Rabu, 22 Juli 2009

Memaknai Kekalahan

Pemilihan Presiden (pilpres) yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli kemarin telah berakhir dengan relatif tenang dan damai. Tidak ada keributan, huru-hara atau konflik horizontal yang ditakutkan berbagai pihak selama ini. Meskipun masih diwarnai oleh berbagai dugaan kecurangan, khususnya dari pihak yang merasa dirugikan, namun hal tersebut diyakini tidak akan mengurangi legitimasi pilpres.
Dari hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei di Indonesia, kita telah mengetahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono berhasil memenangi pilpres secara mutlak dengan sebaran prosentase yang cukup merata. Meskipun penghitungan ini bersifat sementara, karena bukan sebagai lembaga resmi, namun hampir pasti pasangan dengan nomor urut dua tersebut akan keluar sebagai pemenang. Asumsinya bahwa tingkat akurasi quick count cukup tinggi, sehingga penghitungan resmi yang akan dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diyakini tidak akan jauh berbeda sebagaimana yang sering terjadi dalam sejumlah pemilihan sebelumnya.
Resiko Kompetisi
Keberhasilan sebuah kompetisi seperti halnya pemilihan umum bukan hanya dilihat dari siapa yang keluar sebagai pemenang, melainkan juga siapa yang kalah. Dengan kata lain, bagaimana pihak yang kalah dalam kompetisi memberikan sikap terhadap kekalahannya tersebut, itulah yang akan menjadi penilaian orang terhadap keberhasilan kompetisi tersebut.
Kemenangan dan kekalahan dalam sebuah kompetisi sejatinya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Tidak akan ada kemenangan kalau tidak ada kekalahan; tidak akan lahir seorang pemenang jika tidak ada yang kalah. Maka, menang dan kalah sesungguhnya merupakan resiko dari sebuah kompetisi. Ketika seseorang berniat untuk ikut serta dalam sebuah kompetisi, maka semestinya ia sudah berkomitmen untuk siap menang dan kalah.
Dari perspektif ini, sangatlah menarik mencermati bagaimana sikap dari dua pasangan capres-cawapres yang hampir pasti menderita kekalahan pada pilpres kemarin, yakni pasangan Megawati-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto. Pasangan yang pertama tampaknya masih merasa berat hati menerima kekalahan sehingga sikap yang ditunjukkannya agak reaktif. Pasangan ini, misalnya, lebih sibuk melemparkan kesalahan kepada pihak lain ketimbang melakukan introspeksi.
Sebaliknya, sikap yang ditunjukkan oleh pasangan yang terakhir tampaknya patut diajungi jempol. Jusuf Kalla (JK) sebagai calon presiden yang kalah berkompetisi, misalnya, secara jantan mengakui kekalahannya dan kemudian ia memberikan ucapan selamat kepada SBY sebagai pemenang. Bahkan ketika ditanyakan kepada JK oleh salah seorang wartawan, apakah ia konsisten dengan ucapannya bahwa yang terpilih adalah yang terbaik, ia dengan lapang dada mengatakan bahwa ia konsisten dengan ucapannya tersebut. Artinya, JK mengakui bahwa SBY lah yang terbaik, karena keluar sebagai pemenang.
Pernyataan yang lahir dari seorang tokoh semacam JK tersebut tentu sangat menyejukkan hati di tengah suasana panas yang terjadi sebelum dan sesudah pilpres. Ini akan menjadi preseden yang baik bagi kehidupan demokrasi di masa depan bahwa kekalahan dipandang sebagai hal yang wajar dalam sebuah kompetisi. Dalam konteks ini, JK telah berhasil menempatkan dirinya sebagai tokoh yang memiliki sikap kenegarawanan, sesuatu yang cukup langka di republik ini.

Evaluasi
Alih-alih menunjukkan sikap yang reaktif apalagi berlebihan, hemat penulis, pasangan capres dan cawapres yang kalah akan lebih elegan kalau lebih mengedepankan tindakan evaluatif terhadap kekalahannya tersebut. Evaluasi tersebut terutama harus diprioritaskan kepada evaluasi internal ketimbang eksternal yang ujung-ujungnya bertumpu pada keasyikan untuk menyalahkan pihak lain.
Di antara evaluasi internal yang perlu dilakukan adalah strategi kampanye yang terlalu banyak menyerang (attacking campaign) dan mesin politik partai yang tidak efektif. Padahal secara psikologi politik rakyat Indonesia pada umumnya tidak suka terhadap pihak yang selalu melakukan serangan, apalagi jika serangan itu tidak menyentuh level kognisi masyarakat seperti isu neoliberalisme. Sementara untuk kasus yang kedua, ini merupakan persoalan yang sangat serius sebab sejatinya di negara demokrasi parpol justeru memainkan peranan yang lebih besar.
Mengedepankan evaluasi internal tentu saja tidak berarti mengabaikan proses hukum terhadap dugaan adanya sejumlah kecurangan. Namun, agaknya perlu disadari bahwa perbedaan prosentase suara antara yang menang dan kalah sangat besar, sehingga kecil kemungkinan proses hukum akan mengubah hasil pilpres. Kasus pertarungan antara Al-Gore dan Bush di AS beberapa tahun yang lalu dengan selisih sekitar satu persen saja tetapi mampu diselesaikan melalui proses hukum secara baik tampaknya perlu dijadikan pelajaran berharga. Oleh karena itu, berbesar hati akan kekalahan tampaknya menjadi pilihan yang paling elegan bagi pasangan capres-cawapres yang kalah.

Tidak ada komentar: