Jumat, 23 Mei 2014

Adua Kuat Dua Poros (Suara Pembaruan, Jum'at 23 Mei 2014)

Setelah proses dan dinamika politik yang hiruk pikuk terkait dengan koalisi antar partai politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 akhirnya publik Indonesia memiliki hanya dua poros pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua poros pasangan tersebut adalah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pasangan Jokowi-JK diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sedangkan Pasangan Prabowo-Hatta diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Belakangan Pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan dukungan baru dari Partai Golkar di menit-menit akhir. Sebelumnya Ketum Golkar, Aburizal Bakrie (ARB), yang diberikan mandat sepenuhnya oleh Rapimnas untuk menentukan langkah pencapresannya atau arah koalisi partai gagal mencapai titik temu dengan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri, meskipun sudah melakukan pertemuan beberapa kali. Pada akhirnya ARB menjatuhkan pilihannya pada Pasangan Prabowo-Hatta. Dengan hanya ada dua pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2014 tentu persaingan antar kedua kubu akan lebih sengit karena keduanya dipastikan berhadapan secara head to head. Bagaimana peta kekuatan dari masing-masing pasangan tersebut, inilah barangkali yang akan menjadi fokus utama tulisan ini. Dari sisi mesin politik partai, di atas kertas Pasangan Prabowo-Hatta lebih unggul dari Pasangan Jokowi-JK. Secara sederhana jika dikalkulasikan, suara partai-partai politik pengusung Pasangan Prabowo-Hatta totalnya mencapai kurang lebih 48,93 persen. Sedangkan suara partai pengusung Pasangan Jokowi-JK hanya berjumlah sekitar 39,97 persen. Belum lagi kalau dilihat dari kemampuan mesin politik partai dalam menggalang dan menggerakkan kekuatan kader dan simpatisan. Pasangan Prabowo-Hatta diuntungkan oleh kemampuan mesin politik Golkar yang diakui masih lebih unggul dari semua partai di Indonesia. Ditambah lagi dengan kemampuan mesin politik PKS yang juga dianggap berhasil dalam menggerakkan kader dan simpatisannya. Namun mesin politik bukanlah faktor utama dalam setiap hajatan pemilu. Khusus dalam konteks pemilu di Indonesia justeru faktor figur menjadi kekuatan kunci untuk meraih simpati dari publik. Banyak contoh kasus dalam pemilu atau pilkada di negeri ini di mana yang muncul sebagai pemenang adalah orang yang mengandalkan pada kekuatan figurnya meskipun tidak didukung banyak partai. Dalam konteks rivalitas head to head antara Prabowo dan Jokowi dari sisi kekuatan figur terdapat beberapa dimensi yang berbeda. Ada survei menarik yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada April kemarin. Pada dimensi sisi ketegasan dan wibawa, sosok Prabowo ternyata lebih unggul dengan 51 dan 52 persen sementara Jokowi hanya memeroleh 29 dan 37 persen. Namun pada dimensi kejujuran/bisa dipercaya/amanah dan perhatian pada rakyat Jokowi mendapatkan suara yang lebih banyak dengan 44 dan 55 persen sedangkan Prabowo hanya 30 dan 23 persen. Dalam situasi seperti ini, kehadiran cawapres sejatinya bisa menjadi penutup kelemahan dari setiap capres. Sayangnya Hatta Rajasa sebagai cawapres Prabowo kurang bisa menutupi kelemahan Prabowo pada dimensi kejujuran dan kesederhanaan yang dikalahkan Jokowi. Sementara JK kemungkinan besar bisa menutupi kelemahan Jokowi pada dimensi ketegasan yang dikalahkan Prabowo, sebab JK juga dikenal sebagai orang yang tegas dan berani mengambil keputusan meski dengan resiko (taking risk). Dari sisi elektabilitas, meskipun tren suara dukungan Prabowo mengalami peningkatan sedangkan Jokowi sebaliknya mengalami penurunan, tetapi elektabilitas Jokowi tetap berada di atas Prabowo. Menurut survei yang dilakukan CSIS pada Maret lalu jika diadu secara head to head Jokowi unggul dengan 54,3 persen dari Prabowo yang memeroleh dukungan 28,3 persen. Pada sisi ini kehadiran JK lagi-lagi akan menguntungkan Jokowi. Dari aspek elektabilitas JK jelas jauh lebih tinggi dari Hatta. Dari sisi representasi daerah, memang Prabowo dan Jokowi yang sama-sama mewakili suku Jawa diuntungkan oleh kehadiran cawapresnya yang juga berasal dari non-Jawa. Hanya saja JK lebih unggul dari Hatta karena dianggap lebih merepresentasikan daerah Indonesia bagian timur. Sementara Hatta yang berasal dari Palembang tidak dianggap merepresentasikan Indonesia bagian Barat. Gaya Komunikasi Politik Aspek lain yang juga dapat memberikan pengaruh pada keterpilihan capres adalah gaya komunikasi politik. Jika dianalisis secara head to head dalam hal gaya komunikasi politik terdapat perbedaan yang berbeda secara diametral antara Prabowo dan Jokowi seperti yang kerap terlihat dari penyampaian pesan-pesan politik keduanya di ruang-ruang publik. Prabowo lebih mengandalkan retorika politik yang lugas, formal dan cenderung menjaga jarak dengan khalayak. Hal seperti ini bukan hanya terlihat dalam komunikasi verbal, tetapi juga dalam komunikasi non-verbal. Prabowo, misalnya, kerap memakai pakaian safari ala pejabat atau terkadang berbau militer. Ia juga berkali-kali tampil dengan menunggang kuda di depan publik yang kian menambah keberjarakannya dengan khalayak. Sementara gaya komunikasi politik Jokowi lebih bersifat cair, non-formal dan cenderung tidak menjaga jarak dengan khalayak. Hal ini juga terlihat bukan saja dalam komunikasi verbal, melainkan juga dalam komunikasi non-verbal. Dalam aktivtas “blusukan” yang sudah menjadi trademarknya, Jokowi kerap memakaian stelan kemeja putih dan celana hitam yang notabene merupakan pakaian kebanyakan rakyat Indonesia sehingga membuatnya lebih mudah membaur dengan rakyat. Pada sisi lain, gaya komunikasi politik verbal Prabowo cenderung lebih agresif. Hal tersebut. misalnya, terlihat dalam serangan-serangan dan sindiran-sindiran yang sering dilancarkan Prabowo terhadap orang atau kalangan tertentu seperti yang terlihat dalam kasus Batu Tulis. Demikian pula setiap kali disinggung masalah keterlibatannya dalam kasus HAM di masa lalu, Prabowo cenderung memberikan reaksi yang keras. Pada saat yang sama gaya komunikasi politik verbal Jokowi cenderung lebih defensif. Hampir tidak pernah publik mendengar Jokowi melakukan serangan atau sindiran verbal terhadap tokoh atau kalangan lain. Sebaliknya, setiap kali mendapatkan serangan bahkan serangan yang mengandung fitnah sekalipun, reaksi Jokowi cenderung lebih tenang. Ungkapannya yang kini sangat terkenal “aku rapopo” agaknya dapat menggambarkan kecenderungan tersebut. Dari perbandingan beberapa aspek yang tersebut di atas, hemat penulis Pasangan Jokowi-JK memiliki kans yang lebih besar daripada Pasangan Prabowo-Hatta untuk memenangi Pilpres 2014. Pemilihan JK sebagai cawapres menjadi nilai lebih yang mampu menutupi kelemahan Jokowi selama ini, di mana hal tersebut tidak terhadi pada pasangan rivalnya. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Voila Strategique dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy renInstitute