Selasa, 08 Desember 2009

Mengawal Pansus Angket Century

Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa 1 Desember kemarin mensahkan dan menyetujui usulan 503 anggota Dewan untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Angket Century. Sesuai azas proporsionalitas, Pansus beranggotakan 30 orang dengan komposisi sebagai berikut: Partai Demokrat 8 orang, Partai Golkar 6 orang, PDIP 5 orang, PKS 3 orang, PAN 2 orang, PPP 2 orang, PKB 2 orang, serta Gerindra dan Hanura 1 orang.
Yang menjadi pertanyaan banyak kalangan adalah akankah Pansus Angket Century ini berjalan dengan mulus dalam mengungkap dan membongkar misteri seputar dana talangan (bailout) bagi Bank Centruy berikut dugaan aliran dana tersebut ke berbagai pihak? Ataukah akan ada tangan-tangan siluman yang berupaya sekuat tenaga untuk mengganjalnya dengan, misalnya, membelokkan substansi masalah kepada hal lain yang lebih prosedural dan teknis?

Soliditas
Terbentuknya Pansus Angket Century sejatinya merupakan pertanda baik bagi citra DPR di mata publik dengan catatan jika Pansus mampu melakukan perannya sesuai dengan ekspektasi publik. Oleh karena itu, terbentuknya Pansus tersebut menjadi semacam ujian bagi soliditas, khususnya para inisiator awal Hak Angket Century tersebut.
Dari segi kuantitas penandatangan Angket Century memang cukup menjanjikan, bahkan tercatat yang terbesar dalam sejarah Hak Angket di Dewan selama ini. Seperti yang diungkapkan Maruar Sirait, inisiator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dua minggu lalu berjumlah 139 orang, sementara jam 2 siang (Selasa kemarin) sudah mencapai 357 orang kemudian sore harinya telah bertambah menjadi 503 orang. Dengan jumlah seperti itu seharusnya Pansus tidak perlu ragu dalam melakukan tugasnya.
Namun demikian, sejumlah pihak masih banyak yang meragukan soliditas Pansus Angket Century tersebut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat realitas politik yang ada di Dewan, termasuk yang tercermin di dalam Pansus. Sebagaimana diketahui bahwa para inisiator berasal dari partai yang berbeda-beda, dan bukan tidak mungkin jika masing-masing mempunyai target politiknya sendiri-sendiri, misalnya, antara partai oposisi seperti PDIP, Gerindra dan Hanura dengan partai pendukung koalisi semisal PKS, PAN, PPP dan PKB.
Kita tidak tahu persis apakah, misalnya, PDIP, yang paling pertama menyuarakan kasus ini, memiliki target politik tertentu, apakah sekadar ingin mengungkapkan kebenaran ataukah ada target politik lain dalam jangka panjang seperti meruntuhkan citra SBY di mata publik, bahkan jika ini menjadi liar, bisa jadi pemakzulan Presiden menjadi target berikutnya. Sementata partai lain, semisal PKS, mungkin saja targetnya sekadar memperkuat bargaining position dengan Presiden sehingga jika sewaktu-waktu ada reshuffle kabinet kadernya akan selamat. Perbedaan ini tentu akan mengganggu soliditas Pansus.
Ancaman terhadap soliditas Pansus Angket Century yang menerapkan azas proporsionalitas dalam komposisinya juga bisa muncul dari sejauhmana soliditas partai koalisi pendukung SBY di parlemen yang dimotori Partai Demokrat. Jika soliditas koalisi kuat, cukup berat bagi Pansus untuk melakukan tugasnya. Mereka memiliki senjata yang cukup ampuh, yakni kontrak politik antara mereka dengan SBY. Dengan modal kontrak politik itu Demokrat sebagai pengusung SBY akan menagih janji komitmen partai koalisi. Dengan demikian, masuknya Demokrat dalam Pansus di waktu-waktu terakhir dapat dibaca sebagai gelagat untuk “menjinakkan“ Pansus.
Pada saat yang sama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II diisi oleh kader-kader dari partai koalisi pendukung, bahkan sebagian dari mereka masih menjabat sebagai ketua umum partai sampai hari ini. Oleh karena itu, kekhawatiran sejumlah pihak ketika orang-orang partai mengisi kursi kabinet bahwa akan ada konflik kepentingan (conflict of interest) agaknya akan terbukti dalam Pansus tersebut. Sanggupkah, misalnya, kader PAN di dalam Pansus tetap kritis padahal elite partai ini, Hatta Radjasa, yang disinyalir sebagai calon kuat Ketua Umum PAN, duduk sebagai Menko Perekonomian dan sebelumnya menjadi Ketua Tim Sukses SBY-Boediono?
Bahkan PDIP yang notabene memainkan peran oposisi dan tidak memiliki kader di kabinet pun masih memiliki persoalan dengan posisi Taufik Kiemas (TK) sebagai Ketua Umum MPR. Sebagaimana diketahui, TK memiliki hutang budi kepada SBY dengan pemberian dukungan Partai Demokrat kepada TK sehingga ia terpilih sebagai Ketua Umum MPR. Tentu saja hal ini bisa pula dijadikan salah satu senjata Demokrat untuk melobi PDIP.
Dengan demikian, akan terjadi perang soliditas versus soliditas. Yang pertama soliditas Pansus Angket Century dan yang kedua soliditas koalisi pendukung SBY. Soliditas mana yang lebih kuat, itulah yang memiliki peluang untuk menang.

Pengawalan Publik
Dari catatan di atas tampak ada kekhawatiran bahwa ancaman terhadap soliditas Pansus Angket Century akan menguat seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, pengawalan dari publik menjadi suatu keharusan. Kunjungan Tim 9 sebagai inisiator kepada sejumlah tokoh nasional perlu dimaknai sebagai kesediaan Dewan untuk terus dipantau oleh publik.
Pengawalan publik ini begitu urgen karena pengalaman buruk pansus-pansus DPR sebelumnya. Salah satu yang perlu dipantau adalah “serangan Istana” seperti yang terjadi pada masa Gus Dur. Pansus begitu ngotot, namun ketika Istana menawarkan kursi kabinet melalui reshuffle ada di antara anggota Pansus yang terlihat nyambangin Istana. Hal seperti ini tentu tidak boleh terjadi pada Pansus Angket Century, karena kemungkinan ke arah sana cukup terbuka.
Sebagai publik kita harus terus menyuarakan bahwa Dewan, melalui Pansus ini, sesungguhnya sedang mempertaruhkan kredibilitasnya di mata publik. Jika mereka main-main dengan perannya atau hanya sekadar mencari popularitas, tentu kredibilitas mereka akan anjlok. Pansus harus membuktikan bahwa mereka memang kredibel sebagai wakil rakyat.
Oleh karena itu, kita berharap anggota Pansus Angket Century tidak akan mudah, meminjam istilah inisiator, “masuk angin”, dalam mengemban tugas yang berat ini.

Menakar Peluang Golkar di Jabar

Irianto M.S. Syaifuddin yang dikenal dengan Yance akhirnya terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Partai Golkar Jawa Barat. Pemilihan yang berlangsung cukup lancar tersebut dilakukan dalam Musyawarah Daerah (Musda) VIII Golkar Jabar yang diselenggarakan di Ballroom Hotel Savoy Homann Bandung, Senin (30/11).
Figur dan prestasi
Kemenangan Yance sebagai Ketua DPD Golkar Jabar mengalahkan dua pesaingnya yang tersisa di tahapan akhir, yaitu Eldie Suwandie, anggota DPR RI, dan Dada Rosada, Wali Kota Bandung, tak pelak lagi merupakan kemenangan figur Yance yang kini menjabat Bupati Indramayu untuk periode kedua.
Sosok Yance di kalangan masyarakat Jawa Barat, khususnya Indramayu sangat populer karena berbagai kebijakannya yang mengena di hati masyarakat Indramayu seperti yang tecermin dalam sejumlah peraturan daerah. Meskipun ada perda yang tidak lepas dari kritikan dari sejumlah pihak, tetapi masyarakat Indramayu terus memberikan dukungan kepadanya.
Contohnya, perda tentang madrasah diniyah. Salah satu isinya, APBD berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran tetap untuk madrasah diniyah. Perda ini semula dianggap bertabrakan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma`ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005. Surat ini berisikan larangan pengalokasian anggaran dari APBD untuk pendidikan agama. Akan tetapi, akhirnya masalah itu dapat diselesaikan dengan baik dan Yance pun mendapat respons positif dari masyarakat.
Yance juga dikenal sebagai tokoh yang diakui di tingkat nasional bahkan internasional. Yance pernah diberikan kesempatan berbicara di University of Colombia, Amerika Serikat, dan diundang ke Filipina untuk menjadi pembicara di depan gubernur, wali kota se-Filipina beberapa waktu lalu. Torehan prestasi Yance begitu konkret, seperti suara Golkar tetap unggul di Indramayu padahal hampir di semua daerah di Jabar mengalami penurunan. Kandidat lain belum teruji prestasinya dalam membesarkan partai, sekalipun dalam rekam jejak kepemerintahan cukup berhasil, seperti terlihat dari figur Dada Rosada.
Kedua hal, yakni figur dan prestasi seperti yang dimiliki Yance harus dijadikan modal sosial dan politik yang berharga bagi kader-kader Golkar di Jabar untuk kembali meningkatkan harkat dan martabat partai ini. Dalam konteks sistem pemilu yang berlaku di Indonesia sekarang, jalinan figur dan prestasi merupakan dua hal yang saling mendukung.
Langkah ke depan
Penyelenggaraan Musda Golkar Jabar sesungguhnya dilangsungkan dalam suasana keprihatinan yang cukup mendalam bagi partai beringin ini pasca kekalahannya baik dalam Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres). Wilayah Jabar yang biasanya menjadi lumbung perolehan suara Golkar pada pemilu-pemilu lalu, pada Pemilu 2009 mengalami kemerosotan tajam.
Ungkapan Yance sesaat setelah terpilih, "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun", tampaknya merepresentasikan keprihatian tersebut. Ia juga menegaskan, keterpilihannya sebagai ujian berat untuk mengembalikan kejayaan Golkar, khususnya di Jabar.
Ada beberapa hal yang hendaknya dipertimbangkan Yance dan segenap pengurus baru DPD Golkar Jabar. Pertama, konsolidasi internal pasca-Musda. Setiap berakhir suatu pemilihan yang tidak lepas dari aksi penggalangan tim pendukung, selalu ada residu kekalahan yang jika tidak dikelola dengan baik berpotensi menimbulkan friksi internal. Namun, Yance sudah bertekad merangkul berbagai pihak termasuk kalangan yang tidak mendukungnya pada saat pemilihan guna membesarkan partai beringin.
Kedua, membangun komunikasi yang baik dengan DPD/DPC se-Jabar, antarsesama DPD dan juga dengan DPP. Bagaimanapun isu yang sempat berembus menjelang pemilihan bahwa Ketua Umum DPP Golkar, Aburizal Bakrie, tidak menghendaki Yance lolos menjadi Ketua DPD Jabar karena pada Munas VIII Golkar di Riau kemarin tidak mendukungnya, harus menjadi catatan. Memang isu ini tidak cukup terbukti di dalam Musda kemarin, tetapi bukan berarti kemungkinan ke arah itu hilang sama sekali.
Ketiga, menularkan prestasi. Prestasi Yance sebagai kader Golkar tak terbantahkan. Dengan prestasinya itu, Golkar pun menjadi terangkat seperti terbukti dengan kemenangan mutlak partai ini pada pemilu kemarin. Oleh karena itu, torehan prestasi yang membanggakan Golkar itu selayaknya ditularkan Yance kepada segenap kader Golkar di wilayah Jabar sehingga sama-sama bisa berprestasi.
Jika berbagai prestasi mampu ditorehkan oleh para kader Golkar di Jabar, terutama yang sedang menduduki jabatan publik, peluang untuk meraih kembali kejayaan Golkar di Jabar sangat terbuka.***
Penulis, kandidat doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Minggu, 29 November 2009

Meneladani Ketegasan Ibrahim

Dimuat di Harian Tribun Jabar Kamis, 26 November 2009

Besok Jum’at 10 Dzulhijjah 1431H/27 November 2009 umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Hari Idul Adha atau biasa disebut juga Hari Raya Qurban. Setiap kali merayakan hari besar yang bersejarah tersebut, umat Islam selalu terkenang dengan seorang tokoh sentral yang senantiasa dinapaktilasi jejaknya dan diteladani semua sisi kehidupannya, yaitu Nabi Ibrahim. Banyak hal dari suri tauladan Ibrahim yang sangat relevan untuk direalisasikan oleh umat manusia, terutama para pemimpin mereka hari ini.

Ketegasan
Salah satu teladan penting dari kehidupan Ibrahim adalah ketegasannya dalam mengambil sikap. Resiko seberat apapun siap ia pikul jika memang keputusan itu yang mesti diambilnya, bahkan jika harus kehilangan nyawa sekalipun.
Ketegasan Ibrahim terpancar, misalnya, dalam pengembaraan spiritualnya yang luar biasa ketika ia ingin menemukan Tuhan. Saat melihat matahari, Ibrahim sempat berpikir bahwa itulah Tuhan, tetapi ketika di sore hari matahari itu terbenam, ia segera mengambil kesempulan bahwa tidak mungkin Tuhan seperti itu. Demikian pula ketika melihat bulan yang di malam hari terlihat begitu indah dan anggun, tetapi di siang hari tidak terlihat lagi, Ibrahim kembali menyimpulkan hal yang sama sampai kemudian ia menyadari keberadaan Tuhan yang sesungguhnya. Cara Ibrahim mengambil kesimpulan seperti itu tampak begitu tegas.
Puncak ketegasan Ibrahim adalah ketika ia diperintahkan Tuhan melalui mimpinya untuk menyembelih putera tercintanya, Ismail, sebagai bentuk pengorbanan kepada Tuhan. Sebagai manusia biasa, tentu ia merasa begitu pilu dan tersayat-sayat hatinya menghadapi realitas yang sangat pahit tersebut. Bagaimana mungkin ia tega menyembelih puteranya sendiri, padahal Ismail adalah anak yang ia tunggu-tunggu kelahirannya sampai di usia lanjut. Kini ketika Ismail mulai beranjak remaja Ibrahim harus menyembelihnya justeru oleh tangannya sendiri, sebuah ujian Tuhan yang maha berat.
Tetapi di sinilah ketegasan sekaligus ketabahan Ibrahim. Resiko seberat apapun tak pernah menghalanginya untuk mengambil keputusan. Ia tahu perintah tersebut datangnya dari Tuhan, karenanya, ia tidak mau menolaknya. Ia berikan kepatuhan yang total kepada Tuhan tanpa reserve. Ia tahu hidup dan mati di tangan Tuhan Sang Maha Pencipta. Maka, dengan tegas Ibrahim mengiyakan perintah itu. Ibrahim pun lulus dari ujian, dan akhirnya Tuhan mengganti kurban dengan hewan seperti domba dan sejenisnya seperti yang terjadi hingga sekarang.

Pemimpin Yang “Ibrahim”.
Melihat paparan di atas tampak bahwa ketegasan Ibrahim dalam mengambil sikap tanpa takut kehilangan apapun patut menjadi teladan kita semua. Sayangnya dewasa ini kita kerap menyaksikan para pemimpin kita justeru memperlihatkan hal yang sebaliknya: penuh keragu-raguan, keplin-planan dan ketakutan. Dan yang paling parah adalah tidak siap menghadapi resiko dari keputusan yang diambilnya. Ini semua bermuara pada ketakutan akan hilangnya kekuasaan yang tengah digenggamnya.
Kalau melihat pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai tanggapan resmi atas rekomendasi Tim 8 terhadap kasus Bibit S. Riyanto dan Candra M. Hamzah, --keduanya Ketua KPK non-aktif—dan kasus Bank Century, misalnya, tampak bahwa sikap SBY tersebut tidak tegas atau mengambang. Sebagian kalangan menyebutnya multitafsir, karena memang bisa ditafsirkan macam-macam. Tidak ada penjelasan langkah konkrit apa yang mesti diambil untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Dalam penyelesaian kasus Bibit dan Candra, misalnya, secara implisit SBY menghendaki agar penyelesaiannya dilakukan di luar pengadilan dengan memperhatikan rasa keadilan publik. Namun SBY tidak memberikan langkah konkritnya seperti apa. Ia hanya mengatakan bahwa Polri dan Kejaksaan Agung hendaknya melaksanakan kewenangannya. Apakah ini berarti instruksi kepada kedua institusi itu karena SBY adalah atasannya atau hanya sekadar saran saja, inilah yang agaknya membingungkan.
Akibat dari ketidaktegasan itu, Polri dan Kejaksaan Agung tampaknya tidak merasa terikat dengan pidato SBY tersebut dan celakanya masing-masing institusi itu mengambil langkah sendiri-sendiri, jangan-jangan juga untuk menyelamatkan diri sendiri. Polri, misalnya, mengatakan berkas Bibit-Candra telah diserangkan ke Kejaksaan, tinggal bagaimana kejaksaan menindaklanjutinya. Tidak heran kalau para pengamat mengatakan bahwa Polri telah melemparkan bola panas. Situasi seperti ini sebenarnya tidak akan terjadi kalau SBY tegas dalam mengambil sikap.
SBY boleh jadi melakukan itu secara disengaja. Di satu sisi, ia ingin terkesan –sebagai realisasi politik pencitraan yang selalu ia gunakan—berpihak kepada publik, dan di sisi lain, ia tidak ingin dicap melakukan intervensi dalam ranah hukum. Tetapi sikap seperti itu justeru dapat ditafsirkan bahwa SBY punya “kepentingan” sendiri, misalnya melindungi sesuatu yang tidak diketahui publik. Yang tidak diperhitungkan SBY adalah eskalasi kemuakan publik terhadap berbagai praktik peradilan di negeri ini. Dengan sikapnya itu SBY akan dipandang membiarkan praktik seperti ini terus berlangsung.
Akibat yang paling fatal dari sikapnya itu adalah ketidakpercayaan (distrust) publik sangat mungkin beralih kepada SBY sendiri. Padahal sebelumnya ketidakpercayaan publik masih mengental kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Publik seolah mendapatkan justifikasi bahwa kengototan kedua institusi hukum tersebut untuk memperkarakan Bibit-Candra sebenarnya “direstui” Presiden.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketegasan seorang pemimpin sangat diperlukan oleh publik. Dengan memperingati Hari Idul Adha ini, seyogianya ketegasan Ibrahim dijadikan momentum yang tepat bagi para pemimpin kita untuk mampu bersikap tegas dalam menghadapi berbagai persoalan tanpa takut kehilangan apapun seperti yang telah dicontohkan Ibrahim. Pemimpin yang “Ibrahim” memang sedang kita tunggu-tunggu.

*Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Jumat, 06 November 2009

SBY dan Kerangkeng Citra

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jum'at, 06-11-09

SBY dan Kerangkeng Citra
Oleh Iding R. Hasan
Akhir-akhir ini, sejumlah pihak melayangkan tuntutan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertindak tegas terhadap kasus perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indone-sia (Polri). Tuntutan tersebut dilayangkan, tampaknya didasari sikap pasif SBY terhadap "keganjilan" yang di-perlihatkan Polri dalam kasus tersebut, antara lain Polri membebaskan Anggodo Wi-joyo yang merupakan aktor utama dalam rekaman percakapan yang diputar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/11) lalu.
Alasan Polri bahwa belum ada bukti yang dapat digunakan untuk menahan Anggodo Wijoyo, dinilai banyak ahli hukum sebagai hal yang mengada-ada atau mengulur-ulur waktu. Padahal, banyak aspek yang bisa dijadikan bukti awal, seperti penyaluran uang suap dari Anggoro yang akan diberikan kepada sejumlah pimpinan KPK dan pencemaran nama baik Presiden RI. Kenyataan ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat, pasalnya Polri dengan mudah menahan Bibit dab Chandra tanpa alat bukti yang kuat, tetapi mengapa tidak melakukan hal yang sama terhadap Anggodo?
"Terkerangkeng" citra
SBY memang dikenal sebagai orang yang sangat mementingkan citra. Kemenangannya pada Pemilu 2004 dan 2009, misalnya, banyak dipengaruhi pencitraan dirinya, antara lain sebagai pemimpin yang santun, menghormati semua golongan, dan menghindari konflik. Dalam kepemimpinannya sebagai Presiden RI hingga hari ini, politik pencitraan itu tak pernah terabaikan apalagi ditanggalkan.
Namun, dalam derajat tertentu, politik pencitraan yang dimainkan SBY justru membuatnya menjadi seperti "terkerangkeng" dalam perangkap yang dibuatnya sendiri. Ia menjadi sangat hati-hati dalam melakukan tindakan, sekalipun hal tersebut sesungguhnya harus segera dilakukan. Pertimbangan tentang citra dan kredibilitas, seolah-olah telah membuat SBY "terlalu banyak berpikir" sehingga momentum itu pun menjadi terlepas. Padahal, sikap tersebut justru merugikan SBY sendiri.
Hal ini, misalnya, terlihat dari sikap SBY dalam menghadapi kisruh KPK dan Polri. Awalnya SBY mengatakan, ia bersikap "netral" dan "tidak akan ikut campur" terhadap kasus tersebut. Dengan sikap tersebut, seolah-olah SBY ingin menampilkan dirinya sebagai "tokoh yang berdiri di atas semua pihak" sehingga publik akan menilainya demokratis, tidak partisan, dan seterusnya. Akan tetapi, SBY tidak menya-dari bahwa publik sangat kritis. Mereka tahu bahwa KPK merupakan pihak yang terzalimi, terutama setelah Bibit dan Chandra ditahan tanpa bukti kuat. Oleh karena itu, bersikap netral bagi SBY, justru akan dilihat sebagai tindakan "cuci tangan".
Setelah SBY membentuk Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum yang kemudian lebih dikenal dengan Tim 8, lalu Bibit dan Chandra ditangguhkan penahanannya, publik tampak gembira. Akan tetapi, kegembiraan itu kemudian mulai meredup, manakala tim ini ternyata tidak diberikan hak yang kuat, kecuali sekadar rekomendasi yang tidak ada sanksinya jika ditolak. Ini terbukti, ketika Polri menolak menahan Anggodo. Padahal, Tim 8 merekomendasikan penahanan. Polri juga menolak menonaktifkan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, seperti yang direkomendasikan Tim 8.
Apa tindakan hukum yang diberikan kepada pihak yang menolak rekomendasi Tim 8, dalam hal ini Polri? Inilah tampaknya yang tidak dimiliki Tim 8. Dalam konteks ini, SBY seharusnya cepat tanggap karena dialah yang membentuk tim tersebut. Kalau tim yang dibuatnya kemudian "diremehkan", seperti yang diistilahkan Adnan Buyung Nasution sebagai Ketua Tim 8, oleh lembaga lainnya, seharusnya SBY merasa tersinggung karena hal itu sama saja dengan meremehkannya.
Kalau SBY diam saja atau tidak tersinggung, tentu publik kian curiga bahwa SBY sebenarnya bertindak setengah hati dalam membentuk tim tersebut. Ia melakukan itu hanya untuk mendapatkan citra yang baik dari publik bahwa sebagai presiden, ia mampu memenuhi tuntutan rakyatnya. Jika SBY tetap tidak bersedia "menindak" Polri atas penolakannya terhadap rekomendasi Tim 8, sinyalemen tindakan setengah hati SBY tersebut sulit dibantah.
Pertaruhan
SBY tampaknya harus menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan pertaruhan terhadap citranya di hadapan publik. Ia sudah mela-kukan awal yang baik sekalipun terlambat, yakni membentuk Tim 8. Akan tetapi, tindakan tersebut menjadi sia-sia manakala ia diam saja atas sikap Polri terhadap tim bentukannya.
Oleh karena itu, SBY harus tegas menindak Polri, tanpa takut dianggap campur tangan atau memihak. SBY harus membersihkan Polri, tentu juga kejaksaan, dari oknum-oknum yang telah menodai lembaga tersebut. Bahkan, seharusnya SBY berani mencopot Kapolri, termasuk juga Jaksa Agung atas kegagalan membenahi lembaga yang dipimpinnya.
Sikap tegas seorang presiden seperti inilah sebenarnya yang ditunggu-tunggu publik. Publik pasti akan mendukung tindakan tegas tersebut, sebab publik sudah sangat muak dengan praktik peradilan di negeri ini yang sudah berada dalam titik nadir kebobrokan.***

Cicak Versus Buaya

Dimuat di Harian Mitra-Dialog, Kamis, 05-11-09

Akhir-akhir ini pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik, didominasi oleh hiruk pikuk perseteruan antara Lembaga Pemberantasan Korupasi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Yang pertama, kini terasa sudah lazim didengar oleh khalayak, disebut dengan “cicak”, sedangkan yang kedua, disebut “buaya”.
Menariknya, istilah tersebut justeru “dilahirkan” oleh salah seorang petinggi Polri sendiri, yakni Komisaris Jenderal Susno Duadji, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri. Sejak saat itu, penggunaan cicak versus buaya dalam pemberitaan media terus saja bergulir seolah tak terbendung.

Perspektif Komunikasi
Bagaimana dampak penggunaan istilah cicak dan buaya dari perspektif komunikasi? Proses komunikasi, menurut Richard E. Porter dan Larry A. Samovar (1982), mempunyai sejumlah ciri, antara lain bahwa komunikasi itu bersifat tidak dapat ditarik kembali (irreversible).
Artinya bahwa sekali kita mengatakan sesuatu (pesan) dan seseorang telah menerima dan men-decodenya, kita tidak dapat menarik kembali pesan tersebut dan meniadakan sama sekali pengaruhnya. Sekali penerima (khalayak) telah dipengaruhi oleh suatu pesan, pengaruh tersebut tidak dapat ditarik kembali sepenuhnya. Sumber (pengirim pesan) bisa jadi mengirimkan lagi pesan-pesan lainnya untuk mengubah efek pesan, tetapi efek pertama tak dapat ditiadakan.
Inilah yang tampaknya tengah terjadi di tubuh Polri. Boleh jadi Susno Duadji (pengirim) tidak menyadari bahwa istilah cicak dan buaya (pesan) yang dia ungkapkan pertama kali untuk membandingkan antara KPK dan Polri tidak akan berdampak sedemikian besar. Tetapi ternyata bak air bah, ia terus bergulir dan menyeruak tanpa ada siapapun yang dapat mencegahnya.
Celakanya buaya yang diidentikkan dengan Polri justeru menimbulkan citra buruk lembaga alat negara tersebut. Sebab, buaya kerap dikonotasikan dengan hewan besar yang buas, rakus, kejam, serakah dan sebagainya. Maka, tidak dapat disalahkan kalau khalayak sebagai penerima pesan pada gilirannya mengidentikkan lembaga kepolisian dengan sifat-sifat yang dimiliki buaya.
Yang lebih parah lagi adalah bahwa yang terkena dampak tersebut bukan hanya lembaga kepolisian dan para personalnya, tetapi juga anak-anak para polisi pun kebagian getahnya. Di Batam, misalnya, ada ungkapan keprihatina dari anak-anak polisi “Kami benar-benar prihatin. Kami anak-anak polisi menjadi hilang kepercayaan diri karena termakan stigmanisasi sebagai anak buaya,” seperti diberitakan oleh salah sebuah harian.
Melihat dampak yang sedemikian besar, barulah Kapolri, Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, menyampaikan permintaan maaf, sesuatu yang sebenarnya sudah sangat terlambat. Bukan hanya meminta maaf, bahkan ia juga meminta media untuk berhenti menggunakan istilah tersebut.
Tetapi seperti yang dikatakan Porter dan Samovar, sekali sebuah pesan telah dikatakan kepada khalayak, maka sulit untuk meniadakan efeknya sama sekali. Sekali kepolisian mengidentikkan dirinya dengan buaya, maka pesan penggambaran lembaga itu dengan buaya sulit dihilangkan efeknya. Sekalipun media tidak lagi menggunakan istilah tersebut, misalnya, tetap saja efek itu tidak dapat dihilangkan dari benak khalayak.

Peran Media
Tidak dapat dimungkiri bahwa peran media dalam konteks ini sangat besar. Medialah yang mendorong terus bergulirnya masalah perseteruan cicak dan buaya tersebut. Dan kekuatan media di negara demokrasi seperti Indoensia tentu sulit untuk dibendung.
Apalagi dewasa ini media yang muncul tidak hanya terbatas pada media cetak dan elektronik, melainkan juga media internet atau dunia maya. Pemberitaan tersebut kini justeru semakin semarak di situs-situs jejaring sosial semacam Facebook, Twitter, atau Friendster. Dengan sifatnya yang tidak mengenal batas (borderless) dunia internet mampu menerobos masuk ke berbagai lapisan masyarakat.
Melalui media tersebut pesan penggambaran lembaga kepolisian sebagai buaya terus menggelinding. Demikian pula penggambaran KPK sebagai cicak terus mengemuka. Yang pertama menuai citra buruk sedangkan yang kedua memperoleh reputasi yang baik karena identik dengan yang terzalimi.
Tidak heran kalau di Facebook kita menemukan sejuta dukungan untuk Bibit-Chandra, dua pimpinan KPK non-aktif yang digambarkan sebagai “korban” kebuayaan lembaga kepolisian. Tetapi kita tidak menemukan di situs yang sama kelompok yang mendukung lembaga kepolisian.
Dari catatan di atas dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya bagi jajaran lembaga kepolisian, sebenarnya juga sangat penting bagi lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, untuk memahami komunikasi di dalam kerja-kerja mereka.
Dalam konteks ini, keterampilan berkomunikasi saja tampaknya tidak cukup, seperti pandai berbicara atau bahkan bersilat lidah. Kalau hanya itu, para petinggi Polri sekarang ini sangat handal. Tetapi yang lebih penting adalah harus memahami komunikasi dengan berbagai perspektif, sifat dan karakteristiknya. Bagaimanapun dalam ilmu komunikasi setiap perilaku memiliki potensi komunikasi. Dalam bahasa Porter dan Samovar, kita tidak dapat tidak berkomunikasi (we can not not communicate).
Inilah setidaknya pelajaran yang sangat berharga bagi Polri di masa mendatang dalam melakukan kerja-kerja kepolisiannya.

Minggu, 11 Oktober 2009

Dilema Sikap Politik Golkar

Dimuat di Harian Koran Jakarta, Senin, 12-10-09

Sebagaimana telah diprediksikan banyak kalangan Aburizal Bakrie (Ical) akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang baru menggantikan Jusuf Kalla (JK) pada Musyawarah Nasional (Munas) VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, dari 5 -8 Oktober. Perbedan perolehan suaranya dengan Surya Paloh (SP) sebenarnya tidak terpaut terlalu jauh, yakni 296 untuk Ical dan 240 untuk SP, tetapi karena suara Ical melebihi 50%, maka pemilihan cukup dilakukan satu putaran saja.
Pertanyaan yang patut dikedepankan adalah bagaimana masa depan Golkar di bawah kepemimpinan Ical. Akankah partai beringin ini mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat paling tidak untuk masa lima tahun ke depan sehingga secara perlahan-lahan mampu bangkit dari keterpurukan, ataukah sebaliknya partai ini akan kian terperosok secara lebih mendalam dari sekarang?



Problem Pencitraan
Kemenangan Ical dalam perebutan kursi orang nomor satu di partai beringin ini tentu disambut gembira oleh para pendukungnya. Eforia kegembiraan begitu membahana di Hotel Labersa, tempat diselenggarakannya Munas sesaat setelah Ical dinyatakan sebagai pemenang. Namun, orang-orang Golkar seyogianya tidak berlebih-lebihan dalam menyambut kemenangan ini. Pasalnya, kemenangan Ical sesungguhnya menyisakan banyak problem yang jika tidak dikelola dengan baik justeru akan menjadi bumerang bagi Golkar. Antara lain adalah yang terkait dengan citra partai dan Ical secara personal.
Setidaknya ada beberapa hal yang patut diwaspadai terkait dengan citra tersebut. Pertama, kemenangan Ical secara gamblang mempertontonkan bahwa kecenderungan pragmatisme politik sangat dominan di tubuh Golkar. Sebagaimana diketahui bahwa Ical yang didukung oleh Akbar Tandjung (AT) dan Agung Laksono (AL), sehingga dikenal dengan Triple A, adalah kandidat yang menjanjikan Golkar akan tetap berada dekat dengan kekuasaan, atau tidak akan menjadikannya partai oposisi. Sesaat setelah dinyatakan menang, Ical kembali mengatakan hal tersebut. Bahkan saat ditanya jika ada kader Golkar yang ditarik ke dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Ical mempersilahkannya tanpa harus mengundurkan diri dari kepengurusan DPP jika yang bersangkutan adalah pengurus.
Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas sikap politik Golkar di bawah kepemimpinan Ical paling tidak untuk lima tahun yang akan datang. Harapan publik bahwa partai ini bisa memainkan peran sebagai oposisi sehingga dapat mengawasi jalannya pemerintahan musnah sudah. Sayangnya inilah justeru yang akan mempuburuk citra Golkar di mata publik. Publik boleh jadi akan menilai bahwa partai beringin tidak pernah bisa lepas dari jaring kekuasaan dalam hal eksistensi diri. Ia seolah anak kecil yang tidak pernah bisa dewasa karena selalu tergantung pada ibunya. Citra seperti ini tentu sangat merugikan bagi Golkar di masa depan.
Kedua, politik uang (money politics). Pada Munas VIII di Pekanbaru, Riau kali ini aroma politik uang begitu menusuk. Secara terang-terangan para pendukung kandidat ketua umum mengakui bahwa memang uang berseliweran di hadapan mereka sebagai iming-iming untuk memilih seorang kandidat tertentu. Yuddy Chrisnandi, kandidat termuda dan diduga paling tidak “bergizi” mengatakan bahwa menjelang hari H, besaran harga satu suara berkisar antara 500 juta sampai 1 milyar. Dalam konteks ini, kemenangan Ical diduga sangat terkait dengan politik uang di atas.
Politik uang yang begitu gamblang dipertontonkan dalam Munas VIII tersebut sesungguhnya akan memperburuk citra Golkar di mata publik. Apalagi ada di antara para elite Golkar yang mengatakan bahwa politik uang tidak masalah seperti yang diungkapkan Muladi, salah seorang petinggi partai dan juga pendukung Ical. Sinyalemen ini tentu terasa sangat menyakitkan bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang justeru tengah menderita baik karena adanya musibah seperti di Padang, Sumatera Barat, maupun karena hidupnya memang berada di bawah garis kemiskinan. Uang sebanyak itu dihamburkan hanya untuk satu malam jelas sangat mencabik-cabik perasaan masyarakat. Jangan salahkan kalau mereka nanti antipati pada partai ini.
Ketiga, citra personal Ical. Citra Ical sendiri pada tahun-tahun terakhir ini tidak cukup bagus khususnya jika dikaitkan dengan kasus Lapindo meski para pendukungnya selalu mengatakan hal itu tidak berkaitan. Tetapi bagaimanapun publik sudah terlanjur mengetahui bahwa Ical bertanggungjawab terhadap kasus Lapindo. Apalagi ketika sebelum Munas Ical pernah berjanji ia akan menggelontorkan uang Rp. 1 triliun untuk kepentingan sekretariat Golkar dan operasional. Bagi para korban lumpur Lapindo kenyataan ini tentu terasa sangat menyakitkan karena untuk mendapatkan ganti rugi yang tidak seberapa saja mereka harus bersusah payah bahkan sebagian ada yang belum berhasil. Sementara orang yang dianggap paling bertanggungjawab begitu mudahnya menggelontorkan uang milyaran untuk kepentingannya sendiri.

Kerja Keras
Dari catatan di atas jelas Golkar di bawah kepemimpinan Ical harus bekerja ekstra keras jika ingin mendapatkan ciitra yang baik di mata rakyat. Janji Ical sebelum Munas bahwa Golkar akan mengedepankan berbagai program prorakyat harus benar-benar direalisasikan. Kalau tidak, tentu Golkar akan semakin ditinggalkan rakyat.
Sayangnya sikap politik Golkar yang memilih untuk tetap berdekatan dengan kekuasaan dalam derajat tentu akan menyulitkannya untuk menunjukkan citra kerakyatannnya itu. Saat pemerintahan SBY-Boediono mendapatkan apresiasi dari rakyat karena berbagai program kerakyatannya, sudah pasti yang akan mendapatkan keuntungan politik adalah Partai Demokrat yang notabene pengusung SBY. Sebaliknya saat pemerintah gagal, Golkar pun akan ikut kena getahnya sementara untuk melakukan kritik terhadap program tersebut sulit dilakukan karena ada kadernya di kabinet. Inilah dilema Golkar dengan sikap politiknya itu.

*Penulis adalah Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

Kepemimpinan Baru Partai Beringin

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jum'at, 09-10-09

Musyawarah Nasional (Munas) VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober akhirnya menetapkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang baru, menggantikan Jusuf Kalla (JK). Dengan perolehan suara di atas 50% yakni 296 suara dari total suara 536, Ical berhasil memenangi pemilihan ketua umum tersebut secara aklamasi.
Langkah ke depan
Persoalan yang menarik untuk dikemukakan adalah bagaimana langkah Golkar di bawah kepemimpinan Ical. Tentu ada banyak hal yang harus diselesaikan Golkar pascamunas yang sempat memanas itu. Pertama, konsolidasi internal partai. Semua pihak di dalam internal Golkar yang telah mengalami polarisasi karena terlibat aksi dukung-mendukung terhadap calon ketua umum sudah semestinya melupakan dan mengakhiri semua pertikaian yang telah terjadi. Persaingan sudah selesai dan yang tersisa adalah memberikan dukungan sepenuhnya kepada ketua umum terpilih. Dalam konteks ini diperlukan kearifan dari ketua umum terpilih untuk bersedia merangkul semua pihak, terutama yang berseberangan dengan dirinya.
Memang bukanlah tugas yang mudah bagi pimpinan baru Golkar untuk menyelesaikan sejumlah problem internal partai beringin ini karena konflik internal yang menderanya, bukan hanya terkait dengan saat munas, melainkan sudah berlangsung lama paling tidak sejak masa kepemimpinan Jusuf Kalla. Salah satu kekalahan Golkar baik dalam pemilu legislatif maupun presiden adalah adanya konflik internal tersebut. Oleh karena itu, masalah penyelesaian konflik internal tersebut harus dijadikan prioritas pertama.
Kedua, harmonisasi DPP dengan DPD baik di tingkat satu maupun dua. Salah satu kelemahan Golkar pada masa kepengurusan JK adalah kurang harmonisnya DPP dengan DPD-DPD. Hal ini antara lain diakibatkan jarangnya JK turun ke bawah mengunjungi DPD. Ini berbeda dengan masa kepengurusan Akbar Tandjung yang rajin sekali menyambangi para pengurus Golkar di daerah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada masa Akbar Tandjung, soliditas antarpengurus partai di tubuh beringin begitu kuat, sementara pada masa JK hal yang sebaliknya yang terjadi. Masih segar dalam ingatan kita ketika Golkar mendeklarasikan JK yang berpasangan dengan Wiranto sebagai calon presiden, sejumlah pengurus DPD malah mengadakan pertemuan dengan Akbar Tandjung yang notabene pilihan mereka berseberangan dengan keputusan partai. Oleh karena itu, tugas Ical ke depan adalah harus bersedia dan sesering mungkin melakukan kunjungan ke pengurus-pengurus partai di daerah. Keberadaan Akbar Tandjung di kubu Ical tentu akan sangat membantu dalam hal ini.
Ketiga, program prorakyat. Di masa depan Golkar harus berusaha mengedepankan berbagai program yang memihak kepada rakyat atau yang berorientasi pada bagaimana menyejahterakan rakyat. Banyak pihak yang menilai bahwa Golkar sangat pragmatis sekaligus oportunis di mana kepentingan segelintir orang (elite partai) yang dikedepankan. Oleh karena itu, tugas Golkar ke depan adalah bagaimana merebut hati rakyat dengan program-program yang memang memihak kepada kepentingan mereka.
Problem
Sayangnya, ada sejumlah problem terkait dengan kepemimpinan baru Golkar di bawah nakhoda Ical yang salah-salah bisa menjadi bumerang bagi partai ini. Pertama, terkait dengan pilihan Ical untuk membawa Golkar berhubungan mesra dengan pemerintah atau dengan kata lain, menutup pintu Golkar untuk beroposisi.
Sikap politik Golkar ini sesungguhnya akan menjadi dilema bagi partai ini terutama ketika dikaitkan dengan tuntutan agar partai ini mengedepankan program-program prorakyat. Ketika misalnya pemerintahan SBY-Boediono meluncurkan program yang ternyata positif di mata rakyat, tentu saja yang akan mendapatkan keuntungan politik adalah Partai Demokrat yang mengusung SBY. Sebaliknya saat program itu dinilai antirakyat, Golkar justru akan kena getahnya sementara untuk melakukan kritik terhadap program tersebut sulit dilakukan karena ada kadernya di kabinet.
Kedua, citra Ical di mata rakyat tidak cukup bagus khususnya jika dikaitkan dengan kasus Lapindo meski para pendukungnya selalu mengatakan hal itu tidak berkaitan. Akan tetapi, bagaimanapun publik sudah telanjur mengetahui bahwa Ical bertanggung jawab terhadap kasus Lapindo. Apalagi ketika sebelum munas, Ical pernah berjanji akan menggelontorkan uang Rp 1 triliun untuk kepentingan Sekretariat Golkar dan operasional. Banyak orang yang menilai begitu mudahnya Ical mengeluarkan uang untuk kepentingannya sementara untuk ganti rugi orang-orang yang telantar karena semburan lumpur sangat sulit. Tentu hal ini akan menjadi catatan tersendiri di benak rakyat yang sayangnya bukan catatan yang baik.
Dengan demikian, Golkar di bawah kepemimpinan Ical menyimpan banyak masalah yang di masa depan boleh jadi akan membuat Golkar kian terpuruk jika tidak diselesaikan secara serius oleh para pengurus baru. ***
Penulis, kandidat doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Senin, 31 Agustus 2009

Menyoal Koalisi Besar

Dimuat di Harian Tribunjabar, 18-08-09

Pasca kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli 2009 ada semacam kecenderungan bahwa SBY hendak merangkul berbagai pihak untuk membentuk koalisi besar yang akan mendukung periode kepemimpinan keduanya. Hal ini terlihat dari intensifnya pendekatan yang dilakukan Partai Demokrat (PD) terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan dalam derajat tertentu dengan Partai Golkar (PG). Padahal kita tahu bahwa kedua partai besar tersebut merupakan pengusung pasangan pesaing SBY-Boediono, yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (PDIP) dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto (Golkar).
Dengan PDIP, misalnya, sekarang ini santer diberitakan bahwa telah ada deal-deal politik bahwa partai yang pada lima tahun yang lalu menjadi oposisi itu akan mendapatkan jatah empat kursi di kabinet mendatang. Dan yang paling menohok adalah kabar tentang dukungan Demokrat terhadap pencalonan Taufik Kiemas sebagai Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan dengan Golkar disinyalir bahwa orang-orang SBY belakangan ini rajin bermanuver untuk menggolkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Ketua Umum PG pada Munas Oktober mendatang. Sebab, kalau Ical, yang notabene dekat dengan SBY, menang jalan untuk bermesraannya kembali Demokrat dan Golkar tidak akan menemui aral rintangan berarti. Golkar sendiri memutuskan untuk mempercepat Munas ke awal Oktober dari jadwal seharusnya, Desember, sesungguhnya karena ingin mempersiapkan kader-kadernya untuk jabatan menteri di kabinet SBY-Boediono.

Anomali
Kecenderungan di atas sebenarnya dapat dikatakan sebagai anomali politik karena beberapa alasan. Pertama, kemenangan pasangan SBY-Boediono dari dua pasangan lainnya cukup telak, yakni kurang lebih 60% dan sebaran suaranya juga merata di setiap daerah, karenanya pilpres pun berlangsung hanya satu putaran. Dengan modal kemenangan yang besar ini SBY seharusnya tidak perlu mengajak lagi partai lain ke dalam koalisi yang telah mengusungnya pada pilpres kemarin, yakni PKS, PAN, PKB, PPP dan sejumlah partai kecil.
Kedua, Undang-undang (UU) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru-baru ini diputuskan telah menetapkan bahwa partai pemenang pemilu otomatis berhak menjadi Ketua DPR. Dengan demikian, Ketua DPR mendatang akan dipegang oleh Demokrat. Artinya, baik eksekutif maupun legislatif telah berada dalam genggaman SBY, yang notabene merupakan Ketua Dewan Pembina di PD. Maka, kekhawatiran SBY bahwa parlemen akan menjadi “batu sandungan” berbagai kebijakan yang akan dikeluarkannya tidak akan terjadi atau setidaknya musykil terjadi seperti pada masa kepemimpinan pertamanya (dengan JK).
Ketiga, komitmen SBY untuk mengedepankan kalangan profesional di dalam kabinetnya tentu akan terganggu. Pasalnya, PDIP dan Golkar pasti mengharapkan kader-kadernya akan dipilih SBY sebagai pembantunya dalam kabinet. Padahal partai-partai yang tergabung dalam koalisi SBY-Boediono pada pilpres kemarin tentu mengharapkan hal yang sama. Dengan kondisi seperti ini, kebijakan SBY untuk merangkul lebih banyak kalangan tersebut justeru akan memperumit proses penyeleksian calon-calon menterinya. Dengan kata lain, SBY sebenarnya tengah menambah pekerjaan baru.
Memang di satu sisi pilihan SBY di atas bisa dibaca sebagai keinginannya agar masa pemerintahannya kelak berlangsung stabil, aman, tanpa ada riak-riak gangguan dari kelompok manapun sehingga ia dapat membangun negeri ini dengan tenang. Tetapi di sisi lain, pilihan tersebut justeru akan menimbulkan ketimpangan tatanan demokrasi yang sedang kita rintis sejak reformasi 1998. Partai-partai besar semacam Golkar dan PDIP yang sebenarnya diharapkan bisa memerankan oposisi sebagai penyeimbang pemerintah, sekarang justeru ikut ke dalam irama orkestra pemerintahan dengan dirijennya SBY.

Check and Balances
Jika koalisi besar yang didambakan SBY tersebut benar-benar terjadi, maka lonceng kematian demokrasi hanya tinggal menunggu waktu saja. Masa suram demokrasi seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru di mana parlemen hanya berfungsi sebagai “stempel” kebijakan pemerintah bukan tidak mungkin akan terulang kembali.
Check and balances dalam kehidupan demokrasi sejatinya merupakan conditio sine qua non. Demokrasi justeru akan berlangsung dan bertahan hidup kalau ada mekanisme check and balances. Kritikan dari pihak oposisi sebagai bentuk pengejawantahan dari mekanisme tersebut akan menjadi penyeimbang terhadap berbagai pandangan dan kebijakan pemerintah.
Sebaliknya, kalau mekanisme tersebut tidak ada, maka demokrasi akan kehilangan rohnya. Demokrasi seolah tidak punya kaki karena telah diamputasi oleh kehendak sebagian elite yang ingin berjalan tanpa ada satupun duri yang menghalanginya. Dengan demikian, SBY kini sedang mempertaruhkan masa depan demokrasi di republik ini.

*Penulis adalah Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Plus-Minus Tommy Bagi Golkar

Dimuat di Harian Koran Jakarta, 18-08-09

Rencana keikutsertaan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Sang Pangeran Cendana, dalam kontestasi perebutan Ketua Umum Partai Golkar (PG) pada Musyawarah Nasional (Munas) 4-7 Oktober 2009 mendatang telah menggoncangkan jagad perpolitikan tanah air. Hampir semua kalangan terkaget-kaget atas rencana yang terkesan dadakan tersebut. Mengapa Tommy tiba-tiba tergiur untuk kembali berpolitik setelah sekian lama “menyepi” dari dunia politik? Apakah ia mempunyai misi untuk mengembalikan trah Cendana ke dalam partai yang dibesarkan ayahnya tersebut? Ataukah ada kalangan internal Golkar sendiri yang mencoba “menarik” Tommy untuk ikut membenahi partai yang tengah terpuruk tersebut pasca kekalahannya pada pileg dan pilpres kemarin?

Skenario
Sejumlah pihak mencoba menganalisis kembalinya Tommy ke dalam ranah politik. Setidaknya ada dua skenario yang bisa dibaca dalam konteks ini. Sekenario pertama melihat bahwa rencana Tommy tersebut berangkat dari keinginannya sendiri untuk kembali membenahi Golkar. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang terdekatnya, Tommy sangat prihatin dan tidak rela melihat Golkar yang telah dibesarkan ayahnya itu kini mengalami ketepurukan yang cukup parah. Oleh karena itu, ia merasa terpanggil untuk membawa Golkar kembali ke masa jayanya.
Selain itu, Tommy disinyalir banyak pihak sebenarnya tidak rela kalau Golkar dipimpin oleh Aburizal Bakrie (Ical), terutama karena Ical berkolusi dengan Akbar Tanjung dan Agung Laksono yang dikenal dengan Triple A. Sebagaimana diketahui Akbar Tanjung termasuk di antara sejumlah menteri yang dicap keluarga Cendana sebagai brutus (Marcus Junius Brutus, seorang tokoh di zaman Romawi Kuno pada 85-42 SM yang telah berkhianat kepada pemimpinnya, Julius Caesar) karena dianggap menusuknya dari belakang dengan melakukan pengunduran diri ketika Soeharto baru saja mengumumkan dirinya tetap bertahan dari tuntutan massa untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan modal finansial yang boleh jadi setara dengan Ical, Tommy diyakini bisa menjadi pesaing paling berat.
Di luar itu, Tommy sendiri tentu memiliki perhitungan matang untuk terjun kembali ke politik. Setelah sukses di bisnis, ia tentu memerlukan satu kaki lagi yang dapat menyokong bisnisnya, dan itu terdapat dalam politik. Bisnis dan politik bagaimanapun merupakan dua sisi dari mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia kecenderungan menguatnya hubungan bisnis dan politik bukanlah hal yang aneh.
Adapun skenario kedua melihat bahwa sebenarnya Tommy justeru “ditarik” masuk oleh elite Golkar sendiri. Dalam konteks ini, Tommy boleh jadi akan dimanfaatkan oleh kandidat tertentu untuk menyaingi Ical sebagai kandidat terkuat hingga saat ini. Tommy yang merupakan kader Golkar yang sangat “bergizi” tentu mempunyai potensi besar. Persoalan yang dapat menghadang Tommy, seperti belum pernah menjadi pengurus DPP PG selama satu periode tidaklah dirisaukan benar, sebab dengan model politik transaksional yang demikian kuat di tubuh pohon beringin tersebut, apapun bisa diselesaikan melalui transaksi.

Plus-Minus
Terlepas dari dua skenario di atas, bagaimana sebenarnya peluang Tommy untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Menurut hemat penulis, Tommy sebenarnya mempunyai banyak keunggulan dari kandidat-kandidat lainnya, yakni Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Ferry Mursyidan Baldan dan Yuddy Chrisnandi. Sayangnya keunggulan-keunggulan Tommy tersebut pada saat yang sama justeru bisa sekaligus menjadi kelemahannya.
Pertama, Tommy adalah trah Cendana. Tidak dapat dimungkiri bahwa Golkar lahir (saat itu bernama Sekber Golkar) dan dibesarkan oleh Soeharto yang notabene ayahnya Tommy. Banyak tokoh politik negeri ini yang menjadi besar melalui partai ini. Oleh karena itu, Golkar hingga sampai saat ini tidak akan bisa melupakan jasa Soeharto meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini anak-anak Soeharto tidak aktif di Golkar. Dengan kenyataan ini tentu peluang Tommy cukup besar.
Namun demikian, sejak masa reformasi keluarga Cendana mendapat stigma yang buruk dari masyarakat sebagai penumbuhsubur KKN, penindas rakyat dan sebagainya sehingga apapun yang terkait dengan keluarga ini kerap dianggap buruk oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, jika Golkar dipimpin Tommy, bukan tidak mungkin partai beringin ini akan semakin terpuruk. Golkar Baru yang diintrodusir Golkar di bawah kepengurusan Akbar Tanjung –pada masa Jusuf Kalla (JK), hampir tidak pernah lagi didengungkan- akan semakin tenggelam.
Kedua, modal finansial Tommy, meskipun belum pernah diungkap ke publik sehingga tidak diketahui menjadi orang terkaya keberapa di negeri ini, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengan Ical. Dengan kemampuan dana yang melimpah ditambah kultur politik partai yang sulit lepas dari politik uang (money politic) tidaklah sulit bagi Tommy untuk terus melenggang ke bursa persaingan. Namun, realitas ini pada saat yang sama juga akan kian menahbiskan bahwa partai beringin ini masih kental dengan aroma uang dan pragmatisme politik. Hal ini tentu akan mendapatkan sentimen negatif dari rakyat.
Ketiga, dari aspek citra, Tommy sangat terbantu dengan wajahnya yang ganteng. Tidak dapat dimungkiri bahwa khalayak Indonesia, terutama kalangan perempuan, kadang terpengaruh oleh penampilan fisik seorang tokoh. Dalam konteks ini, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cukup terbantu oleh penampilannya yang juga cukup genteng. Hanya saja citra Tommy ternoda oleh berbagai kasus yang pernah melilitnya, bahkan ia pernah divonis penjara 15 tahun dalam kasus pembunuhan seorang hakim. Selaian itu, Tommy juga kurang ditunjang oleh rekam jejak sebagai politisi yang berhasil. Pengalaman politiknya hanyalah sebatas menjadi anggota Fraksi Karya Pembangunan di MPR.
Namun demikian, semua terpulang kepada orang-orang Golkar sendiri karena merekalah yang akan memilih. Apakah mereka akan memilih ketua umumnya hanya berdasarkan kepada pertimbangan jangka pendek semata atau didasarkan pada pandangan jauh ke depan, yakni mereformasi partai ini sehingga bermetamorforsis menjadi partai yang benar-benar mengayomi rakyat banyak, bukan segelintir elitenya. Kita akan lihat pada saat Munas nanti.

Selasa, 18 Agustus 2009

Dilema Partai Golkar

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 18-08-09

Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) V Partai Golkar di Kantor DPP PG, Slipi, Jakarta Barat, pada Kamis malam kemarin akhirnya memutuskan bahwa Musyawarah Nasional VIII akan diselenggarakan di Pekanbaru, Riau pada 4 – 7 Oktober. Sedangkan Makassar yang bersaing untuk menjadi tuang rumah disepakati sebagai lokasi cadangan. Semua pihak pada akhirnya menyepakati keputusan tersebut, termasuk Aburizal Bakrie yang tadinya ngotot supaya jadwal Munas dipercepat pada akhir bulan September atau awal Oktober 2009.
Meskipun dalam acara Rapimnas tersebut tidak dibicarakan masalah-masalah yang akan dibahas pada Munas, tetapi terlihat dari berbagai pernyataan para elite Partai Golkar bahwa partai ini ingin melakukan konsolidasi diri, terutama akibat kekalahannya baik pada Pemilihan Legislatif (Pileg) April 2009 maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli 2009. Dalam konteks ini, semua kandidat ketua umum, yakni Aburizal Bakrie (Ical), Surya Paloh, Ferry Mursyidan Baldan dan Yuddy Chrisnandi bersepakat tentang perlunya Golkar berkonsolidasi.

Menguatnya Pragmatisme
Pasca kekalahan Golkar baik dalam pileg maupun pilpres ada dua isu utama yang berhembus pada tubuh partai beringin tersebut. Pertama, adalah isu apakah Munas dipercepat menjadi Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) dari jadwal semula yaitu bulan Desember. Kedua, isu apakah partai ini akan tetap berada dalam pemerintahan atau keluar menjadi partai oposisi.
Dengan disepakatinya waktu penyelenggaraan Munas pada bulan Oktober mendatang, berarti isu utama sekarang adalah apakah Golkar akan memutuskan tetap di pemerintahan atau menjadi oposisi. Kubu yang menghendaki opsi pertama direpresentasikan oleh para elite Golkar yang kini memegang jabatan baik pada eksekutif maupun legislatif, seperti Aburizal Bakrie (Ical), Andi Matalata, Agung Laksono, sedangkan kubu yang memilih opsi kedua direpresentasikan mereka yang berada di luar pemerintahan seperti Sultan Hamengkubuwono X, Syamsul Muarif dan kalangan muda dengan tokoh utamanya Yuddy Chrisnandi.
Dari perkembangan situasi yang terjadi pada rapimnas kemarin tampaknya opsi yang pertama sangat dominan. Kubu yang menjadikan Ical sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar mendapatkan lebih banyak dukungan dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I. Kubu yang dikenal dengan Triple A tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung dan Agung Laksono, diyakini bakal memilih merapat kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Permintaan kubu ini agar Munas dipercepat tidak lain agar mereka dapat “mempersiapkan” para kadernya menjelang pembentukan kabinet baru SBY-Boediono.
Apa yang berlangsung pada tubuh Partai Golkar di atas mengindikasikan sejumlah hal. Pertama, pragmatisme politik masih begitu dominan di mana kepentingan politik praktis, yakni mendapatkan kue kekuasaan, seolah menjadi ruh perjuangan politik mereka. Hal ini kian memperkuat sinyalemen bahwa Golkar tidak akan pernah bisa hidup tanpa pemerintah.
Kedua, kekuatan uang adalah segala-galanya bagi para elite Golkar. Artinya, orang-orang yang berhak memimpin Golkar adalah mereka yang berkantong tebal. Sedangkah yang hanya mengandalkan idealisme dengan sendirinya akan tersingkir dari arena. Dalam konteks inilah, peluang Ical untuk menjadi ketua umum partai ini paling besar dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya.

Dilema
Menurut hemat penulis, menguatnya opsi untuk tetap berada dalam pemerintahan bagi Golkar membawa dilema tersendiri yang dalam derajat tertentu justeru minimbulkan citra buruk partai ini. Pertama, meskipun kalau Golkar tetap berada dalam pemerintahan akan mendapatkan keuntungan politik, tetapi sejatinya kerugian politiknya akan lebih besar. Citra bahwa partai ini bergantung sepenuhnya pada pemerintah akan terus melekat di benak masyarakat.
Kedua, dengan opsi tersebut Golkar seakan tidak perna mau belajar dari kesalahan. Perilaku elite partai ini yang tetap memperlihatkan kecenderungan Orde Baru, tentu akan menjadi catatan buruk di mata rakyat. Seharusnya Golkar melakukan perbaikan diri antara lain dengan memilih para pemimpinnya yang masih memiliki idealisme politik untuk menyongsong Pemilu 2014.
Sayangnya wacana tersebut telah tergerus oleh arus besar pragmatisme politik. Jika demikian, bukan tidak mungkinbahwa Golkar sedang menggali lubang kuburnya sendiri akan menjadi kenyataan.

Kamis, 13 Agustus 2009

Amputasi Demokrasi

Bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009 yang baru saja usai? Pertanyaan ini sengaja dikemukakan karena ada fenomena yang cukup memprihatinkan kita sebagai bangsa, yakni adanya semacam upaya untuk menarik perjalanan bangsa ini kembali ke masa lalu di mana otoritarianisme menjadi urat nadi politiknya. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini berpasangan dengan Boediono, yang hampir pasti menang, tampaknya sedang menuju ke arah sana dengan merangkul semua kekuatan politik untuk masuk ke dalam orkestra permaianannya di mana ia berperan sebagai konduktor.

Koalisi Tak Berimbang
Dari berbagai pernyataan yang dikemukakan baik oleh SBY sendiri maupun para elite Demokrat yang menegaskan bahwa koalisi masih bersifat terbuka bagi pihak manapun, kita mencermati bahwa peta koalisi pasca pilres agaknya bakal berubah. Jika sebelum pilpres, Demokrat bergandengan tangan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan beberapa partai kecil yang tidak lolos parlementary threshold, kini dua partai politik besar, yakni Partai Golkar (PG) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) disinyalir akan ikut ke dalam gerbong koalisi tersebut.
Kecenderungan ini bukan tidak mungkin bakal terjadi mengingat beberapa hal. Pertama,SBY pada periode kedua jabatan kepresidennya tampaknya ingin lebih solid dan powerful. Jika Golkar dan PDIP berhasil dirangkul, tentu potensi ke arah itu sangat besar. Sebaliknya, jika kedua partai tersebut masuk dalam barisan oposisi, hal itu dapat menjadi batu sandungan, terutama di parlemen. SBY agaknya belum merasa puas dengan kemenangan yang diraih Demokrat pada Pemilihan Legislatif (Pileg) April lalu.
Kedua, Golkar yang diharapkan banyak pihak untuk keluar dari tradisinya yang lekat dengan pemerintah pasca kekalahannya dalam pileg untuk bergabung ke dalam barisan oposisi, justeru memperlihatkan tanda-tanda yang sebaliknya. Hal ini terlihat dari wacana di tubuh partai beringin ini yang lebih menginginkan bergabung dengan Demokrat. Aburizal Bakrie (Ical) yang diperkirakan paling berpeluang untuk menjadi Ketua Umum Golkar pada Musyawarah Nasional (Munas) yang akan datang dibandikan pesaingnya, Yuddy Chrisnandy, tampaknya akan lebih memilih merapat ke SBY ketimbang beroposisi. Salah seorang tokoh Golkar pendukung Ical, Fadel Muhammad, misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa Golkar lebih tepat mendukung SBY. Ical sendiri meski menyatakan tidak akan lagi menjadi menteri tetapi ia mempersilahkan kader Golkar untuk masuk ke pemerintahan jika diminta SBY. Ini artinya, Golkar tidak akan beroposisi.
Ketiga, PDIP yang sejak lima tahun terakhir ini menjadi partai oposisi dan paling rajin mengkritik SBY ternyata “tergoda” juga untuk bermesraan dengan pihak pemenang pilpres. Pertemuan Megawati dengan Boediono beberapa waktu yang lalu disinyalir sebagai upaya PDIP untuk merapat ke Demokrat merupakan indikasi. Boleh jadi Mega menitipkan beberapa nama kepada Boediono untuk disampaikan kepada SBY sebagai calon menteri. Selain itu, Taufik Kiemas, suami Mega dan petinggi PDIP, dalam berbagai kesempatkan memperlihatkan kemesraan dengan SBY. Yang paling akhir adalah ketika SBY menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan DPR beberapa waktu yang lalu. Keduanya tampak berangkulan dan saling menebar senyum, tidak lupa Taufik Kiemas memberikan pujian kepada SBY khususnya menyangkut RAPBN. Tentu ini adalah sinyal yang dapat dibaca sebagai bentuk pendekatan hubungan antara PDIP dan Demokrat.
Keempat, adagium yang klasik dalam politik bahwa tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri tentu masih tetap berlaku dalam dunia politik. Meskipun sekarang ini kubu PDIP sebagai pengusung utama pasangan Megawati-Prabowo Subianto dan Golkar sebagai pengusung utama pasangan JK-Wiranto menggugat kemenangan pasangan SBY-Boediono ke MK dan sekarang sedang dalam persidangan, tetapi tampaknya mereka menyadari bahwa langkah tersebut sulit untuk berhasil. Oleh karena itu, sementara para kuasa hukum dari kedua pasangan tersebut “bertempur” di ruang sidang, namun para petinggi dari kedua partai besar tersebut justeru bermain mata dengan partai pemenang.
Kalau ini yang terjadi maka peta koalisi di parlemen jelas akan berubah. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang telah menyatakan diri sebagai partai oposisi tentu akan merasa ditinggalkan dan kekuataannya pasti akan keropos untuk tidak mengatakan habis. Kekuatan antara koalisi pendukung SBY dan oposisi pun pasti sangat tidak berimbang.
Hal ini diperparah dengan Undang-undang (UU) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru-baru ini diputuskan di mana ditetapkan bahwa partai pemenang pemilu otomatis berhak menjadi Ketua DPR. Dengan demikian, Ketua DPR mendatang akan dipegang oleh Demokrat, maka makin lengkaplah penderitaan pihak oposisi.

Hilangnya Check and Balances
Jika apa yang dipaparkan di atas terjadi, maka lonceng kematian demokrasi hanya tinggal menunggu waktu saja. Masa suram demokrasi seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru di mana parlemen hanya berfungsi sebagai stempel kebijakan pemerintah bukan tidak mungkin akan terulang kembali.
Check and balancse dalam kehidupan demokrasi sejatinya merupakan conditio sine qua non. Demokrasi justeru akan berlangsung dan bertahan hidup kalau ada mekanisme check and balances. Kritikan dari pihak oposisi sebagai bentuk pengejawantahan dari mekanisme tersebut akan menjadi penyeimbang terhadap berbagai pandangan dan kebijakan pemerintah.
Sebaliknya, kalau mekanisme tersebut tidak ada, maka demokrasi akan kehilangan rohnya. Demokrasi seolah tidak punya kaki karena telah diamputasi oleh kehendak sebagian elite yang ingin berjalan tanpa ada satupun duri yang menghalanginya. Dengan demikian, masa depan demokrasi di republik ini betul-betul sedang dipertaruhkan.

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Senin, 27 Juli 2009

Zaken Kabinet Plus

Tribunjabar, 25 Juli 2009

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono tampaknya hanya tinggal menunggu pentahbisan secara dari real count akhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. Perolehan suara pasangan ini yang mencapai angka di atas 60% baik menurut quick count oleh sejumlah lembaga survei maupun real count sementara KPU agaknya sulit dikejar dua pasangan lainnya, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto.
Pembicaraan berbagai kalangan kini tidak lagi terpusat pada masalah penghitungan suara, tetapi sudah beralih pada bagaimana langkah pasangan SBY-Boediono setelah kemenangan tersebut, terutama yang terkait dengan pembentukan kabinet. Apakah SBY akan lebih memprioritaskan para pembantunya dari kalangan profesional ketimbang orang-orang partai politik pendukung koalisi pengusungnya, ataukah sebaliknya membentuk kabinet pelangi seperti hanya pada 2004 kemarin? Inilah yang menarik untuk dicermati dalam tulisan ini.

Zaken Kabinet
Zaken kabinet intinya adalah kabinet yang diisi oleh kalangan profesional atau yang ahli di bidangnya. Artinya penempatan seseorang dalam suatu jabatan kementerian didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tersebut tidak peduli apakah ia berasal dari kelompok manapun.
Suara-suara yang menghendaki dibentuknya zaken kabinet oleh pasangan SBY-Boediono dewasa ini tampaknya terus menguat. Hampir semua kalangan menyarankan agar SBY lebih mengutamakan profesionalitas ketimbang latar belakang politik para calon pembantunya nanti. Tuntutan tersebut tampaknya sangatlah wajar mengingat beberapa hal.
Pertama, kemenangan SBY pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 mendapatkan legitimasi yang sangat kuat dengan perolehan suara (meski sementara) di atas 60% dan sebaran suaranya yang merata di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia, sehingga pilpres cukup dilakukan satu putaran saja. Sementara itu pada Pemilihan Legislatif (Pileg) April yang lalu Partai Demokrat (PD) di mana SBY duduk sebagai Ketua Dewan Pembina tampil sebagai pemenang. Dengan kemenangan tersebut SBY sebenarnya lebih leluasa dalam menyusun kabinet tanpa khawatir adanya “goyangan” dari parlemen, tidak seperti pada 2004.
Kedua, kemenangan SBY tampaknya juga lebih banyak karena faktor kefiguran dan citranya di mata publik yang selama lima tahun ini dianggap berhasil membuat program-program pro rakyat, seperti BLT, PNPM dan sebagainya. Sedangkan mesin politik parpol hanya sebagai faktor pendukung.

Ketiga, tantangan pemerintahan ke depan akan lebih banyak bersentuhan dengan ekonomi akibat krisis global yang menyerang hampir semua negara di dunia tak terkecuali Amerika Serikat. Oleh karena itu, kalau kabinet diisi oleh kalangan profesional tentu SBY sebagai presiden akan sangat terbantu seperti dalam membuat berbagai kebijakan yang terkait dengan masalah tersebut.
Keempat, loyalitas para menteri yang berasal dari kalangan profesional tentu akan lebih kuat daripada para menteri yang berasal dari kalangan parpol. Bagaimanapun, menteri yang berasal dari sebuah parpol tidak akan terlepas dari dualisme loyalitas, antara ke partainya dan negara sehingga kinerjanya tidak maksimal. Kabinet pelangi yang dibentuk SBY pada 2004 memperlihatkan betapa menteri-menteri yang berasal dari parpol seringkali mengutamakan kepentingan partainya dalam sejumlah kasus.

Plus
Mengedepankan zaken kabinet tentu merupakan langkah yang sangat baik bagi SBY. Namun demikian, politik tetaplah politik yang memiliki kepentingannya sendiri. Artinya, faktor-faktor politik tetap tidak bisa dikesampingkan begitu saja dari pembentukan kabinet tersebut.
Bagaimanapun pasangan SBY-Boediono lahir karena adanya koalisi antar parpol menjelang pilpres. Selain Partai Demokrat sebagai dirijennya, ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan beberapa parpol kecil lainnya sekalipun di antara parpol tersebut ada yang tidak solid mendukung SBY-Boediona. Dalam konteks ini, SBY agaknya perlu menjaga keharmonisan dengan parpol-parpol pendukungnya sehingga di masa-masa mendatang tidak terjadi gejolak politik yang tidak diinginkan.
Hanya saja penempatan menteri dari kalangan parpol pun harus tetap dilakukan dalam koridor profesionalisme tadi. Dengan kata lain, meskipun ia merupakan representasi parpol tetapi pada saat yang sama ia juga merupakan seorang profesional di bidangnya. Apalagi di dalam tubuh parpol sendiri sebenarnya banyak terdapat sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk mengisi jabatan eksekutif tersebut. Kalaupun masih dirasa perlu mengambil seorang menteri sekadar sebagai representasi dari parpol, maka hal itu mesti dilakukan seminimal mungkin.
Inilah sesungguhnya yang diperlukan pasangan SBY-Boediono dalam menyusun kabinetnya. Ia harus merupakan kabinet yang diisi oleh kalangan profesional (zaken kabinet) tetapi tetap mengakomodasi kepentingan parpol pendukungnya. Jadi, kabinet nanti boleh disebut dengan zaken kabinet plus.

Rabu, 22 Juli 2009

Saatnya Golkar Beroposisi

(Koran Jakarta, 16 Juli 2009)

Partai Golkar (Golkar) tampaknya masih tetap menjadi magnitude politik yang besar di republic ini sekalipun partai ini sedang mengalami keterpurukan. Hal ini terlihat dari kiat menguatnya wacana tentang kemungkinan Golkar keluar dari pemerintahan dan bergabung ke dalam barisan oposisi pasca kekalahannya dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (piplres) kemarin.
Di elite Golkar sendiri memang ada yang memperlihatkan kesetujuannya dengan wacana tersebut, namun tidak sedikit yang justru menolaknya dengan berbagai alasan.
Sebagian kalangan di luar partai beringin ini ada yang berharap bahwa partai ini berani keluar dari jaring pemerintahan yang selama ini dilakoninya. Tetapi banyak pula kalangan yang justeru meragukan keberanian Golkar untuk keluar dari sarang nyamannya tersebut dengan sejumlah alasan. Oleh karena itu, pertanyaan yang menarik tentang persoalan ini adalah mungkinkah Golkar berani mengambil peran sebagai partai oposisi setidaknya untuk masa lima tahun ke depan?
Perangkap Mitos
Jika banyak pihak yang selama ini meragukan keberanian Partai Golkar untuk memerankan dirinya sebagai partai oposisi, sebenarnya hal tersebut wajar belaka. Ada beberapa factor yang tampaknya dapat menjadikan keraguan itu begitu besar di benak banyak orang.
Pertama, Golkar agaknya telah terperangkap ke dalam mitos bahwa oposisi merupakan sesuatu yang bertentangan dengan tradisi dan budaya politik Indonesia. Mitos yang sesungguhnya ditanamkan secara indoktrinatif oleh rezim Orde Baru ini tampaknya masih cukup kuat melekat di benak orang Indonesia. Dalam konteks ini, Golkar seolah khawatir kalau mengambil peran sebagai partai oposisi akan mendapatkan stempel buruk dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, betapapun seringnya wacana tentang Golkar sebagai oposisi mengemuka, keraguan dari tubuh internal partai beringin itu sendiri tetap kuat.
Kedua, Golkar selama ini identik dengan partai pemerintah. Dalam kurun waktu kurang lebih 32 tahun pada masa Orde Baru, partai ini selalu menjadi partai penguasa (the ruling party) yang otomatis memegang kendali pemerintahan. Oleh karena itu, aliran darah yang mengalir di tubuh partai ini adalah darah penguasa atau pemerintah. Dari perspektif ini, sangatlah sulit bagi partai yang telah terbiasa hidup dalam "kenyamanan" sebagai partai penguasa untuk melepaskan diri dari kebiasaan tersebut.
Ketiga, sekalipun mesin politik dan infrastruktur Partai Golkar terbilang paling modern dibandingkan dengan partai-partai politik lainnya, partai ini tidak memiliki kader-kader militan seperti halnya PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang siap sedia berjuang sampai meneteskan titik darah penghabisan demi menyokong kehendak partainya. Sehingga, ketika elite politik Golkar mengeluarkan kebijakan belum tentu akan didukung sepenuhnya oleh para kader. Itulah kenapa Jusuf Kalla (JK) sebagai Ketua Umumm Golkar, tidak mendapatkan dukungan utuh dari para kader Golkar ketika mencalonkan diri sebagai presiden pesaing Yudhoyono.
Hal ini berbeda dengan Megawati Soekarnoputri yang memperoleh dukungan utuh dari para kader militan dan simpatisan fanatik PDIP sehingga perolehan suaranya jauh mengungguli JK. Padahal, kalau dilihat dari segi kemampuan dan kelayakan untuk menjadi Presiden RI, orang akan menilai bahwa JK jauh di atas Mega.

Sebenarnya sekarang sudah waktunya Golkar untuk keluar dan menerobos labirin yang selama ini menjeratnya. Oposisi bukanlah merupakan pilihan yang buruk bagi Golkar. Sebaliknya, oposisi merupakan pilihan yang elegan bagi Golkar jika para elite partai ini menyadari urgensi beroposisi dalam sebuah negara demokrasi. Paling tidak, ada dua hal yang patut dicermati oleh Golkar terkait dengan pilihannya sebagai partai oposisi.
Pertama, jika Golkar berani menempatkan dirinya sebagai partai oposisi setidaknya untuk lima tahun ke depan, hal itu justru akan menguntungkan bagi institusi Golkar itu sendiri maupun bagi segenap bangsa Indonesia. Pilihan beroposisi akan menjadi semacam investasi politik di masa mendatang, sebab Golkar akan dinilai sebagai partai yang mampu survival dalam kondisi apapun, tidak selamanya "menyusu" kepada pemerintah. Bagi bangsa Indonesia, hal ini menjadi pelajaran berdemokrasi yang sangat berharga bahwa semua peran merupakan hal yang biasa dalam kehidupan politik, adakalanya memerintah dan di saat lain beroposisi. Di AS sekarang Partai Demokrat memerintah dan Partai Republik beroposisi, tetapi sebelumnya terjadi hal yang sebaliknya. Demikianlah silih berganti.
Kedua, dengan berada di luar pemerintahan justru Golkar akan lebih leluasa melakukan distingsi dengan partai pemerintah dalam berbagai kebijakan publik yang dikeluarkannya. Dalam konteks ini, Golkar bisa mengedepankan kebijakan-kebijakan alternatif manakala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak sejalan dengan kehendak rakyat. Pengalaman dan sumber daya manusia di tubuh partai ini cukup melimpah untuk melakukan hal tersebut. Sebaliknya, kalau Golkar ikut bergabung ke dalam pemerintahan, ia akan "terlebur" ke dalam jaring yang dikuasai Partai Demokrat (PD) sebagai partai penguasa.
Yang perlu menjadi catatan di sini adalah Golkar harus bisa menempatkan dirinya dalam oposisi yang sebenarnya sekaligus memperbaiki kesan selama ini bahwa oposisi identik dengan berlawanan sebagaimana arti harfiahnya. Oleh karena itu, oposisi dalam hal ini mesti berlawanan atau berseberangan, bahkan yang lebih celaka lagi, asal beda dengan pemerintah.
Padahal, oposisi sesungguhnya berorientasi pada pemberian solusi terhadap berbagai masalah. Bahwa dalam pemberian solusi tersebut ada perbedaan antara versi pemerintah dan oposisi hal itu tidak bisa dihindarkan. Tetapi, yang paling penting adalah oposisi berkehendak untuk selalu mengedepankan pilihan-pilihan alternatif sehingga rakyat bisa menilai mana kebijakan yang tepat bagi mereka. Jika Golkar mampu memerankan peran oposisi dengan benar, bukan tidak mungkin hal itu akan menjadi investasi politik yang besar di masa mendatang.***

Memaknai Kekalahan

Pemilihan Presiden (pilpres) yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli kemarin telah berakhir dengan relatif tenang dan damai. Tidak ada keributan, huru-hara atau konflik horizontal yang ditakutkan berbagai pihak selama ini. Meskipun masih diwarnai oleh berbagai dugaan kecurangan, khususnya dari pihak yang merasa dirugikan, namun hal tersebut diyakini tidak akan mengurangi legitimasi pilpres.
Dari hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei di Indonesia, kita telah mengetahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono berhasil memenangi pilpres secara mutlak dengan sebaran prosentase yang cukup merata. Meskipun penghitungan ini bersifat sementara, karena bukan sebagai lembaga resmi, namun hampir pasti pasangan dengan nomor urut dua tersebut akan keluar sebagai pemenang. Asumsinya bahwa tingkat akurasi quick count cukup tinggi, sehingga penghitungan resmi yang akan dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diyakini tidak akan jauh berbeda sebagaimana yang sering terjadi dalam sejumlah pemilihan sebelumnya.
Resiko Kompetisi
Keberhasilan sebuah kompetisi seperti halnya pemilihan umum bukan hanya dilihat dari siapa yang keluar sebagai pemenang, melainkan juga siapa yang kalah. Dengan kata lain, bagaimana pihak yang kalah dalam kompetisi memberikan sikap terhadap kekalahannya tersebut, itulah yang akan menjadi penilaian orang terhadap keberhasilan kompetisi tersebut.
Kemenangan dan kekalahan dalam sebuah kompetisi sejatinya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Tidak akan ada kemenangan kalau tidak ada kekalahan; tidak akan lahir seorang pemenang jika tidak ada yang kalah. Maka, menang dan kalah sesungguhnya merupakan resiko dari sebuah kompetisi. Ketika seseorang berniat untuk ikut serta dalam sebuah kompetisi, maka semestinya ia sudah berkomitmen untuk siap menang dan kalah.
Dari perspektif ini, sangatlah menarik mencermati bagaimana sikap dari dua pasangan capres-cawapres yang hampir pasti menderita kekalahan pada pilpres kemarin, yakni pasangan Megawati-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto. Pasangan yang pertama tampaknya masih merasa berat hati menerima kekalahan sehingga sikap yang ditunjukkannya agak reaktif. Pasangan ini, misalnya, lebih sibuk melemparkan kesalahan kepada pihak lain ketimbang melakukan introspeksi.
Sebaliknya, sikap yang ditunjukkan oleh pasangan yang terakhir tampaknya patut diajungi jempol. Jusuf Kalla (JK) sebagai calon presiden yang kalah berkompetisi, misalnya, secara jantan mengakui kekalahannya dan kemudian ia memberikan ucapan selamat kepada SBY sebagai pemenang. Bahkan ketika ditanyakan kepada JK oleh salah seorang wartawan, apakah ia konsisten dengan ucapannya bahwa yang terpilih adalah yang terbaik, ia dengan lapang dada mengatakan bahwa ia konsisten dengan ucapannya tersebut. Artinya, JK mengakui bahwa SBY lah yang terbaik, karena keluar sebagai pemenang.
Pernyataan yang lahir dari seorang tokoh semacam JK tersebut tentu sangat menyejukkan hati di tengah suasana panas yang terjadi sebelum dan sesudah pilpres. Ini akan menjadi preseden yang baik bagi kehidupan demokrasi di masa depan bahwa kekalahan dipandang sebagai hal yang wajar dalam sebuah kompetisi. Dalam konteks ini, JK telah berhasil menempatkan dirinya sebagai tokoh yang memiliki sikap kenegarawanan, sesuatu yang cukup langka di republik ini.

Evaluasi
Alih-alih menunjukkan sikap yang reaktif apalagi berlebihan, hemat penulis, pasangan capres dan cawapres yang kalah akan lebih elegan kalau lebih mengedepankan tindakan evaluatif terhadap kekalahannya tersebut. Evaluasi tersebut terutama harus diprioritaskan kepada evaluasi internal ketimbang eksternal yang ujung-ujungnya bertumpu pada keasyikan untuk menyalahkan pihak lain.
Di antara evaluasi internal yang perlu dilakukan adalah strategi kampanye yang terlalu banyak menyerang (attacking campaign) dan mesin politik partai yang tidak efektif. Padahal secara psikologi politik rakyat Indonesia pada umumnya tidak suka terhadap pihak yang selalu melakukan serangan, apalagi jika serangan itu tidak menyentuh level kognisi masyarakat seperti isu neoliberalisme. Sementara untuk kasus yang kedua, ini merupakan persoalan yang sangat serius sebab sejatinya di negara demokrasi parpol justeru memainkan peranan yang lebih besar.
Mengedepankan evaluasi internal tentu saja tidak berarti mengabaikan proses hukum terhadap dugaan adanya sejumlah kecurangan. Namun, agaknya perlu disadari bahwa perbedaan prosentase suara antara yang menang dan kalah sangat besar, sehingga kecil kemungkinan proses hukum akan mengubah hasil pilpres. Kasus pertarungan antara Al-Gore dan Bush di AS beberapa tahun yang lalu dengan selisih sekitar satu persen saja tetapi mampu diselesaikan melalui proses hukum secara baik tampaknya perlu dijadikan pelajaran berharga. Oleh karena itu, berbesar hati akan kekalahan tampaknya menjadi pilihan yang paling elegan bagi pasangan capres-cawapres yang kalah.

Minggu, 31 Mei 2009

Pancasila dan Visi Kerakyatan

Harian Tribun Jabar
Pancasila dan Visi Kerakyatan
Senin, 1 Juni 2009 | 01:00 WIB

HARI ini bangsa Indonesia sedang memperingati hari yang sangat bersejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hari kelahiran Pancasila yang ke-64 kalinya. Sebagai warga negara Indonesia kita patut berbangga bahwa sampai detik ini Pancasila sebagai dasar negara masih tetap eksis meskipun telah mengalami berbagai macam ujian. Usia 64 tahun untuk sebuah ideologi memang belum bisa dikatakan lama, namun setidaknya hal ini memberikan keyakinan kepada kita bahwa ideologi yang telah kita sepakati bersama ini berhasil memberikan harapan akan cita-cita kebangsaan kita.

Tetapi tentu saja yang paling penting dari peringatan hari kelahiran Pancasila adalah bukan hanya sekadar ritual-ritual formal, melainkan bagaimana kita mampu memahami dan menghayati (internalisasi) nilai-nilai luhur yang diembannya untuk kemudian diejawantahkan di dalam kehidupan kita sebagai warga-bangsa Indonesia.

Pancasila yang telah melewati beberapa periode kepemimpinan mulai dari Soekarno sebagai pencetusnya sekaligus proklamator kemerdekaan RI sampai pemerintahan sekarang di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) senantiasa memerlukan pemahaman dan penafsiran kontekstual sehingga mampu beradaptasi dengan zamannya.

Visi Kerakyatan
Salah satu nilai luhur yang sangat penting dan relevan untuk konteks sekarang adalah visi kerakyatan dari Pancasila seperti yang tercermin pada sila kelima, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Saat Pancasila dilahirkan situasi dunia ketika itu memang tengah dikuasai oleh ideologi kapitalisme dan liberalisme yang berhembus kencang dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Hampir setiap negara di muka bumi ini tidak mampu menahan serbuan ideologi tersebut yang selalu datang dengan berbagai macam cara.

Soekarno, dengan komitmen kerakyatannya yang luar biasa, berupaya sekuat tenaga menahan laju arus kapitalisme dan liberalisme tersebut melalui benteng kokoh Pancasila. Ungkapannya yang sangat terkenal,"ôGo to hell with your aid" ketika ditawari bantuan ekonomi oleh Amerika Serikat, seperti yang direkam oleh Cindy Adams dalam Soekarno: An Autobiography (1965) merupakan bukti yang sangat jelas.

Soekarno menyadari sepenuhnya watak negara kapitalis seperti AS yang akan terus mencengkeram jika diberikan kesempatan. Di mata Soekarno, bantuan dari negara kapitalis akan berujung pada penguasaan negara tersebut pada kekayaan negara.

Kini setelah 64 tahun berlalu wacana ekonomi kerakyatan kembali menjadi perdebatan di kalangan bangsa Indonesia. Hal ini dipicu oleh "tuduhan" sebagian kalangan intelektual, seperti Rizal Ramli dan lain-lain bahwa pemerintahan Indonesia saat ini menganut ideologi neoliberalisme. Ideologi yang merupakan turunan dari kapitalisme-liberalisme ini menghendaki adanya pasar bebas di mana peran negara pada saat yang sama dikurangi, kalau tidak boleh dikatakan dieliminasi sama sekali. Jika ini yang terjadi, maka tentu saja yang paling diuntungkan adalah para pemilik modal besar yang sanggup bersaing dengan kekuatan modalnya tersebut.

Sebaliknya, para pengusaha kecil dan menengah serta rakyat secara umum akan termarjinalkan karena tidak mungkin mampu bersaing menghadapi para pemodal besar tersebut. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan ekonomi kerakyatan yang dikehendaki Pancasila.
Bukan Sekadar Jargon

Sayangnya wacana perdebatan antara ekonomi kerakyatan dan neoliberalisme tersebut berlangsung ketika akan digelar Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Juli 2009. Oleh karena itu, perdebatan tersebut cenderung tidak bersifat akademik murni, melainkan sarat dengan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau nuansa perdebatan tersebut bersifat politis di mana aroma saling hujat antar pasangan capres-cawapres terasa kental.

Ketika pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang diusung Partai Demokrat dan sekitar 23 partai pendukung lainnya telah resmi dideklarasikan, misalnya, dengan segera kubu pesaingnya menjadikannya sasaran empuk serangan.

Boediono yang selama ini dianggap tokoh yang merepresentasikan kalangan propasar bebas (neoliberalisme) yang notabene anti kerakyatan menjadi bulan-bulanan. Bahkan Jusuf Kalla (JK) yang hingga saat ini masih wapres pun (sekarang resmi menjadi capres berpasangan dengan Wiranto) ikut-ikutan melontarkan tuduhan itu di ruang publik. Maka, pasangan SBY-Boediono kemudian seolah mendapat stigma sebagai yang tidak mencerminkan visi kerakyatan.

Apalagi pasangan Megawati-Prabowo Subianto (Mega-Pro) yang selama ini diidentikkan dengan wong cilik segera mengambil momen ini untuk menghujat pasangan SBY-Berboedi dalam berbagai forum. Pasangan ini bahkan melakukan deklarasi pencalonannya di tempat pembuangan sampah, Bantar Gebang, Bekasi, sebagai simbol keberpihakannya kepada rakyat. Dengan mengambil tempat seperti ini, orang akan melihat distingsi yang tegas dengan pasangan yang mengambil lokasi pendeklarasian di Gedung Sabuga, Bandung sebagai simbol kemewahan.

Dari sudut konteks komunikasi, pengambilan suatu tempat sebagai setting sebuah peristiwa komunikasi memang sangat penting seperti yang dilakukan pasangan Mega-Pro. Paling tidak khalayak akan memandang pasangan ini memperlihatkan keberpihakannya kepada wong cilik. Namun yang harus diingat adalah bahwa simbol dalam peristiwa komunikasi bukan hal terpenting. Yang justeru jauh lebih penting adalah makna (meaning). Makna tersebut tidak hanya diperoleh ketika peristiwa komunikasi itu berlangsung, tapi juga sebelum dan setelahnya. Rekam jejak (peristiwa di masa lalu) dan tindak lanjutnya berupa program kerja akan menjadi menjadi pertimbangan khalayak. Sayangnya, dalam hal ini prestasi pasangan tersebut belum cukup mencengangkan.

Mega yang pernah menjadi presiden, misalnya, belum berhasil menjadikan visi kerakyatan sebagai landasan utama dari kebijakan pemerintahannya. Yang mengemuka justru citra Mega yang suka "menjualö aset-aset negara", sesuatu yang sangat bertentangan dengan program-program pro rakyat dan tidak sesuai dengan komitmen kerakyatan ayahnya, Soekarno.

Oleh karena itu, kita sebagai warga negara Indonesia tentu berharap bahwa visi kerakyatan tersebut tidak hanya sekadar dijadikan jargon retoris belaka guna meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya pada pilpres nanti, tapi betul-betul sebagai niat suci untuk membawa bangsa Indonesia pada jati dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, pengejawantahan visi kerakyatan dalam berbagai kebijakan negara baik ekonomi maupun bidang lainnya menjadi sesuatu yang akan ditungu-tunggu rakyat. Inilah sesungguhnya yang diinginkan para founding fathers negara kita dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. (*)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.tribunjabar.co.id/8419/Pancasila dan Visi Kerakyatan

Sabtu, 23 Mei 2009

Awi Koneng

Majalah Mangle 08 April 2009

Jadi jalma beunghar pasti dipikahayang ku jalma rea. Boga duit loba, imah alus, mobil mewah, tabungan cukup tangtu ngan bisa dipimilik ku jalma beunghar. Pokokna mah, lamun jalma geus beunghar hayang naon bae oge pasti kacumponan. Cindekna, tinggal nunjuk, pasti bakal ngawujud anu dipikahayangna.

Mang Madi anu sapopoena jadi tukang beca di kampungna sakapeung sok miharep oge jadi jalma beunghar. Teuing ku cara naon manehna bisa jadi beunghar, eta mah teu penting. Anu pasti harepan jadi jalma beunghar teh memang pernah ngancik dina pikiranna. Malah mah manehna ngarencanakeun saupamana jadi jalma beunghar, rek muka usaha tetep; warung klontong, bengkel motor atawa naon bae, pokona mah usaha anu bisa ngadatangkeun panghasilan tetep saban bulanna.

"Di..di, jalma jiga urang mah moal mungkin jadi beunghar, tong luhur teuing atuh ari ngalamun teh!" kitu cek Mang Jana, baturna papada tukang beca.

Mang Madi ge ti harita usaha satekah polah pikeun miceun eta lamunan jadi jalma beunghar tina pikiranana. Tapi duka kumaha eta lamunan kalah leuwih mindeng datang. Meh unggal poe entreup dina sirahna. Unggal manehna mopohokeun, kalah sering eta lamunan nyerang manehna.

"Aneh, naha aing jadi sering ngalamun jadi jalma beunghar?" gerentes hate Mang Madi. "Naha pedah aing sok nongton acara-acara dina TV anu loba nawarkeun cara cepet jadi beunghar kitu?" manehna tumanya ka diri sorangan.

Ti harita Mang Madi dikalangkangan bae ku pikiranna sorangan pikeun jadi jalma beunghar. Lamunan kumaha genahna hirup saupama jadi jalma beunghar teu kendat-kendat ngolebat dina pikiranna.

Dina hiji poe ibur di saantero kampung Mang Madi yen aya urang kota anu keur neangan awi koneng jeung rek meuli ku harga anu kacida mahalna, cenah tepi ka ratusan juta. Angka anu pohara gedena pikeun ukuran jalma-jalma di kampung Mang Madi. Cek beja eta awi koneng teh boga kasakten tepi ka bisa nyumponan sagala kahayang anu ngabogaannana. Ngan eta awi koneng boga hiji kaanehan, buku-bukuna teh pahareup-hareup.

Lir ibarat sumbu kompor anu tepung jeung minyak tanah, eta beja teh dibageakeun kalayan pinuh antusias ku Mang Madi. Sigana mah manehanana anu pangsumangetna nanggap beja eta. Mang Madi kacida rajin tatanya ka mana-mana ngeunaan laratan awi koneng. Sakapeung mah manehnya poho kana pagawean narik beca lamun geus ngobrolkan eta barang anu ayeuna geus jadi sabiwir hiji di kampungna.

Meh unggal poe Mang Madi neangan laratan di mana ayana awi koneng. Lamun aya beja ngenaan eta awi, geuwat manehna mangkat muru eta barang tanpa mikir panjang deui. Di mana bae, deukeut atawa jauh, pasti diteang. Ongkos mah geus tara dipikiran. Boga duit atawa henteu, manehna tetep miang. Atuh teu heran lamun Mang Madi laun-laun sok mayeng huhutang.

Kampung demi kampung, desa demi desa, malah mah kota demi kota geus loba anu didatangan ku Mang Madi. Tapi tepi ka detik ieu manehna acan keneh nimu awi koneng anu diimpi-impikeunana. Oge geus loba jalma pinter anu diboro, tapi pon kitu deui can aya keneh meunang pitunjuk anu bisa nuntun kana awi koneng. Anehna, manehna teu pernah kapok, terus bae neangan eta barang. Tong ditanya deui, geus satumpuk hutang ngabeulit manehna.

"Aing teu meunang nyerah, aing kudu manggihan eta barang, sabab eta teh hiji-hijina jalan pikeun jadi jalma beunghar," gerentes hate Mang Madi lamun sasakali rasa putus asa nyerang manehna.
"Aing nyaho Alloh keur nguji. Alloh pasti resepeun lamun aya hamba-Na anu digawe sakuat tanaga kawas aing," kitu cek Mang Madi, ngahibur dirina sorangan.

Sakabeh jalma di kampungna ngolo Mang Madi sangkan tong neruskeun ngudag-ngudag awi koneng sabab mangkarunyakeun kana kaayaan kaluwargana anu beuki balangsak dumeh tara dipalire deui ku manehna. Tapi saurang oge teu aya anu dipadulikeun, malah mah Pa Haji Sirojuddin oge anu jadi sesepuh di kampungna geus teu didenge deui.

Kungsi dina hiji poe Mang Madi dipanggil Pa Haji Sirajuddin ka imahna.

"Aya naon Pa Haji manggil sim kuring?" cek Mang Madi.
"Naha maneh geus nimu tanda-tanda di mana ayana benda anu keur diteangan teh?" Pa Haji langsung bae tumanya ngeunaan awi koneng nu keur diteangan ku Mang Madi.
"Numawi, Pa Haji, dugi ka ayeuna teh teu acan aya," tembal Mang Madi.
"Geus sabaraha lila maneh neanganana?" Pa Haji nanya deui.
"Tos sataun langkung, Pa Haji" tembal Mang Madi, singkat.
"Naha maneh arek terus bae neangan eta awi?" tanya Pa Haji bari neuteup seukeut ka Mang Madi.
"Muhun, Pa Haji" tembal Mang Madi lalaunan.
"Alusna mah eureunan bae neangan eta barang teh, Di, euweuh gunana. Moal mungkin aya awi anu samodel kitu" cek Pa Haji.
"Tapi, Pa Haji, abdi teh yakin pisan dina hiji mangsa abdi bakal nimu eta awi" tembal Mang Madi.

Lantaran Mang Madi teu weleh keukeuh pikeun neangan eta awi koneng, atuh Pa Haji Sirojuddin teu bisa nanaon deui. Anjeunna ngan ngarenghap panjang. Tapi salah saurang sesepuh anu sering dijadikeun pananyaan ku warga kampung, Pa Haji memang bijak. Teu pernah anjeunna mah negur sok komo bari ngambek ka warga anu sok datang ka tempatna. Ka Mang Madi oge, Pa Haji ngan saukur mere pituah supaya ati-ati dina usahana neangan eta awi koneng.

"Nya ari maneh keukeuh hayang neangan eta awi koneng, sing ati-ati bae, da eta teh sabenerna mah baris ngabahayakeun kahirupan maneh jeung kulawarga," kitu cek Pa Haji Sirojuddin mungkas obrolan jeung Mang Madi.

Ku sabab geus manteng kana eta awi koneng keur jalan manehna jadi jalma beunghar, Mang Madi teh terus bae neangan eta awi bari jeung taya kacape. Unggal waktu dina hirupna ngan ditujukeun kana eta awi. Anu sejenna mah geus teu dipalire deui. Malah mah dina sarena oge Mang Madi mayeng gundam awi koneng.
Dina hiji waktu Mang Madi keur aya di kebonna, jauh ti kampungna. Geus sababaraha poe manehna teu nampa beja ngeunaan di mana ayana awi koneng. Antukna manehna hayang ngaleungitkan karuwet ku jalan ka kebon. Saha nu nyaho manehna baris meunang ilham di dinya.
Barang Mang Madi keur ningalian ka sakuriling kebon, breh teh katingali ku panonna aya awi koneng anu ngagoler teu jauh ti manehna. Tuluy ngadeukeutan, awi teh dicokot, panonna seukeut ningalian eta awi koneng. Ngadadak panonna molotot teu kiceup-kiceup, bari jeung sungutna molongo, teu kaluar kata sa kecap-kecap acan.
Tapi teu lila Mang Madi gogorowokan bari jeung luluncatan bakating ku atoh kawas budak leutik anu karek dipangmelikeun cocooan. Manehna terus bae gogorowokan jeung luluncatan bari ngangkat luhur-luhur eta awi koneng.

"Hatur nuhun, ya Alloh, Anjeun tos masihan welas asih ka hamba Anjeun" ucap Mang Madi bari leungeunna nu katuhu ranggah kawas jalma anu keur ngadoa, leungeun kencana nyekel awi koneng. Tuluy manehna merhatikeun deui eta awi koneng, memang buku-bukuna oge pahareup-hareup.
"Sakeudeung deui aing bakal jadi jalma beunghar, aing pasti bisa meuli naon bae anu dipikahayang," gerentes Mang Madi dina hatena. Poe eta alam dunya karasa kacida endahna pikeun Mang Madi.

Isukna Mang Madi langsung ka kota nganteurkeun awi koneng, nepungan anu rek meulina. Ngarah gancang tepi, manehna menta tatanggana anu boga motor pikeun nganteurkeun. Di tengah jalan, ku sabab teu sabar Mang Madi menta tatanggana supaya ngebut mawa motorna. Duit ratusan juta geus kokolebatan bae dina matana.

Tapi dina hiji pengkolan, motor anu mawa Mang Madi ngadadak oleng ka tengah jalan anu legok. Ngan hanjakal ti beh hareup aya mobil treuk ngalaju tarik naker. Brak, tabrakan! Mang Madi kapeclengkeun ka tengah jalan aspal kacida tarikna. Manehna teu usik-usik deui. Napasna eureun. Tapi leungeunna tetep pageuh nyekelan awi koneng. ***

Dipidangkeun dina Majalah Mangle, 08-04-2009

Senin, 04 Mei 2009

Membaca Langkah Politik Kalla

Spekulasi tentang sikap politik Partai Golkar menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli 2009, akhirnya terjawab. Ketua Umum Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla (JK) secara resmi meminang Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto, untuk menjadi cawapresnya. Pasangan ini, kemudian mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres-cawapres pertama.

Meskipun berduetnya JK dengan Wiranto telah banyak diperkirakan banyak kalangan, tak urung hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, setelah Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnassus) Partai Golkar yang merekomendasikan JK sebagai capres, suara-suara yang menentang keputusan tersebut dari kalangan internal partai santer terdengar. Bahkan, ada sejumlah elite partai ini yang terang-terangan berbicara di media massa tentang penentangan tersebut.

Apakah pencalonan JK bersama Wiranto, dilandasi pertimbangan politik yang benar-benar rasional dan matang, sehingga peluangnya untuk menang cukup besar? Ataukah ada skenario lain yang tengah dimainkan JK, misalnya, demi mengganjal pasangan capres-cawapres tertentu?

Peluang

Bagaimana peluang duet JK-Wiranto, jika nanti betul-betul mendaftarkan diri sebagai pasangan yang siap bertarung pada Pilpres 2009? Ada beberapa hal yang dapat dijadikan modal pasangan ini untuk kompetisi Juli mendatang. Pertama, komposisi sipil-militer antara JK dan Wiranto. Bagaimanapun komposisi ini masih menjadi yang ideal dalam konteks politik Indonesia. Perpaduan sipil-militer telah terbukti, banyak didukung rakyat Indonesia, seperti yang telah diperlihatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-JK.

Kedua, selain memperlihatkan komposisi sipil-militer, pasangan ini juga memadukan dua suku, yaitu Jawa dan non-Jawa. Setali tiga uang komposisi Jawa-non-Jawa, juga masih menjadi pilihan banyak rakyat Indonesia. JK tampaknya sangat menyadari realitas politik tersebut. Akhirnya, ia merasa harus mencari pendampingnya dari suku Jawa. Wiranto dianggap sebagai pilihan yang tepat dari tokoh-tokoh yang ada.

Ketiga, kesediaan Wiranto untuk "turun derajat" dari capres menjadi cawapres, pada satu sisi akan memberikan pembelajaran politik bagi rakyat, sekalipun hal itu dilatarbelakangi oleh realitas politik yang sulit menjadikannya sebagai capres, karena perolehan partainya pada pileg kemarin, tidak sampai menembus angka 5 persen. Setidaknya, rakyat akan menilai bahwa ada tokoh nasional yang bersedia menurunkan ego politik pribadinya, ketika sebagian besar justru memperlihatkan keegoannya, seperti yang terlihat pada penjajagan koalisi antarparpol.

Namun demikian, kelemahan duet JK-Wiranto juga cukup banyak. Pertama, tingkat popularitas dan elektabilitas JK dan Wiranto sangat rendah, seperti yang terlihat dari berbagai survei belakangan ini.

Kedua, mesin politik Partai Golkar dan Hanura agaknya masih diragukan, untuk dapat meningkatkan popularitas pasangan ini dalam waktu singkat.

Ketiga, citra Wiranto yang sering dikait-kaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, juga akan berpengaruh terhadap rendahnya kredibilitas pasangan ini.

Pertaruhan JK

Bagi JK, langkahnya menggandeng Wiranto untuk menjadi pasangan capres-cawapres akan membawa konsekuensi politik tersendiri. Menurut sebagian kader partai beringin ini, JK dipandang telah mengangkat harga diri partai dengan berani mencalonkan diri sebagai capres. Namun, sebagian kader berpikiran sebaliknya, JK dianggap mau "bunuh diri" karena peluangnya sangat kecil untuk mengalahkan SBY.

Belakangan ini memang beredar isu, ada skenario yang hendak "menjerumuskan" JK secara halus. JK dibiarkan mencalonkan diri sebagai capres. Jika kalah, ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada munaslub. Ujung-ujungnya Kalla akan diturunkan sebagai ketua umum partai.

Akan tetapi, ada pula yang membaca langkah politik JK dari sudut berbeda. JK sebenarnya menyadari bahwa ia akan kalah pada pilpres, tetapi ia bersedia terus maju sekadar untuk memecah pendukung seterunya. Jika pilpres nanti berlangsung dua putaran, ia akan memberikan suaranya pada pasangan yang ia dukung (Megawati dan pasangannya). Dalam konteks ini, koalisi besar di parlemen yang ditandatangani empat partai besar, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, dan sejumlah partai kecil dapat dipahami. Jika kalah, JK masih bisa berharap dapat "perlindungan" dari koalisi besar di parlemen tersebut.

Dari kedua pembacaan terhadap langkah politik JK tersebut, semuanya mengandung pertaruhan politik yang sangat berisiko bagi JK. Itulah ongkos politik yang mesti dibayar. ***

Penulis, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Senin, 13 April 2009

Tantangan Wakil Rakyat 2009

Pikiran Rakyat 13 April 2009

Indonesia baru saja selesai menyelenggarakan perhelatan demokrasi, yakni pemilihan legislatif (pileg) pada Kamis (9/4). Meskipun ada sedikit gangguan di sejumlah tempat menjelang dan pada hari pencontrengan, secara umum pileg dapat dikatakan berlangsung secara damai. Kenyataan ini tentu saja perlu kita syukuri sebagai bangsa Indonesia.

Para calon anggota legislatif (caleg) yang berhasil terpilih akan segera berubah menjadi anggota legislatif. Mereka akan menyandang gelar sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat. Tetapi, itu sebenarnya sebagian kecil saja dari mereka, sebab sebagian besar justru gagal melenggang ke dalam lembaga terhormat tersebut.

Bagi yang berhasil, sekadar untuk merayakannya tentu boleh-boleh saja. Namun, sepatutnya euforia kegembiraan tersebut tidak perlu diekspresikan secara berlebihan. Pasalnya, tantangan mereka sebagai wakil rakyat periode 2009-2014 sudah menunggu di depan mata. Oleh karena itu, mereka harus segera bersiap-siap, berbenah diri untuk menyelesaikan berbagai warisan persoalan yang menggunung dari para wakil rakyat periode sebelumnya.

Warisan buruk

Tidak dapat dimungkiri, citra DPR periode 2004-2009 di mata rakyat tidaklah membanggakan, kalau tidak boleh dikatakan sangat anjlok. Hampir setiap kabar yang datang dari Senayan selalu beraroma tidak sedap mulai dari cap lebih mementingkan diri sendiri dan partainya, tidak peka terhadap nasib rakyat, koruptif, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam sejumlah survei ditemukan bahwa ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap lembaga parlemen tersebut sangat tinggi.

Masih segar dalam ingatan kita ketika memasuki tahun pertama, bahkan belum genap setahun, dari periode lima tahun tugas anggota Dewan 2004-2009, yang mengemuka justru tuntutan kenaikan gaji. Anggota dewan yang menerima gaji Rp 28,37 juta per bulan meminta kenaikan gaji hingga Rp 51,87 juta. Sementara gaji pimpinan dewan diminta untuk dinaikkan dari Rp 40,1 juta menjadi Rp 82,1 juta per bulan.

Tidak berhenti sampai di situ, para anggota dewan terus berupaya mencari celah-celah yang dapat memperbanyak isi pundi-pundi mereka. Pada Desember 2005, mereka meminta tunjangan operasional. Setiap anggota dewan mendapat Rp 60 juta yang merupakan rapel tunjangan dari Juli-Desember 2005. Dan, pada Maret 2006 pimpinan dewan mendapat kenaikan gaji Rp 14 juta–Rp 16 juta, dan anggota sekitar Rp 15 juta per bulan. Kalau saja masalah laptop yang mereka usulkan tidak mendapat kecaman keras dari publik, hal itu akan menambah deretan "keserakahan" mereka di tengah penderitaan rakyat.

Kenyataan tersebut tak pelak lagi menimbulkan citra wakil rakyat yang sangat buruk di mata rakyat. Kesan bahwa mereka lebih mementingkan diri mereka sendiri dan pada saat yang sama tidak memedulikan kondisi rakyat yang justru mereka wakili tidak dapat terhindarkan. Catatan buruk para anggota dewan periode 2004-2009 tidak hanya terkait dengan tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan, tetapi juga terkait dengan berbagai kasus korupsi sehingga ada sebagian dari mereka yang menjadi penghuni hotel prodeo.

Celakanya, kondisi ini diperparah dengan pencapaian yang tidak optimal dalam hal legislasi yang notabene merupakan tugas utama para anggota dewan. Dari target 284 rancangan undang-undang sampai Maret 2009, misalnya, ternyata yang terealisasi hanya 157 undang-undang. Dan undang-undang yang murni merupakan usulan DPR hanyalah 82, sisanya datang dari pemerintah. Ini artinya, para wakil rakyat tersebut mengabaikan tugas utamanya.

Memulihkan citra

Dari catatan tersebut, jelas bahwa tantangan yang akan dihadapi para wakil rakyat periode 2009-2014 sangat berat. Mau tidak mau mereka harus berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan citranya di mata rakyat sehingga kepercayaan publik akan mereka dapatkan kembali. Kalau itu dapat dilakukan, jalan ke depannya tentu akan lebih mudah.

Yang pertama mesti dilakukan anggota dewan dalam rangka memulihkan citra adalah memahami kembali jati diri mereka sebagai wakil rakyat. Ketika mereka berhasil menjadi anggota dewan, sesungguhnya mereka sedang mewakili rakyat. Dengan kata lain, mereka sedang mengemban amanah rakyat. Oleh karena itu, sejatinya mereka harus selalu mengorientasikan semua kegiatannya kepada suara dan aspirasi rakyat yang mereka wakili tersebut. Begitu mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan suara rakyat, seperti korupsi misalnya, mereka segera tersadar bahwa hal itu tidak sesuai dengan jati diri mereka sebagai wakil rakyat.

Yang kedua, para anggota dewan harus menyadari fungsi utama dari lembaga legislatif. Lembaga ini disebut legislatif sesungguhnya karena memang fungsi utamanya adalah legislasi, membuat undang-undang, di samping fungsi-fungsi lainnya seperti angket, bujet, dan amendemen. Oleh karena itu, akan terasa ironis kalau lembaga pembuat undang-undang justru mandul dalam hal legislasi.

Jika kesadaran di atas dapat diwujudkan setiap anggota dewan periode sekarang, paling tidak berbagai citra buruk yang telah disebutkan di muka dapat terkikis sedikit demi sedikit. Kalau pada tahap awal mereka mampu memulihkan citra dewan sebagai lembaga yang benar-benar menjadi pengemban amanah rakyat, tantangan-tantangan berikutnya akan dilalui dengan baik.***

Penulis, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.