik yang pernah berkuasa tersebut. Magnet dan daya tarik SBY tampaknya masih tetap kuat di internal Demokrat sehingga kehadirannya selalu dinanti-nantikan. Ia tetap menjadi sosok utama yang dapat melakukan kohesivitas Partai Demokrat yang belum akan tergantikan mungkin dalam waktu beberapa lama.
            Dalam beberapa hal, keberadaan SBY di Partai Demokrat sama dengan kedudukan Megawati Soekarnoputeri di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Keduanya dipandang sebagai tokoh pemersatu dan perekat semua faksi politik yang berada di partainya masing-masing. Eksistensi keduanya menjadikan tokoh-tokoh lainnya hampir tidak terlihat atau tidak dapat muncul ke pentas.
            Jika Mega telah maju dan terpilih kembali untuk menjadi Ketua Umum PDIP secara aklamasi, apakah SBY juga akan melakukan hal yang sama? Pertanyaan ini menjadi menarik ketika sejumlah elite Demokrat, terutama yang dikenal sebagai loyalis SBY, rajin menyuarakan ke publik bahwa suara-suara arus bawah seperti yang direpresentasikan sejumlah DPC Demokrat menghendaki agar SBY bersedia dicalonkan kembali sebagai Ketua Umum Demokrat.

Ujian Kenegarawanan
Jika kemudian SBY tergoda untuk maju kembali sebagai calon ketua umum dan bersedia dipilih secara aklamasi seperti halnya Mega, peluangnya memang sangat besar. Tetapi jika langkah itu yang diambil SBY, ada banyak persoalan yang justeru tidak menguntungkan bagi SBY sendiri secara personal.
            Selain akan dipandang tidak konsisten dengan janjinya yang hanya akan mengawal Demokrat sampai kongresnya yang sekarang ini, sisi kenegarawanan SBY juga akan dipertanyakan publik. SBY yang sudah pernah menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode dan dalam beberapa hal dianggap cukup berhasil tentu bisa turun derajat kenegarawanannya jika ia mau “merendahkan” dirinya dengan kembali menjadi ketua umum.
            Justeru sekaranglah saatnya SBY memperlihatkan kepada publik bahwa ia bisa menjadi tokoh nasional atau guru bangsa yang melampaui semua kepentingan parsial partai-partai politik. Ia sudah harus berani keluar dari belenggu-belenggu sempit yang hanya akan mengerdilkan dirinya dalam kerangkeng partai politik.
            Apalagi SBY selama ini dikenal sebagai pemikir politik yang cukup besar. Sekalipun berasal dari dunia militer, tetapi ia bukanlah militer yang banyak bergerak di lapangan pertempuran, melainkan lebih sering berkutat dalam pemikiran. Pengalamannya sebagak Kassospol ABRI di masa lalu menjadi bukti yang tidak dapat dibantah.
            Oleh karena itu, yang diperlukan dari SBY sekarang ini adalah gagasan-gagasan politik besar untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia ke depan. Sebagai pendiri partai yang kemudian dinamainya dengan Demokrat, tentu SBY memiliki pandangan dan gagasan besar tentang nilai-nilai demokrasi yang dijunjungnya. Maka, kalau ia hanya menjadi ketua umum, selain dianggap tidak demokratis karena akan menutup ruang gerak kader-kader potensial lainnya, juga ruang gerak pemikiran demokrasinya sendiri menjadi terbatas.
            Dengan kata lain, bagi SBY wadah yang bernama partai politik sebenarnya terlalu kecil untuk dijadikan tempatnya berkiprah dalam politik Indonesia. Ada banyak ruang atau forum besar lainnya yang lebih tepat bagi SBY untuk melanjutkan perjuangannya sebagai tokoh bangsa.
            Di sinilah terletak ujian yang sesungguhnya bagi SBY. Apakah ia akan tergoda oleh bujukan-bujukan politik yang senantiasa dihembus-hembuskan oleh para loyalisnya agar bersedia kembali menjadi Ketua Umum Demokrat ataukah tidak. Jika tergoda, maka SBY tidak lebih seperti Mega di PDIP yang senantiasa “dimitoskan” bahwa kalau orang lain yang memimpinnya, PDIP akan hancur.
            Tetapi jika pada akhirnya SBY mampu berpikir jernih dan lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar, maka kebesarannya sebagai tokoh politik nasional akan tetap terjaga. Ia tidak bisa disamakan dengan tokoh-tokoh politik lain semacam Mega atau mungkin Aburizal Bakrie (ARB) di Golkar yang mudah dibujuk rayu oleh para loyalisnya.
            Tentu semuanya berpulang kepada SBY sendiri. Apakah ia akan memilih sama dengan Mega atau sebaliknya mengambil sikap yang berbeda dengannya. Masih ada waktu bagi SBY untuk memertimbangkannya.
 
*Penulis, Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur the Political Literacy Institute.

Description: NPWP


               




Pilkada Untuk Rakyat, Suara Pembaruan Kamis 30 Juli 2015

Pilkada Untuk Rakyat
Oleh: Iding Rosyidin
Description: Description: Description: C:\Documents and Settings\lenovo\Local Settings\Temporary Internet Files\Content.Word\DSCN0833.jpg
            Tidak berlebihan kalau disebutkan bahwa pemilihan umum baik pada level nasional maupun lokal sebagai pesta atau hajatan demokrasi. Pasalnya pada momen itulah partisipasi rakyat benar-benar dapat dirasakan dan dilihat secara langsung. Bahkan kegembiraan demokrasi sungguh dapat dinikmati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Pemilu atau pilkada sesungguhnya memang untuk rakyat.
            Kini kegembiraan demokrasi tersebut terancam. Pasalnya di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain di Kota Surabaya, pilkada serentak ternyata tidak begitu menarik perhatian bagi para calon kepala daerah. Alhasil, sampai waktu pendaftaran ditutup kontestan pilkada serentak hanya satu pasangan, yakni Petahana Tri Rismaharini yang kali ini berpasangan dengan Whisnu Sakti Buana.
            Malangnya, kalau sampai pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal, maka penundaan ke pilkada berikutnya menjadi pilihan. Dalam Peraturan KPU No. 12 disebutkan bahwa jika hanya ada satu pasangan calon, maka waktu pendaftaran calon akan diundur selama tiga hari. Jika setelah waktu tambahan tidak juga ada pasangan calon lain, maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda pada periode berikutnya.
            Apakah bijak keputusan menunda pilkada gegara diikuti oleh hanya satu calon pasangan atau calon tunggal?            Haruskah kegembiraan demokrasi yang tengah dinanti rakyat diulur sampai dua tahun dengan asumsi pilkada serentak tahap pertama 2015 dan berikutnya 2017?

Sebuah Hajatan
            Satu hal yang mesti ditekankan adalah bahwa pemilu atau pilkada adalah sebuah hajatan untuk rakyat, bukan untuk pemimpin. Kalau kemudian di sebuah daerah pilkada serentak hanya diikuti oleh satu pasangan calon, maka hal itu tidak ada kaitannnya dengan rakyat sebagai pemilih. Rakyat tetap dapat memilih meskipun hanya ada calon tunggal. Jangan sampai hak itu dibajak oleh pemerintah atau penyelenggara pilkada atas nama peraturan atau undang-undang.
Selain itu, tuduhan dari sementara kalangan yang menganggap pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal sebagai tidak demokratis bahkan berbahaya bagi demokrasi agaknya terlalu berlebihan. Hal ini seperti dikatakan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang mengkhawatirkan bakal adanya skenariosasi calon tunggal oleh kelompok tertentu di pilkada-pilkada berikutnya.
Memang mungkin saja hal itu bisa saja terjadi, tetapi bukan berarti tidak dapat dicegah. Asal semua proses pilkada dilakukan secara demokratis dan transparan, termasuk menerapkan prinsip Luber dan Jurdil, maka potensi tersebut dapat dihadang. Di samping itu, pengawasan dari publik dapat pula dimaksimalkan sehingga skenario tersebut terdeteksi sejak dini.
            Oleh karena itu, tidaklah arif dan bijaksana untuk menunda pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Hemat penulis, sebaiknya pilkada tetap diselenggarakan dengan sejumlah pertimbangan. Pertama meskipun pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon semua proses pilkada dapat berlangsung normal. Sosialisasi, kampanye bahkan debat pun bisa saja tetap dilakukan, misalnya dalam bentuk tanya jawab antara calon dengan para pakar di bidangnya. Meski tidak semarak jika hal itu dilakukan dengan banyak kontestan, tetapi tetap saja bisa menarik perhatian.
            Kedua, penundaan pilkada hanya karena ada satu pasangan calon belum tentu juga dapat memberikan jaminan munculnya pasangan-pasangan lainnya. Bagaimana kalau pilkada ditunda sampai periode pilkada berikutnya sementara pasangan calon tidak juga bertambah, apakah kemudian akan ditunda sampai pilkada berikutnya? Dan jika tidak juga bertambah, apakah seterusnya akan mengalami penundaan?
            Ketiga, penundaan pilkada jelas akan membuat publik kecewa. Di satu sisi, mereka sudah memiliki persiapan untuk berpartisipasi politik dalam pilkada dalam rangka memilih pemimpin mereka, tetapi di sisi lain, mereka ternyata tidak jadi menyalurkan partisipasinya tanpa ada jaminan kejelasan kapan mereka benar-benar akan turut berpartisipasi.
            Keempat, bukan tidak mungkin penundaan pilkada itu justeru merupakan skenario politik dari partai-partai politik tertentu. Seperti diketahui ada partai politik yang memang menginginkan penundaan pilkada karena tengah menghadapi konflik internal yang belum terselesaikan. Kalau pilkada benar-benar ditunda mungkin mereka akan bertepuk tangan. 
            Dengan beberapa pertimbangan di atas, maka pihak penyelenggara pilkada, dalam hal ini KPUD harus berpikir kembali akan keputusan untuk menunda pilkada ke pilkada berikutnya jika hanya diikuti oleh satu pasangan calon atau calon tunggal.

Mekanisme Lain
            Memilih pemimpin dengan calon tunggal sebenarnya bukan hal yang aneh. Justeru dalam konteks Indonesia model pemilihan semacam ini sudah ada preseden yang bisa dijadikan perbandingan, yaitu dalam pemilihan kepala desa (pilkades) yang telah berlangsung lama.
            Dalam pemilihan kepala desa di sejumlah daerah di Indonesia ketika hanya diikuti oleh satu calon atau calon tunggal pemilihan tetap diselenggarakan sebagaimana mestinya. Hanya saja dibuat aturan main. Misalnya calon harus dapat memeroleh 60 persen suara warga desa baru dia terpilih secara sah menjadi kepala desa. Jika tidak, pemilihan diulang.
            Mekanisme pemilihan calon tunggal semacam ini tidak ada salahnya jika diadopsi ke dalam pilkada. Jadi, pilkada tetap dilaksanakan sekalipun hanya ada satu pasangan calon yang menjadi kontestan. Masalah besaran prosentase suara yang mesti diraih pasangan calon tunggal tersebut dapat dibahas bersama-sama. Jika tidak sampai memenuhi prosentase itu, baru pilkada diulang atau ditunda.
            Mekanisme yang sangat sederhana namun elegan ini tampaknya cukup tepat untuk dijadikan solusi dari muncunya pasangan calon tunggal di sejumlah daerah di Indonesia. bisa saja cara mengubah isi pasal di UU Pilkada dengan dikeluarkannya Perppu oleh pemerintah. Sepanjang untuk kebaikan bersama, hal itu pasti akan mendapat dukungan publik.
            Dengan demikian, selain pemerintah melalui pihak penyelenggara tetap dapat melaksanakan pilkada serentak sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan, yang paling penting pemerintah tetap mampu memberikan kegembiraan demokrasi bagi rakyat. Sekali lagi, pemilu atau pilkada sesungguhnya adalah hajatan demokrasi untuk rakyat.

Penulis adalah Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta




Tantangan Rhoma, Koran Sindo Rabu 22 Juli 2015

Tantangan Rhoma
Oleh: Iding Rosyidin
            Tiba-tiba Raja dangdut, Rhoma Irama, mengejutkan jagat politik Indonesia di penghujung bulan Ramadhan. Ia mendeklarasikan partai politik baru, Partai Idaman (Islam, Damai, dan Aman).
Sontak banyak kalangan terheran-heran dengan langkah Rhoma yang pernah digadang-gadang sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014 yang lalu.Pertanyaan pun kemudian muncul di benak banyak orang.
Apakah pendirian partai baru tersebut benar-benar merupakan ijtihad politik dari pelantun lagu-lagu dangdut bergenre religi tersebut atau sebenarnya tidak lebih dari sekadar ekspresi kekecewaan politiknya atas kegagalannya melaju sebagai capres? Dan bagaimana tantangan partai ini di Pemilu 2019 yang akan datang?

Menjual Rhoma
            Setiap partai politik pendatang pasti akan dihadapkan dengan bagaimana cara memeroleh ceruk pasar di tengah persaingan partai-partai politik lainnya yang sudah lebih dulu mendapatkan ceruk pasarnya. Kalau sudah mendapatkan ceruk pasarnya, langkah berikutnya adalah bagaimana ia mampu merebut ceruk-ceruk pasar lain sehingga ceruk pasarnya semakin membesar.
            Dalam perspektif marketing politik, khususnya elemen produk politik, untuk mendapatkan ceruk pasar sebuah partai politik, apalagi yang merupakan pendatang, harus memiliki produk politik yang layak jual. Produk dalam konteks ini adalah person atau individu atau bisa juga program atau partai politik itu sendiri.
            Dalam konteks person atau individu, Partai Idaman tampaknya akan menjadi Rhoma Irama sebagai jualan utamanya. Harus diakui bahwa Rhoma memiliki magnet politik yang cukup besar. Popularitasnya sebagai penyanyi dangdut di kalangan publik Indonesia tidak dapat terbantahkan. Hampir semua kalangan, dari muda sampai tua, laki-laki dan perempuan, umumnya mengenal sosok yang kerap juga disebut Bang Haji itu.
            Atas dasar popularitasnya itu Rhoma dan para pendiri Partai Idaman tampaknya mempunyai optimisme yang cukup besar untuk membawa kesuksesan partai ini. Namun agaknya yang tidak cukup disadari oleh mereka adalah bahwa tingkat popularitas tidak berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas. Dengan kata lain, popularitas Rhoma sebagai penyanyi dangdut tidak berarti sama dengan tingkat elektabilitasnya sebagai calon presiden.
Orang mungkin tahu siapa sosok Rhoma sebagai penyanyi dangdut, tetapi belum tentu akan memilihnya sebagai capres. Kenyataannya tingkat elektabilitas Rhoma di pemilu tidak segegap gempita popularitasnya. Partai berlambang Kakbah, PPP, misalnya, pernah berniat mencapreskan Rhoma, tetapi karena tingkat elektabilitasnya berada di bawah Ketua Umum ketika itu, Suryadharma Ali, niat itu pun urung dilakukan.
PKB sendiri yang sebelumnya telah menyatakan siap mencapreskan Rhoma pada akhirnya juga membatalkannya, boleh jadi karena pertimbangan elektabilitasnya itu. Dalam konteks ini, Rhoma mungkin dapat dibandingkan dengan KH Zainuddin MZ yang pernah mendirikan partai baru ketika keluar dari PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Meski popularitasnya sangat tinggi dengan julukan da’i sejuta umat karena massa yang selalu berjubel saat menghadiri ceramah-ceramahnya, tetapi ternyata tidak sebanding dengan tingkat elektabilitasnya. Partai yang didirikannya pun pada akhirnya tidak dapat bertahan lama.

Faktor Diferensiasi
            Salah satu faktor penting bagi sebuah partai pendatang untuk dapat bersaing dengan partai-partai pendahulunya adalah masalah diferensiasi. Hal ini kian menjadi penting dalam sistem multipartai seperti yang berlangsung di Indonesia. Apakah partai pendatang tersebut mampu melakukan positioning di tengah-tengah partai lainnya dengan karakterisktik pembedanya yang jelas.
Inilah tantangan pertama yang mesti ditaklukkan sehingga bisa meraih pasar yang ditargetkan. Masalahnya faktor diferensiasi inilah yang justeru menjadi salah satu problem besar dalam kehidupan partai di republik ini. Ada banyak partai yang didirikan, entah yang sudah kawakan maupun yang masih baru, tetapi antar satu dengan yang lain tidak terdapat diferensiasi yang signifikan.
Sejauh ini yang dapat dibedakan baru sebatas nama, logo, dan warnanya saja. Di antara partai-partai yang disebut sebagai partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, Demokrat, misalnya, kita sulit menemukan faktor pembeda selain pada nama, logo, dan warnanya. Dalam konteks ini, partai pendatang bentukan Rhoma Irama, Idaman,  jelas tidak akan dapat lepas dari problem tersebut.
Partai ini akan kesulitan untuk memosisikan dirinya dari partai-partai pendahulunya. Tentang identitas kepartaian yang menegaskan sebagai partai Islam, misalnya, Partai Idaman akan berhadapan vis-à-vis dengan partai Islam semisal PKS, PPP, dan PBB yang telah memiliki basisnya masing-masing.
            Dari sudut pandang ini, tampaknya Partai Idaman akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan basis massa (umat Islam) yang telah terbagi kepada ketiga partai pendahulunya tersebut. Kecuali Partai Idaman mampu menawarkan model keislaman yang berbeda dengan yang ditawarkan partai rivalnya itu dan sekaligus memberikan daya tarik tersendiri di kalangan umat Islam Indonesia.
Tentu ini merupakan pekerjaan yang sangat tidak mudah dilakukan. Demikian pula tentang klaim partai pendatang ini yang meskipun berasaskan Islam tetapi bersifat terbuka untuk semua pihak, termasuk kalangan non-Muslim. Penegasan seperti ini telah dilakukan oleh pendahulunya, PKS, tetapi agaknya tidak cukup berhasil, bahkan dalam derajat tertentu memicu konflik internal di antara para kader.
Karena itu, meskipu secara teoretis mudah diucapkan, tetapi dalam praktiknya sulit dilakukan. Rhoma juga akan mengalami hal yang tidak akan jauh berbeda jika melakukan itu. Lagi pula di luar PKS, ada partai lain, yang sekalipun tidak secara tegas menyatakan berasaskan Islam, melainkan nasionalis, tetapi tetap tidak dapat dilepaskan dari umat Islam, seperti PKB dan PAN.
Kedua partai ini jelas berbasis massa Islam, di mana yang pertama terkait dengan ormas Islam terbesar, NU, dan yang kedua dengan Muhammadiyah. Meski tidak diakui secara terang-terangan, tetapi sulit disangkal kebenarannya. Dari penjelasan tersebut, jelas tantangan Partai Idaman sebagai partai pendatang di Indonesia akan sulit untuk mendapatkan ceruk pasarnya.
Kemungkinan besar partai ini akan kerepotan untuk melakukan apa yang dalam marketing politik disebut dengan segmentasi mengingat pasar politiknya yang sempit. Kita tidak tahu apakah Rhoma dan para koleganya di Partai Idaman telah memikirkan masalah tersebut ataukah tidak. Sebagai publik, tentu kita hanya bisa wait and see bagaimana langkah partai pendatang ini ke depan.
Jika ternyata pendirian partai ini tidak dipersiapkan melalui pertimbangan yang matang, maka boleh jadi sikap skeptis publik yang menduga langkah ini hanya sekadar ekspresi kekecewaan sulit dibantah.
           
Penulis, Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta